Thursday, November 16, 2006

Seberapa jauh.............

Reaksi kimia, mengalir dalam darahku bagaikan gelombang. Puncak titik api menyiramkan peluh bersenyawa lautan. Rajam mesin-mesin suara melintas memekakkan. Aku jadi lilin menggeliat, meliuk pada bara apinya. Tubuh penuh peluh meleleh berdecak seirama gelombang. Reaksi kimia menyeretku lepas, aku ingin bercinta.

Masih dengan irama, dia disampingku tersenyum tergerai. Dia peluk aku dengan ikatan dingin menggigil separuh waktu. Dia cium aku dengan menggigit seluruh mulut ditelannya. Dia tatap aku, sama saling bersorot tajam. Kita saling bergoyang se irama kuda, tanpa letih menggeliat dan menggelinjang. Reaksi kimia menyeretku sadis, aku terangsang. Walau aku tahu seberapa dangkal untuk sekedar dibuyarkan. Semua anganku diletihnya jauh tanpa sejarah yang patut ditiru. Rendahnya nyali jika ditatap dengan kesedihan, dikejar tapi nasib menjauh. Hanya reaksi kimia yang serba tahu dimana letak kelonggaran. Dia aku telan, dia aku kunyah, dan dia aku biuskan pada sejengkal titik darah kimia.

Mesin suara berlanjut, dia malu-malu menyelinap di nadi nafsu. Tapi perlu waktu untuk jinakkan sinyal-sinyal kebutuhan. Seketika sekedar cairan libido menggerayang melayang di ruang-ruang hampa. Aku rasakan, semakin keras seiring mesin suara yang semakin sombong. Kepala tajam tiba-tiba menggerayangiku, terlepas dari lamunan. Aku bagai lilin api, semakin meleleh di bola lampu yang remang-remang. Aku telanjang. Kita seirama, tatapanku hanya hitam. Tak ada suara, hanya lamat-lamat mendorongku untuk bercinta. Aku mainkan dekapan jiwanya, dengan tanpa perantara. Aku manfaatkan bola lampu remang untuk semakin menjilat. Dia semakin menekan, reaksi kimia membawaku pada hangat bara api keduniawian.

Tanpa ragu, tanpa busana menggadaikan pada ketinggian derajat yang semakin kecil untuk ditatap dari bawah. Bagai cabik yang menekan beban, tempatku buatmu tidak jauh berbeda. Diriku, dirimu adalah sejiwa dalam sel perkelaminan. Aku semakin mendengus seperti bisik ular yang lapar. Hanya nafas yang tertekan karena ini hanya sebagian tersederhana dari tontonan malam.

Silahkan mencicipi, pada remang malam dan hawa asap tembakau mengepul di udara. Tanpa hening di skat-skat bangku warna serat merah. Sorot tajam lampu perak pada peraduan sederhana. Irama mesin suara semakin tertelan karena pelan, hawa nafas dipandu penghuni ruang. Aku orgasme.

Gelap mata sepengalir reaksi kimia yang menuntunku untuk beratraksi lain. Sepertinya sengaja menuntunku pada gerakan babak-babak baru yang semakin menantang. Penghuni ruang tertegun melihat sang ratu ayu dinobatkan pada sebuah singgasana. Dan ratu itu menjingkat semakin cepat untuk menggerang. Atraksi terpengah sejalan aku kekelahan. Kini aku terlentang.

Entah siapa, dia tersenyum tersipu. Masih menatapku semusim peradaban yang manusiawi. Hanya sejengkal insting primitif untuk sekedar modal menemani tidur. Tidak jauh berbeda setengah panggung kita telah meleleh. Hawa asin lautan menyilaukan kita pada ketakutan diri sendiri. Aku telah menyepakati bahwa sangat resiko jika membatasi pada profesi-profesi yang normatif. Dosa milik siapa ?, miliknya yang tiba-tiba menelanku lagi di peluknya.

Aku tidak puas, semakin sadis dengan mesin suara yang tidak terhenti. Penghuni ruang semakin ereksi, hanya deru nafas yang menggiring pada perkhayalan sendiri-sendiri. Mereka masih diam mengikuti adegan. Adalah hak azasi untuk berfikir tentang pertalian dua anak bapak seorang Adam dan Hawa. Telah membuat iri para setan dalam surga ketika bercumbuan di alam terbuka. Terlalu istimewa karena anak dan bapak saling menindih, wajar jika hubungan ini diprotes pada Tuhan suatu saat.

Saat yang paling tepat. Aku melengking di udara, menukik pada rongga kerongkongan yang kehausan. Lepas tanpa batas untuk ditembus waktu. Mengupas reaksi kimia pada puncaknya. Tanpa seutas tali penghubung atau pemisah antara aku di udara yang harus dipotong pada sebuah adegan. Dia memberi hujan dengan air hangatnya setetes jatuh di tali pusar perut. Warnanya silau karena kepastian alam. Dia mengikuti gerakkan yang aku putar sendiri.

Sementara aku masih di udara untuk meyakinkan skenario besar penuh penjiwaan pada sebuah peradaban. Mesin suara semakin cepat menuju ke puncak diakhiri dengan gerakan memutar di temali-temali selendang maya. Aku memaksa, penonton semakin terkesima. Tampak di teropong selama diudara, penghuni ruang terkesima, menahan sedetik nafas tanpa suara. Lamat-lamat aku bisa mendengar detak jantung yang merambat. Mereka menyambutku dengan asap, seperti dupa di areal pemujaan para arwah-arwah moyangnya.

Aku diam tak bergerak terlentang pada papan yang diselimuti lilin-lilin. Cahaya lampu dipadamkan dan kelambu lebar dengan dikait tali menutupi panggung. Penghuni ruang keluar dengan pikiran menggoda, untuk berbuat sesuatu yang paling purba. Reaksi kimia kini tinggal menunggu detik-detik gelombang, yang menyembur pada gumpalan darah pelan-pelan. Tanpa reaksi apa-apa, hanya sekujur tubuh ditanduk berjuta ton tumbukan. Hawa dingin menyelimuti tulang-tulang.

Seseorang menatap, samar aku pastikan dia dari perwujud-annya. Tidak meleset tidak jauh beda dengan seseorang yang melayaniku tiap malam, di atas panggung dikerubuti para penghuni ruang. Seseorang melata menjauh, aku panggil dengan sebutan engkau. Minimal serupa dengan manusia, tapi dia tidak ada.

Bu...Ijinkan Aku Sekolah di ToileT

Bu, Ijinkan Aku Sekolah di Dalam WC


Namaku Ibnu Hajar. Tapi orang lebih suka memanggilku dengan nama singkat ; Benu, alias : Be-E-En-U, Benu. Panggilan yang sebenarnya tidak terlalu rela kudengar. Tapi, sepertinya, orang lebih enak menyebut Benu, ketimbang harus memanggilku dengan Ibnu.

Sekali lagi, namaku Ibnu, kenapa menjadi Benu? Ah, dasar memang! Sepertinya, realitas kita memang sudah memicu orang semaunya memilih jalan hidup, termasuk memanggil atau menyebut nama orang. Sekedar satu detik untuk mengatup bibir pada huruf 'b' saja sudah tidak mau, apalagi untuk melakukan perubahan. Ah, wajar saja kalau kemudian banyak orang terdidik untuk memilih hidup dengan logika lompat katak.

"Logika lompat katak?" tanya Ibu pada suatu ketika.
"Iya, Bu, "
"Apa itu?"
"Ya, kenyataan kita saat ini, Bu. Hidup mau enak, punya uang banyak, pakaian mau bagus, tetapi kerja keras tidak mau. Akhirnya menjalani hidup selalu potong kompas, menyuap, menyogok, membunuh, merampok. Dan Anehnya, Bu. Hidup seperti katak ini bukan saja dilakoni oleh orang bawah, tetapi juga para atasan kita, justru orang bawah belajar dari mereka"
"Ah, masa begitu, Nak?"
"Bener, Bu!" jawabku meyakinkan.
"Kalau tidak percaya, nih Ibu Baca koran pagi ini. Politik Uang marak, menjelang Pemilihan Walikota. Dan ada lagi Bu, Menjelang Suksesi, Gubernur bagi-bagi uang Siluman."
"Lho, itu kan demi kebaikan, Nak."
"Ya, kebaikan untuk LPJ-nya. Besok atau Lusa, kita dibuatnya lapar lagi, Bu. Itu sama saja potong kompas, sama seperti hidupya katak. Lompat sana-lompat sini. Jadi mereka itu, Bu, tak ubahnya seperti katak."
"Hus, jaga mulutmu!" hardik Ibuku sedikit marah.

Ibu, kembali merajut kain. Aku masih bercerita tentang apa saja, yang aku suka.

Namaku masih Ibnu, dipanggil orang dengan Benu!. Tahun 90-an, aku tinggalkan sekolah. Padahal, kata orang, sekolahku adalah bagian dari penjara suci di negeri ini. Tapi aneh, tempat-tempat yang selama ini kuanggap suci, sakral, atau orang-orang yang kuangap tak pantas melakukan tindakan kekerasan dan keji, justru telah mengguruiku menjadi manusia amoral.

Bagaimana tidak? sejak sekolah, guruku sudah mengajari aku dengan kekerasan. Memukul, menjemur, menendang, bahkan salah seorang teman ada yang tangannya disundut rokok, hanya gara-gara lupa mengerjakan Pe-Er. Atau disuruh membelikan kue untuk memperbaiki nilai ulangan yang kurang.

"Puih! Sekolah macam apa itu!" aku mengumpat.

Makanya, sejak ia keluar sekolah, temanku itu, sampai sekarang, menjadi manusia pendendam, suka melakukan kekerasan terhadap teman sendiri. Kalau ini yang terus terjadi, berarti, sekolah hanya akan menciptakan manusia yang siap akan menjajah manusia lain. Ini tidak boleh terjadi. Kita harus merdeka dari penindasan siapapun. Guru, pejabat atau presiden sekalipun tidak boleh dan tidak berhak menjajah siapapun. Kalau semut saja bisa menggigit bila terusik, kenapa aku harus diam?

Masih tahun 90-an. Aku keluar dari asrama, yang dianggap orang-orang sebagai penjara suci itu.

Bukan lantaran aku tidak lagi butuh Tuhan, atau karena aku berniat untuk memprotes kebijakan Tuhan, tetapi justru karena para guru di sekolahku telah keluar dari aturan Tuhan.

Tahun kedua, menjelang aku keluar, di sekolahku sudah dibangun ratusan kamar VIP. Kamar ini diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya, yang sudah tentu hidup serba enak dan tidak siap untuk hidup susah di asrama. Belum lagi satu tahun berjalan, di sekolahku sudah terjadi kelompok-kelompok, antara kaya dan miskin. Antara penghuni kamar VIP dan penghuni kamar kelas gembel seperti aku ini. Bahkan, di dalam kelas-pun, murid-murid menjadi terpecah-belah. Barisan penghuni kamar VIP berbanjar dengan VIP. Sebaliknya penghuni kelas gembel berbanjar dengan kelas gembel. Padahal Tuhan tak membeda-bedakan antara satu sama lain dari harta kekayaan mereka, melainkan dari tingkat ketaqwaannya.

"Oi, kalian tak perlu berpisah-pisah seperti itu. Disini kita sama, dia makan nasi, kita makan nasi, tidak ada yang berbeda, " teriakku suatu kali saat istirahat siang, tanpa berniat sama sekali untuk menidentifikasi diri sebagai Tuhan.

Tapi, aku hanya sendiri. Hanya beberapa kawan saja yang kut mendukung aksi protes, untuk segera menutup kamar VIP. Bahkan sikap bersama, dari Wali murid kelas gembel yang menolak kamar VIP, tak juga merubah sistem di sekolahku. Kesenjangan antara kelas VIP dan kelas gembel terus terjadi.

Sentimen psiklogis dan juga jurang materi tak bisa dihindarkan, bahkan makin menular kemana-mana. Muncullah di sekolahku dua buah kantin. Kantin VIP dan kantin sederhana. Ternyata sekolahku makin detik makin parah. Dan pagi usai shalat subuh, aku kabari Ibu bahwa aku tidak lagi sekolah.

"Bu, aku ingin sekolah di dalam WC."
"Ah, macam-macam saja kamu, Nak! Kenapa mesti di WC, sekolah lain kan banyak?"
"Iya, Bu. Tapi sekolah lain mungkin tak jauh berbeda. Ada kesenjangan sosial disana.. Ada perkelahian. Ada suap menyuap untuk menambah nilai, atau masih saja ada penjajahan manusia atas manusia lain. Tanpa ada buku, guru mengancam tidak meluluskan ujian. Dan di sekolah, guru bukan manusia yang disegani lagi, bukan lagi digugu dan ditiru tetapi menjadi monster yang menakutkan, seperti boneka jaelangkung."
"Lantas apa yang akan kau peroleh, jika sekolah di dalam WC?".
"Di WC, aku temukan persamaan hak antara si gembel dengan pejabat, Bu. Tak akan ada yang berak mengeluarkan emas atau perak, tapi tai, t-a-i. Ya semua, tak peduli dari kelas gembel atau pejabat, semua t-a-i."
"Terus, selain itu, di dalam WC, tidak akan lagi kutemukan kesejangan miskin atau kaya, sejak kelas pinggiran sampai kelas presiden, tak ada yang berak sambil berdiri, semua jongkok atau duduk."

Ibu sesaat tersenyum. "Ada-ada saja kau ini, Nak."

"Kenapa Ibu mesti tersenyum, ini kenyataan lho, Bu.".
"Iya, Ibu tahu, tapi kok kedengaranya lucu."
"Memang Bu, ini lucu bagi siapa saja yang tidak pernah berpikir filosofi di dalam WC."
Ibu makin tertawa; "WC kok dibuat Filosofi."
"Lho, kenapa tidak, Bu. Aku masih ingat Bu, apa yang Ibu katakan, Nak jadikan setiap makhluk itu guru, dan setiap tempat itu sekolah. Makanya, di dalam WC-pun aku akan sekolah."

Ibuku makin penasaran, kenapa aku memilih sekolah di dalam WC. Dan saat itu, aku belum tahu benar, apakah Ibu mengizinkanku atau tidak.

"Supaya Ibu tahu, kenapa aku meminta izin sekolah di dalam WC, karena di dalam WC aku merasa terdidik untuk disiplin. Sebab aku tidak akan berlama-lama melamun di dalam WC, kalau memang aku selesai membuang tai. Sebab, Ibu pernah bilang, Nak, hidup ini tidak akan selesai dengan lamunan. Oleh sebab itu, Bu, aku juga tidak mau berlama-lama di dalam WC. Itu namanya disiplin Bu"
"Karena alasan itu, lalu kau ingin sekolah di dalam WC?"
"Ada lagi, Bu! Di dalam WC, aku dididik untuk tidak menciptakan fitnah. Sebab, setiap aku selesai berak, aku kan harus membersihkan kotoran. Ini artinya sama seperti yang pernah Ibu katakan padaku, Nak jangan sebarkan kotoran dan fitnah dimanapun kamu bermukim.".
"Dan terakhir, Bu. Ini yang mungkin tidak pernah dirasakan banyak orang."
"Apa itu?"
"Di dalam WC, aku menemukan kebesaran Tuhan.".
"Hei, kenapa Tuhan kau bawa-bawa dalam WC!" Ibuku agak tersinggung.
"Jangan marah dulu, Bu. Ibu kan pernah bilang, Tuhan menebar pelajaran dimana-mana. Dan menurutku, di dalam WC pun, Tuhan sedang memberi simbol kebesaran-Nya."


Sesaat, Ibu menghentikan merajut kain. Keningnya mengerut. Pertanda Ibu masih penuh tanda tanya. Aku menggeser lalu lebih mendekat dari posisi Ibu.

"Begini, Bu, aku tidak bisa membayangkan, berapa besar biaya untuk berobat bagi orang yang dalam tiga hari tidak bisa berak. Akan berapa juta rupiah harus dikeluarkan, jika aku ini tidak bisa mengeluarkan tai dari dalam perut! Makanya, setelah selesai berak, aku ingat kata-kata ibu, Nak sering-sering bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Dan buatku, satu hari bisa berak satu kali saja adalah bagian kebesaran Tuhan yang patut kunikmati dan kusyukuri. Itulah, Bu, kenapa aku saat ini memilih untuk sekolah di dalam WC. Di WC kutemukan kedamaian, tidak ada protes, tidak ada suap menyuap, tidak ada pertengkaran, yang ada hanya kerelaan untuk duduk sesaat, membuang kotoran, demi kesehatan tubuh kita."
"Ibu tidak setuju!"

Aku terperanjat.

"Kenapa, Bu, Kenapa?!"
"Jangan kau sekolah di dalam WC, tapi masuklah ke dalam Kakus."

Aku masih binggung

"Apa bedanya WC dengan kakus Bu."
"WC ada di setiap tempat termasuk di hotel-hotel dan rumah-rumah mewah, sementara kakus hanya ada di dusun dan pinggir sungai.".
"Maksud, Ibu?"
"Nak, di dalam WC itu ada tisu, ada mesin pengering tangan, ada sabun, ada sikat dan peralatan modern, yang banyak diproduksi oleh para pemilik modal.".
"Lalu?"
"Jangan kita tergantung pada para pemilik modal itu hanya gara-gara soal asesoris WC. Makanya, kalau kamu sekolah di dalam WC nanti akan lupa dengan kedamaian dan kebebasan kakus yang keluar dari ketergantungan. Modalnya hanya penutup kain dan jongkok, lain tidak."
"Supaya tidak tergantung dengan peralatan WC, aku harus bagaimana, Bu?"
"Ya, rebut pabriknya dan kuasai!"
"Lalu?!"
"Lalu bangun dan tebar kakus di setiap tempat, dan ajari mereka bagaimana membuat alat pembersih kakus. Kalau itu sudah kau rebut, nak, tak akan ada lagi penjajahan manusia atas manusia, tak ada lagi ketergantungan kita pada pemilik modal, kita akan mendiri, dan tidak akan ada lagi kesenjangan. Yang ada hanya kedamaian, sama seperti kedamaian kita di dalam kakus."

Aku kaget mendengar ajaran Revolusi WC dari Ibuku. Aku baru sebatas menyerap Filosofi WC tapi Ibuku sudah sampai pada Revolusi WC.

Tiba-tiba perutku mual."Aduh Bu, perutku, perutku."
"Kenapa perutmu, Nak?"
"Aku...aku kebelet Bu. Aku mau ke WC, eh... ke kakus Bu."
***
Di toilet, anak kecil membayang gedung megah. Lalu
melesap di ruang kusut, tempat guru dan murid
menimba ilmu. Sesak ilmu, hafal ditiru. Durur
membisu, gaji tak baru, buku baru!!! Disunat melulu.

Di toilet, ibu membisu, membaca lutut kaku.
Tumpahan utang tak kunjung hilang. Hutang maling
Negara.

Di toilet, bapak mengerang, pisau di genggam, siap
menikam. Terkungkung ruang kelam.

Di toilet, teroris meramu. Asu mengasu,
jancok-menjancok. Matamu!!! Sahid?

Di toilet mahasiswa menghafal utang negara
dipundaknya. Demo…bukannya ajar asih…huh…

Di toilet, petani (maaf, petani tak punya toilet…)
Di kubangan petani menghujat pada emprit dan tikus
yang merampok padi mereka, juga emprit dan tikus
bulog. Harga gabah naik…turun…..turun…turun….dan
terus turun

Di toilet, politikus memasang rencana, mengambil
uang dari lutut pertiwi yang bisu, gedung baru dan
APBN

Di toilet, aku hisap racun tembakau dalam-dalam…
lepaskan gelisah, aku mendesah, aku basah…. ach……
Indonesiaku

Tuesday, November 14, 2006

Satu Cerita Tentang KRL


Jam 19.30, Kereta api Listrik jurusan Jakarta Kota menghela nafasnya yang berat karena usianya yang semakin tua. Dia membunyikan klakson sebagai tanda bahwa dia siap menyeret tubuhnya yang semakin dijejali oleh beratnya ribuan manusia dan barang tanpa mempedulikan badannya yang sudah keropos dimakan usia. Jam 19.35, akhirnya Kereta api Listrik mulai berjalan terseok dan perlahan meninggalkan stasiun Bogor. Saat itu tahun 2000, aku lupa tanggal dan bulannya.Dengan dibantu oleh dua buah mata buatan yang tertempel di kepalanya, Kereta api Listrik mencoba untuk berlari menembus gelap dan dinginnya malam.

Gelap??...Hhhmm. .. Kereta api Listrik sama sekali tidak merasa takut. Kereta api Listrik merasa senang, Kereta api Listrik senang karena akhirnya Kereta api Listrik bisa merasakan dekapan dan belaian kegelapan yang selama ini menemani perjalanannya dengan setia. Sesekali Kereta api Listrik membunyikan klaksonnya untuk menyapa gelap, gelap pun membalas sapaan itu dengan desiran angin yang Kereta api Listrik rasakan seperti belaian dan dekapan yang terus Kereta api Listrik ingin rasakan. Dingin??.

Hhhmmm... Kereta api Listrik senang dengan kehadiran dingin, karena tanpa kehadiran dingin, Kereta api Listrik tidak akan pernah bisa merasakan hangatnya belaian dan dekapan gelap. Kereta api Listrik berlari tanpa berharap untuk berhenti. Kereta api Listrik takut untuk berhenti. Kereta api Listrik takut jika beban yang sekarang dibawanya berlari akan terus bertambah dan memadati setiap lorong di badannya. Kereta api Listrik takut jika manusia yang dibawanya malam ini akan semakin merasa panas karena dingin tak bisa mencapai lorong di setiap lekukan badan Kereta api Listrik.

Tapi harapan tinggal harapan... Kereta api Listrik selalu dipaksa untuk berhenti di setiap stasiun yang dilewati. Kereta api Listrik terus dipaksa untuk memuat orang dan barang melebihi kemampuannya. Kereta api Listrik pun harus dipaksa untuk mengalah setiap kali adiknya –kereta Pakuan- berusaha untuk melewatinya. Kereta api Listrik tak bisa berontak, Kereta api Listrik hanya bisa meraung lewat peluitnya dan teriak dengan gesekan antara rel dan roda baja yang Kereta api Listrik miliki.

Akhirnya, jam 21.00 WIT (Waktu Indonesia bagian Tebet) Kereta api Listrik bisa bernafas lega setelah hampir semua manusia dan barang yang memadati setiap lorong di badannya berhamburan keluar. Kereta api Listrik membunyikan peluit seolah memberi salam perpisahan. Sekali lagi Kereta api Listrik berhasil mengantarkan aku untuk berkumpul kembali dengan keluargaku. Aku berkata pada Kereta api Listrik, "Sampai ketemu lagi dilain waktu".

Wassalam
JOe Sorjan
~Dalam perjalanan pulang bersama teman sekelas semasa SMA usai melepas penat selepas EBTANAS~


Wednesday, November 01, 2006

Satu Cerita tentang "Fragmen"

FRAGMEN
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri:

YA ALLAH

Semoga tidak hanya mulut hamba
Hati hamba pun menyatakan
Hanya Engkau Tuhan….
Tuhan hamba

YA RAHMAAN YA RAHIIM


Demi kasih sayang ibu
yang menahan kantuk sepanjang malam
agar puteranya tetap lelap
nyaman dalam hangat pelukan
dan merdu kidungnya,
limpahkanlah kasih sayangMu
wahai Sang Mahakasihsayang

Demi induk kuda yang hati-hati
meletakkan kaki-kakinya
agar tak menginjak anak-anaknya,
limpahkanlah kasihsayangMu
wahai Sang Mahakasihsayang

Demi burung yang tak tega
mendengar cicit piyik-piyiknya
dan segera melolohnya,
limpahkanlah kasihsayangMu
wahai Sang Mahakasihsayang

Demi para pengasih yang mengeluskan perhatian
pada bocah-bocah yatim yang papa,
limpahkanlah kasihsayangMu
wahai Sang Mahakasihsayang

Demi kerelaan kekasih
mengorbankan segala,
limpahkanlah kasihsayangMu
wahai Sang Mahakasihsayang

Wahai Sang Mahakasihsayang
yang membagi satu perseratus kasihsayangNya
kepada hamba-hambaNya yang pengasih dan penyayang,
pancarkanlah cahaya kasihsayangMu
di hati para pembenci dan pendengki
di hati raja tega yang tak berperasaan
Janganlah Engkau siksa mereka
dengan kegelapan kebencian
luapan kedengkian
dan kematian ruhani

YA MAALIKU YA QUDDUUS

Wahai Sang Mahapenguasa
Yang memberi kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau suka
Yang memberi kekuasaan kepada
nabi Yusuf, nabi Sulaiman, Iskandar yang agung
hingga Umar Ibn Abdul Aziz dan Sultan Agung
Yang memberi kekuasaan kepada
Namrud, Firaun, Nero si kaisar Roma
hingga Hitler dan Bush si raja Amerika

Wahai Sang Mahasuci
yang telah mensucikan hati nabi Ibrahim dan nabi Musa
hingga nabi Isa dan nabi Muhammad al-musthafa,
berikanlah kekuasaan kepada kami
atas diri-diri kami
dan sucikanlah hati kami
dari daki-daki kesombongan, kedengkian, dan keserakahan
dan dari kesewenang-wenangan jabatan dan kepentingan.

YA SALAAMU YA MU'MIN

Kedamaian dan ketentraman purnama dalam langit malamnya
Kedamaian dan ketentraman bayi dalam dekapan ibunya
Kedamaian dan ketentraman sufi dalam kefanaan wushulnya
Kedamaian dan ketentraman hati dalam kerelaan pemiliknya
Adalah bagian dari percikan rahmatMu
Wahai Sang Mahapemberi Kedamaian dan ketentraman
Percikkanlah kedamaian dan ketentraman di kalbu kami

Wahai Sang Mahapemberi rasa aman
Berilah kami rasa aman dariMu dalam ridhaMu
Bukan rasa aman yang meninabobokkan
penyembah sorga dalam ibadahnya
Bukan rasa aman yang meninabobokkan
penyembah dunia dalam kehidupannya

YA MUHAIMINU

Singa, serigala, ular, buaya, dan bahkan manusia
yang merasa diri perkasa
mengawasi tepatnya mengincar mangsa mereka
dengan mata mereka yang nyalang
Engkau Yang Mahaperkasa
mengawasi makhluk-makhlukMu semesta
dengan mata kasihsayang
Lindungilah kami dari incaran kekejian diri kami sendiri
dan apa saja yang membuatMu berpaling dari kami

YA 'AZIIZU

Mereka yang merasa menang
cenderung sewenang-wenang
Mereka yang berjaya
cenderung suka menganiaya
menjarah yang kalah
menista yang tak berdaya

Engkau Yang Mahamenang di atas segala yang menang
Yang Mahajaya dari semua yang berjaya
Menangkanlah kami atas nafsu-nafsu kami yang rakus
Dukunglah kami menundukkan diri kami yang angkuh
Bantulah kami meraih kejayaan yang tak semu:
mahkota keridhaanMu

YA JABBAARU YA MUTAKABBIR

Penguasa-penguasa yang perkasa
Cepat atau lambat
hancur karena takabur
Khalifah yang lupa kehambaannya
lupa kelemahannya
dikejutkan oleh kejatuhannya

Hanya Engkaulah, wahai Yang Mahaperkasa
yang berhak takabur karena Engkau Mahasempurna
Kelebihan apa pun yang Engkau limpahkan kepada kami
janganlah Engkau jadikan penyebab lupa dan bangga diri
Lindungilah kami dari keangkuhan
yang menjauhkan kami dari kasihMu

Wassalam
JOe SoRJan

Satu cerita Tentang "Lemon Tree"

Lemon Tree

Oleh Blu 1sty


Sekali lagi mataku melirik pada sosok manis di sebelahku. Chiara. Rupanya, dia juga melirik kepadaku. Bila tidak, tak mungkin pipinya yang merah jambu alami itu merona laksana buah stroberi ranum.


Siang ini, Chiara mengenakan pakaian terusan berwarna kuning cerah. Tampak begitu serasi dengan kulitnya yang putih. Namun, kontras dengan bias kemerahan segar dari wajahnya. Dalam hati, aku menepuk kepalaku. Oh my God, gerangan apa yang kupikirkan? Usia Chiara baru 14 tahun. Aku, dua kali lebih tua dari dia. Kok bisa? Entahlah. Yang jelas, bayangan Chiara kerap menari-nari di pelupuk mataku.


Chiara yang lugu. Chiara yang lucu. Berlari. Menari berputar-putar. Rok kuning cerahnya mengembang. Kepangan rambutnya ikut melayang di belakang kepalanya. Seperti kucing kecil yang mengejar ekornya sendiri.


Chiara. Chiara. Rasanya baru kemarin aku membelai tubuh bayimu yang mungil. Kini aku menyaksikan pipi tembam-mu memerah ketika kutatap lekat matamu. Atau, justru akulah yang bersemu merah, ketika mata bening Chiara menangkap tatapku? Lalu, kenapa aku harus tersipu? Apakah aku jatuh cinta? Ha? Jatuh cinta? Apa benar? Tidakkah terlalu dini untuk menterjemahkan perasaan ini dengan label CINTA?


Belum usai aku menyusun kepingan puzzle di dalam benakku, Chiara menghampiri. Membuatku bergetar. Bahkan aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku hanya mampu menunggu dengan tegang. Apa yang akan Chiara lakukan kali ini? Membelaiku dengan sayang, atau apa? Menunggu, aku hanya menunggu.


Chiara menatapku dan tersenyum riang. "Selamat pagi," ucapnya sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan mencondongkan badannya ke depan. Kedua tangannya saling silang di belakang. Dia mengucapkan salam padaku dengan cara yang begitu manis. Seperti biasa. Tapi, selalu lebih manis dari sebelumnya.


"Dadaku" berdegup kencang. Rasanya jantung hampir loncat dari tempatnya. Seluruh tubuhku berdesir, setiap pembuluh mengalir lebih cepat. Ingin rasanya aku melonjak kegirangan, namun aku tak mampu. Aku hanya terdiam, membalas senyumnya. Aku lebih berdebar lagi ketika tangan Chiara terulur ke depan. Dia ingin menyentuhku lagi. Ah! Aku terus menunggu, setengah tak sabar. Mataku terpejam menunggu. Menunggu. Menunggu.


Tapi, sentuhan Chiara tak kunjung tiba. Masih merasa exciting, kucoba membuka mataku. Melihat apa yang terjadi. Dan, aku harus menahan kedongkolan ketika ternyata Chiara berada sekitar lima langkah dari tempatnya semula berdiri. "Tom!" seru Chiara. Gadis itu menepis genggaman tangan Tom. Anak lelaki nakal, teman sepermainan Chiara. Gadisku itu mendengus kesal. Aku juga jadi ikut-ikutan mendengus kesal.


Tom melihat ke arah Chiara, lalu ke arahku. Anak bandel itu tertawa. Memperlihatkan giginya yang berjejer tidak lengkap. "Apa maumu? Dasar anak bandel," ejek Chiara-ku. Aku mengangguk-angguk menyetujui ucapannya. Ingin pula rasanya aku menjitak kepala botak Tom, tapi dia di luar jangkauanku.

"Kamu juga anak bandel, mau apa pagi-pagi bermesraan sama dia?" telunjuk Tom menunjuk ke arahku. Huh! Dasar anak tidak sopan. Menunjuk-nunjuk ke arahku yang jelas-jelas lebih tua darinya. "Biar saja! Terserah aku dong," gadisku itu bersungut, lalu melangkah mendekati aku lagi. Dengan cepat, Tom kembali menarik lengan Chiara.


Kali ini, Chiara menatap marah kepada temannya, "Mau apa sih kamu?" Tom masih nyengir lebar. "Main sama aku saja yuk," jawab Tom. Tanpa bisa menahan kekesalan lagi, aku cemberut. Syukurlah, ternyata Chiara menggeleng, menolak ajakan Tom. "Ayolah, nanti aku ajak main Playstation," bujuk Tom. Huh! Playstation, mainan yang tidak pernah ingin kusentuh. Hanya membuang waktu saja.


Ternyata, Chiara-ku kembali menggeleng. Aku bersorak girang dalam hati. Tampaknya, Chiara juga membaca pikiranku. "Ayolah!" Hah! Dasar bandel. Kali ini Tom menarik kepangan rambut Chiara, sampai-sampai gadisku itu berteriak kesakitan.

Aku menjadi marah, tapi ternyata Chiara memang sudah cukup besar untuk bisa membela dirinya sendiri. Dengan cepat, Chiara melayangkan tinju kecilnya ke arah kepala Tom. Menjitak kepala Tom. Pemuda bandel itu mencoba berkelit, tapi kalah cepat. Tangan Chiara dengan sukses mendarat di dahi Tom yang segera mengaduh. Bagus, bagus, sorakku dalam hati. Gerakan Chiara tadi, aku lho yang mengajarinya!


Tapi, hei. Kenapa akhirnya Tom dan Chiara saling berkejaran sambil melayangkan tinju-tinju kecil mereka? Dalam sekejap, mereka melupakan kehadiranku. Malah larut dalam canda dan tawa.


"He he he," aku mendengar suara terkekeh. Bernada mengejek. Aku segera menoleh. Ah, si pengacau lainnya datang. Saki. Berlagak seperti teman lamaku, Saki menopangkan tubuhnya di bahuku. Masih terkekeh, dia berkomentar, "Cemburu?" Aku hanya melengos. Selalu saja ejekan itu yang diberikan Saki padaku. Anehnya, kenapa Saki selalu datang setiap kali Chiara dan Tom "bertengkar" di hadapanku. Jangan-jangan Saki-lah biang kerok semua ini. Jangan-jangan dialah yang memprovokasi Tom agar membuat Chiara-ku menjauh dariku.


"Mungkin kaulah yang cemburu, Saki," jawabku akhirnya, setengah menahan dongkol. Saki tertawa. Terdengar sumbang. "Aku? Cemburu? Pada siapa? Padamu? Pada gadis itu? Yang benar saja." Dia tertawa geli sambil menggeleng-geleng dan mematuk-matuk lenganku.


"Kau ini memang lucu, selalu membuatku tertawa," tandas Saki. Aku menatapnya dengan sewot. "Apa maumu, gelatik nakal? Kalau hanya ingin menggoda atau menghinaku, pergi saja. Bawa paruh jinggamu itu menjauh dari hadapanku," aku menghardik.


"Jangan marah, kawan. Aku tidak bermaksud menggoda, apalagi menghina," Saki mengepakkan sayap kecilnya lebih dekat ke tubuhku. "Aku hanya ingin kau sadar, bahwa kau dan gadis itu sungguh berbeda," jelas Saki. Aku menggeleng-geleng, tak ingin mendengar ucapan yang sama untuk ke-lima ribu delapan ratus dua belas-kalinya itu.


"Aku tahu kau jatuh cinta pada anak itu.." "Gadis!" potongku, sebelum Saki menyelesaikan kalimatnya. "Oke, gadis. Whatever! Aku tahu kau menaruh hati sejak kau melihat gadis itu dalam gendongan Belinda, ibunya," kicau Saki. Aku tertawa sinis. "Tapi, kau dan dia sangat berbeda. Lagipula, mana mungkin Chiara mengerti perasaanmu?"


Tak ingin mendengar lebih jauh ucapan Saki yang terasa menyakitkan, aku mengibaskan lenganku kuat-kuat, seiring angin berhembus. "Baiklah. Baiklah. Aku pergi. Tapi, jangan katakan aku tidak mengingatkanmu, kawan. Kalau kau patah hati, jangan datang dan menangis padaku," kemudian Saki terbang ke angkasa sambil terkekeh.


Sebaliknya, Chiara melihat Saki terbang dari lenganku. "Lihat! Lihat! Burung gelatik lucu berwarna kuning!" Chiara berteriak kepada Tom sambil menunjuk-nunjuk ke arah Saki. "Wah cantiknya," Chiara berdecak kagum. Lalu tertegun melihat sesosok buah berwarna kuning di antara dahanku. "Ah, kau sudah berbuah lagi, pohon lemon," ucap Chiara padaku sambil membelai daunku, lalu meraih lemon kuning dari salah satu dahanku. Aku melonjak girang.


Ya. Ya. Ambil saja buahku, Chiara. Aku akan terus berbuah sampai mati. Tanda aku mencintaimu yang selalu ramah padaku. Naiklah ke dahanku, kujamin kau tak akan jatuh. Dan, jangan kuatirkan terik matahari, daunku akan selalu melindungimu. Tapi, kalau hujan, kau tetap harus ambil payungmu, ya Sayang!