Monday, July 31, 2006

Satu Cerita Tentang Joe..



Luluhnya Karang Hati Joe

Joe....adalah Joe....
Betapapun keras bagai karang...iapun tetap memiliki hati
Meski bukan hati paripurna yang terbungkus kafan suci
Suatu waktu tetap akan luluh oleh nurani

Betapapun gagahnya Joe..., ia takluk oleh air mata wanita
Betapapun kerasnya Joe..., ia tunduk oleh senyum manis wanita
Betapapun sulitnya Joe..., ia luluh oleh perhatian dan ketulusan wanita
Betapapun kuatnya Joe...., ia lemah ketika bersimpuh di pangkuan bunda

Wahai sang surya yang menyinari pagi...
Pemberi cahaya bagi gelapnya jiwa…
Jadilah engkau saksi
Joe tanpa wanita...bagai pagi gelap nan sunyi

Duhai Sang Embun pagi yang membasahi dedaunan....
Pemberi kesejukan kegersangan jiwa
Jadilah engkau saksi
Joe tanpa wanita....bagai haus di tengah gurun

Wahai Pelangi Sang Pewarna langit
Pemayung bagi lelahnya hati...
Jadilah engkau sebagai saksi
Joe tanpa wanita...bagai kanvas tak berkuas

Duhai sang Angin malam nan syahdu
Penghembus harum wangi syurgawi
Jadilah engkau saksi
Joe tanpa wanita...bagai kerontang tanah tak berhujan

Joe sering tenggelam dalam luasnya danau harapan
Tetapi lupa akan dupa penyangga perahu tua
Berkiprah dengan dayung - dayung alakadarnya
Menelusuri riak air nun jauh dari dermaga
Menuju pelabuhan harapan tak berujung
Berlayar...berlabuh...berlayar...dan berlabuh kembali....

Itulah Joe yang pantang menyerah...
Menelusuri setiap jalan kehidupan dengan gagah...
Bahkan sering berlari...tersandung... terpelanting dan terjatuh...
Goresan luka yang terperi....
Dan sesekali tampak jelas luka - luka penuh nanah...
Denyut derita dan rasa sakit tak pernah digubris...
Panas sengat mentari yang menerpa....
Atau dingin air hujan yang mengguyur.....
Tak jadi alasan tuk surutkan perjuangan.....

Bukan ia tak menyayangi badannya....
Bukan ia tak peduli dengan kebutuhan istirahatnya....
Tapi karena dipundaknya terpanggul batu tanggung jawab....
Karena pada telapak tangannya tertulis tugas....
Tuk mewujudkan impian dan harapan
Tuk mengibarkan bendera kebahagiaan...
Teruntuk sang wanita yang dikasihinya...
Wanita yang sering dipujanya....
Wanita yang selalu hadir dalam mimpinya....
Wanita yang sering disebut dalam hembusan namanya...
Wanita yang sering menentramkan hatinya....
Wanita yang sering jauh dimata namun selalu melekat dihatinya....
Wanita yang sering terpanjat dalam do'a - do'a malamnya...
Wanita yang sering membayangi gerak langkahnya....
Wanita yang sering merisaukan hatinya....
Wanita yang membuat hidup terasa hidup...

Tataplah keriput garis matanya
Garis itu kan bersaksi tentang kesabaran...
Tentang perjuangan hidup, penderitaan dan pengorbanan serta maaf...
Telusuri peta yang ada di wajahnya...
Agar tak tersesat dalam membaca dan memberi penilaian
Disanalah letak sebuah rumah " keikhlasan "
Berlantai ketulusan dan beratap ketabahan...
Kerjanya hanya menyusun butiran air mata...
Dan mengumpulkan kepingan sesak dada...
Dan mengukirnya menjadi stupa maaf...

Hitunglah putih uban dikepalanya
Disana tergambar jelas ribuan penyesalan
Atas segala kesalahan yang dilakukannya
Atas kecewanya pada keterbatasan kemampuannya
Bagai drama kecil yang meluruhkan air mata pemirsa...
Dengarlah dengan telinga batinmu.....
Disanalah ada kepundan penuh kesunyian...
Berharap kehangatan yang enggan dipurnakan...
Menunggu dengan selangit kesetiaan...
Berteman segunung kesabaran...untukmu....
Ya...untukmu seorang...
Yang hanya serupa kepingan harapan...
sebagai wanita terkasihnya...
Satu harapnya....semoga engkau bahagia slalu.

Untukmu "Yang Manis"

Bidadari Senjakala


Tatap mata mu membara, membakar hidup ku
Suara mu bergairah, menenangkan ku
Wajah itu datang lagi, medatangi ku.....memanggil ku
Wajah yang berduka, aku memeluk mu...mencium kening mu
Wajah langit senja hari, ada kelelawar melayang
Laut yang bergolak di depan ku, yaa....haaa !

Membara, membara...pandangan mu membara
Tubuh mu yang hangat menghangatkan tubuh ku
Lagu ini untuk mu, mimpi ini untuk mu
Duka datang dan pergi, datangnya silih berganti

Sering aku tak mampu bicara
Terdiam seperti patung bernyawa
Sering aku tak mampu menjawab
Aku tak tahu harus bagaimana

Bidadari senjakala, menari untuk ku......untuk ku
Masih ada cahaya, diwajah mu.....diwajah mu

Nyanyian di senja hari membuat ku rindu
Jangan berhenti memandang ku, jangan berpaling
Jangan berhenti mencintai ku, jangan berhenti
Aku tahu apa artinya senyum dibibir mu

Sunday, July 30, 2006

Satu Cerita Tentang Surti


AIR MATA SURTI
Cerpen Ismalinar

Tidak seorang pun yang ingin jadi penduduk kelas bawah, termasuk Agus dan Surti. Alur kehidupan yang dijalani keduanya memuarakan mereka sebagai pasangan suami istri dengan seorang anak, berprofesi sebagai buruh pabrik sepatu, tinggal di kamar ukuran tiga kali tiga meter, penghasilan hanya cukup untuk makan. Surti telah dua kali melahirkan. Kesehatan anak keduanya bermasalah. Sejak lahir, setiap habis menangis tubuh mungilnya membiru. Surti membawa bayinya ke Puskesmas. Dokter mengatakan kemungkinan besar si bungsu sakit jantung. Ia dirujuk ke rumah sakit Cipto. "Oalah Nak, hidup kita susah begini, kok ngambil penyakit orang kaya," Surti bergumam sambil mencium pipi biru anaknya. Air matanya menetes saat menerima surat rujukan dari dokter Puskesmas. Sebagai ibu, Surti ikhlas berhenti bekerja dan membawa anaknya berobat ke Cipto. Tapi, mereka terbentur biaya. Meskipun kartu miskin bisa diurus tetap saja ada yang harus dibayar. Dari rumahnya ke Cipto tiga kali naik angkutan umum. Pulang pergi enam kali ongkos. Dari mana uangnya? Upah Agus hanya cukup untuk bayar sewa kamar dan beli beras. Selama ini, upah Surti untuk beli lauk-pauk dan biaya lainnya. Tidak ada jalan keluar. Si Bungsu gagal berobat ke rumah sakit besar. Tidak sanggup hidup berat di dunia, bayi merah Surti balik kepada Sang Khalik. Pasangan itu tergoncang. Mereka merasa bersalah. Terutama Surti. Hatinya perih dan pedih. Ia terluka. Hidup Surti dan Agus terus mengalir. Seiring dengan berjalannya waktu, luka jiwa Surti berangsur sembuh. Meski, sakitnya masih terasa. Dalam keadaan batin belum stabil tersebut, badai kembali menghantam mereka. Krismon melanda negeri pertiwi, sehingga mempengaruhi kehidupan berbagai kalangan. Agus dan Surti turut jadi korban. Pabrik tempat Surti dan Agus bekerja bankrut. Setiap hari, Agus, Surti, dan teman-temannya tetap datang ke pabrik. Mereka bergerombol dan mengobrol. Tidak ada pekerjaan lagi. Ketika sebuah koran memberitakan bahwa pemilik pabrik tempat mereka bekerja kabur ke luar negeri, semua karyawan dan buruh tersentak. Mereka merasa kecolongan. Secara spontan mereka berdemo di depan pabrik. Namun, beberapa hari berdemo, tidak seorang pun petinggi pabrik yang menghampiri para karyawan. Mereka raib tak berbekas. Hanya wartawan yang memotret dan mewawancarai pendemo. Karena itu, Agus dan teman-temannya memutuskan berdemo di halaman kantor Depnaker. Mereka menuntut pemerintah memaksa pemilik pabrik bertanggung jawab terhadap nasib karyawannya. Surti putus asa. Hari-harinya dan Agus habis untuk berdemo. TV 14 inci, satu-satunya hiburan Si Sulung, telah terjual. Surti sangat ketakutan membayangkan ia dan Agus tidak punya uang sama sekali. Ia tak mampu membeli nasi saat si Sulung lapar. Si Sulung akan lapar berhari-hari dan meninggal, seperti Si Bungsu. Tubuh Surti menggigil. Sebagai ibu, ia merasa tidak berguna lagi. Diambilnya pisau. Lama diperhatikannya sisi mata pisau yang tajam. Surti melihat Si Bungsu di sana. Ia sehat dan montok. Di punggungnya tiba-tiba tumbuh sayap. Sambil terbang kian ke mari, Si Bungsu memanggil-manggil Surti. Ia mengajak Surti bermain-main di taman bunga yang indah. Surti ingin bergabung dengan Si Bungsu. Gagang pisau dipegangnya erat. Ia siap melayang. "Mama mau potong apa?" tanya Si Sulung polos. Surti terperanjat. Si Sulung menyadarkannya kembali ke alam nyata. Buru-buru Surti meletakkan pisau. Dipeluknya Si Sulung dengan penuh haru. Si Sulung telah menyelamatkan jiwanya. Hampir saja ia menjadi pengikut setan, setan jahat yang mewujud Si Bungsu untuk menggodanya. "Maafkan Mama, Nak. Mama tak akan meninggalkanmu. Mama akan cari uang. Kamu tidak boleh busung lapar," Surti berjanji. "Tuhan, ampuni hamba," mohonnya tulus. "Stop berdemo. Uang kita hanya cukup untuk bertahan seminggu, Bang," kata Surti pada Agus. "Tidak! Abang dan teman-teman ingin kerja lagi atau dapat pesangon. Masa kerja kita telah belasan tahun, jadi pantas dapat pesangon," Agus bersikukuh. "Untuk makan sehari-hari, Sur, ngutanglah dulu di warung. Kalau pesangon telah keluar, semua kita bayar," Agus tetap kukuh pada pendiriannya. Semalaman Surti tidak bisa tidur. Ia ingin berjualan. Tapi, tidak punya modal. Surti memeras otaknya, agar dapat ide, bagaimana caranya, bisa menghasilkan uang. Tiba-tiba, Surti ingat Ipan, pengasong koran di pabrik. Sejumput harapan singgah di kepala Surti. Surti pernah mengobrol panjang lebar dengan Ipan. Dari Ipan, Surti tahu untuk berdagang koran tidak perlu modal. Yang penting mendapat kepercayaan dari agen. Kalau sudah dipercaya, ambil koran pagi, langsung dijual. Besok paginya, ke agen lagi mengambil koran yang terbit hari itu dan membayar koran yang dibawa kemarin. "Aku akan dagang koran," Surti memutuskan. Bibirnya tersenyum. Puas. Tapi sayang, sejak pabrik tutup Surti tidak pernah lagi bertemu Ipan. Maka ia mencari sendiri alamat agen koran. Dengan bertanya ke sana ke mari akhirnya ia berhasil menemukan rumah sang agen. Syukurlah, si agen bersedia mengutangi Surti. Ia menyarankan Surti berjualan di tempat yang ramai. Saat itu juga terbayang di pikiran Surti perempatan jalan dekat pabriknya. Siang malam perempatan itu selalu ramai. Sore itu Surti pulang dengan tubuh dekil dan keringat di jidat. Ternyata, berdagang koran juga berat. Dini hari, ketika orang lain masih berselimut, ia harus berangkat ke bursa koran, menembus dinginnya cuaca. Begitu mendapat koran, langsung dibawanya ke tempat mangkal. Seharian menunggu pembeli, panas terik membakar kulit, setiap detik menghirup debu jalanan. Namun, Surti puas. Hari pertama ia jualan, korannya laris manis. Lima korannya bersisa, tapi bisa dikembalikan ke agen. Surti tidak menanggung rugi. Malamnya, Surti mengibaskan dua lembar uang sepuluh ribuan pada Agus. "Bang Gus, ini untung Sur hari ini. Banyak ya, Bang," wajahnya sumbringah. "Kalau kita gerobak koran yang ada rak-raknya, kita bisa dagang majalah juga. Pasti labanya lebih gede lagi. Sekarang Sur hanya bisa mengasong koran dan tabloid," Surti menerangkan. "Tapi, kalau dagang majalah, harus kita beli kontan. Agen tidak kuat memodalinya." Agus tidak bereaksi. Ia terlihat bengong. Jauh di lubuk hatinya, ia malu pada Surti. Untuk mengimbangi usaha Surti mencari uang, Agus berjanji dalam hatinya akan menggantikan tugas harian Surti, memasak dan merapikan rumah, serta menjaga Si Sulung. Jika ia berdemo, Si Sulung akan dibawanya. Hampir setengah tahun Agus dan teman-temannya menghabiskan waktu menuntut haknya. Atas izin Tuhan, keluar juga pesangon yang didambakan Agus. Tapi jumlahnya sedikit. Itu pun ditalangi pemerintah. Uangnya hanya cukup untuk membuat gerobak koran dan modal membeli majalah. Agus kecewa. Ia berharap, uang pesangonnya jauh lebih besar. Sebab yang di-PHK hanya dua orang, yaitu dirinya dan Surti. Surti menghiburnya. Dibujuknya Agus agar pasrah pada Tuhan. Ia juga mengajak Agus berjualan koran. Siang itu Surti bersama Agus, dan Si Sulung, menunggui gerobak koran. Mereka baru saja memakan nasi bungkus yang dibeli di Warteg. Sejak berjualan majalah dan punya gerobak, pembeli tambah banyak. Dagangan mereka terlihat semarak. Tapi tiba-tiba, ketika mereka melayani pembeli, tiga mobil loosback berhenti di depan dagangan Surti. Puluhan petugas trantib melompat turun. Petugas menyuruh Surti dan Agus keluar gerobak. Selanjutnya, mereka beramai-ramai mengangkat gerobak Surti ke atas mobil. Koran, tabloid, dan majalah, ikut mereka bawa. Sebagian bahkan berserakan, terinjak kaki petugas. Agus dan Surti terkesima. Ketika Surti melihat dagangannya terinjak-terinjak, hatinya mendidih. Bagaikan singa betina terluka Surti mengamuk. Diberikannya si sulung kepada Agus. Dengan membabi buta Surti menarik, menjambak, dan memukul seorang petugas. Ia berteriak-teriak histeris. Agus dengan sebelah tangannya menggendong Si Sulung berusaha merangkul Surti. Tapi, tenaga Surti telah berlipat ganda. Ia berontak dari rangkulan Agus. Seorang petugas memegang kedua tangan Surti. Surti kesal, diludahinya petugas itu. Tersinggung diludahi, tangan besar sang petugas menampar pipi Surti. Melihat istrinya ditampar, Agus kehilangan kendali. Diambilnya sebuah batu di tanah dan dipukulkannya ke kepala petugas. Kepala petugas itu bocor. Darah mengucur deras. Agus dan Surti diringkus petugas yang lain. Sebelum dibawa ke kantor polisi, petugas yang marah, karena temannya terluka, menghajar Agus. Tubuh Agus babak belur. Ia pingsan. Surti mati rasa. Pikirannya kosong. Si sulung menghilang. Seorang penculik anak, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Surti dan Agus tidak bisa lagi memikirkan anak semata wayangnya itu. Para petugas trantib pulang ke rumah. Bercengkerama dengan anak istri mereka. Tugas hari itu sudah dilaksanakan dengan baik. Jalan protokol telah bersih. Insentif dijamin dapat. Di balik senyum puas petugas trantib dan atasannya itu, terdengar tawa Surti bercampur tangisan pilu. Tangis yang mendayu, mengiringi lagu kehidupannya. Menyapa Agus yang linglung di penjara. Otak Agus serasa mau pecah memikirkan keberadaan si Sulung. Mungkinkah Agus menyusul Surti ke rumah sakit gila? Aparat tak lagi peduli. Yang penting jalan bersih. Masyarakat nyaman. Tahun depan sang penguasa bakal terpilih lagi. "Horas Indonesiaku! Horas penguasa! Aku Surti pendukungmu! Aku adalah sampah yang harus kau buang, Tra la la la la. Kau gus-sur, Tri li li li." Surti terus bernyanyi sepanjang waktu, diselingi seringai, tawa, tangisan, rintihan dan makian.

wassalam
Joe Sorjan

Satu Cerita Tentang Aku dan Mama.......


“Ma, itu apa, yang kelap-kelip di atas …” telunjukku mengarah ke langit.
“Itu namanya bintang nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan,” terang Mama dengan sempurna sekaligus bijak.
Kutahu, usiaku dua tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu segala hal dan mengejar seribu jawaban dari siapapun terhadap hal yang baru kulihat. Dan Mama, dialah yang paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski tak pernah kupuas, tapi aku cukup yakin saat itu, bahwa Mama segala tahu.
Sejak malam itu, aku selalu berdiri di belakang rumah menengadah ke langit memandangi jutaan bintang yang berkelap-kelip, dan setiap saat itu pula Mama setia menemaniku. Aku ingat, mama cukup kerepotan mencari jawaban ketika aku bertanya, apakah bintang-bintang itu juga punya nama. Dengan cerdik, Mama menjelaskan bahwa bintang-bintang itu sama dengan kita, manusia. Kalau manusia punya nama, berarti bintang pun memiliki nama.
“Yang disebelah sana, namanya siapa ma…”
Keningnya berkerut, otaknya berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya, “ooh… yang itu mama tahu, ia adalah bintang mama, karena namanya sama persis dengan nama anak mama ini…” dekapannya begitu hangat, tak ada yang bisa melakukan semua itu kecuali mama. Waktu itu yang kutahu, mama sekedar menjalankan kewajibannya sebagai orang tua untuk menemani dan membahagiakanku.
Keesokkan harinya, setiap malam tiba. Mama sudah tahu, sebelum waktu tidurku tiba, aku selalu mengajaknya memandangi langit. Karena kini aku semakin senang, sejak mama mengatakan bahwa bintang yang pernah kutunjuk itu adalah aku. Tapi, hari ini mama membuatku kecewa, karena mama tak bisa menemaniku. Mama sakit, begitu kata Papa.
Aku menangis, sebab malam itu aku berniat tidak hanya minta mama menemaniku seperti malam-malam sebelumnya. Tapi aku ingin mama mengambilkanku bintang-bintang itu dan membawanya ke rumah. Aku ingin mereka menjadi temanku bermain hingga aku tak perlu bersedih setiap ketika larut mama mengajakku masuk.
Tapi Mama tetap tak bisa membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku bintang-bintang, sekedar duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan angin yang lembut, dan menyapa kedamaian malam, serta tersenyum membalas lambaian sang bulan pun, mama tak kuat. Hingga malam berakhir, aku masih kecewa. Malam itu bahkan aku tak mau makan, hingga mama yang sedang sakitpun harus memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur. Untuk yang ini pun yang aku tahu, adalah juga kewajiban orangtua, menyanyikan lagu pengantar tidur.
Esok harinya aku demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam di belakang rumah ‘bermain-main’ dengan bintang-bintang. Meski sedikit cemas, mama tak pernah panik. Sentuhan hangat mama, membaluri ramuan khusus ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari sudah, tak kunjung sembuh demamku. Padahal mama sudah membawaku ke dokter.
Mama semakin panik. Panasku meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru disaat mengigau itulah mama tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. (sampai disini, aku masih beranggapan, mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekedar kewajiban orangtua) …
Aku tidak tahu apa yang mama perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun, dan aku terkejut, hampir tak percaya apa yang kutatap di langit-langit kamarku. Bintang-bintang … mama membuatkanku bintang-bintang dari kertas berwarna metalik, banyak sekali, puluhan, entah, mungkin ratusan. Sebagiannya digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat tidur dan lantai kamar. Kuciumi mama karena telah membawakan bintang-bintang dari langit itu ke rumah. Dan mama benar, kulihat di masing-masing bintang itu ada namanya, salah satunya, ada bintang yang paling bagus dan paling besar, diberinya namaku.
***
Anak mama yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup mandiri. Tapi aku tetap anak mama. Kemarin, kutelepon mama mengabariku bahwa aku sedang tidak sehat dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian, diantar papa dan salah seorang adikku, mama datang. Aku memang tetap bintangnya mama, dibiarkannya kepalaku bersandar dipeluknya, kurasakan kembali kehangatan itu. hingga aku tertidur.
Sore, mama hendak pulang. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk tinggal beberapa hari, tapi adikku berbisik, “Waktu abang telepon, mama sebenarnya sedang sakit …”
Ada setitik air disudut mata ini. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kini, sekali lagi kusadari. Semua yang dilakukan mama untukku, bukanlah kewajiban. Itulah yang disebut cinta, cinta abadi. Cinta yang takkan pernah bisa aku membalasnya. Dan mama adalah bintang sesungguhnya bagiku.

Tak Seindah Pelangi


Sore hari di lapangan ujung desa. Keriuhan terdengar dari bibir anak-anak yang sedang bermain. Ada yang bermain voli, atau hanya berkejar-kejaran. Dua ekor kerbau dibiarkan saja merumput. Seorang anak mengendap-endap mendekati seekor kerbau. Dan … hap ia berhasil mendarat aman di punggung si kerbau. Si kerbau dengan acuh tak peduli dan meneruskan merumput dengan tenang. Sang surya mulai condong di langit barat. Angin bertiup lembut membawa sekumpulan mendung. Tiba-tiba gerimis hadir. Turun dengan pelan membasahi bumi. Anak-anak tak beranjak pulang. Mereka tetap saja bermain dan malah bersorak saat melihat warna-warni indah muncul di kaki bukit. Semburat bianglala mewarnai angkasa. Penuh warna.
Gerimis berhenti beberapa saat kemudian. Sayangnya ia turut membawa pergi si bianglala. Hilang begitu saja. Seakan-akan ia tak pernah ada. Sorak sorai anak-anak pun berhenti saat ia pergi. Mereka berharap bisa menyaksikan pelangi itu lebih lama tapi ia keburu lenyap saat gerimis mereda.Dalam menjalani hari, tak jarang sesuatu yang tidak diharapkan terjadi itu hadir. Seorang petani yang menabur benih padi di sawah berharap hanya menuai padi saja di akhir musim. Begitu tanaman itu tumbuh, berbagai tanaman lain bermunculan. Meskipun si petani tidak menanamnya. Tapi rumput, semanggi, dan mungkin bahkan enceng ikut meramaikan ladangnya.
Saat rencana untuk bepergian sudah matang, sesuatu terjadi dan menggagalkannya. Tepat di hari-H beberapa peserta tidak bisa hadir. Ada kepentingan lain yang mendadak datang dan tidak bisa dihindari. Kekecewaan menyebar saat acara tak terlaksana. Di waktu yang berbeda, sekelompok anak berjanji untuk bertemu. Tempat dan hari sudah disepakati. Tapi ternyata apa yang terjadi sama sekali diluar dugaan. Mereka baru bisa bertemu saat sinar merah menerangi langit barat. Saat lampu-lampu taman menyala. Padahal mereka berada di tempat yang sama. Di gedung yang sama. Pada waktu yang sama. Jarak yang memisahkan mereka hanya setinggi 3 m antara lantai 1 ke lantai 2. Tapi begitulah, mereka baru bisa berkumpul saat sepenggal hari hendak berganti.
Sungguh apapun yang terjadi menunjukkan bahwa Alloh itu ada. Ia berkuasa atas segalanya. Dan telah bertindak sekehendak-Nya. Tidak jarang ketentuan-Nya sangat berbeda dengan apa yang kita harapkan. Mengecewakan atau bahkan membuat kita berduka. Tapi saat kita sedih, kecewa, marah, ataupun terluka ketentuan yang telah Alloh tetapkan takkan berubah. Matahari tetap terbit di ufuk timur. Pasang surut air laut tetap terjadi. Hari-hari terus bergulir. Waktu terus berjalan dan tak pernah kembali. Kita tidak bisa menghentikannya sesuai kehendak kita. Meskipun apa yang terjadi tak selalu seindah mimpi. Tak selalu seindah pelangi.
Tapi kita bisa mewarnai hati ini dengan menerima dengan ikhlas dan rela atas ketentuan-Nya itu. Itu akan membantu menyembuhkan segala rasa. Menutup kekecewaan yang ada. Dan bahkan mungkin diantara badai hati kita akan muncul seberkas pelangi yang indah di sana. Bagaimanapun kita hanyalah hamba dan Allohlah yang berkuasa.

Berkaca Pada Alam

Jika kita perhatikan batu-batu yang bertengger dipinggiran sungai, terkadang kuyup oleh sentuhan genit air-air sungai yang menghampiri walaupun mereka terus berjalan. Namun untuk beberapa lama batu-batu itu mengering oleh sinaran matahari yang menembus dari celah-celah dedaunan. Silih berganti air dan matahari menyapa bebatuan yang tak pernah bergeser dari tempatnya, sebelum perubahan alam atau tangan manusia yang menghendakinya berpindah. Kemudian jika terlihat satu sisi dari batu itu yang terus menerus lembab, yang kemudian lumut hijau nan cantik menghiasi seluruh sisi permukaan itu, artinya sinar matahari tak pernah singgah diatasnya. Batu, air sungai dan sinar matahari itu mengajarkan kepada kita tentang banyak hal. Kepasrahan batu-batu menerima air dan sinar matahari, adalah cermin keikhlasan. Dan keteguhannya untuk tetap ditempatnya, adalah kesabaran. Lumut hijau di sisi batu yang tak tersinari matahari adalah petunjuk arah jalan.
Mendakilah lebih tinggi, kita akan menemukan jenis tumbuhan, warna daun dan buah yang berbeda. Jalan semakin terjal dan sempit, hanya akar-akar besar dari pohon tua yang terkadang menjadi perantara menuju undakan berikutnya. Sesaat beristirahatlah dan perhatikan semuanya. Tumbuhan, daun dan buah dengan warna yang lebih mencolok dan lebih khas, mengajarkan kepada kita, bahwa Allah Maha Adil dengan menempatkan setiap makhluknya pada keadaan dan tempat dimana ia bisa beradaptasi dan hidup. Satu hal bagi manusia, teruslah bergerak mencari kehidupan, karena Allah akan senantiasa menuntun kita kepada tempat kehidupan terbaik. Namun jika pada akhirnya kita berhenti disatu tempat yang Allah kehendaki setelah semua usaha yang dilakukan, disitulah kita meletakkan prinsip qonaah dan sabar, serta bersyukur atas ketetapan Allah.
Saatnya senja menyambut hari. Sinar merah kekuningan yang menyejukkan masih bisa kita nikmati dari celah-celah ranting dan daun, sesekali ia seperti berkedip dan terus memandangi semua makhluk yang terus bergerak. Seperti mengikuti, matanya terus menatap dan mengawasi sementara sinarnya semakin lama semakin redup digantikan malam. Tinggallah menunggu rembulan. kemudian kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin, penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan mata kaki. Senja hanya sesaat, namun kahadirannya begitu memukau dan terasa manfaatnya. Tidak hanya indah, senja senantiasa menebarkan pesona keanggunan kepada siapapun yang menatapnya. Kepada hidup, kepada makhluk dan kepada Allah, semestinya manusiapun seelok, sebermanfaat dan semenyenangkan senja. Karena mungkin, besok tak lagi tersedia waktu untuk melakukan semua itu.
Dan bila malam tiba, kabut pekat menutup jarak pandang kita, sementara angin kebekuan menyelimuti kulit tipis kita yang tak henti bergerak. Sejenak berhenti sesungguhnya hanya menambah tebal selimut kebekuan itu walaupun waktu yang sejenak itu untuk sekedar menyeruput air hangat dari tungku batu. Tak banyak yang bisa dilakukan, tak banyak pilihan selain terus bergerak keatas agar lebih cepat mendapati fajar. Ingin mata terpejam sekedar menghela nafas dan mengaturnya satu persatu agar tak saling menyusul, tapi kehendak kuat yang menggebu untuk segera tiba di puncak seolah tak bisa kompromi. Rembulan hanya mengintip di kejauhan. Sedangkan kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin, penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan mata kaki. Terkadang sering kita mendapat satu kondisi dimana tak lagi mempunyai pilihan untuk berbuat banyak, namun masih ada satu dalam dada ini yang masih kita percayai karena ianya tak pernah berdusta. Ialah mata hati dan nurani. Berhenti bukan jalan yang tepat apalagi kembali ke belakang, padahal jalan tinggal selangkah. Tanyalah pada hati, niscaya kebenaran yang kita dapat.
Dan pada akhirnya, setelah semua perjuangan, lelah, juga peluh yang hampir tak bedanya dengan embun dipucuk dahan, sebuah tanah mengering pada pijakan terakhir membuat nafas menjadi lega. Hilang semua lelah, lepas semua keputusasaan yang menghantui selama perjalanan, karena mentari pagi menyambut kehadiran kita di puncak perjalanan. Tersenyum adalah kepastian, kepuasan adalah kewajaran dikala seperti tak ada lagi jarak antara kita dengan Sang Pencipta dari puncak ini. Ingin rasanya berteriak meminta kepada-Nya, namun ditempat ini, berbisik pun Dia pasti mendengarnya, karena kita begitu dekat. Perjalanan takkan pernah berujung, namun sudah pasti ada masanya kita kan berhenti. Teruslah mendaki agar kita semakin dekat pada-Nya. Teruslah bergerak, namun jika telah sampai di puncak semua keinginan, jangan pernah lupa bahwa kita pernah dibawah, dan pasti akan kembali ke bawah. Esok atau nanti. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab

Friday, July 28, 2006

Satu Cerita Tentang Aku..


Aku adalah lelaki tengah malam. Orang-orang menjulukiku si Pangeran Brengsek. Aku dilahirkan di sebuah Desa terpencil di pedalaman pada tanggal 14-4-84. Aku anak ke 4 dari 5 bersaudara. Teman-teman biasa memanggilku Bento karena wajahku yang mirip Tommy Soeharto. Bento diambil dari kata Benih Soeharto yang disingkat menjadi Bento. Ayahku adalah seorang Serdadu yang pernah dikirim ke Timur Tengah (I), Ethiopia, Columbia, dan ke Timur Tengah (II) lagi sebagai pasukan perdamaian untuk mengendalikan Huru-Hara Hura-Hura konflik perang saudara. Ayahku bersama pasukan Indonesia lainnya tergabung dalam Kompi Rajawali. Setelah kurang lebih 6 bulan ayahku mewakili Indonesia, ayahku pulang menggunakan Tampomas, yang sempat menjatuhkan Pesawat Tempur pemberontak yang mencoba menghancurkan kapal yang ayah tumpangi.

Aku masih ingat pada waktu aku masih aNak-aNak, kira-kira aku berusia 6 tahun, ayah pernah bercerita pengalamannya selama menjadi pasukan perdamaian. Disana ia melihat bagaimana Orang-Orang Kalah begitu Gelisah oleh ulah Para Tentara pemberontak yang begitu beringas. Mereka seperti Robot Bernyawa berbuat semena-mena terhadap orang-orang kecil. Jelas sekali di sana perbedaan antara orang Besar dan Kecil. Orang-orang kecil hanya bisa melawan melalui coretan – Coretan Dinding, mencoba mengungkapkan perasaan mereka. Mereka mencoba segalanya untuk mendapatkan kedamaian mereka yang terampas, walau Mungkin itu hanyalah sebuah Mimpi Yang Terbeli, mereka tak pernah menyerah. Mereka mencoba Buktikan pada dunia bahwa mereka juga manusia Ayah bercerita bagaimana mayat – mayat berserakan bersama Puing(I) – Puing (II) bangunan yang hancur. Setiap hari terdengar suara letupan senapan yang bagi mereka bagaikan suara Sangkala malaikat maut. Setiap hari selalu dan selalu saja Ada Lagi Yang Mati. Suasana di sana begitu mencekam, mereka hidup di bungker-bungker pengungsian sehingga mereka tak lagi bias menikmati Matahari, Bulan dan Bintang. Mereka hanya bisa memanjatkan Do’a semoga suatu hari nanti mereka bisa hidup tenang penuh Cinta. Tak ada lagi perang, tak ada lagi kehancuran. Satu kalimat yang selalu terngiang di telinga ayah adalah kalimat yang diucapkan seorang anak kecil yang bersimpuh disisi mayat ayahnya “Semoga Kau Tak Tuli Tuhan”. Ucapnya sambil tangannya tengadah memohon pada Sang Khalik dan Airmata yang mengalir, yach…..Air Mata Api, airmata yang membakar hati, termasuk hati ayah.

Melihat semua itu ayah tidak tega dan akhirnya Ayah kemudian mengirimkan Surat Buat Wakil Rakyat yang pada saat itu dipimpin oleh Bung Hatta agar ia segera dipulangkan. Ayah tak tahan lagi melihat kerusakan di negeri tersebut. Sepulangnya dari misi perdamaian Ayah langsung meminta untuk pensiun dini. Setelah itu Ayah bekerja menjadi keamanan di sebuah perusahaan milik negara.

Ayah bekerja cukup lama di perusahaan milik negara tersebut. Dari zaman Orde Lama, Orde Baru, Dan Orde Paling Baru, yaitu orde dimana kekuasaan dinilai dari kekayaan, hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Di saat negeri ini dilanda moneter, ayah justru terkena PHK. Hal itu membuat ayah tak putus asa. Ayah kemudian mencoba berwiraswasta membuat barang-barang Imitasi untuk organ tubuh seperti kaki palsu, tangan palsu dan berkerja sama dengan beberapa rumah sakit. Dari rumah sakit milik pemerintah dengan Ambulance Zig-Zag hingga rumah sakit swasta dengan fasilitas yang serba modern. Akupun sering membantu ayahku membuat barang-barang tersebut.

Waktu terus berjalan, roda kehidupan terus berputar. Usaha ayah yang dulu bisa cukup dibilang sukses mengalami kemerosotan penghasilan dan akhirnya bangkrut. Ayahku yang sekarang ini sangat berbeda sekali dengan ayah yang dulu kukenal. Sekarang ini temperamen ayah mudah naik, sering berbuat kasar padaku ataupun pada ibu. Setiap malam kerjanya hanya minum dan minum. Aku tak tahan menerima itu semua. Gejolak mudaku berontak dan akhirnya aku kabur dari rumah. Aku pergi saat Adzan Subuh Masih Di Telinga dengan membawa Potret ayah dan Ibu sehingga apabila aku kangen, potret itu bisa mengobati Rindu Tebal ku.

Selama kabur dari rumah, hidupku tak tentu arah. Walau berat namun tetap Kupaksa Melangkah mengarungi hidup ini. Aku sempat kabur ke rumah Paman Doblank salah seorang saudara ayah yang sangat pandai dalam hal Politik Uang, karena pamanku ini termasuk Tikus-Tikus Kantor yang sering menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Yang penting Lancar Cukup hanya tertawa dengan Hua..Hua…Hua…dan bernyanyi Na….Na….Na, keinginan mereka pasti tercapai. Termasuk saat melobi untuk mendapatkan kontrak untuk Proyek 13. Mungkin memang Panji Demokrasi di negeri ini sudah tak bisa tegak berdiri lagi. Nampaknya jalan pintas dianggap pantas di negeri ini. Orang kaya di puja layaknya Manusia Setengah Dewa..Sedangkan orang-orang kecil hidup layaknya Nocturno, bagai binatang malam yang harus bergerilya dan sembunyi-sembunyi untuk bertahan hidup. Dirumah pamanku hanya di huni oleh dua orang saja, Paman dan pembantunya Tarmijah (Dan Problematikanya). Walau mungkin hidup seba kecukupan, namun aku tetap tak menemukan ketenangan disana. Aku merasa tidak kerasan.

Akupun pergi kerumah Nenekku Okem di daerah Ujung Aspal Pondok Gede. Disanapun aku tak betah. Foto nenek waktu masih muda saat mengenakan Kebaya Merah begitu anggun, walau nampak kusam dan membuatku selalu mengingatkanku pada ibu dan membuat Rinduku semakin menggebu. Ingin aku segera pulang kerumah, namun aku tlah berjanji untuk tidak pulang sebelum aku bisa menunjukkan pada ayahku bahwa aku bisa mandiri.

Karena bimbang akhirnya aku pergi ke rumah temanku di daerah Condet. yang seorang lopper koran. Aku ikut temanku menjajakan koran. Ada pengalaman menyenangkan saat aku menjajakan Koran-Koranku di satu Sore Tugu Pancoran. Ada seorang wanita yang memborong koranku. Tante Lisa, begitulah temanku biasa memanggil wanita itu. Wajahnya ayu, senyumnya manis, satu hal yang membuat ia berbeda adalah rasa kepedulian yang ia miliki pada anak-anak jalanan. Kepeduliannya padaku dan teman-teman menambah rasa Damai Kami Sepanjang Hari.

Awalnya dia membantu kehidupanku dengan menjadikan aku anak asuhnya, dan akan menyekolahkan aku. Sebagai syaratnya aku harus tinggal dirumahnya. Aku justru merasa senang sekali waktu itu. Pikirku, aku tak perlu lagi harus berjualan koran dibawah sengatan sinar matahari atau dinginnya guyuran air hujan. Awal aku tinggal dirumah Tante Lisa yang megah biasa saja. Tak ada kejadian aneh. Hanya satu hal yang menjadi pertanyaanku adalah, dirumah yang semengah itu ternyata tak ada pembantunya. Ya… aku hanya tinggal berdua bersama Tante Lisa. Aku sendiri sebenarnya bingung, tapi aku takut untuk menanyakannya.

Namun manusia adalah manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan sisi baik dan sisi buruknya. Begitu juga dengan Tante Lisa yang ternyata dibalik rasa kepeduliannya, Tante Lisa ingin menjadikan aku sebagai Obat Awet Muda (OAM) nya. orang-orang belajar 1910 buku bahkan lebih, ribuan Opini masyarakat, dan rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk kenikmatan yang hanya 2 Menit 10 Detik itu Ach…persetan dengan semua itu. Selama itu tak mengangguku, aku tak peduli. Yang aku mau saat ini adalah merubah hidupku untuk menjadi lebih baik. Tak peduli bagaimana caranya, walau mungkin aku harus menjadi peliharaan Tante Lisa, Lonteku. Aku memang masih Hijau untuk urusan seperti itu, namun dengan berjalannya waktu dan didikan Tante Lisa, aku kini sudah mengerti akan nikmatnya dunia Esek-Esek Uduk-Uduk itu. Aku tau ini dosa, dan aku akui ini adalah dosa yang paling nikmat. Aku tak tau Berapa lama aku harus menjalani ini. Asik Gak Asik aku harus menjalaninya. Walau mungkin aku hanya dijadikan Badut pemuas kebutuhan birahinya.

Aku disekolahkan oleh Tante Lisa di sebuah sekolah swasta. Disana aku dididik oleh Guru Oemar Bakrie yang memiliki sebuah sepeda onta yang mirip Belalang Tua dan mungkin seharusnya sekarang ini sudah menjadi Barang Antik. Ada lagi Guru Zirah yang cantik yang memiliki bodi yahud seperti salak raksasa dan tak mau dipanggil ibu, cukup dengan sebutan Nona saja katanya. Aku sempat jatuh hati padanya, dan aku minta tolong pada Teman Kawanku Punya Teman untuk membantu mempertemukan aku dengannya. Lucunya aku memberikan Kembang Pete untuk menyatakan cintaku padanya. Yach…namanya juga cinta monyet, setelah lulus kamipun berpisah karena ia harus melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Seiring Perjalanan Waktu, aku mulai jengah dengan kehidupan ini. Kehidupanku dengan tante lisa membuat aku Frustasi. Coba bayangkan, aku harus melayani tante lisa setiap saat tak peduli tempat. Bukan itu saja, aku kadang dijadikan arisan oleh tante lisa dan kawan-kawannya. Mulanya aku menikmati, namun lama-lama aku jengah dan akhirnya aku pergi dari kehidupan tante lisa.

Lepas dari tante lisa, aku kembali ke kehidupan jalanan. Dan kehidupan jalanan membawaku pada dunia baru. Dunia Orang Pinggiran, dunia yang penuh dengan Orang Gila, namun dijalanan aku menemukan sesuatu yang lain. Disini solidaritas begitu tinggi. Hal itu aku alami ketika aku berkenalan dengan seorang Berandal Malam Di Bangku Terminal. Namanya Willy. Sebenarnya willy memiliki latar belakang yang cukup baik. Dia adalah seorang Sarjana Muda. Namun kehidupan keluarganya yang broken home membuatnya menjadi seperti itu. Hidup dari satu Terminal ke terminal lain, menjadi pengamen. Walau suaranya Sumbang, ia tetap mencoba menyanyikan Lagu Pemanjat yang menjadi Doa Pengobral Dosa sebagai persembahan Untukmu Negeri.

Gelandangan, pengemis, Perempuan Malam, adalah sebuah realita penghuni yang ada di kota Jakarta ini. Mereka Ada Di Jalan, di trotoar, di bangunan-bangunan tua yang telah di Bongkar. Mereka tumbuh menjadi Bunga Trotoar yang tumbuh liar dimana-mana. Seperti Kupu-kupu Hitam Putih yang terbang bebas. Kemesraan diantara mereka begitu indah dan menarik untuk ditelusuri layaknya kisah asmara Bunga-Bunga Kumbang-Kumbang. Dari mereka aku memahami bahwa Asmara Tak Secengeng Yang Kukira, kisah mereka mereka seperti kisah Asmara dan Pancaroba. Dari mereka aku dapatkan pelajaran tentang hidup yang merupakan Jalan Panjang dan Berliku. Nada-nada Lagu Cinta mengalun dengan merdu diantara Senandung Istri Bromocorah yang mendendangkan Nyanyian Jiwa bersyairkan Puisi Hitam sebagai Senandung Lirih dari Suara Hati yang tercabik. Mereka hidup dalam sebuah komunitas Lingkaran Aku Cinta Padamu, yach…sebuah komunitas Alam Malam.

Bagi mereka, orang-orang yang duduk di bangku perwakilan adalah Badut yang dari negeri Astina yang penuh dengan Intermezo. Mereka tak peduli dengan slogan-slogan yang diberikan. Lebih baik Jangan Bicara. Mereka tak ingin janji, yang mereka inginkan adalah bukti dari apa dulu selalu mereka ucapkan. Mereka ingin agar Panji Demokrasi ditegakkan. Balada Pengangguran menjadi hiburan di hari Libur Kecil Kaum Kusam. Dimana mereka menjadi golongan Yang Terlupakan. Golongan Yang Tersendiri.

Panggilan Dari Gunung mengisyarakatkanku untuk sejenak menenangkan diri. Aku pergi dengan satu Kesaksian bahwa hidup penuh dengan resiko dan hidup mengajariku untuk meng Hadapi Saja segala aral yang merintangi. Aku pergi ke rumah kawanku Sugali yang kukenal saat sama-sama berjuang sebagai Kuli Jalan. Disana ternyata sugali menjadi pemain Kuda Lumping. Disini aku melihat bahwa kekayaan menjadi tolok ukur kekuasaan. Orang kaya di kampung dipuja dan diagungkan laksana

Disini akupun memiliki kehidupan asmara dengan Tince Sukarti Binti Machmud. Gadis cantik yang memiliki Mata Indah Bola Ping Pong seperti Mata Dewa. Ayahnya, Pak Machmud dikenal sebagai Si Tua Sais Pedati. Tapi lagi-lagi cintaku kandas di tengah jalan. Tince dipaksa menikah dengan Rentenir. Sebuah surat yang ditulisnya diberikan padaku sebagai ucapan perpisahan.

“Hallo Mas Bento, sebelumnya Tince minta maaf apabila nantinya dalam surat ini terdapat kata-kata yang tidak menyenangkan.

Tince tak tau harus bagaimana memulainya Mas, terus terang Tince sayang banget sama Mas Bento, tapi Tarmijah tak bisa melawan kehendak orang tua. Tince tak mau disebut sebagai anak yang durhaka. Tince tak bisa berbuat apa-apa. Mas tentu sudah tau kalau Tince dipaksa menikah dengan silintah darat Pak Karto karena hutang ayah yang sudah menumpuk. Aku sudah jelaskan pada kedua orang tuaku bahwa Aku Bukan Pilihan, tapi hanya aku satu-satunya orang yang bisa menolong Mas. Dan sebagai seorang anak, aku harus berbakti.

Maaf Cintaku, bila kini aku harus meninggalkanmu itu semua adalah kehendak orang tuaku. Aku hanya bisa berdoa semoga kau temukan orang yang lebih baik dariku. Apa yang pernah kita lewati bersama akan terukir dalam hatiku. Dan satu pintaku padamu, Ijinkan Aku Menyayangimu, walau mungkin hanya dalam mimpi.

Yakinlah bahwa suatu saat nanti kau akan temukan cinta sejatimu. Anggaplah ini sebagai Sesuatu Yang Tertunda dan Percayalah Kasih suatu saat nanti kau akan mendapatkan apa yang selama ini kau impikan. Jangan Tutup Dirimu untuk cinta yang lain. Apa yang terjadi Suatu Siang Di Pelataran SD akan selalu ku ingat sebagai kenangan terindah. Bagaimana bibir kita berpagutan, bagaimana tanganmu membelai hangat tubuhku, bagaimana peluh kita menyatu, semua itu tak akan pernah kulupakan. Mungkin semua Sudah Berlalu, namun semua itu tak akan terlupa. Aku akan ingat hari-hari yang telah kita lalui bersama, terutama 3 hari spesial yang kita lalui.

15 Juli 1996, hari itu kau sangat mengharapkan kedatanganku untuk berbagi cerita, berbagi rasa. Malam itu, sehabis hujan kita saling bicara dan berbagi rasa ditemani bulan dan bintang. Kau ceritakan kisah Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu. Di tepi pantai kau dendangkan lagu untuk alam. Tentang karang yang tak lagi kokoh, tentang jala nelayan tua yang tak kuat lagi, tentang camar yang tak riuh lagi, tentang daun kelapa yang tak lagi nyiur, dan Tak Biru Lautku. Kudengarkan Nyanyianmu itu dan kurasakan kekecewaanmu pada tangan-tangan jahil manusia tak berakal yang membuat Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi. Ditepian hati kau dendangkan tembang jeritan bathinmu. Kau kisahkan tentang apa yang kau rasakan. Kau hanya mencoba mencari pembuktian bahwa Di Balik Bening Mata Air Tak Ada Air Mata.

Lalu tanggal 16 Juli 1996, hari itu aku semakin memahami siapa dirimu. Terasa damai saat aku disisimu. Hatiku tergetar melihat senyummu yang lembut, rambut gondrongmu kau biarkan tergerai. Tatap matamu begitu bening. Berdua kita susuri tepian pantai berpayungkan mega kelabu. Kembali Kau dendangkan lagu pengungkap rindu. Airmatamu tergerai. Suaramu begitu parau ditelingaku. Namun aku singkirkan pikiran buruk itu. Aku tak tau bagaimana, namun yang pasti aku begitu tenang disisimu. Kau buat aku merdeka dengan buaianmu., dan dengan lembut kau kecup keningku. Dan aku akan menemanimu tanpa bosan tuk bertahan dalam kerasnya gelombang.

Dan tanggal 17 Juli 1996. Waktu itu hari sudah sore. Kita harus berpisah. Namun sebelum berpisah, sekali lagi kita membuktikan cinta kita. Deru ombak yang menghantam karang, kicau burung camar yang terbang rendah melayang, daun-daun kelapa yang nyiur melambai, menjadi saksi bersatunya peluh kita. Desah nafas yang memburu, dan jeritan-jeritan kecilku menahan nikmat yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Sungguh nikmat yang sangat luar biasa. Bibirmu lembut memagut bibirku. Lidahmu begitu lincah menari di langit-langit mulutku, membuat lidahku tak tahan untuk segera menemani lidahmu berdansa diantara bibir kita. Tanganmu yang kekar terasa begitu lembut dan dengan gemulai mengelus, mengusap dan membelai setiap mili tubuhku.Tak ada yang terlewatkan sedikitpun. Kau membuat merasa di Awang-Awang.

Sepertinya aku terlalu banyak bercerita Mas, mungkin cukup sampai disini aku ungkapkan apa yang aku rasakan. Dan Sebelum Kau Bosan membaca tulisanku ini, mungkin aku sudahi saja sampai disini. Selamat Tidur Sayang, selamat berpisah. Bila kau pernah mengucapkan bahwa cinta sejati tak terlupakan aku berharap Semoga Kau Benar.

Oh Ya, satu hal lagi Mas, novel “Diantara 2 Hati” yang mas miliki saat ini ada padaku. Buku Ini Aku Pinjam dulu, kalo boleh sich buat aku. Anggaplah ini sebagai kenang-kenangan yach.”

Hatiku Ancur membaca surat Tince, namun aku sendiri tak bisa memaksakan kehendakku. Aku tak tau harus berbuat apa. Hatiku hancur dan surat itu aku jadikan pelampiasan emosiku yang sudah tak terbendung lagi. Aku robek-robek surat itu dan kemudian aku Bakar.

Menunggug Ditimbang Malah Muntah. Kedamaian yang kuharapkan, namun justru luka yang teramat dalam yang kudapatkan. Di Jakarta aku kembali hidup di jalan dan kutemukan komunitas baru bersama Galang Rambu Anarki dan Cikal yang bernasib sama denganku. Kunamakan komunitas itu dengan nama Gabungan Anak Liar Gara-Gara Orang Tua Liar atau disingkat Gali Gongli bersama dengan Sugali.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Satu-Satu sahabatku pergi dan tak kembali. Dan waktupun memaksaku tuk berpisah dengan kedua sahabatku, Galang dan Cikal. Aku Antarkan mereka ke stasiun Gambir untuk kembali pulang ke rumah mereka. Aku tak tau Kereta Tiba Pukul Berapa? Tapi yang jelas aku sangat mengharapkan kereta datang lebih awal agar mereka tertinggal. Karena aku belum siap untuk berpisah dengan mereka. Begitu banyak hal telah kami lalui bersama mengarungi samudra kehidupan ini. Entah kapan kami akan bertemu lagi, namun satu hal yang pasti Engkau Sahabatku Tetap Sahabatku.

Tak terasa sewindu sudah lamanya aku meninggalkan rumah. Aku tak tau bagaimana keadaan ayah, ibu, dan sepeda motor tuaku yang kutinggalkan saat aku kabur. Aku rindu mereka, aku rindu pada masa-masa membantu ayah berwiraswasta, aku rindu pada masakan lezat ibu dan belaian kasih sayangnya. Dan tentu saja teman kecilku si Joni Kesiangan. Juga Kisah Sepeda Motorku yang menemaniku menjadi Sang Petualang jalanan sewaktu masih membantu usaha ayah dulu yang membuatku ingin segera pulang.

Yach…tak sabar lagi aku untuk bersimpuh di kaki ayah dan ibu. Akan kujadikan pengalaman berharga ini sebagai guru terbaikku. Kutuangkan semua pengalaman yang aku dapat dalam sebuah buku harian dan akan kujadikan dongeng sebelum tidur untuk cucuku nanti. Itupun bila diberikan kesempatan untuk dapat merasakan usia senja. Karena hingga kini Ku Menanti Seorang Kekasih yang bisa menggantikan posisi Tince dihatiku. Satu hal yang aku dapat dari perjalananku selama ini. Bahwa sesungguhnya kehidupan manusia itu tak akan akan berubah bila manusia itu tak bertindak. Untuk itu Jangan Bicara saja, tapi berbuatlah, bertindaklah, bergeraklah.

Semua ini bagai sebuah Intermezo. Cerita kehidupanku yang Belum Ada Judul ini belum berakhir, hingga saat tulisan ini dibuat. Namun satu hal yang ada dihatiku saat ini aku hanya ingin bersimpuh di kaki ayahku dan ingin kurasakan lembut jari ibu membuaiku manja. Ayah….Ibu… maafkan anakmu ini bila selama ini belum bisa membahagiakanmu, dan aku menyadari sampai kapanpun aku tak akan bisa membalas jasa kalian. Dan sebagai rasa syukurku atas berkumpulnya kembali aku dan keluarga, aku mengadakan Sunatan Massal bagi anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Wassalam

Joe Sorjan


.

Monday, July 24, 2006

Doa Sebelum Tidur

DOA SEBELUM TIDUR

Atas nama kekuatan sunyi, sebelum tidur abadi-illahi
Inilah doa detak jantung semutku yang merana.

Kepada yang menguasai malam dan cahaya bulan
Tampakkan kepadaku jalan menuju pelita
Agar aku dapat mendekatkan diri dengan cahaya
Sebelum penempuhan berikutnya lebih terjal
Dari sekedar batu puisi yang bermimpi
Jadi kerikil-kerikil nyata menghardik sandal
Dan mencemooh sepatu

Kepada yang menguasai kehidupan dan kematian
Hidupkan aku dalam nafas cintaMu
Sebelum tangkai kematian menjentikkan bangkaiku
Ke tempat buruk tiada harga
Aku ingin sebagaimana doa mengantarkan diriku
Ke cerlang kebaikan di puncak bukit rindu

Kepada yang menguasai segala yang dipertuan di planet bumi
Jangan aku beri sedikitpun keculasan
Yang sanggup menghancurkan tatanan dan tanaman
Harapku di kekhusukan bunga yang menghamba
Aku ingin tetap mekar sebagaimana puisi
Yang kutulis dengan sepenuh lakon manusia
Makhluk tak kuasa dihadapan segala tahta

Kepada yang menguasai segala tamparan dan pujian
Jangan paksa aku palingkan wajah dari arah cahaya
Lantaran aku karib dengan kegelapan
Teguhkanlah nyawaku dalam satu garis pandang dengan siluet-Mu
Di ketersenyuman semesta bunga dzikir dan ibadah air di ricik darah nadiku

Kepada sang pemilik pelita dari segala pelita
Dekatkan cahaya-Mu
Aku ingin menerangi mimpi meski dalam dengkur
Dan igau tentang hidup yang keras menjelang mautku

Joe Sorjan

hanya sementara

HANYA SEMENTARA…

Setelah khusyuk berdoa, pria tua itu menceritakan tentang masa lalunya…

“ Dulu aku adalah seorang pemabuk, dua atau tiga guci tidaklah cukup bagiku. Aku juga sering melacur, dua kali sepekan aku pergi ke lokalisasi. Seorang, dua, atau bahkan tiga wanita sekaligus kupesan.”

“Oh… betapa bergairahnya saat itu, dan…..dulu aku juga seorang penjudi, kelihaianku menjadikanku kaya raya. Semuanya kuhabiskan untuk berfoya-foya.”

“Oh… betapa nikmatnya dunia ini. Hingga suatu ketika…..Aku menghentikan semuanya.”

“Mengapa Anda berhenti?” tanyaku.

“Karena aku ketagihan,” jawabnya dengan mantap.

“Apa maksud Anda?” tanya seorang temanku.

“Aku benar-benar menyukai semua kesenangan itu, sehingga aku ingin menikmatinya sepanjang masa. Adapun caranya, pernah ku baca dalam sebuah buku tua. Bahwa aku, sementara waktu di dunia ini saja. Hanya sementara waktu di dunia ini saja. Harus mengganti semua kesenangan itu dengan amal shaleh. Dan, pasti kesenangan yang abadi akan kudapat kelak dihari kemudian, untuk selama-lamanya.”

Sambil berdiri dan bersiap melanjutkan perjalanannya, pria tua itu berkata :

“Adakalanya lembah maksiat merupakan jalan menuju keshalehan, namun tak perlu dan jangan mencoba melaluinya untuk menjadi orang yang shaleh.”

wassalam
Joe Sorjan

sandal jepit dan peci

Suatu malam, saat semua penghuni rumah sudah terlelap. Sandal jepit yang berada di luar rumah menggigil kedinginan. Tak pernah sekalipun ia diajak masuk oleh si empunya. Dengan tubuh kotor penuh debu, kadang lumpur, ia selalu dibiarkan tergeletak di depan. Rupanya, keluhan itu sempat di dengar oleh Peci yang tergantung di paku di dinding ruang tamu. Melihat rekannya yang berada diluar, Peci hanya tersenyum penuh kemenangan dan pura-pura tertidur tak mempedulikan Sandal Jepit yang mulai menangis.

Dalam batinnya, Sandal berkata, sungguh enak menjadi Peci. Ia selalu ditempatkan diatas, dipakai atau tidak, tak pernah ia berada dibawah. Lain halnya dengan dirinya, dipakai terinjak-injak, tak dipakai tetap tersingkir di pojokkan, ditanah atau dilantai dingin. Setiap kali hendak digunakan, tuan pemilik selalu membersihkan Peci, tak satupun debu dibiarkan hinggap, dan sepulang diajak pergi, kembali dibersihkan dan diletakkan kembali ke tempat yang lebih terhormat, jika tidak diatas lemari, didalam lemari, diatas buffet, paling rendah tergantung di dinding. Berbeda dengan nasib Sandal Jepit, dipakai tak pernah dibersihkan, sepulangnya semakin tak dipedulikan sekotor apapun, mulai dari debu, sampai kotoran dengan aroma bau yang tak sedap.

Kalaupun diajak pergi, Sandal tak pernah ke tempat yang bersih, ke pasar, ke kebun, lapangan, atau ke toilet. Jelas saja, tuan pemilik akan lebih memilih sepatu atau sendal kulit untuk ke Mall, ke pesta, atau ke tempat-tempat yang memang bukan tempatnya Sandal berada disana. Tapi, Sandal juga dipakai jika tuan pemilik hendak ke Masjid. Entah ini penghormatan atau sebaliknya buat Sandal Jepit karena jika nanti di Masjid ia harus berpindah kaki dengan orang lain alias hilang, toh tuan pemilik hanya berpikir, ”Untung cuma Sandal Jepit”. Sedangkan Peci, selalu dipakai ke tempat kondangan, bahkan para pemimpin negeri, pejabat-pejabat penting negara ini wajib menggunakan Peci saat pelantikan dan acara-acara resmi, acara kehormatan kenegaraan.

Peci hampir tak pernah dipinjamkan kepada tuan yang lain, karena biasanya masing-masing sudah memiliki. Tapi Sandal, sekalipun ada beberapa, tak pernah ia diberikan kehormatan untuk mengabdi pada satu tuannya saja. Ia bisa dipakai tuan istri, tuan anak, atau juga pembantu. Tidak jarang, ia dipinjamkan juga ke tetangga, atau teman tuan anak. Kalaupun usang dan berubah warna, Peci biasanya tak pernah dibuang. Disimpan dalam kardus di gudang dengan rapih, atau paling mungkin diberikan kepada anak-anak yatim atau siapa saja yang membutuhkannya. Intinya, masih bernilai paskaguna. Sandal Jepit? Jelek sedikit diganti, apalagi kalau sudah putus talinya, tidak ada tempat yang paling pas kecuali tong sampah. Terkadang, ia juga harus merasakan kepedihan jika tubuhnya harus dipotong-potong untuk pengganti rem blong, atau dibuat ban mobil-mobilan mainan anak-anak.

Tapi Sandal tetap menyadari status dan perannya sebagai Sandal yang akan selalu terinjak-injak, kotor, dan tak pernah diatas. Sandal tak pernah iri dengan peran peci. Terlebih saat tuan pemilik berhadapan dengan Tuhannya, dan ditanya; “Mana dari dua barang milikmu yang paling sering kau gunakan, paling bermanfaat, Sandal Jepit atau Peci, yang akan kau bawa bersamamu ke surga?” Dengan mantap tuan pemilik menyebut Sandal Jepit jauh lebih memberikan manfaat baginya.

***

Saudaraku, tak penting apa status, peran dan fungsi Anda di dunia ini, karena Allah, Rasul dan manusia beriman tak melihat Anda dari pakaian yang dikenakan, jabatan yang tersemat, dan kehormatan yang disandang, tapi seberapa bermanfaatnya Anda bagi orang lain dengan status dan peran Anda tersebut. Jika demikian, bukan hal penting untuk mempertanyakan status dan jabatan penting apa yang akan kita sandang saat ini dan nanti, tetapi terpenting adalah mempertanyakan, seberapa bisa kita berbuat baik dan bermanfaat bagi banyak orang. Wallahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu Gautama)

satu cerita tentang TITIPAN

TITIPAN

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini
hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan
Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagai
ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk
melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin
lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih
banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika : aku rajin
beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap
menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak
sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

(WS Rendra).

Friday, July 21, 2006

satu hari tuk seumur hidup

Pagi itu mentari nampak bersahabat dengan kehangatan sinarnya yang terpancar, sehangat jiwa ini yang sedang berjalan bergandengan dengan ”kekasih harapan” di antara kerumunan orang yang sibuk menjajakan buku-buku bekas. Yach... pagi itu gw lagi jalan sama Adhe, gadis yang selalu merasuk kedalam khayalan gw, yang selalu menghiasi mimpi malam gw, yang hampir selalu terpanjat di setiap doa gw. Gadis yang memiliki senyum menawan dihiasi lesung pipit di kedua pipinya yang menambah manis setiap kali bibir tipisnya yang merah, basah, merekah menyunggingkan senyuman.

”ayo neng, liat-liat aja dulu” kata penjual buku ketika aku dan dia sejenak berhenti di depan lapaknya yang terbuat dari papan dilapisi plastik terpal. Dengan ukuran kurang lebih 2 x 3 m, lapak itu cukup luas untuk menumpuk berbagai jenis bacaan. Mulai dari majalah – majalah bekas, buku-buku pelajaran, kamus beberapa bahasa, sampai buku untuk mahasiswa menyusun tesis atau tugas akhirnya tersedia disitu. Dan kulihat Adhe nampak tertarik dengan sebuah buku novel bersampul merah dengan cover seorang gadis membelakangi 2 orang pemuda. Kalo gak salah judul novel itu ”Diantara 2 hati”. Adhe langsung mengambil dan membaca beberapa halaman, dan beberapa menit kemudian membaca resensi novel yang ada di bagian belakang.

”Berapa nich bang?” tanya Adhe

”20 ribu aja neng” jawab si Abang sambil sibuk mengelap buku-buku yang agak kotor oleh debu jalanan.

”Ceban ya Bang” tawarku. ”Aduh kurang Bang, tambahinlah. Buat penglaris nich” jawab si Abang menjawab tawaranku.

”Berapa donk pasnya?” tanyaku. ”Ya udah dech,ma belas aja” jawabnya sambil masih terus sibuk mennyusun buku-buku dagangannya.

”Kamu mau Dhe?” tanyaku pada Adhe, dan kulihat dia agak bimbang. ”Ya udah Bang, saya ambil satu nih” kataku pada penjual buku itu sambil memberikan uang pecahan 20 ribu. ”Gak usah dibungkus dech Bang, mau langsung kamu baca ’kan Dhe?” tanyaku ke Adhe.

”Iya, makasih yach Bang” kataku sembari melanjutkan perjalanan menyusuri pinggiran jalan setelah menerima kembalian dari si Abang penjual buku.

Tak terasa waktu cepat bergulir dan sayu terdengar suara adzan bergema diantara deru mesin kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ku ajak Adhe untuk sholat Dzuhur dulu, dan setelah itu kuputuskan untuk mengajaknya makan siang di sebuah Warung tenda. Sambil menunggu makanan dihidangkan kami ngobrol ngalor – ngidul, gak tentu. Dan sesekali senyumnya tersungging mendengar ceritaku yang sedikit konyol. Dan saat itu pula aku menyadari bahwa Adhe memang memiliki senyum yang bisa membuat laki-laki sebengis apapun luluh. Senyum yang manis berhias lesung pipit dikedua pipinya. Saat itu pula kurasakan sesak didada ini menyadari posisiku dengannya. Yach.... sampai kapanpun aku tak akan dapat memilikinya karena hatinya telah terikat pada satu hati yang lain.

Namun kucoba untuk tetap tampak biasa tanpa ada apa-apa didepannya. Karena aku sendiri telah bertekad untuk dapat selalu membuatnya tersenyum. Saat ini aku hanya ingin tetap bersamanya, yach... walau hanya mungkin untuk beberapa jam saja. Tapi yang jelas sudah lama aku memimpikan saat – saat seperti ini. Menghabiskan waktu bersamanya, walau mungkin hanya untuk satu hari saja.

”Silahkan mas” ucapan pelayan warteg membuyarkan lamunanku. Sambil menikmati hidangan aku bertanya ”Enaknya habis ini kemana yach Dhe?”

”Terserah deh Mas, enaknya kemana?” ucap Adhe balik bertanya padaku.

”Ke Taman Mini mau gak?” Tawarku

”Boleh” Katanya sambil menyedot es teh manisnya.

Kamipun melanjutkan melanjutkan petualangan hari itu setelah sejenak beristirahat sambil menghabiskan sebatang rokok yang menjadi syarat wajib bagiku setelah makan.

Tak terasa waktu begitu cepat bergulir. Di Taman Mini kami tak menghabiskan banyak waktu karena aku masih memiliki satu tempat lagi untuk menghabiskan hari itu dengan seseorang yang telah mengguncang hidupku. Di sana kami hanya berwisata menggunakan perahu bebek.

”Say, sebenernye gw ngajak loe kesini karena gw pengen keliling Indonesia sama orang yang gw sayang, tapi gw gak punya cukup uang, yach gw ajak loe kesini aja, sama-sama keliling Indonesia kan. Cuma ini dalam skala kecil aja” kataku sambil tersenyum kecil dan dia tertawa lepas mendengar ucapanku itu.

”Duh say, loe kalo mo romantis jangan tanggung-tanggung donk. Tapi... bener juga sich. Itung-itung menghemat biaya dan waktu” jawabnya sambil tersenyum.

”Abis ini kita ke Ancol yuk, katanya loe pengen kesono?”

”Iya, tapi apa gak kesorean?”

”Gak lah, masih bisa kekejar kok kalo cuma buat liat sunset aja. Ya udah yuk minggir, kita langsung aja” kataku ”Ayo” jawabnya.

Dan kamipun melanjutkan perjalanan menuju tempat terakhir yang menjadi keinginan yang sempat tertunda.

Sesampainya disana kami langsung menuju pantai dan duduk santai memandang lepas ombak yang menari sambil menikmati es kelapa muda. Kebetulan di tempat itu ada gitar milik salah seorang penyewa ban dalam untuk berenang.

”Bang, boleh pinjem gitarnye gak? Gw pake disini kok Bang” tanyaku

”Boleh Bang, ambil aja” jawabnya ”Makasih nich Bang sebelumnya.

”Say, gw mo nyanyi, tapi kalo suara fals gw ngelebihin fals Bang Iwan jangan diketawain yach” candaku pada Adhe.

Di atas pasir senja pantai kuta
Saat kau rebah di bahu kiriku
Helai rambutmu halangi khusukku
Nikmati ramah mentari yang pulang

Seperti mata dewa 3x

Aku berdiri tinggalkan dirimu
Waktu sinarnya jatuh di jiwaku
Gemuruh ombak sadarkan sombongku
Ajaklah aku wahai sang perkasa

Seperti mata dewa 4x

Yang menangis tinggalkan diriku }
Yang menangis lupakanlah aku } 2x
Senja di hati

Lidah gelombang jilati batinku
Belaian karang sampai ke jantungku
Hingga matahari ajak aku pergi
Kasihku tulus setulus indahmu

Seperti mata dewa 4x

Yang menangis tinggalkan diriku }
Yang menangis lupakanlah aku } 2x
Senja di hati

Tak terasa lagu itu begitu dalam saat ini. Dan perlahan kulihat bening air mata mengalir membasahi kedua mata ini. Aku lupa kalau saat itu ada Adhe disampingku, aku lupa saat itu waktu tepat senja hari. Aku lupa saat itu angin begitu hangat membelai tubuhku. Aku hanya ingat saat itu lagu ini benar-benar menyentuhku. Aku hanya ingin bernyanyi dan terus bernyanyi.

Dan tak terasa pula hari telah malam. Matahari kini beristirahat dan digantikan rembulan yang nampak redup.

”Seperti itulah kita Dhe, aku ini ibaratkan matahari dan kau adalah rembulan. Walaupun kita tak terpisahkan, kita tak bisa bersatu. Terkadang aku ingin menjadi bintang tuk menemanimu, namun ternyata telah begitu banyak...., berjuta bintang telah hadir menemanimu menerangi malam. Atau ketika suatu waktu aku berharap kau menjadi pelangi yang menemani mentari bersinar, tapi aku kemudian tersadar bahwa tak selamanya pelangi hadir menemani mentari bersinar. Ia hanya datang seusai hujan, bahkan itupun jarang” ucapku lirih sambil menatap kosong kelaut lepas. ”Aku sadari semua ini tak akan pernah terulang, dan ijinkanlah aku mengecup keningmu untuk satu kali ini saja”

Wednesday, July 19, 2006

Satu Cerita Tentang Usia

Duhai Usia...........

Duhai usia
kamu selalu berkurang
kamu makin mendekati
memperpendek perjumpaan
pada segala kesemuan

Duhai usia
kau kabar gembira
bagi jiwa perindu
penggenggam semburat cahaya
yang dibiasi kilatan AuraNYA

Tapi aku....?
aku beringsut menyendiri disini
diantara seok-seok luka
dan perih robek lipatan waktu
dikolong dipanku

aku gamang dalam siluet bayangku
mungkinkah bila waktu menghadapku tiba
aku bisa bagai jiwa perindu yang mempesona
setiap celah jiwa
bagai para sahabat-sahabat mulia pendamping baginda
sitampan ayahanda fatimah yang mulia

ahh....terlalu jauh rasanya

duhai usia
setidaknya kau sisakan senyum hangat
padaku diujung hari ini

setidaknya kau sisakan seorang sahabat
tuk bersama melabuhi gurat pena
agar berbuncah binar-binar cahayaNYA

duh Gusti
bila masih kupunya senja merona jingga
ijinkan aku sebut indah AsmaMU diujung nadiku

taken from milist

wassalam
Joe Sorjan

Tuesday, July 18, 2006

Satu Cerita di Kereta Jabodetabek


Seperti biasa… penumpang mulai gundah gulana gelisah menunggu kereta….

Bulan September 2005… sebuah ketidakbiasaan yang menyenangkan, sore ini ada 2 kereta balik dari Manggarai pada waktu bersamaan. Kereta balik pertama dari bogor yang masuk di jalur 5 adalah kereta balik yang rutin ada setiap hari, dan dijadwalkan berangkat dari Manggarai jam 6. Saya tidak naik kereta balik itu karena ingin cepat berangkat. Jadi saya menunggu KRL dari kota yang walaupun jauh lebih padat, tapi lebih cepat berangkatnya...

Tapi ternyata ada kereta balik satu lagi dari dipo (bengkel kereta) yang masuk di jalur 6. Kereta balik yang ini kosong melompong, sehingga langsung diserbu penumpang yang ga kebagian duduk di kereta balik pertama. Semua orang lantas bertanya-tanya, kereta mana yang berangkat duluan?? Petugas stasiun tidak memberi pengumuman, sepertinya dia juga bingung.

Otak saya langsung menganalisis... Kereta jalur 5 jadwal berangkat biasanya jam 6. Artinya, ga ada lagi kereta yang bakal ngelewatin jalur itu sampai jam 6. Jadi mestinya, kereta balik itu emang berangkat jam 6. Nah, jalur 6 itu jalurnya KRL ekonomi dari kota dan KRL ekspres. 5 menit lagi, mestinya ada KRL ekonomi dari kota. Jadi harusnya, dalam 5 menit kedepan, kereta di jalur 6 harus udah bersih! Maka saya naik kereta di Jalur 6

Dan benar... tanpa tedeng aling2, tanpa pengumuman lebih dulu... kereta di jalur 6 bergerak dengan diiringi tawa-tawa sinis dan teriakan bernada mengejek dari penumpang yang bergelantungan di pintu ke penumpang kereta di jalur 5. Tentu disertai juga dengan keluh kesah dari penumpang kereta di jalur 5...



Selepas Tebet, ternyata tidak terlalu penuh... yang berdiri cuma satu baris setengah. Lorong yang tersisa cukup untuk lewat tukang tahu, minuman ringan, dan pengamen kereta.

Sayup-sayup terdengar alunan musik lembut tapi beat-nya cukup menghentak seakan tak mau kehilangan aura lagunya yang ceria... ”Surat Cinta” milik Vina Panduwinata... dimainkan dengan aransemen jazz lembut instrumentalis. Terdengar melodinya dimainkan dengan sebuah biola. Meskipun grup pengamen itu masih di gerbong sebelah, tapi alunan musiknya sudah cukup untuk membuat orang2 di sekitar saya bersenandung kecil mengikuti melodi...

Saat ini memang cukup banyak grup pengamen yang beralat musik lengkap, baik bikinan sendiri maupun alat bekas yang masih cukup layak pakai. Biasanya terdiri dari perkusi minimalis buatan sendiri, lengkap dengan tambur dan simbalnya, satu bas betot, satu atau dua gitar, dan satu keyboard. Ini formasi standar grup2 pengamen orkes yang jumlahnya mulai menyaingi para pengamen tuna netra yang berkaraoke atau beralatkan gitar, dan pengamen ”apa adanya” yang lebih mengandalkan rasa kesal penumpang sehingga memberi supaya mereka cepat pergi dibanding suara mereka atau musik untuk menghibur.

Grup pengamen dari gerbong sebelah, dengan sedikit perjuangan, akhirnya tiba di gerbong saya, dan berhenti tepat di belakang saya. Para personilnya nampak sudah cukup berumur... berusia matang. Nampaknya melodi yang biasa dibawakan dengan vokal oleh mereka digantikan dengan biola, menjadikan musik yang murni instrumentalis... satu karakter yang cukup jarang di kalangan pengamen kereta.


Perkusi mulai menabuh.. bas betot mulai bermain, dan kocokan gitar diluar standar mulai mengalun. Sebuah intro yang tidak biasa, membuat semua orang sulit untuk menerka lagu apa yang dibawakan oleh grup ini. Sebuah jazz ringan dengan aransemen yang baru saya dengar. Tetapi ketika biola mulai digesek, melodi mulai mengalun dan misteri perlahan mulai terkuak. Lagu ini... terasa sangat akrab di telinga... seperti lagu yang sudah pernah didengar oleh semua orang tetapi tersimpan dalam memorinya masing2.

Sesaat saya memperhatikan orang-orang disekitar saya...

Mereka yang tadinya tidur, atau pura2 tidur mulai terbangun memperhatikan orkes didepan mereka. Kaki mereka mulai mengetuk-ngetuk lantai mengikuti irama. Orang-orang mulai tersenyum, sebagian sambil memperhatikan orkes, dan sebagian sambil memejamkan mata. Tapi semua orang jelas mengikuti irama, entah dengan bergoyang ringan, atau mengetuk-ngetuk batangan besi tempat mereka berpegangan, atau mengetuk lantai tempat berpijak... Semua seperti... terhipnotis... dalam kenyamanan.

Penat... lelah... panas bercampur keringat... adalah beban sehari-hari yang dengan tabah dijalani orang-orang kereta. Tapi kali ini, semua tersiram ketentraman dari alunan musik yang diperdengarkan oleh orkes tersebut...

Alunan biola mulai diikuti gumaman orang-orang yang mulai mengenali lagu yang dibawakan.

Nanananaaa... nana.. dam dam dam dam... dadadam... Andai saya bisa menyanyikannya melodi itu dalam untaian kata ini, akan saya lakukan.


Sepasang suami istri yang sebelumnya duduk tiba-tiba berdiri, tersenyum, lalu berdansa ringan di sebelah saya tanpa sungkan, dengan diiringi pandangan mata dan senyum ikhlas tanda mengerti dari orang-orang disekitar kami. Beberapa pasang suami istri lain kemudian melakukan hal serupa. Berdansa dalam ruang yang terbatas, tapi mereka terlihat menikmatinya...

Mata mereka terpejam, kemudian sebagian besar dari kami pun memejamkan mata. Sesaat kami melupakan bahwa kami sedang berada dalam gerbong panas kereta ekonomi. Imajinasi kami membawa kami pada lantai dansa di klub-klub papan atas jakarta pada tahun 80-an dan awal 90-an, ketika lagu ini sedang jaya-jayanya. Lampu-lampu kereta seakan menjadi lampu klub yang lembut, dinding-dinding gerbong seakan berganti menjadi dinding-dinding yang dihiasi lukisan-lukisan indah, orkes pengamen nampak seperti kelompok orkestra ternama dengan pakaian kebesaran mereka, dan baju-baju lusuh para penumpang nampak seperti setelan jas dan pakaian perlente yang rapih bersih, dan para penonton duduk dibelakang meja-meja bundar sambil mengobrol dengan ditemani secangkir kopi manis, mengamati pasangan-pasangan yang turun di lantai dansa.

Sejenak, kami lupakan segala penat dan kekejaman kereta... mencoba kembali menjadi manusia.


Ya...inilah kereta, tempat dimana kemanusiaan kerap dipertanyakan, tapi terkadang muncul dengan segenap kebesarannya yang mengagumkan... Tempat yang menyimpan banyak tawa dan tangis, kemarahan dan kesabaran, kesombongan dan kerendahan hati. Tempat yang begitu melegenda dan telah menciptakan dunianya sendiri, terlepas dari dunia dan realitas sosial yang berkecamuk diluarnya. Inilah tempat dimana orang bisa melupakan intrik politik dan olah kata pejabat negara yang tidak kunjung membuat bangsa ini lebih bermartabat, sebuah tempat dimana orang bisa mencampakkan semua artikel atau semua omong kosong mengenai kemiskinan, melupakan semua orang yang mengaku peduli terhadap orang miskin agar bisa tetap kaya, sebuah tempat dimana orang-orangnya belajar untuk memutuskan kapan harus melembutkan hati, dan kapan harus mengeraskannya.

Kereta ini memang tak lepas dari berbagai legenda mengenai kemiskinan dan perjuangan. Legenda mengenai tukang2 sayur dari sukabumi yang naik kereta nambo dari sukabumi jam 4 pagi lalu disambung dengan kereta ini untuk berjualan di jakarta, legenda mengenai copet-copet dan orang-orang yang mati saat berusaha mengejar copet, legenda mengenai seorang bapak yang membagi-bagikan aqua dan seorang pedagang jeruk yang membagi-bagikan jeruknya pada saat berbuka puasa di suatu hari pada bulan Ramadhan, legenda para pedagang, legenda anak-anak gerbong, legenda para pengemis, legenda para pengamen, dan legenda mengenai seorang bapak tua yang membopong mayat anak perempuannya didalam kereta sore yang padat dari Manggarai untuk dibawa ke Bogor karena tidak ada uang untuk dimakamkan di jakarta, dan tidak ada uang untuk membawa mayat itu ke bogor, kecuali dengan kereta, tanpa membeli karcis... Dan bahkan semua itu hanya sebuah keseharian yang rutin bagi orang-orang kereta...


Sekejap lamunan saya berlalu, dan saya kembali menemukan diri saya tengah berada di dalam gerbong dengan iringan musik yang membuat semua orang seolah melupakan segala legenda, dan larut dalam mimpi yang indah.

Ketika lagu itu mencapai reffrainnya, tanpa sadar semua orang bersenandung bersamaan... “apapun yang terjadi... kuingin slalu dekat disampingmu...”

Semua saling berpandangan, lalu gelak tawa terlepas seketika... Semua orang sadar bahwa mereka telah terhipnotis, dan membiarkan diri mereka menikmatinya. Lagu lawas dari Vina Panduwinata. Mungkin akan lebih lengkap apabila sang artis sendiri hadir untuk menyanyikannya, meskipun dengan aransemen seperti ini, saya rasa suara Iga Mawarni akan lebih pas untuk memperkuat aksen jazz-nya.

Selang beberapa lama mimpi itu berjalan, orkes tadi mengakhiri konsernya dengan diiringi tepuk tangan dari kami. Pasangan-pasangan yang tadi berdansa kemudian mengambil posisi semula dengan aura keceriaan yang kini terpampang di wajah mereka, menggantikan kepenatan. Orkes instrumentalis itu kemudian memainkan lagu lain... sebuah lagu country, “Country Road”, yang masih membius beberapa orang untuk mengikuti irama dan sesekali terdengar menyanyikan liriknya.

Setelah selesai, orang-orang mulai memberikan uang tanpa mereka perlu meminta paksa. 1000, 500, 2000, dan yang tidak memberi, tidak mengapa. Sang orkes tetap tersenyum. Ada 2 tipe pengamen di kereta. Yang pertama adalah yang memang hanya menginginkan uang, sehingga ia tidak peduli dengan musik yang dimainkannya, atau kadang2 malah memang terkesan disengaja untuk membuat orang kesal sehingga terpaksa memberi agar si pengamen cepat pergi. Siasat lain adalah agar orang memberi dengan landasan iba... Sementara tipe kedua adalah mereka yang selalu tersenyum diberi atau tidak diberi, dan tidak membangunkan orang yang sedang tidur untuk menagih uang setelah mereka mengamen. Tipe kedua ini biasanya memainkan musik dengan sangat baik, dan sepertinya memang berkomitmen dalam profesi mereka. Sepertinya misi utama mereka memang untuk menghadirkan hiburan bagi para penumpang. Orkes ini adalah pengamen tipe kedua. Uniknya, ketika beberapa orang kemudian menanyakan apakah mereka bisa diundang untuk mengisi acara2 walimahan atau sebagainya, mereka kemudian memberi kartu nama pada orang-orang sampai kartu nama mereka habis (karena yang meminta cukup banyak).


Tanpa terasa, kereta memasuki Depok Baru, kemudian bergegas menuju Bogor.

Orkes tadi telah pergi ke gerbong sebelah, melanjutkan misi mereka, mengganti kepenatan para penumpang dengan aura kenyamanan dan kebahagiaan.

Suatu hari di bulan September... senandung lagu tadi masih terus saya gumamkan selepas saya turun dari kereta malam itu... kuingin slalu dekat disampingmu...