Friday, October 20, 2006

Satu Cerita Tentang TiraMisHu

Dion membeli empat potong besar tiramisu dan membayar sejumlah Rp100.000 di kasir. Sambil bersiul senang, dia kemudian menghentikan sebuah taksi untuk membawanya ke rumah Tiara. Dia tidak ingin naik bus, supaya tiramisu yang dibawanya tetap dingin dan tidak meleleh.

Malam ini akan jadi hari spesial, pikir Dion senang sambil menutup pintu taksi dan menyebutkan tujuannya. Hari ini Tiara berulangtahun, dan Dion sengaja membeli tiramisu untuk merayakannya. Tiara belum punya pacar, sehingga harapan Dion untuk mendapatkan perhatian Tiara melambung tinggi.

Tiara, temannya di kampus yang sudah 3 bulan ini mengisi angan-angannya. Cantik, pintar dan supel. Sayangnya, Dion sangat pemalu, sehingga dia selalu grogi alias mati gaya bila berhadapan dengan Tiara. Beruntung, Dion memiliki sahabat yang dapat diandalkan, Ryan. Melalui Ryan, Dion memperoleh segala informasi tentang Tiara. Mulai dari rumahnya, hobinya, hingga makanan kesukaannya. Dion jadi tahu kalau Tiara sangat menyukai tiramisu.

Ryan mengorek informasi tentang Tiara tersebut melalui Wenny, teman serumah Tiara. Ryan mudah bergaul, dan dengan bakatnya itu dia mendekati Wenny untuk mendapat informasi tentang Tiara. Terkadang Dion iri pada Ryan, yang selalu luwes jika berhadapan dengan perempuan.

Taksi yang membawanya terjebak kemacetan rutin di Jalan Sudirman. Dion melihat arlojinya. Masih pukul 18.45 WIB. Belum terlalu malam, pikirnya sambil memandang ke jalan.

Dion tersenyum sendiri saat mengenang pendekatan pertamanya kepada Tiara. Melalui tiramisu. Dia menitipkan satu loyang kecil tiramisu lewat Wenny. Sebagai imbalannya, Dion harus mentraktir Wenny makan siang dua hari berturut-turut.
Siasatnya cukup berhasil. Keesokan harinya, ketika dia dan Ryan sedang menunggu Wenny untuk makan siang bersama, sebuah suara menyapa dibelakangnya.

"Hai Dion!"

Dion menoleh dan mendapati dirinya berhadapan dengan Tiara. Jantungnya melompat, dan perutnya langsung bergolak, seakan dia telah meminum satu botol obat pencahar. Dia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, namun yang keluar hanya semacam lenguhan, seperti sapi yang hendak disembelih.

Ryan yang menyadari kebodohan sikap Dion, segera menyelamatkan situasi. "Hallo Tiara. Kita baru mau makan nih, mau ikut?" tanyanya renyah, dengan gayanya yang khas.
Maka demikianlah, mereka makan siang bersama di kantin kampus. Keesokan harinya, secara tidak sengaja Dion melihat Tiara di perpustakaan. Pujaannya itu baru saja mengambil beberapa buku dari sebuah rak, dan membawanya ke atas meja. Dion tidak berani mendekati Tiara, tapi dia mendekat ke rak untuk melihat buku-buku macam apa yang dibaca Tiara. Rak itu menampilkan sederet buku-buku politik dan filsafat. Hmm, bacaannya berat banget, pikir Dion. Tapi dia segera maklum, karena Tiara memang mengambil Jurusan Politik, sedangkan Dion mengambil Jurusan Kimia. Tiba-tiba pundaknya ditepuk.

"Dion! Ngapain kamu di sini?" tanya Tiara.

Dion gelagapan. Seperti biasa, jantungnya melompat. Seketika, dia ingin sekali menjadi Ryan yang tidak pernah canggung menghadapi perempuan.

"Eh, aku..aku nyari buku," katanya tanpa berpikir.

Tiara menatapnya heran. "Kamu tertarik filsafat?" tanyanya.

Kepalang basah, Dion mengangguk. Sejak kapan aku tertarik filsafat? pikirnya pasrah. Dia kan dari Jurusan Kimia, nggak ada hubungannya dengan filsafat. Yah, kecuali kalau Louis Pasteur bisa disebut sebagai filsuf.

Melihat Dion mengangguk, Tiara tampak berseri-seri.

"Aku punya buku filsafat ringan, gampang dibaca. Mau pinjem? Itu buku terlaris di dunia loh," kata Tiara berpromosi.

"Harry Potter?" tanya Dion bodoh. Seingatnya, buku terlaris di dunia adalah Harry Potter, tapi itu buku anak-anak, mana mungkin bercerita tentang filsafat.

"Bukan. Tapi Dunia Sophie," kata Tiara, sambil tersenyum. Dion merasa tolol sekali.
Taksi sudah memasuki Jalan Gatot Subroto. Lampu-lampu di kiri-kanan jalan mengedip dengan riang. Dion mengatur posisi duduknya agar tiramisu yang dipangkunya tidak rusak.

Dia menghela nafas. Senang sekali. Sejak kejadian di perpustakaan itu, kekakuan sikapnya terhadap Tiara mulai mencair. Bahkan, dia memberanikan diri main ke rumah Tiara di daerah Cawang, untuk 'meminjam' Dunia Sophie. Ditemani Ryan, tentu saja. Dan, dengan membawa tiramisu untuk membuat Tiara terkesan.

"Tuh, apa gue bilang. Gampang kan deketin cewek. Elu aja yang norak," ledek Ryan ketika mereka pulang dari rumah Tiara.

"Ah basi lu!" jawabnya sambil nyengir.

Taksi sudah memasuki daerah Cawang. Dion segera merapikan bajunya, kemeja biru tua polos yang dipinjamnya dari kakaknya. Ketika berkaca di kaca spion depan, Dion ingat bahwa dia belum memberitahu Ryan soal kunjungannya ke rumah Tiara kali ini. Ntar baru gue ceritain hasilnya, pikir Ryan sambil nyengir sendiri. Sopir taksi meliriknya, tapi Dion tidak peduli.

Taksi berhenti di depan rumah. Setelah membayar taksi, Dion keluar dan mengamati rumah Tiara sejenak. Rumah itu mungil, hanya dihuni dua orang, Tiara dan Wenny. Dia mengetuk pintu, namun setelah sekian menit tidak ada jawaban, dia memberanikan diri membuka pintu. Ternyata, tidak dikunci.

Pandangan mata Dion segera tertumbuk pada seloyang besar tiramisu di atas meja ruang tamu. Tiramisu itu sudah dipotong sebagian, pertanda telah ada yang memakannya. Siapa yang beli? Mungkin Tiara dan Wenny, untuk ngerayain ulangtahun Tiara, pikir Dion. Tapi, dia kemudian ingat kalau Wenny sedang pulang ke Surabaya.

Dion maju perlahan. Terdengar suara tv dari arah ruang tengah, dan suara tawa Tiara. Dion tersenyum. Pasti dia ketawa nonton tv, nggak mungkin ketawa sendirian, pikirnya.
Dion melangkah perlahan menuju ruang tengah. Sesampainya di ruang tengah, Dion tak dapat mempercayai matanya sendiri. Apa yang dilihatnya sungguh di luar dugaan. Matanya terpaku, menatap Tiara dan Ryan yang duduk membelakanginya. Mereka tampak mesra sekali, menonton tv sambil berangkulan. Di meja di depan mereka, tergeletak dua piring kecil berisi sisa-sisa potongan tiramisu.

Dion membeku, tak mampu bergerak. Dia ingin berlari sekencang-kencangnya, tapi tidak mampu menggerakkan kakinya. Seluruh tubuhnya, bahkan hatinya, seolah membeku, sedingin tiramisu dalam bungkusan ditangannya.

Satu Cerita Tentang Kelamin

MATAKU berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjelma menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.

Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari makhluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.

Matahari membidik tubuhku dan tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun, kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita. Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku berulang-ulang.

Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing, bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya?

Aku memetik sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas kepala putik. Kami tertawa renyah.

Kami sepakat bahwa kelamin seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang melarang, membatasi, tak jua mengomentari.

Inilah kebahagiaanku dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyemburkan air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya. Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling memelototi kakus setiap hari.

Kelamin kami memang tak boleh terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata manusia.

Suatu hari, vaginaku memucat. Pun penis pacarku kuyu. Aku heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang melekat di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami. Aih…! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu? Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.

Kami berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin. Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat. Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
~*~
Sudah lama aku tak bertemu dengan pacarku. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu dengannya. Bahkan sekedar tuk mendengar lolongan dan dengkur tidurnya pun enggan. Serta dadanya yang naik turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku melemparkannya hingga membentur dinding.

Kubuka kaca jendela ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba. Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur di atas kakiku sendiri.

Terdengar suara-suara merintih memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu. Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.

Kami tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan, yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.

Samar-samar kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia. Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi akan dimakan rayap.

Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.

Aku mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat selama ini?

Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara. Aku menatap vaginaku, seperti menatap makhluk hidup yang mati. Aku menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku. Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun, suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya. Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.

Aku tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu yang aku sendiri kurang bisa memahami ucapan mereka.

Aku lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.

Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku?
Di sini!
Kaukah itu?

Tak kuduga pacarku tiba-tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu, memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.

Matanya menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah. Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota. Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin. Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati.

Satu CeritaTentang Pijar Hijau

Duh! Benar-benar deh! Gara-gara ikut acara uji nyali di salah satu stasiun televisi nasional, sekarang aku malah sering mengalami hal-hal aneh yang sulit aku jelaskan. Aku sendiri tidak mengerti kenapa ini terjadi padaku. Padahal waktu itu aku hanya iseng saja ikutan uji nyali.

Dan, kalau dipikir-pikir, ini juga salah Tono. Shoot! Karena, kalau bukan karena tertantang omongan Don Juan kutukupret itu, aku nggak bakalan terlibat superstitious macam begini.

Aku tidak percaya dengan yang namanya setan atau hantu atau apalah. Oke, aku percaya Tuhan ada. Aku juga percaya malaikat ada. Tapi setan atau hantu? Itu hanya usaha pihak tertentu yang ingin mendulang keuntungan dari cerita-cerita seram macam begitu. Aku kan hanya mahasiswa biasa yang berkutat dengan science. Not fiction.

"Kay, kamu kan nggak percaya sama yang namanya setan. Kalo gitu nggak takut dong ikutan uji nyali?" kata Tono. Saat itu kami sama-sama sedang menyaksikan host acara, Rahi Tjapan, berkeliling dan bertanya siapa berani ikut uji nyali di suatu tempat misterius yang terkenal angker di kota ini. Tadinya, aku menggeleng.

"Malas ah," jawabku enggan.

"Ah payah kamu! Bilang aja takut sama setan, makanya kamu pura-pura nggak percaya," Tono mencibir. Kutukupret juga ni anak, makiku dalam hati. "Dicky chicken! Dicky chicken!" sahabatku nan botak ini makin terlihat jelek dengan lidah terjulur keluar, lubang hidung dilebarkan, dan mata melotot. "Heh, jelek tau!" ledekku. Tapi Tono tetap tegar mengejekku.

Akhirnya aku terpancing juga. Aku segera mendekati Rahi Tjapan dan mengangkat tangan, menawarkan diri untuk menjadi peserta uji nyali. Dari sudut mataku, terlihat Tono menatap kami dengan serius. Yah, setidaknya aku bisa membungkam mulut monyong Tono yang terus mengejekku itu. Lagipula, dari tiga peserta hanya satu yang dipilih untuk satu sesi. Kemungkinannya 1 banding 3 kan? Hanya 33,33 persen. Santailah.

"Selamat, anda terpilih menjadi peserta dalam uji nyali pertama," kata Rahi Tjapan setengah jam kemudian. Tono, yang berdiri lima meter di belakang kamera, bersorak sambil terpingkal-pingkal tanpa suara. Sial! Tapi, so what gituloh! Toh aku tidak percaya pada setan. Apalagi arwah. Insan yang sudah meninggal, ya terbang ke langit. Tidak di dunia lagi.

Aku ingat dibawa ke suatu tempat dengan mata ditutup. Lalu diinstruksikan berbagai macam hal. Seorang paranormal berusia paruh baya menyarankan agar aku tidak takut. Dia berjanji akan terus mem-back up-ku. Apa pula itu maksudnya? Aku hanya tersenyum simpul ketika kamera utama dimatikan dan kamera infra merah diaktifkan. Sekian jam berlalu, rasanya tidak ada suara aneh apalagi penampakan seperti yang dikatakan.

Ketika uji nyali selesai dan ditanya apa kesan-kesanku. Aku katakan, biasa saja. Sang paranormal menatapku dengan mata melotot, begitu juga Rahi Tjapan. Dia terlihat sangat kaget. Menurutnya, kamera infra merah sempat menangkap sesosok bayangan berpijar hijau selama sekian puluh detik yang berdiri tidak jauh di belakangku!

Aku hanya nyengir kuda. Sumpah! Aku tidak merasakan apa-apa. Well, mungkin sempat sedikit menggigil karena tiba-tiba udara di sekitarku sepertinya ngedrop sampai ke sub zero. Tapi aku yakin, itu hanya perasaanku saja. Lagian, memang di daerah ini udaranya dingin. Yang lebih penting, aku dinyatakan lulus uji nyali dan mendapat hadiah satu setengah juta perak man! Tono hanya meringis waktu kubilang, aku tidak akan mentraktirnya. Ha ha! Don't worry Ton, aku hanya bercanda!

Tono hampir pingsan melihat tayangan acara uji nyali itu. Matanya melotot memandangi televisi. Sedangkan aku? Cool saja. Aku yakin, seyakin-yakinnya, itu hanya trik kamera. Bagus juga triknya. Bayangan pijar hijau dengan sosok wanita berambut panjang, berkulit pias. Berdiri di belakangku hampir semenit, dan tampak melayang mendekatiku sebelum akhirnya menghilang.

"Waaaaaa!" Tono berteriak sambil menutup kepalanya dengan bantal. Saat itulah aku melihat pijar hijau keluar dari televisi. Apakah itu efek elektris? Aku tidak tahu. Tapi, pijar itu melebar seperti selembar kain kerudung ibuku. Aku terus menatap pijar hijau itu.

Aku agak terkejut melihat sesuatu terbentuk di tengah "benda" tersebut, letaknya agak ke atas, seperti mata! Kemudian di bagian bawahnya, seperti bentuk lengan kurus pucat. "Benda" itu berhenti sebentar di punggung Tono. Awas belakangmu, Ton! Aku mencoba mengibaskan tangan di "benda" tersebut, tapi dia menghilang. Aku menelan ludah. Takut? Bukan. Bingung? Ya. Bagaimana caranya mengatakan hal ini kepada Tono? Sobatku nan botak itu penakutnya setengah mati. Tapi kalau meledek, gilanya setengah hidup.

Aku juga tidak bisa menjelaskan kepada pacarku, Shinta, kenapa akhir-akhir ini aku tidak bisa mencium keningnya. Bagaimana caranya aku menjelaskan? "Nta, maaf, aku lagi nggak bisa cium kamu. Soalnya setiap mau cium kamu, tiba-tiba ada mata melotot di jidatmu yang seksi itu," begitu? Bisa-bisa aku diputusin! Nggak deh. Aku nggak mau disebut freak alias orang aneh! Apalagi mengingat perjuanganku mendapatkan Shinta, si kembang kampus.

"Kay, kenapa sih? Kok nggak mau cium Cinta?" rengeknya manja. Wah, alamat merajuk lagi nih. "Maaf, Cinta. Kay lagi puasa, jadi nggak bisa cium Cinta dulu. Gapapa ya?" OUCH! Apa nggak ada alasan lain ya? Selalu alasan itu yang kupakai. "Hmm.. Cinta senang deh punya pacar yang rajin ibadah," kata Shinta sambil menerawang. Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala. Untunglah, pacarku nan cantik ini memang bodoh. Eh, polos!

Menjelang malam minggu, aku membaca koran. Shinta mengajakku nonton film horror. Hmm, film The Ring 2 ini baru tayang. Coba kubaca sinopsisnya. Kelihatannya seru juga. Kugelar koran itu di lantai. Posisiku tertelungkup sambil kedua tanganku menopang tubuh. Karena sinopsisnya terletak paling atas, aku terpaksa menindih koran bagian bawahnya.

Lagipula, hiiiy, ngeri juga ada gambar Samara (si hantu film itu) seakan sedang menaiki sumur. Matanya melotot ke arah pembaca. Sial! Aku kok jadi merinding? Belum selesai aku membaca sinopsis, tiba-tiba mataku menangkap pijar hijau lagi, dari bawah lenganku! Aku terlonjak. Gambar Samara (Sadako versi Hollywood) yang tercetak hitam putih itu kok menghijau?

Lama-lama berubah jadi seperti lendir hijau. Lebih kaget lagi, gambar Samara itu menghidup. Rambutnya yang panjang mulai bergerak. Begitu pula kepalanya. Tangannya yang menggapai juga bergerak. Mencakar. Menggaruk. Wajahnya yang menyeringai makin menyeringai!

Mendadak gambar itu melejit keluar dengan cepat, berpijar hijau. Suara di sekitarku bergemuruh seperti angin ribut. Pijar hijau bersosok Samara itu melayang cepat, menimbulkan suara nyaring seperti suara burung elang tercekik. Seluruh benda di kamar asramaku mulai bergerak. Tape-ku yang rusak itu tiba-tiba bisa mengeluarkan suara radio. Anehnya, dalam hati aku berpikir, kalau ini memang hantu, pintar juga ya dia membetulkan radio rusak! Mungkin dia jenis hantu mekanik?

Aku merubah posisiku menjadi duduk. Aku hanya menyaksikan isi kamarku melayang dan berputar-putar. Bukannya takut, aku malah jengkel. "Hei! Berantakan dong kamarku! Nanti tolong diberesken lagi!" teriakku diplomatis. Putaran laksana puting beliung itu menghebat. Aku sampai harus menutupi rambutku yang kribo ini, agar tidak rusak.

Kemudian dia berputar mengelilingiku. Menyeringai. Ngeri juga. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Bahkan, ketika tubuhku tersedot ke dalam koran itu, aku tidak bisa bergerak lagi. Teriak pun tidak bisa. Pandanganku menghitam. Begitu kubuka mataku, aku terkejut. Semuanya kembali normal. Tidak ada yang aneh. Hanya ada satu suara. Wanita. "Kamu menyebalkan. Tidak bisa ditakut-takuti! Selamat tinggal," katanya. Suara tersebut bergema, menjauh.

Thursday, October 19, 2006

Satu Cerita Tentang HeNinG


Aku tidak pernah tahu kenapa aku menikahi Saras. Selain alasan, dia wanita yang cerdas, menyenangkan, menarik, cantik, dan aku merasa nyaman bersamanya, ada hal lain pada diri Saras yang membuatku ingin menikahinya. Meski beberapa sahabat sempat memprotes keputusanku melamar Saras. "Gila loe Bas, dia kan punya anak!" Itu, salah satu alasan mereka memprotesku. Aku cuma menggeleng. Hal itu tidak menghalangiku.

Bahkan, ketika ibuku tercinta menentang keputusan itu, mati-matian aku meyakinkan beliau agar merestuiku. "Kamu anak ibu satu-satunya, Baskara. Apa tidak ada wanita lain?" tanya ibu keseratus delapan puluh tujuh kalinya, sambil berurai air mata. Mungkin beliau nyaris putus asa dengan kengototanku yang tidak bisa diubahnya. "Nak, ibu tidak pernah meminta apa pun darimu, hanya satu ini saja, jangan nikahi wanita itu.."

"Bu.. Saras wanita baik. Ibu juga kan sudah kenal..."

"Ibu tau, Nak! Tapi..."

"Apa karena dia janda beranak tiga, Bu? Itu alasan yang tidak adil," sanggahku kesekian kalinya.

"Yaa.. Tapi, bagaimana komentar masyarakat sekitar...?"

"Ibuku sayang.. Apakah Ibu lebih mementingkan pendapat orang lain yang tidak tau apa-apa, daripada pendapat aku yang lebih mengetahui apa yang bisa membahagiakan anak semata-wayangmu ini? Saras wanita luar biasa. Dia ibu yang hebat untuk anak-anaknya. Dia bisa jadi wanita yang sempurna untukku," jelasku lemah lembut sambil memeluk kakinya.

Ayahku tidak berkomentar kecuali, "Lakukan apa yang menurutmu benar. Ayah percaya pada kebijaksanaanmu memilih jalan hidupmu sendiri."

Ibuku pun luluh. Apalagi ketika dalam upacara lamaran, Saras memeluk ibuku sambil berkata, "Ibu, terima kasih karena telah melahirkan anak yang begitu besar hati. Kebijaksanaan Ibu tercermin dari sifat Baskara, dan saya berterima kasih untuk semuanya. Saya tidak akan menyia-nyiakan anak yang telah Ibu besarkan sepenuh cinta, keringat, darah, dan air mata. Mungkin cinta saya kepada Baskara tidak bisa melebihi cinta Ibu, tapi mohon percaya, saya akan selalu berusaha menjadi wanita yang pantas bagi Baskara.." Saras justru malah menjadi sahabat terbaik ibuku. Kehadiran Bram dan si kembar Luna – Lena (anak-anak Saras dari suami pertamanya) juga menghibur hati ibuku.

Itu enam tahun lalu. Selama itu pula, aku menyadari, aku tidak pernah mencintai Saras. Sejak awal aku memang menyukai dia. Rasa suka itu berkembang menjadi sayang. Tapi, cinta? Tidak. Aku tidak mencintai Saras. Dan, kurasa Saras tahu hal ini. Hanya saja, dia tidak pernah berkata apa-apa, kecuali terus bersikap sebagai istri dan ibu yang sempurna dalam rumah tangga kami. Saras sangat mencintaiku, itu saja yang aku tahu.

Meski begitu, perih hatiku melihat Saras terbaring lemah di tempat tidur seperti ini. Wajahnya yang biasa memerah berseri-seri, kini putih pucat. Senyum tetap tersungging di bibir tipisnya (as always!), tapi sekarang senyum itu tampak beku. Aku menggenggam tangannya erat. Kupejamkan mata kuat-kuat. Tuhanku... Jari lentik yang biasanya hangat dan selalu menyentuh kami (aku dan anak-anak) lembut, kini berubah dingin dan kurus. Tangan yang dahulu selalu memeluk kami erat sebagai cara dia mentransfer cinta--itu yang sering Saras katakan sebagai alasan kenapa dia begitu suka memeluk--kini gemetar, lemah.

Kubuka mataku dan memandang Saras. Kedua mata indah berbentuk biji almond hitam milik Saras, tampak letih. Tapi masih terasa cinta yang hangat memenuhi tatapannya kepadaku. Bibir Saras yang biasanya tipis menggiurkan itu kini kering dan pecah. Meski begitu, tak kuasa aku menahan diriku untuk tidak menciumnya lembut.

"Bibirku udah nggak enak dicium, ya Mas?" ujarnya lirih sambil tersenyum ceria. Ya, Tuhan! Kekuatan luar biasa apakah yang Engkau pinjamkan kepada istriku, sehingga masih bisa melontarkan gurauan di saat seperti ini! Aku menggeleng. "Bibirmu tetap yang paling nikmat untuk kucium, sayang," jawabku lembut.

"Mas tuh nggak pantes ngerayu, tau nggak sih?" Saras terkekeh, lalu terbatuk-batuk. Wajahnya berubah mengernyit menahan sakit. Hancur hatiku rasanya melihat Saras begini menderita. "Mas, kan udah kubilang, jangan mengatakan apa pun yang tidak sesuai dengan hatimu. Jangan berdusta, meski itu untuk membuatku senang," ujar Saras lagi, tersenyum tulus. "Makanya aku ngerti kenapa Mas tidak pernah bilang 'I love you' padaku. Mas hanya bilang, 'Aku sayang kamu' tapi nggak pernah bilang 'aku cinta kamu' ya karena memang itu yang Mas rasakan. Ya kan?" Aku terperangah. Saras tersenyum, tulus. "Jangan kaget begitu, aku tau kok, Mas.. Tapi aku bahagia kok, dengan sayang yang Mas berikan selama ini kepadaku, dan kepada anak-anak," kata Saras.

"Sebenarnya, aku masih nggak habis pikir, kenapa Mas ngotot ingin hidup bersamaku meski Mas tidak mencintai aku... Tadinya aku ingin menolak lamaran Mas... Tapi, melihat kesungguhan di matamu....aku jadi urung menolak... Apalagi, Mas begitu baik pada anak-anak.... Aku sempat takut Mas berubah...setelah menikah. Tapi...ternyata Mas malah...lebih baik lagi....dibanding waktu.... pacaran...hh... dulu.." Saras bicara begitu panjang, nafasnya terengah.

Aku berdesis, melarangnya bicara lagi, sambil kubelai rambut Saras yang hitam kecoklatan. Saras memejamkan mata, menikmati belaianku. Beberapa detik kemudian dia terkekeh lagi, "Payah, ya aku.. Padahal dulu kalau kita making-love... nafasku yang paling panjang! Hhh... sekarang.. Senin-Kemis begini.... hhh.." Aku tergelak, sambil menahan air mata menyeruak keluar dari kelopak mataku.

Benakku melayang pada ingatan 'nakal' tentang Saras. Dia wanita yang cuek dan tegas dari luar, tapi sebagai pasangan di ranjang dia benar-benar pecinta ulung! Anggun tapi menggebu-gebu. Liar tapi tenang seperti air danau. Tiap kali menyampurinya, Saras membuatku serasa raja dan budak dalam waktu bersamaan. Kalau dipikir-pikir, dia selalu membuatku "gila" (dalam arti menyenangkan!) Aku tersenyum mengingatnya. Tawanya. Pelukannya. Ngambeknya. Desahnya. Ciumannya. Kecerdasannya. Kedewasaannya. Kekanak-kanakkannya. Pengetahuannya. Keluguannya. Cara bicaranya. Cara dia melayaniku. Cara dia mendidik anak-anak dengan penuh pengertian.

Semuanya begitu indah, sampai beberapa bulan lalu Saras mulai sering pingsan. Puncaknya, Saras muntah darah di mobil kami ketika aku menjemputnya di kantor. Aku pun segera melarikannya ke rumah sakit terdekat. Bagai disambar petir aku mendengar diagnosa dokter. Saras menderita leukimia stadium IV. Aku begitu shock, sementara istriku yang cantik ini hanya bisa menunduk mengetahui waktu yang tersisa untuknya hanya terbilang bulan saja. Tiba-tiba aku mengerti kenapa aku menikahinya. Kenapa Tuhan membuatku menikahinya!

"Mas, maaf, aku belum sempat memberimu anak… Sudah begitu.. aku malah membuatmu.. jadi calon duda… maaf ya," Saras menyadarkan aku dari lamunan. "Kamu sudah memberiku anak, Sar.. Tiga anak-anak yang hebat!" kataku lembut. Aku sungguh-sungguh mengatakannya.

"Kalau aku sudah 'pulang'..." aku mendesis, melarang Saras melanjutkan ucapannya. "Denger dulu, please.. Aku cuma takut...tidak sempat mengatakan apa.....yang mesti ku...katakan.." Aku mengalah.

"Mas, kalau aku sudah nggak ada... biarkan anak-anak... bersama papa mereka... Mas... menikah lah lagi.." kata Saras. Aku menggeleng kuat-kuat. Saras meremas tanganku. "Mas... Mas harus janji padaku... Menikahlah lagi! Buat keluarga... yang.. baru... Lamarlah wanita...yang Mas... cintai.." Saras tersenyum. Lagi-lagi tulus. Hatiku semakin remuk rasanya. Saras begitu mencintaiku. Begitu memikirkanku. Lalu kenapa aku tidak pernah bisa mencintainya?

"Mas... Aku tau, kenapa Tuhan.... tidak membuatmu...jatuh cinta... padaku.."

Tenggorokanku seperti tercekik. Seakan-akan Saras mendengar gelisah batinku! "Itu... ya, karena ini...aku sekarat.. Sebetulnya, semua orang.... sekarat dan.. pasti mati.. Hanya saja.. waktuku lebih cepat," Saras terkekeh. "Kalau Mas... mencintaiku dari awal... lalu aku.. meninggal.. kan broken-heart banget tuh... hh.. Mas.." Saras tersenyum geli di sela-sela kernyit kesakitannya.

Ya Tuhan, betapa aku membenci diriku yang tak mampu mencintai wanita se-luar biasa ini! Tapi, mungkin ucapan Saras ada benarnya. Tetap saja, rasa bersalah menyelinap ke dalam jiwaku dan mengunciku dalam kebekuan. "Mas..jangan merasa bersalah... karena tidak bisa... mencintaiku.." Kembali aku terkejut. Kenapa Saras bisa mengetahui isi benakku? Aku memandanginya, bingung. Saras hanya tersenyum. "Kan aku sering bilang.. aku bisa melihatmu.. langsung ke dalam hati.. seperti melihat batu warna-warni dari balik kaca," ujar Saras.

"Hatimu.. meski aku dapat melihatnya secara langsung.. tetap saja... ada.. di dalam.. kotak kaca, dan.. tak bisa kuraih.." Aku tak mampu lagi menahan air mataku mendengar Saras berkata penuh duka seperti itu. "Hey.. Hey..." Saras mengusap air mataku. "Jangan sedih... Jangan menyesali sebuah kejujuran!" Ada ketegasan dalam suaranya. Membuatku terpekur sambil menciumi telapak tangannya. "Walaupun tak bisa kuraih hatimu... tapi sungguh aku.. bahagia.. karena memberi aku.... kesempatan untuk memeluk.. kotak kaca itu.. meski cuma sebentar.."

Saras menatap mataku lekat-lekat. "Mas, terima kasih.. karena sudah begitu baik padaku.." jemarinya mengusap wajahku perlahan. "Aku tau kebaikanmu bukan karena kamu kasihan padaku tapi ya karena Mas memang baik. Itulah yang sejak awal membuatku begitu mencintaimu sejak kita kuliah. Walau awalnya jodohku tidak berlabuh padamu" Saras memandangiku dengan tatapan kekaguman bercampur kebahagiaan, seperti yang SELALU ia tunjukkan padaku! Tatapan Saras yang seperti itu tidak pernah berubah!

"Sejak awal, aku sudah tau Mas lelaki hebat! I believe what I saw in your eyes before. And I'm right, And I'm proud of you, your bravery, you've proven me your-true-self" desahnya.

"Saras, You've brought out the best in me. And that's more noble than the love it self!"

"You already are a great man.. You were born...a great man! I only.. stimulated you... a bit.." Saras tersenyum lebar. "Terima kasih karena... sudah begini berani.. menjalani hidup yang… penuh tantangan.. penuh luka.. bersamaku. Aku mencintaimu.. sangat... sangat,” desisnya pelan. “Tapi, jangan sampai... Mas.. terhantui perasaanku ini ya.. Mas tidak perlu... membalas cintaku... Kebaikan dan kesabaran Mas...selama ini padaku dan anak-anak.... sudah cukup... sebagai balasan Mas... terhadap cintaku.." Aku pun terpuruk, menangis di pelukan lengannya..

Detik ini. Aku hanya bisa bersimpuh di samping makam Saras. Dia pergi beberapa hari lalu dengan senyum damai di wajah cantiknya. Anak-anak kami tampak tegar.

Ya Tuhan, aku baru sadar. Aku begitu mencintai anak-anak kita, Saras! Kini aku mengerti kenapa aku menikahimu! Kenapa Tuhan membuatku begitu ngotot menginginkanmu meski cinta tidak tumbuh di hatiku. Kamu memberikan aku kebahagiaan yang lebih besar daripada sekedar merasa mabuk kepayang karena jatuh cinta. Kau mengajarkanku cinta tulus yang sesungguhnya! Itu jugalah yang membuatku tetap setia pada Saras. Tidak pernah terbit keinginan mengkhianati Saras, sedikit pun. "Pa..ayo pulang.. Biar Mama beristirahat di sini," ajak Bram, anak sulung kami. Luna dan Lena juga menggandengku sambil tersenyum kuatir.

Ya, aku sadar, inilah jawaban pertanyaanku selama ini.. Betapa Saras dan anak-anak kami, menganugerahiku cinta, dalam keheningan..

SaTu Cerita TenTanG Blues UnTUk TiGor

Cerpen Voiceless

1996, Musim hujan di bulan tertentu.

Ada sesuatu yang magis dalam nada-nada blues. Nada-nada melankolis adalah nada yang paling kusuka dalam lantunan jargon-jargon blues ketika itu. Gary Moore, Jimmy Hendrix dan lainnya kerap kupersepsikan dalam kamarku. Ketika jari-jariku belum mampu menari-nari di atas gitar pemberian Tigor, aku lebih sering berfantasi dengan setangkai sapu di pojok kamar yang berada di balik pintu – berlagak menjadi idolaku di depan cermin.

Pendekar-pendekar blues yang kusebut namanya sebelumnya telah kuanggap sebagai nabi-nabi untuk segmen di jiwaku yang memeluk agama bernama blues. Aku yakin bahwa manusia adalah segambar dengan Penciptanya. Sebagaimana penulisku menggoreskan aku dalam barisan kalimat-kalimat yang sedang kalian baca, aku terlahir dari ruang penciptaan di kepalanya. Penulisku adalah manusia biasa, seperti juga kalian. Manusia terlahir dari dalam alam pikir Pencipta, yang disebut-sebut sebagai causa prima. Frasa Latin ini kuanggap sebagai peng-istilah-an yang tepat untuk mendamaikan kutub ilmiah dan kutub yang tak ilmiah. Bahwa kehidupan pastilah memiliki penyebab pertama. Manusia segambar dengan Penciptanya, apapun nama Penciptanya. Aku meyakini hal ini-hal yang bukanlah orisinal dari ruang penciptaan kalimat di otakku. Aku butuh keyakinan untuk menepis kekosongan-kekosongan.

Sebelum kalian tertipu dan menerima kisah ini begitu saja karena kurang memperhatikan hal-hal kecil, aku akan memperingatkan bahwa realita aku pada tahun 1996 tidaklah sekompleks pemikiran 'aku' yang dituliskan dengan latar tahun tersebut, pada di kekinian cerita ini, di tahun 2002-nya kalian, Pembaca-Pembaca yang Budiman.

Aku di tahun 1996 cuma menjadi fragmen memori dalam akumulasi pemikiran penulisku dengan masa lalunya dan-seperti kalian juga-sedang berjalan menuju masa depannya yang tak pasti alurnya. Alur menuju masa depan yang tak pasti miliknya diakhiri oleh kepastian dalam kematiannya kelak di dunia.

Karena kehidupanku melangkah dalam tapak-tapak waktu, waktu jugalah yang mengajarkanku bahwa aku cuma punya masa lalu dan kematian. Keduanya adalah kisahku. Kisah besar yang akan selalu diingat oleh orang-orang yang mengasihi aku dan yang kukasihi. Kemudian aku diajarkan bahwa kasihlah, cintalah yang membuat masa lalu dan kematianku kelak menjadi berarti.

Aku sendirilah kehidupanku. Masa lalu yang di awali kelahiran menuju kematian adalah jarak untuk setiap langkah dalam tapak-tapak waktuku, langkahku yang hidup.

Aku terlahir untuk lebih mencintai air mata dan kesedihan. Ironis sekali bahwa aku sangat sulit meneteskan air mata. Laki-laki tak seharusnya menangis. Sebagai ganti untuk tangisan-tangisan kesedihan aku memilih blues untuk menghanyutkan kesedihan ke dalam lautan perasaan-untuk mengencerkan kepekatan rasa sedihku di dalam keluasan ruangnya. Masih tanpa air mata.

Blues menggerakkan jari-jariku untuk belajar menari di atas dawai-dawai gitar. Takkan kuumbar sebuah gitar untuk membual bahwa aku adalah lelaki romantis. Tentunya kalian melihat validitas pola sebab-akibat dalam kisahku, bukan? Pola itu, sebagaimana pola-pola lainnnya menjelaskan fenomena ataupun membangun fenomena bermuka dua: diharapkan dan tak diharapkan. Fenomena yang diharapkan sebagai produk utama dan yang lainnya sebagai produk sampingan. Aku berpikir bahwa hal ini bukanlah sekedar pretensi yang kubuat-buat untuk menjebak kalian melalui tipuan-tipuan ideologis.

Ah.ya, aku suka blues. Selang beberapa bulan dalam tahun 1996 aku telah agak mahir mengkombinasikan jemari dan dawai-dawai untuk mentransfer perasaanku dalam bunyi-bunyian yang menyayat hati.

Aku jatuh cinta pada gitarku. Tidak gitar lainnya.

Aku jatuh cinta pada bluesku. Tidak blues lainnya.

***

1996, Masih musim hujan.

Dengan seragam abu-abu dan putih yang kukenakan, aku memulai pelajaran SMU-ku di sebuah sekolah negeri yang murah dan bermutu. Murah, karena SPP kami terbilang kecil. Hanya sebesar tiga tibu rupiah. Bermutu karena hanya murid-murid yang memiliki level berpikir rata-rata delapan yang tertulis pada daftar NEM tingkat SLTP yang layak terdaftar di SMU ini. Banyak sisi cerita dari apa yang tertulis.

Banyak sisi yang harus dipertimbangkan untuk menjadikan rata-rata delapan tersebut menjadi sebuah representasi yang cukup untuk mewakili kualitas berpikir murid-murid di sekolahku.

Hmm.aku tak bermaksud membuat kisahku menjadi konstruksi sebuah klasifikasi level berpikir manusia berdasarkan variabel-variabel yang hanya berisikan angka-angka.

Aku hanya ingin mengisahkan bahwa di sekolah inilah aku telah hampir dua tahun bersahabat kental dengan seseorang yang bernama Tigor. Tigor Pandapotan Rumahorbo, anak tunggal keluarga Batak yang kaya-raya.

***

Kantin Kak Nanik sesak dengan pemuda-pemuda berseragam SMU pagi itu. Aku dan Tigor berada di antara kumpulan pemuda-pemuda itu, untuk sekedar mengisi perut di awal pagi. Kami biasanya memakan lima buah tahu isi dengan harga dua buah tahu isi. Kami memang brengsek. Jika ketahuan, kami biasanya berdalih dan merayu Kak Nanik agar berdoa kelak kami menjadi orang berhasil. Dalam keberhasilan itu, kami akan selalu mengingat Kak Nanik. Aku dan (terutama) Tigor yang gape dalam hal cas-cis-cus kerap mengeksploitasi Kak Nanik yang hanya lulus SD dengan janji-janji masa depan kami.

"Kau tidak ikut kelas Biologi-nya Ibu Simanjuntak, Di?" demikian tanya sobat karibku dengan mulut yang penuh dengan tahu dan sayur-sayuran.

"Ngga, ah. Malas, " jawabku kalem sembari menikmati teh manis yang telah menghangat.

"He.he.he, " Tigor tertawa jenaka dan melanjutkan dengan ngocol ba-bi-bu. "Presiden sudah ada, Menteri sudah ada. Buat apa belajar Biologi jika keadilan hanyalah sebuah omong-kosong di negeri ini?"

Aku terkesiap mendengar pernyataan asal jadi Tigor yang nyeleneh itu. Dia memang jeblok secara akademik, namun aku sangat kagum dengan pola pikir lateralnya.

"Aku akan menjadi Presiden untuk Negara Blues. Makan sajalah tahu di mulutmu itu. Setahuku tauge di dalamnya terkelompok dalam tumbuhan dikotil, tumbuhan dengan biji berkeping dua. Dan kau seharusnya tahu bahwa klasifikasi mahluk hidup disusun oleh Carolous Linnaeus. Bukan disusun oleh Dapot Rumah Kebo, bapakmu yang gemar korupsi itu, " jawabku sekenanya.

"Bah, kau ini, kedan!" moncong anak bengal ini menjadi monyong sejadi-jadinya. Tigor selalu jengkel karena tak bisa menyaingiku dalam bermain blues. Dikarenakan ucapan terakhirku yang menamai bapaknya, tangannya mencoba menjitak kepalaku. Tapi aku sudah lebih dahulu berlari ke dalam kelas.

Demikianlah kerapkali tipikal obrolan-obrolan kami sebagai dua orang sohib kental. Kami biasanya tak pernah kehabisan kata-kata untuk langsung menyerah begitu saja pada dinding-dinding retorika.

Pernyataan-pernyataan retorika biasanya diakhiri ketika kami berdua mulai saling mengejar. Mencoba menjitak kepala dari kami berdua yang menjadi mangsa pengejaran-mangsa yang menyebabkan kebuntuan dalam dialog-dialog cempreng kami. Aksi saling kejar itu adalah aksi yang penuh canda dan tawa.dan tak pernah berubah menjadi aksi sakit hati yang berkarat dalam kisah kami.

***

1996, hujan di suatu sore.

Rambut ikalku yang tebal basah oleh hujan. Benang-benang abu-abu dan putih yang menutupi tubuhku lembab oleh airnya. Dengan kondisi inilah aku tiba di rumah Tigor yang besar sore ini.

Agak lama kuketuk pintu rumahnya hingga akhirnya mukanya yang kusut sehabis bangun tidur muncul dari balik pintu.

"Hah, kenapa bibirmu, Di? Kepalamu juga kok banyak darahnya?" tanyanya panik campur cemas begitu melihat kondisiku. Langsung saja dia memapah tubuhku yang lemah karena banyak mengeluarkan darah. Lalu dia langsung berteriak-teriak tidak sabar memanggil ibunya yang juga seorang bidan.

"Ada apa, Gor?" tanya ibunya yang tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Ibunya--yang kupanggil namboru karena mempunyai marga yang sama dengan
bapakku--selanjutnya tidak mengharapkan jawaban lagi ketika beliau melihat kondisiku sore itu. Oleh ibu dan anak yang telah kukenal dekat itu, aku dibawa ke ruang praktek kebidanan di rumah mereka untuk mendapatkan perawatan.

Aku dikeroyok sekelompok anak SMU lainnya sore itu, dalam perjalanan pulang dari sebuah lembaga pengajaran bahasa Inggris swasta di kotaku. Tawuran sedang nge-trend.

***

Telah dua hari sejak kejadian itu, aku harus mendekam di dalam kamarku. Selama dua hari itu Tigor selalu menjengukku. Di hari ketiga aku merasa sudah baikan. Aku sudah bisa berangkat ke sekolah.

Aku menemukan kehampaan dalam batas-batas tembok sekolah. Tigor tidak hadir di dalam kelas hari ini. Aku tidak mencium tanda-tanda kehadirannya dari arah manapun juga. Sampai jam pelajaran terakhir aku diliputi kebosanan dan ditingkahi oleh denyutan-denyutan dari balik balutan di kepalaku. Tanpa kehadiran Tigor, kondisi hari ini menjadi begitu menyiksa. Belum ada kabar tentangnya. Tiur, sekretaris kelas kami memberitahuku bahwa Tigor tidak masuk tanpa sebuah surat pemberitahuan.

***

Telepon di rumahku berdering ketika aku baru saja melemparkan sepatu di lantai kamarku. Kuraih gagang telepon di ruang tamu.

"Ya, haloo?"

Terdengar isak tangis di ujung sana. Tangis namboru, ibunya Tigor. Tubuhku terasa kaku, dan bibirku kelu. Tidak ada airmata, demikian ikrarku dan Tigor. Denyutan di kepalaku semakin menjadi-jadi dan mataku berkunang-kunang. Aku terkulai di lantai.

***

2021, Musim Hujan

Telah hampir seperempat abad sejak kematian sobatku Tigor. Tigor yang oleh kasihnya kepadaku sebagai sahabat, telah mencuri pedang Samurai bapaknya, oleh-oleh dari Jepang ketika rombongan wakil rakyat menyambangi Negeri Sakura itu.

Seorang diri dengan samurai itu, dengan dadanya yang penuh emosi di masa muda, dia bermaksud membuat perhitungan kepada pengeroyok-pengeroyokku pada hari ketiga setelah untuk pertama kalinya dia menyentuh darah dari luka-lukaku.

Satu dari mereka, seorang anak Jenderal dari kubu lawan ternyata membawa pistol bapaknya dan menjebol jantung Tigor dengan peluru dari kejauhan.

Pada hari ketiga aku pulih dan kembali dari derita luka-luka di tubuhku, pada hari ketiga pulalah Tigor meninggalkanku untuk selamanya.

Sampai hari ini aku masih sering membawa gitar pemberian Tigor ke makamnya dalam celah-celah waktuku. Kumainkan musik bluesku di sisi makamnya.

"Pure hand seldom strong, .” bisikan-bisikan tersebut sering bergema di dalam kepalaku dalam dimensi waktuku saat ini sebagai orang teratas dalam Departemen Pendidikan di negaraku. Bukan sekedar seorang pemimpin di negara Blues seperti ocehanku kepada Tigor dahulu.

Jika kau tanyakan bagaimana kondisi dunia pendidikan dan kondisi negara ini di tahun 2021, aku takkan memberitahu kepadamu. Aku takkan sudi menjadi seorang peramal bagimu. Mari, akan kusambut kau di tahun dua ribu dua puluh satu.

Aku jatuh cinta pada gitarku. Tidak gitar lainnya.

Aku jatuh cinta pada bluesku. Tidak blues lainnya.

Aku jatuh cinta pada Tigorku. Tidak Tigor lainnya.

Aku jatuh cinta pada negaraku. Tidak negara lainnya.

Dengan cinta sejati takkan ada airmata kesedihan, Gor. Itulah yang seharusnya kita koreksi sejak dulu dalam kalimat-kalimat ikrar kita.Tidak seharusnya kalimat-kalimat kita hanya sekedar ikrar maskulin yang penuh gejolak emosi masa muda. Kita seharusnya selalu mengkoreksi kalimat-kalimat kita sehingga keusangannya tidak menjadi benih yang secara sembunyi-sembunyi melahirkan aksi liar dari alam bawah sadar.

Namun cinta dan emosi-emosi lainnya kerap membutakan mata kita yang memiliki segudang keterbatasan. Pada titik itulah kita seharusnya mengakui eksistensi Sang Pencipta. Demikianlah kisah-kisah kehidupan tergores dengan indahnya, dengan maknanya.


Satu Cerita Tentang "PeCunDanG"

AKHIRNYA aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.

SaTu CeRiTa tenTanG SaTu SeNja di SebUah KaFe

Hampir saja ia tak dapat menguasai diri ketika melihat lelaki itu mendadak ada di hadapannya. Tampaknya antara ia dan lelaki itu belum saling melupakan. Serentak ia pun ingin memekik. Tapi diurungkan. Seandainya ia tahu rencana Tuhan sebelum segalanya terjadi, tentu ia memutuskan memilih jalan lain, sesalnya dalam hati.

"Sendirian?" ucap lelaki itu memecah keheningan yang menyelimuti mereka.

Dan, perempuan yang ditanya itu memilih diam.

Seperti pemburu yang enggan melepaskan binatang buruannya, lelaki itu tak mau melewatkan kesempatan tak terduga itu. Ia coba mengolah suasana. Dengan ramah, ia ajak perempuan itu mampir di sebuah kafe tak jauh di seberang jalan. Dari sorot matanya, perempuan itu jelas tak bisa berkutik seperti burung merpati yang terperangkap pukat.

Suasana kafe yang ramah dan tenang senja itu, tak seperti yang mereka kunjungi ketika masih kuliah. Ada yang berubah. Hanya ada beberapa pengunjung dan pelayan berjalan bolak-balik. Bahkan, dari duapuluh meja yang mengisi ruangan itu hanya ada tujuh atau delapan yang terisi. Sementara dari speaker yang tergantung di empat sudut ruangan terdengar sayup-sayup suara Eric Clapton lewat Wonderful Tonight-nya. Tiba-tiba ada kegelisahan merayap di hati lelaki itu, tapi ia coba menepis.

Tak lama berselang setelah mereka mengambil duduk, seorang pelayan laki-laki berpakaian rapi namun terkesan santai menghampiri mereka dengan wajah ramah. Seolah memaklumi maksud kedatangan pelayan tersebut, lelaki itu langsung meminta segelas jus alpukat untuk dirinya dan segelas susu hangat untuk perempuan yang duduk di hadapannya.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik."

"Baik? Hanya itu saja jawabanmu?"

"Apalagi yang kamu inginkan?"

"Oh, rupanya kamu masih juga seperti dulu. Keras kepala."

"Ya, aku orangnya memang begini. Aku pikir kau tak perlu lagi bertanya sebab kau sudah tahu, bukan?" jawab perempuan itu dengan sikap acuh tak acuh.

Untuk sesaat kesunyian kembali melanda mereka. Sampai datang seorang pelayan lainnya membawa talam dengan dua gelas minuman yang dipesan lelaki itu.

"Aku tiba di Jogja sejak dua hari lalu. Barangkali aku akan tinggal di sini untuk seminggu. Di Jakarta aku diterima bekerja sebagai editor sebuah penerbitan. Kau tahu, dari dulu aku sudah bercita-cita hidup tak jauh dari dunia tulis-menulis. Memang aku gagal jadi penulis, tepatnya cerpenis. Tapi, pekerjaanku sebagai editor yang tak pernah kuimpikan sebelumnya ternyata cukup menghiburku. Dan, ini sudah kuanggap sebagai pemberian Tuhan yang terbaik buatku. Aku jadi kian yakin bahwa pilihan manusia tak pernah mutlak bisa diraih. Boleh saja kita merencanakan sesuatu, soal kenyataan itu urusan Yang Di Atas. Lucunya, ha ha ha (sambil tertawa), aku selalu merasa tolol ketika berpikir bagaimana mungkin manusia memaksakan kehendaknya pada Tuhan. Bukankah sebaliknya, manusia yang harus menuruti kemauan-Nya karena tanpa-Nya, jangankan mereka makan, hidup pun tak bisa mereka ciptakan sendiri. Eh, ngomong-ngomong, apa kesibukanmu sekarang?"

Dengan sedikit kikuk, mungkin berusaha memilih kata-kata, perempuan itu mengisahkan pekerjaan barunya sebagai guru play group di Yogyakarta. Itu pun baru berjalan kurang dari empat bulan. Awalnya, ia mengaku tak pernah terpikir pekerjaan itu akan diterimanya. Justru ia memilih bercita-cita membantu usaha ayahnya mengelola toko kain di samping rumahnya hingga akhirnya suatu saat ia berharap bisa membuka usaha sendiri.

Tapi nasib berkata lain. Suatu hari kakak sepupunya yang tinggal di Yogya mengabari bahwa sebuah play group di Kota Gudeg membutuhkan guru tambahan. Suatu kebetulan pula direktur play group tersebut adalah kawan kakak sepupunya semasa kuliah. Tak ada salahnya mencoba, kata kakak sepupunya, dan kata-kata itu selalu diingat perempuan itu.

"Beruntung sekali. Selamat, ya. Ternyata nasib kita sama. Menurutku, kamu cocok menerimanya. Sejak dulu aku yakin kamu pasti menginginkan pekerjaan itu," kata lelaki itu.

Perempuan itu tersipu. Satu sindiran halus, sanjungan, atau entah apa namanya telah meluncur dari mulut lelaki yang pernah mengisi hari-harinya selama kuliah dulu. Sejak mereka lulus dua tahun lalu, mereka berpisah untuk menentukan jalan hidup amsing-masing. Bukankah tentang pilihan, setiap orang berhak menentukannya sendiri? Hingga tiba akhirnya lelaki itu menyabung nasib di Jakarta, sementara setelah wisuda sarjana, perempuan itu memilih pulang ke kampung halamannya, sebuah kota di wilayah pantura, namun kini nasib memanggilnya kembali ke Yogyakarta.

Dan, pertemuan tak terduga senja itu seperti oase bagi mereka. Siapa yang tak merasa rindu setelah lama berpisah. Terlebih mereka sangat jarang berkomunikasi lagi sejak lulus kuliah, baik itu melalui email, sekedar bercakap-cakap lewat telepon, atau melalui SMS (short message service). Pernah suatu kali di awal-awal kelulusan, lelaki itu coba menelepon ke rumah perempuan itu, tapi suara perempuan itu terdengar berat. Kali lain, perempuan itu terkesan ingin menghindar dari lelaki itu saat ia kembali coba meneleponnya. Adik perempuannya yang mengangkat telepon mengatakan kalau kakaknya sedang tak ada. Namun lelaki itu tak puas dengan jawaban si adik. Ia terus mengejar sampai akhirnya si adik tak bisa lagi mengelak dan mengatakan bahwa kakaknya berpesan jika sewaktu-waktu lelaki itu menelepon, ia disuruh mengatakan kalau kakaknya tak ada. Dan, perempuan itu merasa terjebak dalam pertemuan tak terduga, senja itu.

"Kudengar kamu akan menikah? Ya, kalau kamu memang sudah punya pilihan yang kamu rasa tepat buat kamu, bisa memahamimu apa adanya, dan kalian sama-sama siap, kenapa mesti ditunda? Apalagi perempuan di mana-mana sering dikejar usia, gitu loh," kata lelaki itu menggoda. Si perempuan yang tak mengira mendapat pertanyaan itu, tak menyiapkan jawaban yang tepat. Dan, untuk itu ia sedikit gugup. Ia kembali memilih diam.

"Sudahlah kalau kamu keberatan menjawabnya."

Ah, rasanya jantung perempuan itu makin kencang berdegup. Ia tak habis pikir dari mana lelaki itu mendapat berita bohong. Ia sebenarnya ingin berterus terang pada lelaki itu bahwa semua berita itu palsu. Bahkan hingga usianya mendekati tiga puluh saat ini, ia sebenarnya masih sendiri. Tapi ia ragu apakah lelaki itu akan percaya padanya.

Sebaliknya, lelaki itu terus menjejali perempuan itu dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan yang sesungguhnya hanya hasil rekayasa lelaki itu saja. Dalam kondisi itu, ia merasa tak sepakat jika menghadapi orang seperti perempuan itu dengan menyuguhkan pertanyaan datar-datar saja. Ia teringat cara yang pernah diajarkan kawannya sewaktu kuliah dulu. "Kalau elu mau ngorek keterangan dari mulut cewek elu, bikin pernyataan yang jadi oposisi biner maksud elu. Bikin situasi yang berlawanan. Bilang saja, apa yang sekiranya tak pernah ia lakukan atau apalah yang ia benci. Gue jamin deh, pasti manjur!"

Dan, kala itulah lelaki itu benar-benar melakukan apa yang pernah dikatakan kawannya.

"Kau tahu, loneliness seems like an evil dream," kata lelaki itu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

Perempuan itu tak langsung menjawab. Kembali lelaki itu menyodorkan kata-kata yang cukup menusuk. Dari sorot matanya tampaklah perempuan itu berusaha menebak apa yang bakal disampaikan lelaki itu. Ia biarkan lelaki itu muntahkan semua yang ada dalam pikirannya. Sampai akhirnya ia tahu, lelaki itu ternyata masih belum bisa menerima keputusan yang pernah diberikannya saat mereka masih sama-sama berstatus mahasiswa tingkat akhir, lebih dari dua tahun lalu. Dan, sebisa mungkin perempuan itu menghindari perasaan bersalah, setidaknya pada pertemuan kali itu.

"Ya, sampai sekarang aku masih sendiri. Aku baru menyadari jika kesendirian sangat menyiksa. Dan, aku juga tahu, kau sebenarnya tak siap menjadikannya sebagai kekasihmu. Apalagi ia adalah kawan dekatmu sendiri. Tapi, nyatanya kau lebih menerima dirinya daripada aku. Bagiku ini jelas tak adil. Satu kesalahan kecil tak sebanding dengan hukuman yang kau berikan padaku. Aku bisa saja menuduh hukuman itu berdasarkan dendam dan kesombongan seorang perempuan, bukan untuk diambil hikmahnya," sambung lelaki itu.

Lamat-lamat perempuan itu jadi ingat betul dengan peristiwa yang terjadi suatu malam menjelang perpisahan mereka, dua tahun silam, tapi ia lupa persisnya kapan. Lelaki itu mendatangi kos-kosan perempuan itu. Sejak beberapa hari sebelumnya, ia telah mengatur rencana melepaskan panah cinta dari busurnya. Bahkan, di tengah perjalanan menuju kos-kosan perempuan yang dicintainya itu, tak henti-henti lelaki itu terus memutar otak menyiapkan suasana hatinya. Tentu ini lebih sulit daripada menyiapkan pakaian atau parfum mana yang akan dipakainya malam itu. Ia sadar hanya ada dua jawaban yang akan didengar dari mulut perempuan yang dicintainya; ya atau tidak.

Tiga bulan kemudian, seorang lelaki yang sungguh-sungguh mencintainya secara tulus harus pulang dengan puing perasaan yang berserakan. Lelaki itu tidak saja merasa dikecewakan, melainkan dipermalukan. Bahkan tanpa segan, perempuan itu mengenalkan seorang laki-laki lain yang diakui sebagai kekasihnya pada lelaki itu. Dalam kesempatan lain, lelaki itu mengajak perempuan itu bicara empat mata. Ia mengumpatinya habis-habisan. Dan, pertemuan yang diwarnai pertengkaran itu menjadi pertemuan terakhir mereka.

Namun, dalam pertemuan mereka di sebuah kafe senja itu, lelaki itu berharap setelah dua tahun berlalu, ada yang berubah pada diri perempuan yang pernah menginap dalam hatinya itu. Ia pernah mendengar seorang kiai menyampaikan ceramah bahwa sesungguhnya hati mudah sekali berubah-ubah. Dan untuk itulah, lelaki itu berharap kedatangannya ke Yogyakarta tidak sia-sia.

"Ada lagi yang masih ingin kau katakan tentangku selain mengungkit-ungkit masa lalu kita?" kata perempuan itu. Tajam setajam belati menyayat hati lelaki itu.

Hingga mereka terdiam. Langit semakin gelap dan suasana menjadi kian senyap. Kesenyapan tidak merasuk di kafe itu tetapi di dalam hati masing-masing. Seolah mereka ingin mengunyahnya sebelum pulang dan akhirnya saling berjanji pada diri masing-masing untuk tidak akan pernah bertemu kembali.


by : Embonk

Satu LaGi CeriTa PuLanG

Semua yang datang, suatu saat akan pergi. Dan, semua yang pergi belum tentu kembali. Tapi, segala yang dikehendaki-Nya sungguh sulit kau terka. Misalnya, seperti yang akan kau simak dalam kisah ini.

Seluruh penduduk di kampungku percaya bahwa semua yang datang pasti akan pergi. Namun, mereka tampaknya tidak akan pernah menduga sama sekali bahwa setiap kepergian memiliki kemungkinan untuk pulang. Bagi mereka, yang pergi biarlah pergi. Tak usah dikenang apalagi ditangisi.

Sampai tiba saatnya pada suatu sore yang mendung itu seluruh mata penduduk kampungku dibuat terbelalak. Mereka tercengang. Melongo. Tenggorokan mereka terasa tercekat. Semua itu disebabkan kepulangan Caskim yang tak disangka-sangka. Memimpikan kepulangan Caskim pun mereka tak pernah. Tapi itulah kenyataan yang mereka lihat sekarang. Caskim benar-benar pulang. Ya, Caskim, anak Pak Yunus yang bekerja sebagai kuli itu. Lain tidak.

Kalau kau ada di sini, kau akan melihat semuanya. Orang-orang yang melongo itu, Pak Yunus dan isterinya, juga kakak dan adik Caskim. Wajah mereka tampak lucu, tapi sebagian lainnya tampak tegang. Mereka tampak seperti tengah menonton acara sirkus atau akrobat yang menegangkan.

Sore itu benar-benar jadi pecah. Bukan cuma cara penduduk yang sangat aneh menerima kepulangan Caskim, melainkan emak yang tiba-tiba menjerit histeris. Kau dapat membayangkan, merasakan, betapa getaran rindu perempuan tua itu tiba-tiba berubah seperti aliran listrik tegangan tinggi.

Seperti yang telah kukatakan di awal cerita, kebanyakan orang-orang itu—bahkan keluarga Caskim sendiri—terlihat susah memercayai kepulangan Caskim sejak dua puluh tahun lalu dinyatakan menghilang. Tentang hilangnya Caskim yang waktu itu berusia lima tahun lebih tua dariku, aku kurang tahu pasti. Sebab, usiaku saat itu baru menginjak sembilan tahun. Dan kau tahu sendiri apa yang ada di pikiran anak-anak seusia itu.

Baiklah. Sekarang biarkan aku mengajakmu menyimak bagaimana reaksi Caskim, keluarganya, dan orang-orang itu, penduduk kampungku.

Yang aku tahu—maaf, aku hanya mengandalkan ingatanku dua puluh tahun silam dan beberapa kabar tetangga—Caskim yang ada sekarang, bukanlah Caskim yang dulu. Kini dia mengesankan sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu, dia adalah anak laki-laki paling temperamental yang pernah kutemui. Bahkan hampir tiap hari, dia tak pernah absen berkelahi atau sekedar menebar tantangan. Waktu itu, aku belum bisa membedakan mana tantangan dan mana gertakan. Pokoknya, Caskim suka sekali berkelahi, itu saja. Sampai-sampai aku dan kawan-kawan menjulukinya sebagai “jawara gadungan kelas kampung.”

Tapi kali ini, kalau kau ada di sini, kau akan tertipu oleh mata kepalamu sendiri. Kau akan mengira Caskim adalah sosok yang kalem. Ramah. Murah senyum. Pandai bergaul. Kesan itu tak jauh beda dengan kesan yang kudapat ketika sore itu dia menginjakkan kakinya di tanah kampung ini. Aku pun hampir tak percaya sama sekai bahwa laki-laki berkulit legam yang memakai peci krem ala seniman dengan setelan kaos warna biru itu adalah Caskim.

Kemudian, di sepanjang jalan menuju rumahnya yang kini sudah berdinding bata itu, kau akan melihat Caskim tak henti-henti menebar senyum seperti orang yang menebar biji padi di sawah. Kepada setiap orang yang berpapasan dengannya, dia tak segan-segan menyalami bagai kerabat yang lama tak bersua. Anehnya, seperti yang sudah kuceritakan, orang-orang itu hanya terkesan sebentar kemudian terkesima. Tercengang. Melongo begitu saja. Entah apa yang tengah singgah di kepala mereka selain kenyataan yang benar-benar menohok keyakinan mereka selama ini; segala yang telah pergi tak akan kembali lagi.

Ketika sampai di rumahnya itulah emaknya menjerit histeris. Adiknya, si Soni yang rupanya masih menyimpan wajah abangnya di kepalanya, yang memberitahu. Kemudian Pak Yunus, bapaknya. Sayangnya, waktu itu kakak dan adiknya yang paling bungsu tidak ada di rumah. Keduanya baru datang bakda Magrib. (Tapi tak ada kesan yang menarik dari si kakak, Soni, dan adik bungsu Caskim. Jadi, sampai di sini saja kuceritakan tentang mereka bertiga).

Selepas Maghrib, Caskim dan Pak Yunus duduk-duduk di beranda. Emaknya baru menyusul kemudian .

”Maafkan Caskim, Mak. Pak. Sejak Caskim pergi dengan Saniah, Caskim telah menyusahkan semua keluarga kita. Caskim telah menebar aib,”

”Seharusnya, kau tak perlu lagi pulang,” kata Pak Yunus dengan nada ketus. ”Kau tahu Saniah itu siapa? Kau harusnya tahu juga apa akibat perbuatanmu itu. Kalau kau kembali, kau hanya akan menyiram luka yang masih menganga dengan air garam dan asam. Yang perlu kau ingat, kalau luka di sekujur badan masih bisa kering tiga atau empat hari. Tapi perbuatanmu membawa pergi Saniah malah meninggalkan luka di hati kami,”

”Sudahlah, Pak,” kata emak menyela. ”Caskim memang bersalah. Sekarang apa yang akan kamu lakukan, Nak?”

Caskim merundukkan kepala sambil memainkan jari-jarinya. Suasana jadi hening sesaat di rumah itu. Tapi di luar? Kau tahu, bisik-bisik sudah mulai menjalar dari telinga ke telinga. Bisik-bisik itu—entah siapa yang mengawali—telah menghiasi setiap sudut kampungku.

”Cis...berandalan kampung itu datang lagi,”

”Kenapa, ya, kok dia datang sendirian? Dikemanakan Saniah?”

”Mungkin sudah dibunuhnya,”

”Siapa yang peduli!”

”Kok kamu bisa mengira seperti itu?”

”Mungkin berandalan itu sudah bosan dengan selangkangan Saniah yang sudah apek. Atau teteknya sudah tidak kencang lagi... kayak pepaya Thailand, besar tapi cuma menggantung,”

”Ha..ha..ha...”

”Ah, masa bodoh. Mau dia bunuh Saniah atau dia goreng teteknya, sekarang bagaimana dengan si Jambrong? Apa dia sudah tahu kedatangan Caskim?”

”Aku rasa belum. Mungkin Jambrong sudah melupakannya. Dia kan sudah punya tetek baru sekarang,”

’Iya, kencang. Mulus...dan aduhai...”

”Ha..ha..ha...”

Selanjutnya aku tak tahu lagi apa yang dibicarakan orang-orang itu tentang Caskim, Jambrong, dan Saniah. Tiba-tiba aku jadi berpikir, bagaimana jika benar terjadi Jambrong tahu kedatangan Caskim?

Sejak saat itu, nama Caskim dan Jambrong selalu berputar-putar di kepalaku seperti gasing. Begitu hebatnya kedua nama itu berputar-putar, yang ada sekarang adalah teka-teki apa, bagaimana, dan siapa?

Seminggu kemudian aku harus pergi ke Surabaya selama tiga hari untuk panggilan wawancara di sebuah perusahaan swasta. Di Surabaya, aku tinggal di rumah budhe. (Tentang budhe, tidak perlu kukisahkan panjang lebar karena menurutku tidak ada yang menarik darinya). Sementara itu, nama Caskim dan Jambrong masih saja berputar-putar di kepalaku. Tapi di Surabaya, aku bisa mengalihkan perhatianku dengan main Play Station atau nonton televisi bersama sepupu-sepupuku.

Meski demikian, jenuh adalah satu-satunya suasana hati yang tak bisa kuhindari. Bosan juga main PS atau nonton televisi di rumah budhe. Suatu pagi, aku putuskan pergi ke kios koran depan rumah budhe. Biasanya aku hanya akan mencari lowongan pada setiap koran. Kau tahu? Aku jarang sekali—bahkan boleh kau sebut aku laki-laki yang malas—membaca berita apalagi opini yang tetek bengek itu.

Tapi, di kios itu, sebuah surat kabar lokal sempat juga menyihir pandanganku. Koran itu sudah lama kuketahui memuat berita-berita kriminal. Dan tatapan mataku pun jatuh pada salah satu judul berita yang ditulis dengan font kira-kira berukuran tiga puluh enam di halaman depannya. Begini, ”Baru Saja Pulang, Nyawa Melayang.”

Aih, ngeri juga membaca berita kriminal. Seolah-olah dunia ini sudah tidak aman lagi untuk ditinggali. Seolah-olah dunia ini lebih banyak serigalanya dari pada domba putih-putih dengan tubuh gemuk menggemaskan. Namun judul berita yang baru saja—dan masih—menyihirku itu akhirnya memaksa tanganku meraihnya. Kuamati foto insert dengan tulisan tebal di bawahnya; ”Caskim.” Lalu kuteruskan membaca detail beritanya.

Ah, aku ingin segera pulang hari ini juga. Aku ingin menemukan jawaban teka-teki yang beberapa waktu lalu masih berputar-putar di kepalaku pada orang-orang kampungku. Tidak pada koran ini.