Friday, September 29, 2006

Satu cerita tentang Pemuda bernama Joe

Pertama-tama, ini adalah serial tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita tentang Joe, seorang pria yang menjalani masa remaja, menembus gerbang keperjakaannya, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada babak awal cerita, Pembaca dapat menyimak kisah-kisah pubertasnya. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk. Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik.
Joe tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan dengan seksama. Kita letakkan di lipatan-lipatan yang tak mudah ditemukan, agar tak menjadi keseronokan yang tidak sopan. Halaman-halaman berikut ini bermaksud mengungkap kelumrahan itu tanpa tergelincir menjadi keseronokan. Entah apakah maksud itu tercapai, Pembaca jua lah yang menjadi jurinya. Nama dan tempat dalam cerita ini -tentu saja- adalah hayal belaka. Tetapi jika ada kesamaan dengan apa yang Anda temui dalam hidup nyata, penulis hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah sebuah kebetulan. Sambil mengucap terimakasih, karena kisah ini bisa mengungkap kenyataan.


Mba Dwi - Awal Perjumpaan

Nama panjangnya adalah Dwi Sekar Utami. Mba Dwi, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Joe tak pernah tahu usia wanita itu yang sesungguhnya, namun yang jelas bagi Joe ia tak terlalu tua, pun jelas bukan pula seorang gadis remaja. Wajahnya (jika memakai ukuran normal) tidaklah terlalu cantik. Tidak pula terlalu jelek. Biasa-biasa saja. Tetapi Mba Dwi memiliki mata yang sangat indah, bening dihiasi bulu mata lentik. Juga memiliki bibir yang (menurut Joe) sangat menarik, karena selalu terlihat basah, ditambah lagi lesung pipit di pipinya yang menambah pesona kecantikan setiap senyumnya terurai. Waktu itu Joe duduk di bangku SMA. Untuk usianya, waktu itu Joe tergolong "terlambat" dalam soal pacaran. Ia tidak punya teman wanita istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon ada yang naksir, namanya Yuli, gadis yang juga satu sekolah namun berbeda kelas dengan Joe. Tetapi Joe tidak tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi Joe, ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tidak begitu tertarik dengannya. Buat Joe, berenang di sungai lebih menarik , ketimbang jalan-jalan dengan Yuli. Tetapi tidak untuk Mba Dwi, Mba Dwi berhasil menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu, Joe mengantar adik perempuannya, Wulan, ke sanggar untuk latihan menari. Joe sangat sayang kepada adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun itu (jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). Dengan sepeda, diboncengnya Wulan ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Dwi, sedang mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.
"Selamat sore Wulan...," ucap Mba Dwi menyapa Wulan, lalu sekejap melirik Joe.
Suara wanita itu lembut tetapi bernada wibawa, pikir Joe sambil melepas gandengan tangan adiknya.
"Mba Dwi, ini kakak saya...," Wulan menunjuk ke Joe yang masih berdiri di pintu ruang latihan. Mba Dwi mengangkat muka, dan tersenyum kepada Joe. Agak canggung, Joe membalas tersenyum dan berucap serak, "Selamat sore, Mbak...". Mba Dwi hanya mengangguk tanpa berhenti tersenyum, lalu menerima salam Wulan, dan berbalik menuju tempat segerombolan anak-anak yang sedang bersiap belajar menari. Joe masih berdiri, memandang tubuh Mba Dwi dari belakang, dan entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup lebih keras. Tubuh Mba Dwi menyita perhatiannya, terbungkus kain dan baju ketat, menampakkan lika-liku yang menawan. Astaga, pikir Joe, wanita ternyata bisa menarik juga! Untuk beberapa saat, Joe masih berdiri di depan pintu, menelan ludah berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa? Entahlah.
Tetapi perjumpaan pertama dengan Mba Dwi berbekas keras di kalbunya. Sambil mengayuh sepedanya pulang, Joe tiba-tiba memiliki pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara lain di kepalanya. Meremas....? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir Joe gelisah. Berkali-kali Joe merasa sadel sepedanya terasa lebih kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial! sergahnya dalam hati.
Ketika ayah memintanya menjemput Wulan, dengan bersemangat Joe mengatakan ya. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit sebelum waktu latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tidak jauh dari ruang latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Dwi melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yang diikuti oleh belasan anak-anak kecil. Pandangan Joe tak lekang dari gerakan-gerakan Mba Dwi, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yang indah! Selama ini, bagi Joe menari adalah kegiatan perempuan yang tak menarik. Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Dwi mengangkat tangan, melenggok ke kiri, menggerakkan pinggulnya ...., Joe menelan ludah lagi. Bajingan kamu! ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Joe membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput. Tetapi, seperti ditarik magnit, muka Joe sesekali kembali lagi memandang ke ruang latihan. Dari ruang tari, Dwi juga bisa melihat keluar, walau perbedaan terang menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke arah tempat Joe duduk.
Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Dwi melirik dan mengerenyit heran melihat remaja itu betah duduk sendirian. Biasanya, para penjemput murid-muridnya datang terlambat, dan tidak pernah berlama-lama di sanggar tari. Apalagi yang laki-laki, entah itu kakak atau ayah ataupun paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari bukanlah sesuatu yang menarik untuk pria. Makanya, tingkah Joe bagi Dwi agak tidak biasa.
Ketika akhirnya latihan selesai, Joe bangkit dan mendekat ke arah ruang latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon kamboja. Entah kenapa, ia tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin mendekat, tetapi dadanya berdegup kencang setiap kali ia melangkah. Semakin dekat ke ruang latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia berhenti setelah dua langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Wulan keluar dan menghampirinya.
Dwi, dengan sedikit peluh di lehernya, mengucap salam perpisahan kepada murid-muridnya. Lalu, sambil melepas stagen, ia berjalan ke pintu. Dilihatnya Wulan berlari ke arah penjemputnya, remaja yang betah berlama-lama di bawah pohon kamboja menonton latihannya itu. Sambil melepas ikat rambutnya, sehingga rambutnya yang sebahu kini tergerai, Dwi berdiri di pintu dan berucap lembut, tetapi juga cukup keras untuk didengar Joe. "Kenapa tadi tidak tunggu di dalam saja, Dik...," ujarnya. Joe cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang. Dwi tersenyum melihat seringai remaja yang tampak kikuk itu. Joe menelan ludah melihat senyum itu. Entah kenapa, senyum itu tampak menarik sekali. Rasanya, Joe seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap suara di dalam kepalanya lagi.
Dan Joe pun cepat-cepat membungkuk berpamitan, lalu menggandeng tangan Wulan menuju sepeda. Dwi kembali tersenyum memandang kedua kakak-beradik yang akur itu meninggalkan sanggarnya.
*****
Sejak pertemuan itu, Joe sering melamunkan Mba Dwi. Lebih gila lagi, saat mandi dan menyabuni tubuhnya, Joe merasakan darahnya berdesir membayangkan Mba Dwi. Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah. Cepat-cepat ia menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dengan handuk dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat tonjolan di bawah pinggangnya yang terbungkus handuk itu!
Malam hari, ketika ia gelisah bergulang-guling di ranjangnya, Joe kembali membayangkan Mba Dwi. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yang padat berisi, pinggangnya yang ramping, dan dadanya yang membusung walau tidak terlalu besar. Joe juga terkenang lehernya yang agak basah oleh keringat. Juga bibirnya. Ya, bibirnya itu yang paling menawan. Selalu basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum, menampakkan sedikit gigi-giginya yang putih. Bagaimana rasanya menggigit bibir itu?
Joe makin gelisah, sebab kini kelaki-lakiannya menengang lagi seperti ketika ia sedang mandi. Malam sudah agak larut, dan rumah sudah sepi. Tak ada suara-suara, selain jangkerik. Joe menelungkupkan tubuhnya. Celaka, justru gerakan itu menyebabkan kelaki-lakiannya terjepit di antara tubuhnya dan kasur yang empuk. Tanpa sadar, Joe menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke kasur. Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Dwi. Terbayang ia mengulum bibir Mba Dwi yang basah. Terbayang dadanya yang ceking menempel di dada Mba Dwi yang kenyal. Gila! Joe terlonjak ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya. Untung ia sigap, sehingga seprai tidak ikut basah. Hanya saja, di pagi hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana dalamnya, tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yang lain!
*****
Beberapa hari setelah perjumpaan pertamanya dengan Joe, kembali Dwi terheran melihat remaja itu sudah ada setengah jam sebelum latihan usai. Setengah jam! Betapa lamanya ia akan menanti di situ sendirian, ucap Dwi dalam hati sambil terus menggerakkan badannya di depan para penari cilik. Berkali-kali Dwi melirik ke arah pohon kamboja, dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa gerangan remaja itu begitu betah menunggu adiknya. Terlebih-lebih lagi, remaja itu selalu memandang ke dalam dengan seksama. Sialan, mungkin ia tertarik melihat tubuhku, umpat Dwi dalam hati. Tetapi, mungkin juga ia tertarik pada tarianku. Siapa tahu? Atau mungkin tertarik pada dua-duanya, ucap Dwi dalam hati. Ia tersenyum sendiri ketika mengambil kesimpulan terakhir ini.
"Satu ... dua...tiga .... empat, putar......," Dwi memutar tubuh memberi contoh, diikuti oleh bidadari-bidadari kecil yang tertatih-tatih mencoba meniru sesempurna mungkin. "Satu .. dua ... tiga ... empat, putar....," suaranya lembut, tetapi tegas dan cukup nyaring.
Joe menyenderkan tubuhnya di batang pohon kamboja. Sayup-sayup suara Mba Dwi sampai di telinganya. Terdengar merdu. Gila! semua yang berhubungan dengan wanita itu selalu bagus. Apa-apaan ini? sebuah suara menghardik di kepala Joe, membuatnya tertunduk sendiri. Dicabutnya sebatang rumput, dimain-mainkannya di antara jari-jarinya. Joe merenung, bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi dalam dirinya. Mengapa Mba Dwi jadi begitu menarik, padahal ia jauh lebih tua dariku? Mengapa Yuli yang seusia dengannya itu tidak semenarik Mba Dwi, padahal Yuli juga cantik. Joe menarik nafas dalam-dalam, lalu kepalanya terangkat lagi, memandang lagi ke dalam ruang latihan.
Cuma kali ini ia tidak melihat Mba Dwi di sana. Dipanjang-panjangkannya lehernya, mencari-cari, kemana gerangan wanita itu. Joe bahkan memiringkan tubuhnya, sampai hampir rebah ke kiri, untuk melihat sudut terjauh yang masih terjangkau pandangan. Mba Dwi tidak ada, sementara murid-muridnya masih bergerak sesuai irama musik dari tape-recorder. Kemana dia?
Hampir copot rasanya jantung Joe, ketika tiba-tiba Mba Dwi muncul dari balik tembok rumah di sebelah ruang latihan. Rupanya, ada gang yang menghubungkan rumah itu dengan ruang latihan, yang tidak terlihat dari tempat Joe duduk. Rupanya Mba Dwi meninggalkan murid-muridnya untuk masuk ke rumah itu. Dan kini ia berjalan kembali ke ruang latihan, tetapi tidak melalui gang, melainkan lewat pintu depan. Lewat di depan Joe, melenggang santai dengan kainnya yang ketat membungkus tubuhnya yang indah.
"Hayo.., tunggu di dalam, Dik!" ucap Mba Dwi menghentikan langkah sebelum masuk. Senyum yang memikat Joe terhias di bibirnya. Joe menelan ludah, tak bisa menyahut, dan cuma bisa meringis lagi. Betul-betul seperti kera yang sedang kepedasan.
"Hayo ...," ajak Mba Dwi lagi, lembut tetapi tegas. Joe bangkit, dan dengan ragu-ragu melangkah mendekat. Mba Dwi tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah mendahului masuk. Pelan-pelan Joe menyusulnya. Ketika ia tiba di ruang latihan, Mba Dwi sudah berputar-putar lagi memberi contoh gerakan tarinya. Joe mencari-cari bangku untuk duduk, tetapi tak ada satu pun di sana. Ia lalu berdiri saja, menyender di sebuah tiang yang cukup besar.Dwi melirik, melihat remaja itu berdiri kikuk. Kasihan, pikirnya. Tetapi biarlah begitu, kalau ia memang tertarik pada tarianku -atau tubuhku!- biar saja
ia berdiri sampai pegal. Tersenyum Dwi mendengar kata hatinya yang terakhir ini. Ya, biar dia berdiri sampai pegal!
Selama 20 menit, Joe berdiri saja melihat adiknya latihan menari. Wulan terlihat senang melihat kakaknya sudah hadir. Berkali-kali Wulan kelihatan ketinggalan langkah, karena ia tersenyum-senyum kepada kakaknya. Joe mengernyitkan dahinya, meletakkan telunjuk di bibirnya, memperingatkan Wulan agar tetap serius. Dwi tersenyum melihat tingkah keduanya. Ketika akhirnya latihan selesai, Joe bernafas lega. Bukan saja karena ia sudah pegal berdiri, tetapi juga karena sebenarnya ia agak tersiksa. Betapa tidak? Sejak tadi ia terpesona oleh gerak Mba Dwi, tetapi ia harus menyembunyikan perasaan itu. Betapa sulit!
Dwi berjalan mendekati Joe sambil melepas stagen. Joe berdiri kikuk ketika akhirnya Dwi berdiri di hadapannya, cukup dekat untuk mencium bau keringatnya yang ternyata tidak mengganggu Joe.
"Suka menari?" tanya Dwi. Matanya memandang lekat remaja di hadapannya. Senyumnya mengeMbang halus. Joe menelan ludah lagi. Joe menggeleng kuat. Dwi tertawa kecil, "Saya pikir kamu suka. Sebab, kamu betah menunggu adikmu latihan."
"Saya ...., sebetulnya saya suka ..," ucap Joe tergagap.
"Oh, ya???" Dwi membelalakan matanya yang indah, senyumnya mengeMbang lagi. Joe menelan ludah lagi. "Seberapa suka, sebetulnya ...," tanya Dwi lagi, ringan.
"Mmmm ... saya suka menonton saja." jawab Joe sekenanya.
"Menonton anak-anak kecil menari?" tanya Dwi. Wah! Joe tertunduk, mukanya tiba-tiba terasa panas. Sial!
Dwi tergelak melihat Joe tertunduk malu. Kini ia tahu apa yang sesungguhnya ditonton laki-laki belia ini! Ia ke sini untuk menontonku, melihat tubuhku! Dan kesimpulan ini membuat dirinya senang. Bagi Dwi, menyenangkan penonton adalah tujuan utamanya menari, bukan?
"Siapa nama kamu?" tanya Dwi lembut sambil melepas ikat rambutnya. Joe mengangkat muka, melihat kedua tangan Dwi terangkat, dan samar-sama kedua
ketiaknya yang mulus terlihat dari lengan bajunya yang agak tersingsing.
"Joe..," terdengar jawaban pelan. Dwi tersenyum lagi, sengaja berlama-lama membuka ikat rambutnya, membiarkan remaja itu melihat apa yang ingin dilihatnya. Nakal sekali kamu, Dwi! sebuah suara terdengar di kalbunya.
Siksaan bagi Joe baru berhenti ketika Wulan menarik tangannya pulang. Sambil menggumamkan selamat sore, ia berbalik dan menggandeng adiknya ke tempat sepeda.
"Datang lagi, yaaa!" seru Dwi ketika Joe sedang bersiap mengayuh. Duh! Joe jadi serba salah. Apakah ia harus menjawab seruan itu? Ah, sudahlah! sergahnya dalam hati dan cepat-cepat mendayung. Dari kejauhan Dwi memandang kakak-beradik itu menghilang di balik tikungan. Senyum manis masih di bibirnya.
*****
Demikianlah seterusnya, Joe semakin terpikat oleh wanita yang pandai menari dan pandai menggoda itu. Sekali waktu ia mencoba menghindar, meminta kepada ayah untuk tidak usah menjemput Wulan dengan alasan harus latihan bola kaki. Selama empat kali latihan, ia tidak mampir ke sanggar, dan tidak berjumpa Mba Dwi. Dan itu artinya, sudah sebulan ia tidak melihat tubuh molek itu melenggak-lenggok. Lama juga, ya?
Sampai suatu hari, ada pertunjukkan dari di balai kota, diselingi permainan band sebuah kelompok amatir yang cukup populer di kota kecil ini. Joe datang bersama teman-temannya, tentu hanya untuk menonton band. Acara tari-tarian di sore hari dilewatkan saja. Rombongan Joe baru tiba di atas pukul 8, saat band mulai naik panggung. Di situlah Joe berjumpa lagi dengan Mba Dwi. Saat band memainkan lagu ketiga, Joe pergi ke belakang panggung untuk buang air kecil, karena di sanalah terdapat toilet untuk umum. Saat kembali ke tempat duduknya, sewaktu melewati pintu yang menuju tempat pemain berganti pakaian, Joe melihat Mba Dwi duduk di sebuah bangku. Langkahnya terhenti, lalu ia menyelinap ke balik tembok yang agak gelap. Dari situ, ia bisa melihat Mba Dwi, tetapi wanita itu tidak bisa melihatnya. Dwi memakai jeans ketat dan sebuah kaos agak longgar berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan agak basah oleh keringat. Ia tampak letih, dan sedang menikmati sebotol minuman dingin. Bibirnya menjepit sebuah sedotan, dan matanya tampak melamun. Bagi Joe, Mba Dwi tampak menawan malam itu. Ia kemudian melihat wanita itu bangkit menuju ke sebuah kamar di belakang panggung. Joe mengikuti gerak-geriknya dengan seksama, aman dalam lindungan bayang-bayang yang gelap. Tak lama kemudian, tampak Mba Dwi membuka sebuah pintu, dan di dalam terlihat terang benderang tetapi sepi. Berjingkat, Joe berpindah tempat sehingga bisa memandang lebih bebas ke dalam ruangan itu.
Dwi menutup pintu ruang, tetapi rupanya kurang begitu kuat mendorong, sehingga masih tersisa celah untuk melihat ke dalam. Dengan jantung berdegup kencang, Joe melihat ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Semua orang berada di depan panggung asyik menonton band. Pelan-pelan ia melangkah mendekati ruang yang ternyata adalah ruang ganti pakaian bagi para artis. Ia tiba di depan pintu ruang itu, dan dari celah yang tersisa, ia bisa melihat ke dalam. Joe menelan ludah, dan menahan kagetnya. Di dalam, Mba Dwi tampak sedang membuka kaosnya, membelakangi Joe. Tubuhnya yang putih dan padat terlihat jelas, apalagi kemudian ia berputar menghadap sebuah cermin yang pantulannya terlihat dari tempat Joe berdiri. Ia bisa melihat dua payudara yang indah, terbungkus beha yang tampak terlalu kecil. Lutut Joe terasa bergetar.
Kemudian tampak Mba Dwi melepas celana jeansnya. Joe merasa kakinya terpaku di tanah. Dengan kuatir ia melihat ke sekeliling, takut kepergok. Tetapi suasana di sekitar ruang ganti itu sepi. Maka ia tetap mengintip ke dalam. Jeans sudah dibuka dan tergeletak di lantai. Mba Dwi hanya bercelana dalam dan berbeha, dan tubuhnya indah bukan main. Putih mulus, padat berisi. Joe berkali-kali menelan ludah. Pemandangan indah itu berlangsung tak lebih dari 10 menit, karena kini Mba Dwi sudah berganti rok panjang dan baju hem coklat. Tetapi bagi Joe, rasanya lama sekali. Cepat-cepat ia berbalik dan tergopoh kembali ke depan panggung.
Dwi mendengar suara langkah orang. Terkejut, ia segera lari ke pintu dan melihat pintu belum tertutup sepenuhnya. Celaka, pikirnya, seseorang tadi mengintipku berganti pakaian. Cepat-cepat dikuaknya pintu, dilongokkannya kepala, bersiap berteriak jika memergoki si pengintip. Tetapi di luar sepi, tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin cuma perasaanku saja, pikir Dwi.
Sementara itu, di depan panggung Joe gelisah mengenang pengalamannya. Lagu-lagu yang dibawakan band di depannya terasa hambar. Teman-temannya terlihat girang, tetapi ia sendiri kurang bergairah. Dengan alasan mengantuk, ia pulang lebih dulu dari teman-temannya yang keheranan. "Ada apa denganmu, Joe?" tanya sobatnya, Prima. Ia tidak menjawab, dan hanya menggumam sambil melangkah meninggalkan arena pertunjukkan. "Dasar kutu buku ...," gerutu Iwan, temannya yang lain. Joe tak peduli, dan terus melangkah menembus malam.
Dan malam itu, Joe menikmati hayalnya di atas ranjang, meremas-remas kelaki-lakiannya yang menegang sambil membayangkan tubuh mulus Mba Dwi. Tak berapa lama, ia mengerang tertahan, merasakan cairan hangat memenuhi telapak tangannya. Dengan tissue yang sudah disiapkannya, ia melap tangannya, lalu tidur nyenyak sambil berharap bisa bertemu Mba Dwi di alam mimpi. Namun mimpinya ternyata kosong belaka, tentu karena ia sebetulnya sudah sangat mengantuk malam itu.
Seminggu setelah peristiwa di belakang panggung itu, Joe mengantar Wulan ke sanggar Mba Dwi. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Wulan dan kembali kerumah secepatnya. Kepada Wulan ia telah pula berpesan agar tidak perlu diantar sampai pintu ruang latihan. Wulan mencibir manja, tetapi tidak membantah ucapan kakaknya.
Namun semua rencana buyar ketika ternyata Joe berjumpa Mba Dwi di gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Joe tergagap menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi khayalnya semingguan ini.
"Hai, Joe ... lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana saja?" sambut Mba Dwi riang.
"Sibuk, Mbak..," jawab Joe menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari masuk.
"Wah... begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Dwi lagi, ya!?" sergah Mba Dwi sambil tersenyum manis. Joe menyahut dengan gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan polisi.
"Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?" ucap Mba Dwi lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Joe. Tergagap, Joe menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia sendiri tak ingat!
"Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak menari sampai selesai!" kata Mba Dwi yang kini sudah memegang erat satu tangan Joe dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Joe tak kuasa menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Dwi sambil menyeret sepedanya.
Mba Dwi tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan hanya duduk bersimpuh di lantai, di sebelah Joe yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Joe bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Dwi. Bagi Joe, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan jika yang menari adalah Mba Dwi.
Joe melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Dwi bersimpuh. Darahnya berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba Dwi sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah!
Ketika suatu saat Mba Dwi harus berganti posisi bersimpuhnya, Joe mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba Dwi. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman di selangkangan, membuat Joe terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya pandangan kembali ke tempat anak-anak menari.
Dwi menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah Joe seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Dwi menahan tawa. Minta ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Dwi meMbatalkan keinginannya untuk menanyakan komentar Joe. Sebaliknya, ia malah bangkit membuat Joe memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Joe, jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.
"Kamu mau minum, Joe?" tanya Mba Dwi setelah berdiri, dan tanpa menunggu jawab ia berkata lagi, "Yuk, ikut saya ambil minum di ruang sebelah." Joe bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya dalam hati.
Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Dwi tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Joe berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak membungkuk di depannya. Kepala Mba Dwi tersembunyi di balik pintu lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di mata Joe. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Joe dalam hati.
Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Dwi menawarkan kue, tetapi Joe menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih tepatnya Mba Dwi bercerita tentang segala macam. Joe lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Dwi sendiri merasa semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Dwi merasa bahwa Joe adalah adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar.
Untuk Dwi, Joe adalah remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja seusianya. Joe juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada usia seusia Joe dulu, ia juga mengalami "revolusi" yang sama. Saat itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Joe pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu.
Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Joe mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Dwi, dan Dwi melambai di gerbang sambil mengucap, "Jangan bosan kemari, ya, Joe!"
Ah, bagaimana aku bisa bosan? ujar Joe dalam hati.

Thursday, September 28, 2006

Satu Cerita Tentang Bidadari.......

Sore itu aku berjalan-jalan di tepi sungai, lelah aku setelah seharian bekerja di sawah. Rasanya lega sekali, padi-padi yang selama ini kurawat sudah mulai berisi. Kelopak-kelopak itu sudah mulai gemuk dan panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah banyak yang mulai merunduk ke tanah, melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan penghidupan. Mungkin itu yang dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi, semakin berisi tetapi semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri, tetapi merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu dan pengetahuan. Hari sudah mulai gelap, remang-remang cahaya lampu dari seberang sungai sudah mulai kulihat. Tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan menuju sungai, memakai kemben* dan menjinjing keranjang kecil.

Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan berhenti ketika air telah mencapai ujung atas kembennya. Rambut panjangnya segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya di air sungai yang mulai dingin. Mataku tak berkedip sejak tadi, jarak yang memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh. Sayup-sayup kudengar dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya magis, apalagi didukung oleh suasana sore yang terhiasi oleh jingga cakrawala. Putri-putri kraton yang tertulis di lontar-lontar Majapahit yang katanya cantik nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan mataku ini tak kalah indah dengan putri-putri itu, hanya saja kecantikan dan gemulainya tidak tertulis di lontar, tapi tertulis di alam, dengan tinta-tinta sang cakrawala. Dia berputar-putar, bermain air, terkadang menyelam, mengambil pasir halus dari dasar, dan diusapkannya di seluruh badannya.

Rupanya dia sadar sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya, dan mulai menatap balik ke arahku. Aku menjadi kikuk, dan kulambaikan tangan ke arahnya. Dia juga melambaikan tangan ke arahku, sambil tak henti-hentinya masih bernyanyi-nyanyi kecil. Dia melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi. Walaupun dingin, kupaksakan diri juga untuk mengakrabkan diriku dengan air sungai. Aku berenang ke seberang, menelusuri riak-riak air yang memancarkan aroma eksotis. Bayang wajahnya semakin jelas,dan suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan pandangan tajam berwarna biru. Ternyata dia menyanyi Asmaradahana, tembang-tembang ritmis tentang cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal dengan memercikkan air ke mukaku, sambil tertawa renyah, akupun membalasnya. Kami tertawa bersama, akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang tinggal melanjutkan saja. Hanya aku heran, kenapa aku baru bertemu dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang. Dia tertawa lagi, tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah dia berhenti tertawa, dia tersenyum, senyum yang bukan berasal dari bumi, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, ku menoleh ke kanan-kiri untuk mencari sosoknya, tapi ia tak muncul juga. Tiba-tiba bukkkk.............ada benda serupa pasir menabrak punggungku, aku secepat kilat menoleh, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnya tadi yang menabrak punggungku, dan dia kini tepat beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar nafasnya, seperti angina-angin harapan dari oase yang menerjang padang pasir. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku dari belakang. Aku baru sadar sekarang betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini. Rambut panjangnya yang hitam legam sedikit mengkilat oleh sinar rembulan yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.

" Cantikkkkk......" tiba-tiba suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai, menimbulkan suara sambung menyambung. Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa, aku langsung menghambur ke darat, kucoba mengingat-ingat dimana dia tadi meletakkan keranjang kecil itu. Sinar rembulan yang tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi segera kulihat keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain, kita sudah agak jauh dari tempat semula. Aku segera berlari mengambil keranjang kecil dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya.
" Terima kasih ya sudah menemaniku.." dan diapun pergi..............

Dua belas purnama sudah aku mengenalnya, dan kehidupanku selalu diwarnai oleh canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa. Dia memang cantik, seperti namanya. Tapi semakin lama aku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila-gila. Karena sesungguhnya kecantikan yang terpancar lebih kuat justru dari sikapnya, melebihi kecantikan raganya yang memang sudah luar biasa. Tapi dia selalu mengelak ketika kubilang bahwa dirinya cantik, apalagi kalau kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia kira aku ngegombal? Padahal belum pernah dalam hidupku aku bilang bahwa hobiku ngegombal. Hobi yang elitis itu memang tidak pas denganku, aku hanya ingin jujur. Aku hanya bicara apa adanya, tidak mengurangi, tidak pula menambahi.

Tapi memang sebenarnya kata-kata tak cukup mampu melukiskan keindahannya, walau begitu aku terus mencoba, walau aku tak tahu apa itu akan sampai pada tujuannya? Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang bisa menggelepar oleh suara halus dan rayuan. Aku sering mengajaknya untuk bicara tentang masa depan. Bicara tentang langkah-langkah manusia di bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Dan diapun menimpali, dengan kata-katanya yang lembut, diucapkan dengan yakin. ketidaksetujuannya terhadap manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu anak bangsa untuk maju, atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius, kitapun bercanda lagi. Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga, atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang......, dan akhirnya dia bilang dia juga takut kehilanganku. Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat-ayat Tuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan kegalauannya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang-bintang akan risaunya.Di remang rembulan, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.

" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun-rumpun padi yang mulai menguning pada sebagian batang dan dan daunnya, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak-teriak memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.

Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan karena cantiknya paras muka, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya akan abadi. Biarlah semua manusia silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan tetap menjadi masa depan.

Joe Sorjan
Dalam Sebuah mimpi
~Untukmu Yang Manis~

Satu Cerita Tentang Sepak Bola Agama

Sebelumnya penulis ingin menyampaikan bahwasanya cerita ini hanyalah fiktif belaka. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada tokoh-tokoh yang ada dalam cerita ini, tak ada maksud untuk merendahkan atau bahkan menghina. Justru penulis ingin menyampaikan betapa sebenarnya mereka begitu mulia, begitu agung. Selamat membaca, semoga bisa mengambil hikmahnya.

Wassalam

Joe Sorjan

~Ketika tak tahan lagi menahan murka melihat darah mengalir~

Dunia ribut, dimana-mana antrian panjang mewarnai kota-kota besar sampai desa terpencil, hari ini adalah hari dimulainya pendaftaran resmi untuk agama baru. Segera agama baru ini menjadi tren yang tak dapat dibendung lagi, segera mengalahkan pamor agama-agama yang sudah lama ada. Penganutnya terdiri dari semua golongan, dari presiden sampai tukang sampah, pria dan wanita, tua bangka sampai anak-anak kecil, semua begitu gandrung dengan agama baru ini. Mereka rela berjam-jam mengamalkan ajaran-ajaran agama baru itu dengan senang hati, dan tentu saja banyak dari mereka begitu fanatiknya sehingga rela menyerahkan apa saja, bahkan nyawa demi agama baru ini. Sebenarnya, sejak lama agama ini dilarang, banyak yang bilang, agama harus punya orang yang membawanya, baik itu nabi atau orang-orang suci lainnya. Agama harus punya serangkaian mekanisme yang jelas, punya ajaran tentang hidup setelah mati, punya surga dan neraka. Tapi siapa peduli, justru agama baru yang tak banyak punya peraturan, selain peraturan untuk berlaku jujur dan tidak bermain kotor, justru inilah yang banyak diminati. Apa lacur, akhirnya pihak berwenangpun harus mengijinkan agama baru ini terdaftar resmi. Buku-buku dan ensiklopediapun harus menambah daftar pustaka mereka untuk sebuah agama baru.


Dan sebagai tanda memperingati berdirinya agama baru ini, akan diadakan perhelatan akbar pertandingan sepakbola indoor, ada pula yang menyebutnya futsal. Ini mengingat animo yang begitu besar dari seluruh dunia untuk menghadiri pertandingan ini, akhirnya karena tidak ada satupun stadion di dunia yang mampu menampung pengunjung dengan jumlah yang sangat besar, maka diputuskan pertandingan ini diadakan di dalam stadion kecil dan disiarkan secara langsung ke seluruh dunia secara langsung. Dan ketika perayaan besar itu datang, dua tim tangguh sudah siap saling beradu strategi dan kemampuan.


Tim A dengan pemain-pemain yang sudah tak asing lagi malang melintang dalam dunia manusia, di bagian belakang sebagai penjaga gawang ada Zarathustra. Gelandang kanan sekaligus back Yesus, gelandang kiri sekaligus back Bahaullah, di bagian striker ada dua striker kawakan yang terkenal dengan tendangannya yang maut, Muhammad dan Plato. Di bangku cadangan tim A, ada tiga nama yang juga sudah tak asing lagi, Guru Nanak, Saladin dan Sai Baba.

Tim B adalah tim underdog, tim yang relatif baru, tetapi karena kesolidan mereka dan kekuatan taktik mereka, tentu akan menyajikan pertandingan menarik malam ini. Sebagai penjaga gawang, adalah Karl Marx yang walaupun desas-desusnya hidup beberapa bulan tanpa gaji dari klubnya, tetapi tetap dengan rela bermain dengan klubnya, karena memang kepemilikan klub ini adalah kepemilikan bersama, terutama pemain-pemainnya dan masyarakat kelas bawah. Sebagai gelandang kanan sekaligus back ada Nietszche, sedangkan di sebelah kiri ada Aristoteles. Striker andalan klub ini masih tetap sama, duo terkenal Einstein dan Sidharta. Di bangku cadangan ada dua nama yang tidak begitu dikenal khalayak ramai, yaitu Baruch Spinoza dan Jaini. Satu pemain juga dicadangkan karena sedang cedera otot kaki yaitu Charles Darwin.


Pengamanan pertandingan begitu ketat, hanya orang-orang tertentu saja yang dengan acak dipilih untuk bisa menonton secara langsung pertandingan ini. Tidak boleh membawa apapun, baik itu pamflet, spanduk, bahkan bendera kecilpun tidak boleh. Tetapi walaupun begitu, di luar stadion sudah banyak kerumunan massa yang menjagokan tim masing-masing. Banyak sudah bendera-bendera besar bertebaran di tepi jalan, ada bendera bergambar bulan bintang, ada palu arit, palang salib, swastika, dan lain sebagainya. Tetapi tentu saja mereka tidak boleh masuk ke dalam stadion, satu-satunya bendera yang ada di dalam stadion adalah sebuah bendera berukuran 4x5 meter berwarna biru yang bergambarkan bulatan menyerupai bola ditengahnya. Di dalam bulatan ada tulisan melingkar " Love n Peace".


Priiiiiiiitttttttttttttttttt...............pertandingan pun dimulai.................


Tim A tampil menyerang lebih dulu, umpan-umpan dari Yesus kepada Muhammad atau Plato berkali-kali membahayakan gawang yang dijaga Karl Marx. Setelah sepuluh menit pertandingan berlangsung, tim B mulai kedodoran di bagian pertahanan. Nietszche berulang kali membiarkan Muhammad lepas dari penjagaannya, Muhammad berlari lebih kencang daripada Nietszche. Tetapi penyelamatan-penyelamatan yang Marx lakukan memang luar biasa, sehingga gawang yang dia jaga masih belum kebobolan. Hingga pada menit ke 20, Yesus memberikan umpan silang kepada Plato, yang kemudian disambut dengan tendangan salto, tetapi meleset di samping gawang Marx. Beberapa menit kemudian, Plato mendapatkan kesempatan bagus dan lepas dari pengamatan Marx, segera dia melepaskan tendangan jarak jauh, ah….namun sayang bola masih membentur mistar gawang, tetapi ternyata ada Muhammad yang dengan segera menyambar bola muntahan itu dan memasukkan ke gawang Marx, dan kedudukan pun menjadi 1- 0 untuk Tim A. Sorak sorai pendukung meluap, Tim A menunjukkan kelasnya sebagai tim papan atas. Pelatih tim B segera bertindak, Nietszche segera ditarik dari lapangan, penyakit siphilis yang dideritanya memang sudah akut, dan itu memang mempengaruhi staminanya. Spinoza segera masuk menggantikan Nietszche, pemain kelahiran Amsterdam ini memang lebih dikenal sebagai pemain tanpa pusar, karena staminanya yang kuat dan lain dari Nietszche, walaupun tinggal di Amsterdam, dia tidak pernah bermain esek-esek dengan pelacur.


Setelah unggul 1- 0, tim A segera menurunkan tempo permainan, mereka lebih cenderung bermain bertahan. Taktik catenaccio yang dipilih memang efektif, menjelang turun minum, kedudukan masih tetap 1- 0 untuk keunggulan tim A. Rupanya taktik mereka untuk mengunci Einstein berhasil, Einstein hampir tidak dapat menyentuh bola lebih dari 5 detik. Selain itu Sidharta selalu ditempel ketat oleh Bahaullah. Taktik bertahan disertai sesekali menyerang ini memang menjadi andalan tim A.


Setelah 10 menit turun minum, babak kedua pun dimulai. Tim B sekarang yang tampil menyerang, keempat pilar tim B bekerja ekstra keras. Mereka rupanya menerapkan taktik total football, yang walaupun sangat menguras energi, tapi rupanya mereka tidak punya pilihan lain. Berkali-kali tim B mencoba menembus pertahanan tim A, tetapi selalu gagal. Bahkan beberapa serangan balik dari Tim A sempat membahayakan gawang tim B. 10 menit menjelang pertandingan usai, assist yang sangat bagus sekali dari Sidharta, langsung menusuk jantung pertahanan tim A. Einstein menggiring bola sebentar, ia berhasil mengecoh Yesus dan akhirnya diselesaikan dengan manis oleh Einstein. Kedudukan pun sekarang sama 1- 1. Stadion tiba-tiba gemuruh, para pendukung tim A merasa tidak puas. Mereka melemparkan botol ke lapangan, sementara itu di luar gedung, terjadi keributan luar biasa. Pendukung tim A dan tim B bentrok, petugas keamanan segera datang untuk meredakan suasana. Di dalam stadion, semakin banyak botol-botol yang masuk ke lapangan, disertai dengan sorakan cemoohan. Untuk sementara pertandingan dihentikan guna meredakan suasana. Wakil dari tim A, Yesus dan wakil tim B, Karl Marx segera mengambil gerakan sigap. Mereka menyerukan kepada para penonton untuk segera tenang, karena tujuan pertandingan ini adalah persahabatan dan pengertian, bukan kerusuhan dan keributan.


Setelah suasana agak tenang, pertandingan pun diteruskan. Walaupun di luar stadion, keributan masih terus terjadi. Petugas keamanan sampai kuwalahan untuk meleraikannya. Para pemain kedua tim sudah agak kehilangan konsentrasi, terutama tim A sudah mulai agak frustasi karena catenaccio mereka mendapat counter attack yang efektif dengan total football. Berkali-kali serangan mendadak 4 pilar tim B membahayakan gawang yang dijaga Zarathustra. Kedudukan masih 1-1 saat injury time. 3 menit extra diberikan. Tim B masih terus mendesak pertahanan tim A, hingga saat Yesus kehilangan kontrol atas bola dan direbut oleh Aristoteles, dengan kecepatan tinggi Ary (panggilan Aristoteles) segera menunjukkan individual skill nya yang luar biasa. Dia berhasil menggiring bola sampai ke titik penalti, sebelum akhirnya dijegal oleh Plato dari belakang. Tackle Plato cukup keras sehingga Ary kelihatan kesakitan, wasit segera menunjuk titik putih. Tim B mendapatkan hadiah tendangan pinalti, hanya beberapa detik sebelum pertandingan berakhir. Ary protes kepada wasit, seharusnya Plato yang notabene orang yang pernah mengajari Ary sepak bola diberi ganjaran kartu kuning atau bahkan kartu merah. Tetapi wasit tak bergeming, Tim B hanya mendapat pinalti. Stadion menjadi ribut tidak karu2an, penonton semakin banyak melemparkan semua barang ke dalam lapangan, bahkan ada yang terlihat mencabut bangku penonton dan melemparkannya ke dalam lapangan. Tetapi wasit memutuskan melanjutkan pertandingan, tendangan pinalti diambil oleh Einstein. Dengan penuh percaya diri, Einstein melesakkan bola ke pojok gawang. Zarathustra hanya terlihat terdiam bengong. Kegembiraan meledak, tim B bersorak sorai karena kemenangan gemilang ini. Tetapi di luar lapangan keributan semakin menjadi2, hooligan agama ini ternyata tak hanya membuat keributan dengan fans tim B, tetapi juga membikin keributan di antara mereka sendiri. Sebagian menyalahkan yang lain karena blunder yang dibuat tim A menjelang akhir pertandingan. Terdengar teriakan2 dan mulai timbul korban jiwa.


Wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan usai, pemain kedua tim mulai bertukar pakaian dan saling berpelukan. Karl Marx kelihatan malah bercanda dengan Yesus, di pojok lapangan nampak Muhammad dan Ary sedang serius membicarakan sesuatu. Tiba-tiba Muhammad dan Ary memanggil rekan tim masing-masing untuk segera berkumpul. Setelah membentuk lingkaran seperti akan bertanding kembali, kedua tim beserta pemain cadangan berjalan ke tengah lapangan. Keributan masih terus berlangsung, baik di dalam stadion maupun di luar.


Muhammad : " Saudara-saudara ku yang terkasih, jika kalian tidak segera menghentikan kekerasan ini, kami berjanji bahwa pertandingan ini adalah pertandingan terakhir kami."

Ary : " Binatang-binatang yang mengaku manusia, berhentilah berkelahi. Bumi sudah cukup puas menerima cucuran darah kalian. Ekam Sat Vipraha Bahudha Vadanti. ".*

Tetapi rupanya kerusuhan antar hooligan itu terus berlanjut..................................

Wednesday, September 27, 2006

Satu Cerita Tentang Bangkai.............

Bangkai
Cerpen Imron Supriyadi

Aku masih tertunduk di depan cermin, menekuri tentang diri yang telah beralih rupa. Wajahku bukan lagi simbol dari sebuah kewibawaan, seperti ketika aku masih bertengger sebagai Presiden di pabrik terbesar, yang kekuasaanku sampai keluar lintas batas darat Sabang sampai Marauke. Senyum khas yang kumiliki, kini bukan lagi sebagai keramahan, yang setiap orang berjumpa, di situlah mereka harus sedikit menundukkan badan sebagai penghormatan terhadapku. Tuan Caskim, penguasa terbesar di sebuah negeri, yang kini justru membenamkan aku (Tuan Caskim) kedalam air comberan.

Petuahku yang dalam kurun waktu puluhan tahun sebagai ucapan “dewa kebenaran” tak lagi mampu menjadi pengharum setiap perkampungan dunia, atau bahkan menjadi barang busuk, yang setiap orang akan segera menutupi telinga dan hidung agar tak mendengar dan mencium hawa mulut atau cipratan ludah yang keluar dari lipatan bibirku. Seluruh penghuni perdusunan sepertinya memang benar-benar muntah, sebelumnya perutnya mual dalam beberapa menit ketika wajahku dipampang oleh wartawan di surat kabar.

Kemarin sore, kucoba untuk berhias diri, dengan membeli kosmetik miliaran rupiah dengan hasil tunjanganku. Dari parfum kelas ratusan ribu sampai seunting daun kemangi yang harganya turut melonjak, turut menjadi ramuan, agar aku kembali menjadi tuan pewangi bagi setiap penghuni, yang dulu sempat mengelu-elukan jasa dan pengabdianku.

Dalam batin yang paling dalam, sembari melumuri, dan memandikan diri dengan perasaan air daun kemangi, aku hanya berucap diri, Tuhan, kalau aku tahu kekuasaanku akan membawa petaka dalam perjalanan hidupku, aku akan memilih kemiskinan sebagai tiang dalam rumahku. Kalau saja aku mengetahui semua ini akan menimpaku, aku akan menjadi tanah atau gunung, yang hanya akan patuh dan tunduk dengan semua perintah dan kekuasaan-Mu.

Aku bersimpuh, menatap kembali cermin kecil yang berada dibalik nuraniku. Sesaat aku tersadar bahwa ruang kecil, tempat berkumpulnya nurani itu telah lama tidak kusinggahi, yang seharusnya selama ini menjadi tempat akhir sebelum aku melakukan sesuatu keputusan. Semestinya memang tempat itu yang menjadi sumber atau mata air dari semua kebijaksanaanku. Tapi begitu lama aku meninggalkan ruang kecil itu. Oh, hati nurani, kini memang aku harus kembali menyusuri dari awal untuk memasuki wilayah itu, meskipun aku, sekujur tubuhku, keringatku, darahku telah berlumur air air got yang berbau.

Sekali lagi aku bersimpuh. Aku tak mampu lagi menterjemahkan air mata yang tiba-tiba masih mau keluar dari muara kecil di mukaku yang maikin keriput. Sulit kupilah mana air mata penyesalan, mana air mata kepedihan dan air mata taubat. Semuanya berkumpul menjadi satu genangan, yang setiap penghuni negeri ini tak mau lagi kena cipratannya, meskipun para pengikutku masih ada sebagian yang menunggu kehadiranku kembali, meski aku harus menjelma dan menyulusup dalam tubuh lain.

Beberapa bulan kucoba untuk tetap bertahan diatas penghinaan dan cercaan massa yang tak kunjung pudar. Kukumpulkan kembali gumpalan daging yang sempat tercecer dipermukaan air comberan. Dengan susah payah kerenggut seluruh kekuatanku yang masih tersisa. Kusewa darah para preman untuk membantu dalam menebar keharuman, sehingga kebusukan itu akan segera beralih pada muara yang lain.

Brooooot!!..... Kuberaki Banyuwangi dengan darah dukun santet. Mayat terkapar. Ratusan dukun santet menebar kebusukan baru. Anyir darah diatas aspal Banyuwangi tercium ke setiap sudut pedusunan. Aku terkekeh kegirangan, tanpa sadar bahwa sebenarnya aku telah kembali meninggalkan kemuliaan muara nurani. Sebuah pertikaian baru segera bermula. Para penghuni negeri memendam beragam kebencian, meskipun mereka juga bingung tentang siapa yang mesti dibenci dan apa alasan untuk membenci. Permainan kembali mencuat, terangkat surat kabar dan kamera elektronik,dan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok negeri.

Aku makin tertawa lebar saat pengikutku berhasil mengumpulkan puluhan orang gila yang sudah berlumur darah kambing hitam. Sedikit banyak, bau busukku lambat laun mulai reda, berpindah pada bau anyir darah dari Banyuwangi. Perselisihan antar bagian mulai terlihat. Sebuah pemandangan apik jika ini terus berkelanjutan, harapku di lubuk hati kelam. Pergolakan darah dukun santet makin merambah ke beberapa kota. Sehingga aku punya waktu istirahat untuk memoles diri dengan cairan perasaan air kemangi, atau istirahat mandi pagi dengan parfum yang kubeli dengan harga miliaran itu.

Sembari menyaksikan peperangan antar bagian, di setiap channel teve, kuundang seorang mantan kepala sekolah untuk segera menyusun administrasi baru sebagai kelanjutan dari permainan Banyuwangi.

Sore kian beranjak malam. Orang-orang sekitar terus sibuk dengan persoalannya masing-masing, sambil membersihkan puing-puing kerusuhan yang beberapa waktu lalu terjadi. Perlahan, bau busuk nafasku sedikit reda. Kali itu, rasanya ingin kuucapkan pada sekumpulan orang gila yang telah menutupi bau busukku dengan darah kambing hitam. Mereka cukup berjasa dalam permainan ini. Tapi sayang, aku tak lagi berwenang memberi penghargaan putra terbaik bangsa dengan piagam bintang mahaputera. Biarlah. Toh mereka juga orang gila. Bagaimana pun piagam penghargaan juga tak akan menyembuhkan kegilaan mereka. Justru akan berbahaya jika mereka sadar bahwa mereka aku pecundangi. Jika ini terjadi, sangat mungkin bau keringatku akan semakin busuk dari bulan sebelumnya.

Luka menganga telah merobek sudut negeri. Bau anyir darah, sepertinya tak mungkin aku akhiri sampai disini. Semuanya harus berlanjut sampai bau air comberan di tubuhku bisa kembali bau harum, meskipun hanya sebatas harumnya ketek WTS kelas teri.

Dari atap rumahku, kupantau kejadian-kejadian di setiap ujung gang, perkampungan, sampai di depan rumahku, yang ternyata masih terkepung oleh penjaga setia, meskipun aku tak tahu persisnya apakah mereka juga merasakan bau busuk keringatku atau tidak.

“Tuan Caskim!” mantan kepala sekolah itu tiba-tiba muncul tepat berada di bawah saat aku bertengger di atas rumah. ”Tuan jangan dulu memunculkan diri. Kondisi seperti sekarang belum cukup aman untuk memunculkan strategi baru. Turunlah! Istirahatlah kembali!”

”Istirahat itu urusan gampang! Apa yang kau katakan tentang genangan darah di Banyuwangi beberapa waktu yang lalu?”

”Beres, Tuan! Semua sudah saya sampaikan kepada para wartawan bahwa kejadian itu hanya kriminal biasa. Tenang saja, Tuan! Semuanya sudah berjalan sesuai dengan skenario!”

”Lantas apa rencanamu sekarang?” Aku menagih janji pada mantan kepala sekolah itu, setelah aku turun dari atap rumah.

”Saya memiliki beberapa pasukan ninja. Dan mereka bisa kita berdayakan untuk permainan baru.”

Aku tenang sesaat.

“Bagus! Ternyata idemu tetap cermelang meskipun kau hanya mantan kepala sekolah,” kataku memuji ide jitu yang dilontarkan orang terdekatku.

Pasukan ninja pun bergentayangan, membuat permainan baru di tengah kecemasan para penghuni negeri terhadap kondisi yang belum tenang. Kabar teror, telepon gelap terhadap para kiai memulai operasi ninja. Sehingga hampir seluruh perkampungan dilanda ketidak-tenangan yang berkepanjangan. Satu-persatu gerakan ninja menumpahkan anyir darah. Lagi,….mayat terkapar tanpa identitas.

Cras! Cras! Pedang menyambar, darah tercurah, keringat telah menjadi darah. Aku makin tak tersadarkan diri, permainan yang akan terus berkelanjutan, agar darah di berbagai daerah akan menyita surak kabar sehingga mereka akan tersumbat, tidak lagi mencium bau busuk darah dan keringatku.

Satu menit baru saja aku menarik nafas lega. Sebuah guncangan kembali menggegerkan pagar disekitar rumahku. Aku terkesiap dan bangkit menyingkap korden jendela. Tak kuduga jika sekelompok orang masih tetap mencium bau busuk darah dan keringatku. Aku jadi nanar. Keringat dingin mengucur, membasahi setiap lekuk tubuhku. Sesekali kuusap, lalu kusemprot dengan parfum sekujur tubuh. Tapi bau busuk sepertinya tetap saja menyengat keluar rumah. Tak ada jalan lain, mereka pasti kembali membenamkan aku ke air comberan.

Ah, ternyata, daging dan sekujur tubuhku memang benar-benar telah membusuk! Ucapku, sembari berlari menuju kamar kecil. “Mungkin di sini akan lebih aman. Mudah-mudahan mereka aka kesulitan membedakan bau busuk keringatku dengan bau busuk tinja,” kataku sambil melumuri badan dengan tinja-tinja yang tersisa.

Satu Cerita Tentang Caskim..

“Jangan Bang! Jangan ambil uangku, aku sudah lama mengumpulkan uang ini, ini buat berobat ibuku, ibuku sakit keras, ibuku sangat memerlukan uang ini. Jangan ambil uangku,” suara itu masih terngiang-ngiang di telinga Caskim.

Sudah empat tahun berlalu tapi dia tak bisa menghilangkan bayangan suara anak itu, seolah-olah anak itu selalu mengikutinya. Entah karena rasa bersalah atau apa, yang pasti sejak kejadian itu hidupnya jadi tak tenang.

***

“Abang ini gimane, becus ‘gak sih cari uang. Anakmu sudah dua hari hanya makan nasi sama garam, belum lagi biaya sekolah nunggak tiga bulan. Bukanhye Abang gak pengen anak-anak kite bernasib sama ame kite,” seperti pagi-pagi sebelumnya, istri Caskim mulai uring-uringan, hari masih pagi, Caskim baru saja terjaga dari tidurnya, sudah disapa oleh senandung sumbang istrinya.

“Diem!!!” bentaknya. “Gw juga udah tau, bukannye gw kagak peduli, tapi mo pegimane lagi, loe juga tahu gw baru aje di PHK, bukannye uang pesangon masih ada, kasih gw waktu buat cari kerjaan baru,” Caskim sudah tidak bisa menahan emosinya, ia sudah bosan dengan omongan istrinya.

“Hah? uang pesangon kate Abang? Uangnye dah habis sebulan lalu. Nah Abang.., ape yang Abang kerjain semenjak di PHK cuman tidur, minum, berjudi. Laki macam apaan Abang ini? Kalo aje aye gak kerja keras cari kerjaan serabutan kesana-kemari, mungkin Abang udah jadi bangke dari kemarenan Bang. Emang Abang kagak tau kalo selama ini Abang makan dari hasil cucuran keringat aye?” istrinya tak mau kalah.

Sebenarnya kala itu Caskim sangat merasa bersalah, namun bagaimanapun juga sebagai seorang lelaki ia tak mau harga dirinya direndahkan seperti itu. “Halah, baru gitu aje udah belagu loe, udah berani ngerendahin gw, udah ngerasa berjasa loe? Emang loe kagak tau, gw kerja buat makan loe ame anak-anak loe dah ampir sepuluh tahun lebih, gw gak pernah ngebangggain diri,” Caskim mulai naik pitam.

“Tapi, Bang, bukan bgeitu maksud aye, aye cuman…”

“Diem loe, gw dah bega dengerin ocehanmu,” ia meraih kendi air di sebelah tempat tidurnya, dengan emosi ia lemparkan ke arah istrinya.

Brakk! Pecahan kendi berserakan kemana-mana. Untung saja istri Caskim masih sempat mengelak. Ia berlari ke kamar dan menguncinya dari dalam.

“Eh…keluar loe! Dasar istri kurang ajar, brani-braninye loe ngina laki loe sendiri,” Caskim mulai kehilangan kendali.

***
Dua hari ini Caskim malas pulang ke rumahnya. Ia sudah bosan dengan ocehan istrinya, ia sudah muak direndahkan. Ia menghabiskan waktunya dengan berjudi dan minum-minum. Tapi ia perlu uang juga, lama-lama uangnya menipis, sedangkan ia terlalu gengsi untuk minta ke istrinya. Akhirnya Caskim pulang juga walau bagaimana pun istrinya pasti akan memberinya uang, begitu pikirnya, bukankah ia bisa mengancamnya. Dengan sempoyongan Caskim kembali ke rumahnya, ia mabuk berat, rumahnya yang hanya beberapa ratus meter dari warung Darjo tempat ia biasa mabuk-mabukan dan main judi terasa jauh sekali.

***
Malam itu sangat sepi, tampak seorang bocah penyemir sepatu menghitung uang hasil upah kerjanya seharian, rupanya penghasilannya saat ini cukup besar. Dengan hati riang ditimang-timangnya uang itu, dia tak mengira kalau saat ini dia terancam bahaya, dan mungkin uangnya akan segera berpindah tangan.

Caskim memperhatikan dengan jelas apa yang dilakukan anak itu. Terbersit dipikirannya untuk memiliki uang itu. Tentu saja di saat ini ia sangat membutuhkan uang. Mungkin istrinya tak akan ngomel terus bila ia memberi uang, dan ia akan menikmati kembali tubuh istrinya yang sudah dua bulan ia tak menikmatinya.

***

“Tarmijah, bukain pintunye!!! Gw bawa duit sekarang, loe gak perlu ngomel-ngomel ni hari, dan pasti loe mau ngelayanin gw ni malem, ye gak?” Caskim memanggil istrinya.

“Bentar, Bang!” jawab istrinya.

Pintu pun terbuka, Caskim masuk dan langsung merebahkan diri di sofa yang bolong di sana-sini.

“Hai, Bang, dapet duit dari mana Bang?” tanya istrinya.

“Alah, loe gak perlu tau dari mana tuh duit. Yang penting tuh duit cukup buat loe ame anak loe makan selame seminggu, ntar gw nyari lagi,” sergah Caskim mulai naik pitam.

“Bukannye gitu, Bang, aye takut Abang berbuat yang kagak-kagak,” jawab istrinya.

“Oh…jadi loe dach gak percaya ame gw?” tanya Caskim.

“Kagak Bang, aye percaya ama Abang,” istrinya tak mau terus berdebat. “Oh iye bang, aye lupa ada berita baik tuh buat Abang, perusahaan tempat Abang dulu kerja manggil Abang bua kerja disono lagi, ni surat pemanggilannye,” kata istri Caskim sambil menyerahkan surat itu.

Caskim tercengang, rupanya ia sedikit menyesal, kalau tahu begini, ia mungkin tak perlu merampas hak anak itu.

***

Satu tahun berlalu, kini Caskim dan keluarga sudah hidup mapan, tapi ada satu yang masih menjadi beban pikirannya, ia ingin mengembalikan uang anak kecil yang dulu pernah ia rampok, setiap malam setelah dia pulang kerja ia akan menunggu anak itu di jembatan tempat dulu ia merampok anak itu. Namun anak itu bagai menghilang ditelan bumi. Ia tak pernah muncul lagi.

“Gimane nasib tuh anak?, ibunye dah sembuh ape amlah dah mati?, atau tuh anak mati kelaperan sehabis maknye pegi?,” mungkin itu yang dipikirkan Caskim selama ini.

***

Seperti biasa malam itu Caskim masih menunggu kedatangan anak itu, ia berharap suatu saat rasa berdosanya akan dapat hilang, dua jam ia menunggu, anak itu tak muncul juga, uang itu masih digenggamnya. Sekonyong-konyong seseorang merebut uang itu dan berlari, Caskim kaget.

“Jambret, malllliiiing,” teriaknya. Tapi kala itu jalan sangat sepi, tak ada yang mendengar teriakannya. Bergegas ia mengejar anak itu. Ia raih batu besar di pinggir jalan, ia lemparkan ke arah anak itu, dan bruk! anak itu tersungkur ke jalan aspal. Lemparan Caskim tepat mengenai kepala anak itu.

Malang nasib anak itu. Sebelum Caskim menghampirinya, sebuah sedan melaju dengan kencang. Dan brak! Anak itu tergilas.

Tiba-tiba semua hening. Caskim menghampiri anak itu, dan menatap wajahnya, Caskim tercengang, rupanya anak itu, ya, itu adalah anak yang dia rampok dulu.

“Kagak…..,kagak mungkin….. jangan……, jangan mati…., gw belum balikin duit loe Nak, kagaaaaaakkkkkkkk!” teriaknya. “gw yang ngebunuh… gw yang ngebunuh, tidaaak!!!”

Friday, September 22, 2006

Persiapan Menyambut Ramadhan

Beberapa Persiapan Ramadhan yang patut dilakukan


1. Persiapan Ma'nawiyah (moralitas)

Yang dimaksudkan dengan mempersiapkan moralitas adalah menyambut dengan hati gembira bahwasanya Ramadhan datang sebagai bulan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Maknawiyah yang siap akan memandang Ramadhan bukan sebagai bulan penuh beban melainkan bulan untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas ubudiyah dan meraih derajat tertinggi di sisi Allah SWT.


2. Persiapan Fikriyah (ilmu)

Untuk dapat meraih amalan di bulan Ramadhan secara optimal maka diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai Fiqhus shiyam. Oleh karena itu persiapan fikriyah tidak kalah penting bagi seorang kader untuk mendapatkannya. Dengan pemahaman fiqhus Shiyam yang baik dia akan memahami dengan benar mana perbutan yang dapat merusak nilai shiyamnya dan mana perbuatan yang dapat meningkatkan nilai dan kualitas shiyamnya.


3. Persiapan Jasadiyah (raga)

Tidak dapat dipungkiri bahwa aktifitas Ramadhan banyak memerlukan kekuatan fisik, untuk shiyamnya, tarawihnya, tilawahnya dan aktifitas ibadah lainnya. Dengan kondisi fisik yang baik dapat melakukan ibadah tersebut tanpa terlewatkan sedikitpun juga. Karena bila kondisi fisik tidak prima terbuka peluang untuk tidak melaksanakannya amaliyah tersebut dengan maksimal, bahkan dapat terlewatkan begitu saja. Padahal bila terlewatkan nilai amaliyah Ramadhan tidak dapat tergantikan pada bulan yang lain.


4. Persiapan Maliyah (harta)

Persiapan maliyah ini bukanlah untuk beli pakaian baru atau bekal perjalanan pulang kampung atau untuk membeli kue-kue iedul fitri. Akan tetapi untuk infaq, shadaqah dan zakat. Sebab nilai balasan infaq, shadaqah dan zakat akan dilipat gandakan sebagaimana kehendak Allah SWT. Karenanya mempersiapkan maliyah ini dilakukan sedini mungkin agar dapat dimenej dengan sebaik-baiknya.

Persiapan tersebut guna mendapatkan buah Ramadhan yang mahal dan dapat melakukan amaliyahnya secara optimal dan maksimal. Sehingga bukan saja merasa senang dan gembira dengan datangnya Ramadhan akan tetapi memang sudah dipersiapkan sematang mungkin untuk berlomba-lomba dalam aktifitas kebajikan.



Optimalisasi Amaliyah Ramadhan:

Sebagai sarana tazkiyah dan tarqiyah, Ramadhan sudah selayaknya diisi dengan berbagai aktifitas yang terprogram dan terarah. Agar buah Ramadhan yang sangat mahal itu dapat dipetik untuk kehidupan selama dan pasca ramadhan. Rasulullah SAW. telah memberikan contoh dan teladan kepada umatnya dengan melakukan amaliyah Ramadhan, antara lain:


1. Shiyam

Amaliyah terpenting selama Ramadhan tentu saja shiyam, sebagaimana termaktub dalam QS. Al Baqarah: 183 - 187. Diantara amaliyah Ramadhan yang diajarkan Nabi SAW. sebagai berikut:


a. Berwawasan benar tentang puasa dengan mengetahui dan menjaga rambu-rambunya.

b. Tidak meninggalkan shiyam, walaupun sehari dengan sengaja tanpa alasan syar'i.

c. Menjauhi segala hal yang dapat mengurangi atau menggugurkan nilai puasa.
d. Bersungguh-sungguh melakukan shiyam dengan menepati aturan-aturannya.
e. Bersahur dan diutamakan mengakhirinya. Sabda Rasulullah SAW. Sahur semuanya selalu mengandung barakah, maka janganlah kamu meninggalkannya walaupun hanya meminum dengan seteguk air putih. Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya memberi rahmat kepada mereka yang bersahur.

f. Ifthar (berbuka puasa).

g. Berdo'a setelah ifthar.


2. Tilawah Al Qur'an

Membaca Al Qur'an merupakan transaksi yang selalu menguntungkan, tidak akan pernah mengalami kerugian sepanjang zaman. Firman Allah SWT.


Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, (QS. 35:29) agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. 35:30)


Tentunya membaca Al Qur'an di bulan Ramadhan sangat besar ganjaran dan nilainya. Rasulullah pun sangat besar perhatiannya pada Al Qur'an melebihi bulan-bulan lainnya. Disebabkan beberapa hal, antara lain:


a. Al Qur'an pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan.

b. Di bulan Ramadhan itulah Allah SWT. turunkan Al Qur'an dari Lauhul Mahfuzh ke langit dunia.

c. Jibril datang kepada Rasulullah SAW. di bulan Ramdahan sehingga beliau mengaji pada Jibril.


3. Qiyam Ramadhan

Disamping Ramadhan disebut sahrus shiyam juga disebut sahrul qiyam. Banyak ayat ataupun hadits yang menganjurkan untuk mengisi malam Ramadhan dengan qiyamullail. Untuk mendekatkan diri pada Allah SWT berharap ampunan-Nya. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW.:

Barang siapa yang melakukan qiyamullail di bulan Ramadhan karena iman dan ikhlas dalam pelaksanaannya maka ia akan diampuni dosa-dosa sebelumnya (dan yang akan datang) HR. Bukhari dan Muslim.

4. Ith'am At Tho'am (memberi makan orang yang puasa) dan infaq

Salah satu amaliyah Ramadhan yang dilakukan Rasulullah SAW. ialah memberi ifthar (santapan berbuka puasa pada orang yang berpuasa). Sebagaimana Sabdanya:

Barang siapa yang memberi ifthar kepada yang berpuasa maka ia akan mendapatkan pahala senilai pahala yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa.


Dalam hal memberi ifthar dan shadaqah di bulan Ramadhan tidak saja terbatas hanya untuk keperluan ifthar, melainkan untuk segala kebajikan. Rasulullah yang dikenal dermawan dan kepedulian sosialnya lebih menonjol bahkan digambarkan dalam hadits pada masalah ini beliau lebih cepat dari angin.


Untuk lebih konkrit, infaq ini dapat disalurkan kepada:

  1. Orang yang berjihad di jalan Allah SWT.
  2. Fakir miskin dan orang yang memerlukan.
  3. Lembaga-lembaga sosial Islam yang dapat dipercaya untuk dapat
    menyalurkannya.


5. Memperhatikan kesehatan

Meskipun shiyam ini termasuk ibadah mahdhah (murni), agar tetap optimal, Rasulullah mencontohkan umatnya tetap memperhatikan kesehatannya selama berpuasa dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Menyikat gigi dengan siwak.

b. Berbekam.

c. Memperhatikan penampilan. Rasulullah SAW. Pernah berwasiat pada Abdullah bin Mas'ud agar memulai puasa dengan penampilan yang baik, tidak dengan wajah yang kusut.


6. Memperhatikan harmonisasi keluarga

Meskipun ibadah puasa adalah ibadah yang khusus diperuntukan kepada Allah SWT. yang mempunyai nilai khusus pula di hadapan Allah SWT. namun asulullah SAW. sebagai suri tauladan juga tetap menjaga harmoni dan hak-hak keluarga selama Ramadhan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dan 'Aisyah RA. Bahkan di saat beliau berada dalam puncak ibadah shiyam yaitu 'itikaf, beliau tetap menjaga harmoni keluarga.


7. Memperhatikan aktifitas sosial, perluasan dakwah dan jihad

Berbeda dengan kesan banyak orang tentang Ramadhan, Rasulullah SAW. Justru menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh aktifitas yang positif. Selain katifitas di atas, beliaupun mengisinya dengan aktifitas da'wah dan sosial, perjalanan jauh dan jihad. Seperti: perjalanan ke Badar (th 2 H), ke Makkah (th 8 H), ke Tabuk (th 9 H) dan lainnya.


Kitapun saat ini dapat melakukannya untuk menyemarakkan dakwah dengan melakukan rekruting sebanyak-banyaknya agar setelah Ramadhan bertambah barisan kader dakwah kita.


8. Berdo'a dan taubat

Orang mukmin yang sadar, bahwa dirinya merasa berhajat pada Allah SWT. akan terus memohon ampunan pada Allah SWT. atas segala kekhilafan dan kedhaifan diri. Apalagi Ramadhan sebagai bulan ampunan dan rahmat. Rasulullah SAW. selama Ramadhan selalu membaca do'a berikut ini sebagai wujud pemintaan maghfirah dan rahmat Allah SWT

Ya Allah Engkau pemberi maaf, maka maafkanlah diriku


9. 'Itikaf

Amaliyah Ramadhan yang juga dilakukan beliau adalah ber'itikaf yakni berdiam diri di mesjid dengan niat beribadah pada Allah SWT. terutama sepuluh terakhir di bulan Ramadhan. Sebagaimana firman-Nya:

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa. (QS. 2:187)


10. Lailatul qadar

Selama Ramadhan terdapat satu malam yang sangat populer, yaitu lailatul qadar, malam yang lebih berharga dari seribu bulan. Rasulullah SAW. tidak pernah melewatkan kesempatan untuk meraih lailatul qadar ini terutama malam-malam ganjil. Dalam hal ini

Rasulullah SAW. Bersabda

Barang siapa yang shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan ikhlas pada Allah maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.


11. Umrah

Umrah di bulan Ramadhan nilainya sama dengan ibadah haji atau haji bersama asulullah SAW. sebagaimana jawaban Rasul pada Ummu Salamah yang bertanya masalah tersebut. Sabda Rasulullah SAW.:

Apabila datang bulan Ramadhan maka berumrahlah, sebab umrah di bulan Ramadhan sama nilainya dengan haji atau sama dengan ibadah haji bersamaku


Penutup

Demikianlah amaliyah dan aktifitas Ramadhan yang dianjurkan kepada kita untuk menjadi sarana tazkiyah dan tarqiyah untuk meraih derajat taqwa. Agar buah Ramadhan ini tetap terjaga pada diri kita selama Ramadhan dan sesudahnya bahkan selama kehidupan kita. Sehingga seakan-akan seluruh kehidupan kita adalah Ramadhan. Akhirnya kita serahkan pada Allah SWT. agar selalu membimbing dan mengarahkan kita

pada jalan yang lurus mencapai golongan orang-orang yang bertaqwa. Amin.




BONUS DOA-DOA SELAMA BULAN RAMADHAN


Hari Pertama

"Ya Allah, jadikanlah puasaku, puasa orang benar-benar berpuasa. Dan ibadah malamku, ibadah orang benar-benar mengerjakan ibadah. Dan jagalah aku dari tidurnya orang yang lalai. Hapuskanlah dosaku wahai Tuhan sekalian alam. Dan Ampunilah aku wahai Tuhan maha pengampun daripada segala dosa."

Hari Kedua

"Ya Allah, dekatkan aku kepada keredaan Mu dan jauhkan aku daripada kemurkaan serta balasan Mu. Berilah aku kemampuan membaca ayat-ayatMu dengan rahmat Mu, wahai Tuhan Maha Pengasih"


Hari Ketiga

"Ya Allah limpahkan aku dengan kecerdikan fikiran dan kewaspadaan serta
jauhkan aku daripada kebodohan dan kesesatan. Sediakan bahagian ku daripada kebaikan yang kau turunkan., demi kemurahan Mu, wahai Tuhan Maha Pemurah daripada segala dermawan."


Hari Keempat

"Ya Allah berilah kekuatan kepada ku untuk melaksanakan perintah Mu dan berilah aku kemanisan berzikir. Berilah aku kekuatan melahirkan kesyukuran dengan kemuliaan Mu. Dan jagalah aku dengan jagaan dan perlindungan Mu, wahai Tuhan Maha Melihat."


Hari Kelima

"Ya Allah, tempatkan aku di kalangan orang yang sentiasa memohon keampunan. adikanlah aku hamba Mu yang saleh serta jadikanlah aku dikalangan auliya (orang yang mendapat keutamaan Mu) yang hampir di sisiMu dengan kelembutan Mu, wahai Tuhan yang Maha pengasih daripada segala pengasih"

Hari Keenam

"Ya Allah, janganlah aku dihina kerana perbuatan maksiat ku kepada Mu dan janganlah menyeksa ku dengan balasan Mu. Jauhkan aku daripada sesuatu yang boleh mendatangkan kemurkaan Mu, dengan anugerah dan bantuan Mu, wahai kemuncak keinginan orang yang berkeinginan. "


Hari Ketujuh

"Ya Allah bantulah aku untuk mengerjakan puasa dan ibadah malamnya. Jauhkanlah aku daripada dosa-dosanya. Dan berilah aku zikir untuk mengingati Mu secara berterusan, dengan taufik (petunjuk) Mu wahai pemberi petunjuk kepada orang yang sesat."


Hari Kelapan

"Ya Allah, berilah aku rezeki berupa kasih sayang kepada anak-anak yatim, pemberi makanan, penyebar salam dan bergaul dengan mulia, dengan kemuliaan Mu tempat berlindung orang yang berharap."


Hari Kesembilan

"Ya Allah, sediakan bagi ku sebahagian daripada keluasan rahmat Mu. Berilah aku petunjuk dengan ajaran-ajaran Mu. Bimbinglah aku menuju keredaan Mu yang penuh dengan kecintaan Mu, wahai harapan orang yang merindu."


Hari Kesepuluh

"Ya Allah, jadikan aku di antara orang bertawakal kepada Mu dan Jadikan aku di kalangan orang yang menang di sisi Mu. Ya Allah, jadikan aku di kalangan orang yang dekat di sisi Mu. Dengan ihsan Mu wahai tempat tuju orang yang memohon."


Hari Kesebelas

"Ya Allah, tanamkan dalam diri ku kecintaan melakukan kebaikan dan kebencian melakukan perbuatan maksiat serta fasik. Ya Allah jauhkan ku daripada kemurkaan Mu dan seksaan api neraka, dengan pertolongan Mu wahai Tuhan yang menolong orang memerlukan pertolongan. "


Hari Kedua Belas

"Ya Allah, hiasilah diri ku dengan penutup dan kesucian. Tutuplah Diriku dengan pakaian kesederhanaan dan kerelaan. Tempatkan aku di jalan keadilan dan keikhlasan. Amankan diri ku daripada setiap perkara yang aku takut, dengan penjagaan Mu, wahai penjaga orang yang takut."


Hari Ketiga Belas

"Ya Allah, bersihkan diri ku daripada kekotoran dan kehinaan. Berilah kesabaran kepada ku untuk menerima segala ketentuan. Berilah kemampuan kepada ku untuk bertakwa dan bergaul dengan orang baik, dengan bantuan Mu wahai pengharap orang yang miskin."


Hari Keempat Belas

"Ya Allah, jangan aku dihukum disebabkan kekeliruan yang ku lakukan. Ampunkan aku daripada kesalahan dan kebodohan. Janganlah kau jadikan diri ku sasaran bala dan malapetaka, dengan kemuliaan Mu wahai kemuliaan kaum Muslimin."


Hari Kelima Belas

"Ya Allah limpahkan rezeki kepada ku berupa ketaatan orang yang khusyuk. Lapangkan dada ku dengan taubat orang yang menyesal, dengan keamanan Mu wahai keamanan orang yang takut."


Hari Keenam Belas

"Ya Allah, berilah kemampuan kepada ku untuk menjalani kehidupan Seperti mana kehidupan orang baik. Jauhkan bagi ku kehidupan orang yang melakukan kejahatan. Lindungilah aku dengan rahmat Mu hingga ke alam akhirat, demi ketuhanan Mu wahai Tuhan sekalian alam."


Hari Ketujuh Belas

"Ya Allah, tunjukkan bagi ku amal kebajikan dan penuhilah hajat serta cita-cita ku, wahai Tuhan yang Maha Mengetahui segala keperluan tanpa ungkapan permohonan. Wahai yang Maha Mengetahui segala yang ada dalam hati sekalian makhluk. Selawat dan salam ke atas Nabi Muhammad dan keluarga baginda yang suci."


Hari Kelapan Belas

"Ya Allah, sedarkan aku untuk mencari keberkatan. Terangkan hati ku secerah cahaya dan bimbinglah aku serta anggota ku untuk mengikuti segala ajaran Mu, dengan cahaya Mu wahai penerang hati orang yang bijak."



Hari Kesembilan Belas

"Ya Allah, penuhkan bahagian ku dengan keberkatan dan mudahkan bagi Ku menuju ke arah kebaikan. Jangan kau jauhkan aku daripada ketenteraman kebaikan, wahai pemberi petunjuk kepada kebenaran."


Hari Kedua Puluh

"Ya Allah, bukakan bagi ku pintu-pintu syurga dan tutupkan bagiku pintu-pintu neraka. Berilah kemampuan kepada ku untuk membaca ayat-

Ayat suci al-Quran, wahai pemberi ketenangan dalam hati orang beriman."


Hari Kedua Puluh Satu

"Ya Allah, berilah aku petunjuk untuk mendapat keredaan Mu. Janganlah engkau biarkan syaitan menguasai diri ku. Jadikan syurga tempat tinggal dan berehat bagi ku, wahai pelaksana keperluan orang meminta."


Hari Kedua Puluh Dua

"Ya Allah, bukakan bagi ku pintu kelebihan dan turunkan bagi ku keberkatan mu. Berilah kepada ku untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan keredaan Mu dan tempatkan aku dalam syurga Mu yang luas, wahai penjawab doa orang dalam kesempitan."


Hari Kedua Puluh Tiga

"Ya Allah bersihkan aku daripada segala dosa dan jauhkan diri ku daripada keaiban serta tanamkan ketakwaan dalam hati ku, wahai pengampun kesalahan orang yang berdosa."


Hari Kedua Puluh Empat

"Ya Allah, aku bermohon kepada Mu perkara yang mendatangkan keredaan Mu. Aku berlindung dengan Mu daripada perkara yang mendatangkan kemarahan Mu dan aku bermohon kepada Mu kemampuan untuk mentaati Mu serta menghindari kemaksiatan terhadap Mu, wahai pemberi kepada yang meminta."


Hari Kedua Puluh Lima

"Ya Allah, jadikan aku orang yang menyintai auliya Mu dan memusuhi Musuh Mu. Jadikan aku pengikut sunnah nabi Mu, wahai penjaga hati para Nabi."


Hari Kedua Puluh Enam

"Ya Allah, jadikan usaha ku sebagai usaha yang sentiasa disyukuri, dosa-dosa ku sebagai dosa yang diampuni, kebaikan ku sebagai kebaikan yang diterima dan keaiban ku sebagai keaiban yang ditutupi, wahai Tuhan Maha Mendengar daripada semua pendengar."


Hari Kedua Puluh Tujuh

"Ya Allah, berilah rezeki berbentuk ganjaran Lailatul Qadar kepada ku, ubahkan perkara sulit menjadi mudah, makbulkan permintaan maaf ku dan hapuskan dosa serta kesalahan ku, wahai Tuhan Maha Penyayang kepada hamba soleh."


Hari Kedua Puluh Delapan

"Ya Allah, penuhkan hidup ku dengan amalan sunnah dan muliakan aku dengan diterimanya semua permintaan, wahai Tuhan yang tidak disibukkan oleh permintaan orang meminta.


Hari Kedua Puluh Sembilan

Ya Allah, hiasilah aku dengan rahmat Mu dan berikanlah aku petunjuk serta penjagaan Mu. Bersihkan hati ku dengan fitnah, wahai pengasih kepada hamba yang beriman.

Semoga bermanfaat