Thursday, December 21, 2006

Satu Cerita Antara Aku, Kau dan bekas Pacarku

Hujan begitu deras sore ini. Istriku, wanita sederhana yang kunikahi 3 tahun yang lalu nampak asyik menekuni kegemarannya mengisi TTS. Ah, mengapa setiap memandang wajah sederhananya selalu terbersit perasaan bersalah? Mengapa tidak bisa kuberikan seluruh cintaku padanya? Hujan memang mengesalkan. Setiap titik airnya selalu menggoreskan rinduku padanya. Istriku? Bukan, Neva. Wanita yang selama sepuluh tahun ini dengan setia mengisi satu pojok hatiku. Wanita yang selalu membuatku merasa bersalah pada istriku.

Perkenalan pertamaku dengannya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu aku harus mengikuti KKN dari universitas paling ternama di Yogyakarta. Pertama kali kenal, aku tidak peduli karena waktu itu aku baru putus dari pacarku. Bayangkan saja 4 tahun aku pacaran dan dia memutuskanku begitu saja. Neva bertubuh sedang, rambut dipotong pendek ala Demi Moore, wajahnya lumayan manis. Tapi yang paling menarik adalah sinar matanya yang hangat, tulus , bersahabat dan selalu tertawa. Seminggu orientasi aku masih tidak begitu peduli bahkan sering terganggu dengan gaya ketawanya yang begitu spontan. Kebetulan kami satu regu. "Mas.. mau kopi?" sapaan istriku membuyarkan lamunanku tentang Neva. Dengan cepat aku mengangguk. Entah mengapa aku kesal karena lamunanku terhenti.

"Aduh... Yok... bagus ya desanya... Uih... kayak negeri para dewa," Neva spontan berkomentar saat kami tiba di desa yang terletak di lereng Merbabu. Hm.. bener juga gumanku. Tempat regu kami tinggal adalah rumah kosong di pinggiran hutan karet. Tiap pagi embun turun dan menari di sela-sela hutan karet itu dimana sinar matahari dengan lembut menyeruak di antaranya. Dan setiap bangun pagi, aku selalu dikejutkan senyum Neva sambil menyeruput kopinya (entah jam berapa dia bangun pagi). "Pagi.. Yok! uh... tadi bagus deh..." dan berceritalah dia tentang kegiatan jalan-jalan paginya.

Entah, akhirnya setiap pagi kami selalu bercerita tentang bayak hal sambil menikmati kopi. Baru kusadari wanita ini di samping begitu mandiri dia juga cerdas luar biasa. Dia bisa bercerita mulai dari Nitsche, harga saham, Picasso, Iwan Fals sampai masalah kemiskinan di negeri ini. Yang luar biasa dia ternyata pernah mendapat beasiswa pertukaran pelajar, pinter main piano dan bekerja part time (meski dia berasal dari keluarga yang cukup berada). Aku semakin suka berada di sampingnya.

Di mataku kecerdasannya membuat dia begitu menarik, cantik dan seksi. Hingga suatu malam saat kami ngobrol berdua saja di teras dia mengejutkanku dengan pernyataannya, " Yok... aku ini sudah nggak perawan." Aku begitu terkejut, bagi orang sepertiku yang di didik sejak kecil bahwa seorang wanita harus menyembunyikan emosinya, pernyataan seperti ini begitu mengguncang emosiku "Ya... Tuhan... wanita seperti ini yang aku cari..." seruku dalam hati. Betapa jujurnya dia.

Dia bercerita tentang rasa cintanya yang begitu besar pada pacarnya, kesedihannya karena pacarnya tak pernah memintanya menjadi istrinya meski mereka telah pacaran hampir 6 tahun. Tanpa kutahu pasti, aku telah jatuh cinta padanya dan yang menyedihkan aku tidak berani menyatakannya. Aku nikmati saja hari-hari KKN ku. Kami main air di sungai, jalan-jalan. Setiap pacarnya datang, kutekan rasa cemburuku dan sakitku bahkan aku dengan gaya yang sok berbesar hati sering mengantarnya ke terminal untuk pulang menengok pacarnya. Setiap kali sehabis pulang, dengan gaya lucunya dia bercerita tentang persetubuhannya dengan pacarnya. Neva... tahukah kau aku mencintaimu?

Sampai suatu hari, aku dan dia pergi ke kota asalku Solo untuk mencari sponsor bagi pasar murah yang akan kami selenggarakan. Tanpa terasa kami kemalaman.
"Nev... kita nginap di rumah ibuku yuk?" Sungguh! Waktu itu aku tidak punya pikiran apapun. Dan seperti yang sudah kuduga, keluargakupun sangat menyukainya. Bahkan ibuku bilang, "Dia lain ya sama Rini? Anaknya ramah dan baik". Ah.. betapa inginnya aku bilang, "Dia wanita yang kuinginkan jadi istriku, bu".
"Yok... aku tidur dimana?" tanya Neva.
"Dikamarnya Iyok aja, nak. Itu di kamar depan." ibuku begitu bersemangat menata kamarku.
"Wah... ntar Iyok tidur dimana?"
"Biar tidur di sofa ruang tamu".

Rumah ku memang agak aneh, hampir seluruh kamarnya ada di belakang, hanya kamarku yang terletak di depan. Malam itu aku gelisah tak dapat tidur. Entah mengapa aku begitu rindu pada Neva. Gila! Padahal seharian tadi aku bersamanya. Seperti ada yang menggerakkan aku pergi ke kamarku di mana Neva tidur dengan memakai daster ibuku!. Nampak tidurnya begitu damai. Ya... ampun baru kusadari betapa besar cintaku padanya. Tanpa terasa aku belai pipinya dengan lembut. Dia menggeliat. Oh.. sungguh seksi sekali. Tiba-tiba saja tanpa dapat kubendung kucium bibirnya dengan kelembutan yang tak pernah kuberikan dengan pacarku dahulu. Neva membuka matanya, dan baru kusadari betapa indah mata itu. "Yok?" Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Kembali kukulum bibirnya, diapun menyambut dengan hangat ciumanku. Lidahnya bermain begitu luar biasa di lidahku. Tanpa terasa sesuatu yang keras menyembul dari balik celanaku. Kuciumi dengan hangat lehernya, dia menggelinjang geli. Dibalasnya ciumanku dengan ciuman lembut di leherku, turun ke dadaku. Lalu dengan gerakan yang begitu lembut, dilepasnya kaosku. Kubalas ciumannya dengan ciuman di dadanya. Ya... ampun... dia tidak memakai bra. Terasa putingnya mengeras dan dadanya begitu kencang. Tanganku masuk dari bawah dasternya. Ugh... dadanya begitu penuh. Gelinjangannya begitu mempesona. Dia begitu meenikmati sentuhanku. Tiba-tiba dia menggerang, " Don... ah...". Bagai tersengat listrik, kulepaskan cumbuanku. Ada rasa nyeri menyeruak di dalam dadaku. Dia menyebut nama pacarnya! Neva pun tersadar.

"Yok... maaf..." segera diambilnya kaosku.
"Pergilah... maaf... aku... aku... kangen sama Don". Diapun menundukan kepalanya. Mungkin orang menanggapku gila karena keterusterangannya justru membangkitkan gairahku. Entah aku begitu yakin akan perasaanku padanya, rasa cintaku dan aku ingin dia memilikiku. Akan kuberikan keperjakaanku padanya. Ya... aku masih perjaka! Meski aku pacaran serius selama 4 tahun dengan Rini, aku adalah laki-laki yang begitu menghargai keperjakaan. Bahkan aku pernah bersumpah hanya kepada istriku akan kuberikan keperjakaanku. Seperti ada kekuatan gaib tiba-tiba aku bertanya.
"Nev... maukah kamu mengambil keperjakaanku?"
"Tapi... Yok?"
"Aku tidak peduli Nev... aku mencintaimu... aku ingin kamu yang mengambilnya... aku ingin kamu menjadi istriku" sambil kugenggam tangannya. Ada buliran air mengalir dari mata bulatnya. Neva hanya terdiam, dan dengan lembut diambilnya tanganku dan dibawanya ke dadanya.
"Kamu begitu tulus...Yok...". Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia mencium bibirku, pertama lembut sekali tapi makin lama makin liar, dibaringkannya tubuhku di tempat tidur. Lidahnya menjilati belakang telingaku, turun.. keputingku... ke tanganku... lalu turun ke ibu jari kakiku.. ke.. atas... ke paha... ya ampun! Aku belum pernah melakukan ini. Dulu dengan Rini aku hanya melakukan sebatas 'pas foto', itupun dengan baju yang terpakai. Tiba-tiba gigitan kecil dikelelakianku membuatku tersentak, dengan giginya, dibukanya celana pendekku, lalu celana dalamku. Ya.. aku telanjang bulat di hadapannya. Lalu dengan gerakan lembut dia membuka dasternya, lalu celana dalamnya. Aku masih dalam posisi terlentang. Antara bingung dan gejolak yang luar biasa. Dengan senyum manisnya, Neva menjulurkan lidahnya ke arah lelakianku. Dimainkannya ujung lidahnya di pangkal kelelakianku. Aaggh... ya Tuhan... inikah Surga-Mu? Aku tak mampu berkata apa2 saat mulutnya mengulum kelelakianku sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya.. Aku hampir saja tak kuat menahan lava di dalam kelelakianku. Tapi di saat aku hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal kelelakianku itu. Ajaib, lava itu tak jadi keluar meski tetap bergejolak.

Demikianlah... hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia berkata... "Yok... aku ingin memberimu hadiah yang tak kan kamu lupakan". Dia lalu duduk di atasku, tepat di atas kelelakianku. Diambilnya kelelakianku terus dengan gerakan begitu lembut dimasukkannya ke dalam kewanitaanya. Ugh... ah.. erangannya begitu mempesona. Dan akupun memegang pantat bulatnya. Tapi segera dia berkata" Ssst... I will make you happy Yok!". Terus dengan gerakan memompa dan memutar, kurasakan seluruh darah mengalir ke bawah.

Keringat membasahai seluruh tubuhnya. Sambil berciuman kurasakan dia memompa kewanitaaanya. Lalu dicengeramnaya tubuhku kuat-kuat. Aggh.. agh... seluruh ototnya meregang. Putingnya tegak berdiri dan disorokannya ke mulutku. Lalu dengan keliaran yang tak kubayangkan sebelumnya kulumat habis puting itu sambil membalas pompaannya. "Ah... terus.. Yok.. terus... jangan berhenti" rangannya semakin mebuatku liar. "Lagi... Yok.. lagi... ini ketiga kalinya... ayo Yok..." Dan tanpa dapat kutahan lavaku menyembur. Neva segera menariknya keluar. Lalu dijilatinya cairan lava itu. Kenapa dia tidak jijik? Dengan senyum manisnya seakan dapat membaca pikiranku. "Nggak Yok... aku ingin membuatmu senang". Ya Tuhan, aku sangat terharu mendengarnya. Bagiku dia telah menjadi istriku. Malam itu, kami tiga kali bercinta dan ketiganya Neva yang 'memberiku'. Hm... aku berjanji, suatu saat aku akan memberikan 'sesuatu' yang sangat hebat... "Mas... kopinya kan sudah dingin. Kok nggak diminum?" Ah...lagi-lagi sapaan istriku membuyarkan lamunanku. Neva... dimana kamu sekarang (istriku)?

"Pada sepi yang tiba
Keyakinanku yang rapuh
Kuusik sendiri...
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur
Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau
Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh
perjalananku..."

Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun masih ada di tepinya. Neni istriku tampak sesekali merapatkan pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya nampak terpatah-patah mendaki jalanan yang berbukit. Ah, semoga kami belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yang baik hati itu. "Kenapa sih mas... motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina juga nggak apa-apa." keluh istriku. Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara menerangkannya alasanku sesungguhnya.
"Ha.. ha.. Yok... ini sih sepeda onthel bukan motor" tawa lepas Neva waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu.
"Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?" Aku pura-pura marah. Mendengar nada suaraku yang kelihatan kesal. Mata Neva yang bulat segera membelalak dengan lucunya.
"Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah" Dia gantian memberengut dan mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit. Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tidak bermaksud membuatnya tersinggung. Aku kelabakan "Ngg... anu. Nev... aku... aku... maaf... tadi... ngg" Aku tidak bisa meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana. Sungguh mengapa aku begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku. Saat aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di pipiku "Mmuah!" Neva menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil mengecohku. Antara lega, kaget, senang dan malu. Terlebih beberapa penadah karet yang berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu melihat kespontanannya yang tak bosan-bosannya memukauku.

"Nev.. sst.. ntar dilihat orang"
"Ha.. ha... biarin! ha.. ha... gotcha!
Takut aku marah ya? He.. he..." Dia masih ketawa geli. Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yang mulai memanjang dan awut-awutan itu dengan penuh kasih.
"Sayang ya?" tanyanya manja (baru kusadar, dia tidak penah menampakkan kemanjaan ini kepada siapapun selama kami KKN. Beginikah dia sama Don? Persetan! Segera kuusir perasaan buruk ini). Kupandang dalam ke mata lucunya. Aku tahu pasti, dia bisa membaca apa yang terukir indah di dalam hatiku. Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang seolah mengejek motorku yang semakin terseok. "Nen.. kita berteduh di dangau itu saja" segera kupinggirkan motorku ke dangau di tepi hutan itu. Daun kelapa kering yang menjadi atapnya nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok sebelah kanan masih ada tempat yang kering. Sebelum kami duduk di bangku bambu yang sudah tampak lusuh dan banyak sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yang menyembul menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.
"Oouch!"
"Yok... aduh... tanganmu berdarah" Neva berteriak dengan kecemasan yang tak dapat disembunyikannya. Segera diambilnya jari telunjukku dan dikulumnya di bibirnya yang tak tersentuh lipstik. Pemandangan di depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah, begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya yang basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan. Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas. Warna hitam dari branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku. Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih yang tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan berganti menjadi kehangatan yang menjalari seluruh ujung kepekaanku. Masih kurasakan kebahagiaan yang kuperoleh beberapa hari yang lalu di rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu....

"Nah... sudah mendingankan?" jariku yang dicabut dari mulutnya membuyarkan kenanganku. Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di rumahku itu, aku merasakan kedekatan yang luar biasa di antar kami. Nevapun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada kekasihnya itu dengan ujung mata yang sesekali mencuri pandang ke diriku. Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban pertanyaan itu dan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku hanya yakin, Neva juga melakukannya dengan hatinya.

"Hey.. jangan melamun dong, Mas!" sapaan istriku lembut tapi kurasakan ada kejengkelan di dalamnya. "Nggak... cuma hujan kayak gini pasti lama... kita terjebak di sini nih!" sambil kupeluk istriku. Ada rasa syukur yang besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi angin besar. Neva merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan gigilan dingin yang menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya. Kurasakan balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yang luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa sayangku itu. Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung lidahku, kemudian lehernya. Dia lalu menengok dan dengan hangat diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya.

Hujan yang semakin deras melarutkan percumbuan kami. Ditariknya mulutnya dari mulutku "Yok... tapi nggak usah main ya?". Dengan kelu kuanggukkan kepala. Neva kemudian pindah ke depanku menghadap ke arahku, bra hitam basahnya yang nampak samar di kaos basahnya tepat di hadapanku. Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit indahnya. Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak hitamnya yang mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan). Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut dan Nevapun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yang tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yang begitu ekspresif semakin menyorongkan dadanya ke mulutku. Kedua bukit itu makin keras. Tiba-tiba dengan gerakan yang agak kasar ditariknya kedua dadanya dari mulutku. Neva segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan gerakan yang menagihkan. Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku, ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal. Gelinjang sensasi kenikmatan yang kurasakan membuatnya mempercepat gerakan makan es krimnya. "Ugh... ah...... akhhhhhhhh... Nev.. ahhhhhhh" tak mampu aku berkata apa-apa. Lavaku sudah mendekati puncak dan Neva akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-tiba... Grung... grung... suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil ngobrol yang tak jelas.

"Mbak.. Mas... bareng aja yuk?" pak lurah yang baik hati itu menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak belakang. "Nev.. aku pusing!" bisikku. Neva hanya mengangguk sambil jarinya meremas jemariku. "Yah... memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin, pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh ngerokin nak Iyok." Pak lurah yang baik hati itu dengan polosnya menyahut. Aku dan Nevapun berpandangan dengan senyum antara geli dan kecut.

"Kematian adalah tantangan,
Kematian mempertegas kita untuk tida melupakan waktu,
Kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga bahwa....
kita saling mencintai..."

Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua kamarnya (satu untuk Neva dan Santi, sedangkan yang lainnya untuk Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah... teman-teman sereguku itu juga tak kuketahui rimbanya kini...) kini ditempati keponakan pak lurah yang baik hati itu. Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah itu. Bu lurah dengan mata yang masih sembab menyambut kedatanganku dengan keharuan yang mendalam. Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia. Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu ditangannya

"Makanya mas Iyok... mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan mbak Neva nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yang lain. Mereka tadi nunggunya lama lo... mas Made yang ngusulin ninggal. Marah lo dia" sambil sesekali dipijitnya tengkukku. Sambil tersenyum menahan kerokan yang tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi bisa-bisa sampai subuh bu lurah yang masih menyisakan kecantikan masa mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin segera kembali ke pondokanku menyusul Neva yang tapi pura-pura pamit menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku bergegas ke pondokanku. "Nen.. ini kamarku dulu, dan yang itu kamar Santi dan Neva" waktu kusebut namanya ada kelu yang mnyekat di kerongkonganku. Untunglah keponakan pak lurah segera menyuruh kami minum teh hangat. "Nev... mau teh hangat?" kuambilkan secangkir teh dari rumah pak lurah, jangan-jangan Neva sakit beneran? Ada rasa cemas yang menyusup saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak. "Mau dong" sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya. Syukurlah, dia tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah...
"Yok?" bisiknya
"Ya?"
"Selesain yuk?". Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan keinginannya seperti dia. Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke kamar Neva. Begitu kubuka kamar, Neva ternyata telah menanggalkan seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam, hampir seluruh pakaian dalamnya hitam). Dengan reflek kubuka bajuku segera kutubruk dia. Neva sedikit meronta dan itu membuatku semakin bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa takut ketahuan. Neva segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya. Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan itu begitu khas, aku belum pernah membauinya.

Dengan reflek kujilati pinggirannya dan benda kecil yang tampak memerah tegang ditengahnya. Neva mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu. Aku begitu menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau film seperti ini. Semuanya kulakukan dengan reflek naluriku belaka. Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit indahnya yang semakin keras dan mengeras. Kupelintir kedua puncak hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur dengan air itu. Kuhisap lagi. Kedua puncak hitam bukit indahnya semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu, kuremas-remas, kuperas dan... "aaaahhhhh... oh yes... yes. uh...... ahhhh.." panggul Neva dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa. "Oooohhhhh... Yesss!!!!" dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya.. Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas. Segera kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya. Neva semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan puncak yag begitu keras. Ah... aku tak kuasa menahannya lebih lama dan... Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam. Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan rasa cintaku yang luar biasa. "Yok... ayo... yok... ah... terus... terus.. oh yesssss!" saat itu kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia... Saat Santi dan teman-temanku pulang, Neva sudah tertidur kelelahan. Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku menceritakan betapa hebatnya film yang ditonton. Aku hanya pura-pura kesal dengan kebahagiaan yang tak terkira. "Mas.. pulang yok.. udah sore nih..."

Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan jelas bisikan Neva sesudah mengakhiri permainan kami.

"Aku ini badai dan samudera,
hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar.....
betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku
pada tempat ini"

Telah sebulan KKN selesai. Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Neva. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Bambang dan Panca, teman-teman sekontrakanku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif. Akhirnya aku ceritakan bahwa aku jatuh cinta dengan perempuan itu. Saat kutunjukkan fotonya, Panca begitu terkejut ternyata Neva teman basketnya di tim universitas. "Wah... kamu pinter milih, Yok! Kalo dia aku ya mau juga," jawabnya terkekeh

Aku tahu saat ini pasti Neva sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Panca jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Neva ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke rumahnya yang sangat besar di utara Yogya itu. Tapi mobil Don yang sering nongkrong di depan rumah itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Yok! Entahlah. Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Neva? Dia duduk sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.) Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yang luarbiasa digabung dengan keperempuanan yang menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming sedikitpun. Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Don! "Hey.. Yok? sudah lama?" sapanya hangat Aku hanya mengangguk dengan senyum yang pasti begitu aneh. Neva segera bangkit. "Yuk Don pulang... pulang dulu ya Yok!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja. Aku hanya terbengong dan kelu.

Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Bambang menggedor pintu kamarku. "Yok... aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan," pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya. " Ya... hati-hati... salam buat Tasya!". Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ? "Ngapain Mbang? Ada yang ketinggalan?" "Ngg... anu Yok ada tamu!" Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Neva! Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah? "hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar. Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Bambang yang terburu-buru pergi. "Mama nyusul Papa ke New York. Don pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di rumah. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di rumahnya yang super besar itu. "Sampai kapan?" tanyaku sekenanya. "Tahu! Mungkin sebulan. Kalo mama dan papa sih lima minggu. Soalnya mereka mau ke Eropa sekalian. Nengokin om Jon, adik mama di Paris. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.

Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Neva di rumah kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Neva). Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Neva ketiduran. Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku. Beberapa lilin yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Neva dengan rok terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering memakainya di Malioboro. Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah... pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu "Lady wants to Know" mengalun, Neva memegang tanganku. "Shall we dance?". Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.
"Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang hatimu..." bisiknya lembut. Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi kesadaranku. Tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yang purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati bibir kewanitaannya. Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan kubanting ke lantai. Gedubraaaak!

"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh.. ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat kaku mengeras dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya. Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great... baby..." saat es yang semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku. "Please Yok... setubuhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku. Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...

"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Panca. Benar, mungkin karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kewanitaannya. "Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya pinggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin dalam. Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitaannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitaannya. "Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras. "Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras. Neva semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan. "Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa... Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta hingga pagi menjelang.

Sudah hampir 2 minggu ini Neva tinggal bersamaku. Selama itu pula erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi seuatu yang biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi, siang dan setiap malam. Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Panca pergi). Panca sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Pancapun hanya menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar. Biasanya Neva masih sempat menggoda Panca dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho Pan?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu demikian indahnya. Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"mau ke mana Nev...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"Mama Papa udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Don pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Don akan marah kalau ke rumah aku nggak ada". Don, lagi-lagi Don! Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat ini: "Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Nev!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Neva berteriak kesakitan karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.

"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....

Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke rumahnya, tapi hanya pembantunya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya. Nev... aku hanya minta maaf. Di hari wisudanyapun ternyata dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Nevakah? Begitu kubuka ternyata Don. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Don hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, "Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya". Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Neva!

"Don-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini. Don, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku.... Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Iyok (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Iyok). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya. Tapi ternyata rasa cintanya begitu 'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu. Don, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Iyok, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku kepadanya... just take care of yourself. Neva."

Aku hanya termangu. Karena itu setiap tahun aku pasti menyempatkan pergi ke hutan karet itu dengan seribu satu alasan ke istriku....

Catatan: Lima tahun yang lalu, Panca pernah melihatnya di bandara Changi. Neva bersama seorang anak perempuan usianya sekitar lima tahunan. Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku begitu gemetar mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala kemungkinan...

TAMAT

Satu Cerita tentang Imajinasi

Pertama-tama, cerita ini hanyalah sebuah cerita fiktif belaka. Sebuah cerita hasil imajinasi “nakal” dari seorang Joe. Bagaimanapun juga, sebagai manusia Joe gak mau munafik, Joe juga punya khayalan “liar” yang mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang sangat tidak sopan.

Tapi Joe belajar, Joe tetep belajar untuk tidak munafik tentang segalanya. Tentang Cinta, tentang kasih, tentang sayang, dan juga tentang “setan” dalam diri Joe yang bernama “Nafsu”. Sebuah imajinasi yang mencoba disusun seindah mungkin. Bukankah Wiro Sablenk pernah berkata bahwa “IMAJINASI LEBIH BERHARGA DARI SEBUAH ILMU PASTI” eh.. salah.. itu kata-katanya Om Albert Einstein yach? Sorry..Joe kan juga manusia yang gak luput dari salah dan lupa.

Semoga cerita ini gak membosankan dan gak membuat yang membaca memandang sinis mimpi seorang pemuda yang mencoba belajar melangkah menuju kelelakian. Sebuah imajinasi dalam pengembaraan mencari arti diri. Mencari kesejatian tentang arti makna sebuah hembusan udara yang hampir setiap detik keluar. Akankah nikmat setiap hembusan nafas yang keluar itu hanyalah kesia-siaan belaka? Ataukah telah ditemukannya arti dari setiap anugrah yang telah Allah berikan? Joe hanya ingin mencoba mensyukuri setiap apa yang Allah berikan tanpa pernah menuntut lebih. Karena Joe yakin “Apa yang menurut Joe baik, belum tentu baik di “mata” Allah, dan apa yang menurut Joe buruk, tidaklah pasti buruk menurut Allah” Joe hanya pasrah tapi tak pernah menyerah. Karena Joe yakin Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Selamat membaca….semoga saja cerita ini bisa membuat kita lebih membuka pikiran tentang sebuah misteri Cinta dan keburukan dari sebuah nafsu.

Wassalam
Joe Sorjan

~Sebuah Imajinasi~

Suatu hari di bulan November, lewat tengah hari.

Hujan turun dengan derasnya dari pagi sehingga memnyebabkan kemacetan di kota Jakarta yang memang biasanya macet menjadi semakin padat. Joe mengawasi keadaan sekeliling dari balik kaca jendela Feroza hijau toska berkilat yang setia menemaninya sejak SMA. Sia-sia, tirai hujan terlalu pekat ditambah lagi langit mendung sehingga tidak memungkinkan mata minus satu-nya melihat lebih jauh dari 2 meter. Karena terburu-buru tadi kacamata Joe tertinggal di kantor. Hari ini Ia kebagian jatah untuk menanggapi complaint seorang customer di daerah Kebon Sirih. Karena hujan tidak juga mereda, ditambah macetnya jalan dan perutnya yang mulai menjerit minta di-isi maka Ia mengarahkan mobilnya memasuki Wisma GKBI. Di dalam restoran Hoka-Hoka Bento yang sepi ia memandang berkeliling, lalu melangkahkan kaki menuju ke arah counter. Setelah memilih sepiring salad, sup miso, seporsi Ekkado dan segelas lemon tea, Joe menuju kasir untuk membayar pesanan-nya.

Ia mengantri di belakang seorang gadis berusia 20-an. Tanpa kacamata pun Joe bisa melihat betapa menariknya gadis itu. T-shirt Armani hitam ketat membungkus tubuhnya yang langsing, dipadu dengan celana jeans biru tua dan sepatu high heel bertali, menunjukkan mata kaki dan punggung kaki yang putih bersih. Kuku bersih tanpa kuteks menambah keindahan alami kakinya yang panjang dan ramping, tipe kesukaan Joe. Rambutnya yang hitam dijepit ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dengan rambut halus tenguknya.

Dari balik bahu gadis tersebut, tampak petugas kasir kebingungan mencari kembalian untuk secangkir kopi pesanan gadis tersebut yang dibayar dengan uang bergambar Bung Karno dan Bung Hatta.

Melihat kebingungan petugas kasir, Joe maju ke depan cash register.
"Sekalian saja masukkan dalam pesanan saya, mbak".
Gadis itu memandang Joe dengan tatapan aneh, tapi akhirnya ia mengedikkan bahu dan berjalan ke arah luar pagar besi antrian. Joe membayar pesanan-nya dan berjalan ke arah meja dekat jendela dimana gadis itu duduk.

"May I??" tanyanya, mengisyaratkan kursi kosong di seberangnya. Seabad rasanya Joe menunggu ketika gadis itu menatap matanya dalam-dalam, sebelum menggerakkan kepalanya ke arah kursi kosong sebagai tanda bahwa ia tidak keberatan.
"Thanks for the coffee" katanya. Suaranya jernih, ada kesan sedih yang sulit dijelaskan di dalamnya.
"No big deal" senyum Joe. "Enjoy your coffee" sambungnya.

Di luar, hujan masih saja turun dengan deras. Joe menikmati makanannya dengan suapan-suapan kecil yang tidak terburu buru, sedangkan si gadis sesekali menghirup kopinya lalu melanjutkan lamunannya. Di antara suapannya, Joe memperhatikan hujan di luar gedung. Beberapa anak pengojek payung menunggu di Pintu Utama. Pikirannya kembali beralih ke hujan di luar. Tetes air hujan jatuh menimbulkan bunyi ritmik yang aneh, tapi menyenangkan. Seperti sebuah nyanyian.

"Nyanyian hujan" gumam si gadis.
Hampir saja Joe tersedak karena tepat pada saat itu ia sedang mendengarkan irama aneh menyerupai nyanyian yang ditimbulkan tetes air hujan ke jalanan aspal.
"Aneh" Joe menatap gadis tersebut dengan pandangan bertanya. "Aku baru saja memikirkan hal yang sama".
"Aku suka hujan. Mereka seperti bernyanyi untukku" kata si gadis, pandangan mereka bertemu.

Gadis itu mengangkat kedua tangannya ke balik kepalanya untuk membetulkan jepit rambutnya. Gerakan ini membuat dadanya membusung, memperlihatkan siluet dua buah bukit yang tidak terlalu besar, namun berbentuk indah di balik bajunya. Ia melakukannya dengan bebas, seakan-akan tidak menyadari keberadaan Joe yang sedang memperhatikannya.

Joe baru sadar betapa menariknya wajah di hadapannya. Seraut wajah bertulang pipi tinggi, menimbulkan kesan anggun, dengan hidung mancung dan bibir yang merah basah. Dan matanya, belum pernah Joe begitu terpesona melihat mata seorang wanita seperti sekarang ini. Mata gadis itu agak sipit dengan sedikit garis lengkung di ujungnya, menimbulkan kesan misterius. Ditambah lagi dengan sorot matanya yang menyiratkan kematangan yang tidak biasanya ada pada gadis seumurannya. Pun begitu, ada keceriaan dan gairah hidup yang memancar dari sinar matanya, seakan-akan mengajak orang di sekitarnya untuk tersenyum seandainya saja tidak ada secercah sorot kesedihan di sana. Begitu kontradiktif, pikir Joe. Dan sangat menarik, tambahnya dalam hati.

"Joe" katanya sambil mengulurkan tangan. Dalam hati ia menyumpah mengapa sampai lupa memperkenalkan diri sebelumnya.
"Dwi" sambutnya lembut. Seperti ada aliran listrik ketika tangan mereka bertemu, sesuatu yang baru dua kali di alami Joe selama hubungannya dengan wanita-wanita dalam hidupnya. Setelah perkenalan tersebut, percakapan pun berjalan lancar. Ternyata Dwi memiliki wawasan yang luas sehingga enak di ajak ngobrol, layaknya mereka teman lama saja. Joe mengagumi keluwesan Dwi dalam bergaul, jelas bukan golongan remaja tanggung yang masih mentah seperti kebanyakan gadis-gadis seumuran Dwi pada umumnya. Entah mengapa, Joe merasa tertarik sekali pada gadis ini. Padahal baru kali pertama mereka bertemu.

Hujan akhirnya berhenti. Dwi menatap ke luar restoran, kegiatan di jalan mulai hidup kembali setelah matahari bersinar mengusir sisa-sisa hujan tadi.
"I gotta go, thanks for the coffee" Dwi bangkit dari kursinya. Mengulurkan tangan kepada Joe. Setiap gerakan gadis itu begitu luwes, menimbulkan desir aneh di hati Joe
"Nice to meet you, Dwi. Have a nice day" sambut Joe. Joe masih termenung sesaat ketika menyadari Ia lupa menanyakan nomor telepon Dwi. Gadis itu sudah hampir mencapai pintu ketika dengan setengah berlari Joe mengejarnya.
"Boleh aku meneleponmu kapan-kapan?" tanyanya.
"Sure, you can call me anytime". Dwi menuliskan 11 digit nomor teleponnya pada selembar struk pembayaran yang disodorkan Joe. Kemudian Ia meneruskan langkahnya setelah melemparkan senyum manisnya.

Perkenalan itu menjadi awal hubungan mereka yang penuh liku, dimana tawa, tangis dan air mata akan mewarnai hubungan mereka.

*******

Suatu Hari Sabtu, 3 bulan kemudian. 3:29 pm. Joe termenung di tempat kos-nya. Hujan turun deras di luar. Membuat ritme aneh dengan suara tetes hujan yang menimpa atap genteng dan jalanan beraspal. Ia teringat pertemuannya dengan Dwi beberapa hari yang lalu. Sudah 2 minggu Ia tidak menghubungi Dwi karena ada pekerjaan yang membuatnya sangat sibuk di kantor. Hampir tanpa berpikir Ia menyambar HP Nokia 6600 yang tergeletak di atas meja. Setelah ragu sesaat, akhirnya dorongan hatinya yang menang.

"Halo?" di ujung sambungan terdengar suara lemah menyahut. Suara yang tidak akan terlupakan oleh Joe.
"Dwi, remember me??".
"Joe, is that you?" setelah beberapa detik Dwi terdiam, mencoba memeras memorinya yang masih kabur, mencari siapa pemilik suara bariton yang mengganggu acara tidur siangnya.
"Yupe. How are you girl??". Terdengar suara tawa gadis itu, yang terdengar begitu sexy di telinga Joe, sebelum menjawab.
"Ngantuk. Kamu kan tahu jam segini termasuk dalam jam tidur siang-ku".
"I know, sorry to wake you up dear. But I can't help it, I wanna hear your voice." Sesaat mereka berdua terdiam.
"I miss you girl" bisik Joe lembut.
"oooh Joe, I miss you too" balas Dwi pelan. Joe tercekat. Benarkah suara Dwi bergetar tadi?
"Joe, mau main ke sini?? kita ngobrol sambil minum kopi".
"Takkan ada yang bisa menghalangiku menemuimu Wi. Give me an hour Ok?". Terdengar lagi tawa Dwi, "nggak usah mandi dulu Joe, langsung aja ke sini".
"Hehehehehe....ketahuan yah. OK, wait for me then".

Setelah menutup telepon Joe meraih tas ransel yang sudah menjadi trade mark-nya sejak SMA dulu. Isinya macam-macam mulai dari baju ganti, underwear, satu stel kemeja, dasi, perlengkapan mandi, pisau cukur beserta aftershavenya, Charger, sebuah kotak plastik berisi satu set obeng mikro, pinset, senter elastis, dan tang serbaguna. Dan tak lupa sebotol Air Mineral yang sudah hampir habis. Sejak SMA Joe sering harus bepergian tanpa pulang ke rumah sehingga ia selalu membawa keperluan-nya dalam ransel tersebut. Apalagi sejak Ia bekerja part timer, bertambah lagi isi ranselnya dengan satu set peralatan untuk perbaikan kecil bila dibutuhkan pelanggan sewaktu-waktu. Dengan agak tergesa Ia melompat masuk dalam mobilnya. Joe memacu mobilnya secepat Ia bisa dalam hujan yang masih juga turun dengan deras. Kacamata minus satunya telah berganti dengan softlens berwarna hijau tua yang biasanya hanya dipakai bila ada acara pesta.

Sampai di rumah kontrakan Dwi, setengah berlari Joe membuka gerbang. Tidak dikunci, seperti biasa. Lalu Ia menuju pintu utama dan memencet bel. Pintu terbuka dan Dwi tersenyum menyambutnya.
"Ayo masuk, sudah kutungguin dari tadi". Joe mengikuti Dwi menuju kamar tidurnya. Dingin. Rupanya Dwi menyalakan AC-nya walaupun hari hujan seperti ini. Dwi menutup pintu kamar dan berbalik menghadap Joe. Entah siapa yang mulai, tahu-tahu mereka sudah berpelukan erat. Joe berbisik di telinga Dwi berulang-ulang.
"Oooooh Wi, I miss you. Miss you so much". Hanya gumaman terdengar dari Dwi. Nafas Joe yang hangat di telinganya membuat badannya terasa menggigil.

Joe merasakan kehangatan mengaliri dirinya. Ia dapat merasakan tubuh Dwi yang lembut di dalam pelukannya. Hidungnya menangkap aroma tubuh Dwi yang merangsang. Halusnya kulit pipi Dwi bertemu dengan bibirnya. Tahu-tahu Joe mendapati dirinya ereksi. Kemaluannya menekan perut Dwi. Pastilah Dwi merasakannya sebab Ia melepaskan diri dari pelukan Joe.
"Naughty boy, what's on your mind eh?" Dwi tersenyum menggoda kepada Joe.
"Sorry, aku gak tau kenapa. Tahu-tahu aja berdiri" ujar Joe dengan muka sedikit merah. Bukan hanya kali ini Joe ereksi ketika sedang bersama Dwi. Pernah ketika sedang melantai pada suatu pesta yang mereka hadiri bersama Joe juga ereksi. Waktu itu Dwi tak henti-hentinya menggoda sampai Joe salah tingkah.

"It's okay. Uwie tahu koq kamu nggak pernah kurang ajar sama Uwie" katanya. Lalu ia kembali memeluk Joe lembut dan menyandarkan kepalanya di dada Joe.
"Uwie......" tahu-tahu jemari lentik Dwi sudah berada di bibirnya.
"Sssshhhh, it's okay Joe. I don't mind" Ia lalu menarik leher Joe. Perlahan bibir mereka mendekat. Joe bisa merasakan bibir Dwi yang lembut bergetar ketika mereka berciuman dengan lembut. Lidah Dwi menyapu bibir Joe, memberikan sensasi yang luar biasa. Hangat, basah, perlahan lidah mereka saling mencari, membelit, bermain dalam mulut Joe. Terdengar keluhan Joe. Ia tak dapat menahan gejolak dalam dirinya lebih lama lagi.

"I want you, please don't torture me any longer. I want you" desah Joe di antara ciuman mereka. Dwi mulai membuka kancing kemeja Joe satu per satu.
"I want you too, Joe. I'm yours" bisik Dwi di telinga Joe. Kemeja Joe sudah terlepas, sekarang ia bertelanjang dada. Tangan Joe menyelinap ke balik T-shirt longgar yang dikenakan Dwi. Halusnya kulit punggung Dwi di tangannya. Dengan lembut Ia melepas T-shirt longgar tersebut. Tampak olehnya dua bukit putih yang tidak terlalu besar, tapi proporsional terbungkus half-cup bra berwarna pink. Dibelainya bahu Dwi yang telanjang, Ia bisa merasakan betapa Dwi menggigil taktala belaian tangannya mencapai belahan dada yang sangat indah tersebut. Joe mulai menjelajahi lehernya dengan kecupan-kecupan lembut diringi desah tertahan dari Dwi. Tangannya meraih kebelakang punggung dan dalam sekejap dada indah itu terbebas dari belitan bra. Dinginnya AC membuat sepasang puting kecoklatan itu berdiri tegak, menantang. Dikulumnya kedua puting itu bergantian, dihisapnya dengan lembut. Terdengar Dwi mengerang tak terkendali.

Sementara itu Joe merasa tiba-tiba kaki dan pahanya dingin. Rupanya Dwi sudah berhasil membuka celana Joe dan sekarang sedang mengelus kemaluan Joe yang meronta-ronta di balik celana dalam Bodymaster Joe. Tangannya menyusup masuk dan membelai, mengelus kejantanan Joe, lalu menyusur turun ke arah anus, melewati dua buah bola yang diremasnya lembut. Joe mendesah penuh kenikmatan di tengah kegiatannya membelai seluruh tubuh bagian atas Dwi yang kini telanjang. Dengan satu gerakan tiba-tiba Dwi mendorong Joe hingga jatuh terlentang di atas ranjang. Lalu satu gerakan lagi, dan kejantanan Joe berdiri dengan gagahnya tanpa adanya penghalang.

Perlahan, Joe memeluk Dwi dan membalikkan tubuhnya sehingga kini Joe berada di atas. Joe menggeser tubuhnya turun, tangannya membelai perut Dwi yang rata, sesekali menggelitik pinggangya sehingga Dwi meronta lemah. Dikecupnya perut dan pinggang halus itu, dengan lembut di lepasnya celana pendek yang dikenakan Dwi sekaligus dengan celana dalamnya. Kini mereka berdua telanjang bulat. Joe bisa melihat rambut halus yang tumbuh di bawah pusar Dwi. Tangannya bergerak mengelus bukit berambut tersebut, lalu bergerak ke bawah, ke arah kedua bibir vagina yang bertemu membentuk tonjolan sebesar kacang tanah. Diusapnya tonjolan itu dengan gerakan memutar dan menekan. Tubuh Dwi mengejang, punggungnya terangkat dari kasur. Dari mulutnya keluar rintihan halus yang membuat Joe makin bersemangat. Dikecupnya kedua paha bagian dalam Dwi, lalu dilanjutkan ke arah liang kenkmatannya. Tangannya kembali ke arah ke dua bukit di dada Dwi, di remasnya perlahan, jemarinya bermain dengan puting yang sudah sangat tegang. Dari pusat tubuh Dwi tercium aroma khas feromone yang membuat Joe begitu terangsang. Dirasakannya vagina Dwi sudah basah. Dengan satu gerakan perlahan tanpa putus dijilatnya liang kenikmatan bagian bawah sampai ke klitoris yang sudah membesar.
"Joe, mmmmmmhhhhh........... ohhhhhhhhh" tubuh Dwi menegang, pinggulnya berkontraksi dengan hebat. Ia mencapai orgasme pertamanya.

Joe terus membelai lembut sekujur tubuh Dwi sampai gelombang kenikmatannya mereda. Dwi lalu meraih bahu Joe, menariknya ke atas tubuhnya dan berbisik di kuping Joe.
"I want you inside of me Joe..." bisiknya lemah. Joe berlutut di atas tubuh Dwi, siap untuk menyatukan tubuh mereka dalam gelombang kenikmatan.

Dengan sangat perlahan Joe menindih Dwi, sebelah tangannya menopang sebagian berat badannya sendiri, dihayatinya sensasi yang nikmat ketika kejantanannya memasuki wilayah pribadi Dwi. Pandangan mereka bertemu. Dilihatnya ekspresi wajah Dwi dalam ekstase, serasa waktu berhenti bagi mereka berdua. Joe merasakan lampu di kamar Dwi memancarkan sinar berpendar warna-warni. Suara rintihan Dwi menjadi musik indah di telinga Joe. Mereka bergerak menyatukan irama tanpa tergesa-gesa. Joe merasakan dirinya terbang tinggi........, semakin tinggi seiring dengan nafas mereka yang memburu. Dwi pun merasakan kenikmatan yang sama. Semakin tinggi Ia melayang menuju puncak orgasmenya yang kedua. Mengerang dan merintih, Dwi bisa merasakan tubuh Joe mulai bergetar, demikian juga dengan tubuhnya. Mereka terbang semakin tinggi menembus gelombang kenikmatan, dan akhirnya menabrak awan yang mencurahkan hujan......... Dwi menjerit berbarengan dengan erangan Joe yang mencapai puncak pada saat yang hampir bersamaan.

Hening. Peluh membasahi tubuh mereka. Keduanya saling berpelukan, membelai tubuh masing-masing. Menikmati sisa-sisa orgasme yang melanda begitu hebat. Tidak perlu kata-kata. Setiap rabaan dan usapan sudah berbicara dengan sendirinya. Bersatunya tubuh dan emosi membuat mereka mengerti apa yang dirasakan masing-masing. Di luar, hujan masih turun, makin deras bahkan.

"Joe, kau ingat pertama kali kita bertemu dulu?" Dwi memecah keheningan yang terasa indah tersebut.
"Ya, waktu itu hujan deras seperti sekarang. Aku bertemu dengan seorang wanita yang luar biasa" jawab Joe. Ia menarik selimut menutupi tubuh mereka, kemudian mengecup kening Dwi lembut.
"Kau masih bisa mendengar nyanyian hujan, Joe?".
"How can I forget?? setiap kali hujan aku selalu teringat padamu".
"Always?" tanya Dwi manja.
"Always".
"Kamu menyesal kita jadi seperti ini Joe??" tanya Dwi lagi.
"Tidak Wie. Sejujurnya pernah terlintas dalam pikiranku bahwa aku memang menginginkanmu. Hanya saja aku tidak berani bertindak, takut merusak persahabatan kita. I think I fall in love......." Joe tidak dapat menyelesaikan kalimatnya karena jari Dwi sudah menutup bibirnya dengan lembut. Jangan mengatakan apa yang akan kau sesali nantinya, Joe". Suara Dwi tiba-tiba terdengar sedih.
"Uwie sayang kamu, dan Uwie juga tau kamu sayang Uwie. Tapi untuk saat ini.....kita cukup sekedar berteman… teman baik" ucap Dwi lagi.
"Tapi...." lagi-lagi kalimat Joe tergantung di udara, Dwi menciumnya dengan lembut, penuh perasaan. Seakan-akan Ia memberikan seluruh dirinya pada Joe melalui ciuman tersebut.
"Jangan bertanya-tanya lagi, Joe. Suatu hari nanti.. aku berjanji suatu hari nanti kau akan mengerti kenapa". bisik Dwi di telinga Joe.

Jeritan Coffee Maker membuat mereka berdua tersentak. Dwi tertawa, suaranya sudah biasa lagi. "Itu kopi yang kujanjikan tadi. Right on time, I think" senyum Dwi nakal. Joe tersenyum melihatnya. Dwi masih bertelanjang ketika melompat dari tempat tidur menuju ke coffee maker yang terletak di meja. Sungguh, dunia terlihat lebih cerah bagi Joe bila bersama dengannya.

Sabtu, tengah hari. Workshop X-Com.

Gubrakkkkkkk!!!!! dua rim kertas kuarto mendarat di atas meja. Joe yang sedang termenung, melotot marah pada orang yang menariknya kembali ke alam nyata. Prima, sang Purchasing Manajer dari X-Com, toko komputer tempat Joe mencari tambahan uang saku, berkacak pinggang di hadapannya.
"Mikirin siapa sih loe??"
"Bukan urusan loe."
"Emang bukan sih, tapi Boss ngomel tuh ngeliat kerjaan elo belum beres. Wake up man, kita banyak kerjaan nih."

Joe menghela napas sebelum kembali menekuni pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini. Sebenarnya tidak ada bos atau karyawan di X-Com. Semua yang terlibat memiliki bagian dari toko tersebut, karena modal awalnya memang berasal dari mereka sendiri. Hanya saja Ryan, yang tadi disebut Bos oleh Prima, ditunjuk secara tidak resmi menjadi semacam "organizer" di kantor tersebut. Jabatan Joe sendiri, bila mengikuti apa yang tercetak di kartu namanya, adalah Customer Service. Kartu nama itu sendiri menjadi semacam lelucon bagi mereka, karena pada prakteknya sehari-hari mereka saling menggantikan tugas temannya yang berhalangan, bahkan si Bos sendiri sering turun ke lapangan bila prima atau Joe berhalangan. Sering Prima bercanda bila ingin mencetak ulang kartu nama yang sudah habis, bahwa Ia ingin 'menaikkan' jabatannya sendiri menjadi bos.

Nokia di saku Joe bergetar. Dengan cepat dilepasnya obeng yang tadi digunakan untuk memasang power supply pada casing yang baru setengah diperbaiki itu. Matanya mencari nama Dwi di Layar HP-nya. Andre HP, demikian tulisan yang berkedap-kedip di layar. Dengan sedikit kecewa di jawabnya panggilan itu.

"Kenapa Ndre?"
"Joe, nanti malem loe mo ikutan anak-anak ke .... nggak?". Andre menyebut sebuah Cafe yang terletak di daerah Kuningan, tempatnya biasa menghabiskan malam, dan uang, tentunya.
"Uhhmmm...... nggak deh. Gue lagi nggak mood."
"Susan ikut loh, gue udah bilang kalo mo ngajakin elo, makanya dia ikut. Dia kan naksir elo Joe."
Joe menghela napas sebal. Susan. Bukan Susan yang merusak konsentrasinya setiap kali Ia mulai bekerja. Bukan dia yang setiap malam dibayangkan Joe berbaring di sampingnya. Bukan. Susan hanyalah sebuah nama tak berarti baginya.
"Bilang sorry sama Susan. Gue nggak ikut," ucap Joe.
"Yahh...... kalo elo berubah pikiran langsung aja deh susul kita di sana, ok??"
"Ok Ndre. Bye."
"Bye."

Ditaruhnya kembali Nokia silver itu di sakunya. Joe ingin sekali menghubungi Dwi, tapi Ia ingat bahwa tadi pagi ketika menjemputnya, Dwi sudah berpesan supaya Joe tidak menelponnya hari ini, kecuali untuk hal yang sangat penting. Joe tidak berani menelpon Dwi bila sudah dipesan begitu. Pernah sekali, Joe nekat menelpon walaupun Dwi sudah bilang bahwa Ia tidak ingin dihubungi dan akibatnya Dwi marah besar. Joe masih ingat mereka bertengkar hebat dan tidak saling berbicara selama seminggu. Akhirnya Dwi berhasil membuat Joe berjanji untuk tidak menghubunginya bila Ia tidak ingin diganggu.

Ini membuat Joe penasaran. Setelah kurang lebih 3 bulan Ia mengenal Dwi masih banyak hal yang misterius tentang gadis itu. Dari sekian banyak yang diketahuinya tentang Dwi, ada satu sisi yang belum terungkap olehnya. Ia tahu Dwi bekerja di sebuah kantor di kawasan Sudirman sebagai Junior Accountant setelah menyelesaikan S1-nya dalam waktu 3,5 tahun. Joe juga tahu tanggal ulang tahunnya, bahwa Dwi 2 tahun lebih muda darinya, bahwa orang tua Dwi tinggal di Bandung setelah pensiun, dan Dwi tinggal sendiri di Jakarta sejak Ia kuliah, tapi ada saat tertentu dimana Joe merasa bahwa Ia sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai gadis itu. Seperti saat ini misalnya, ketika kerinduannya memuncak, justru Ia tidak tahu apa yang dikerjakan Dwi siang ini.

Frustasi karena ketidak berdayaannya melawan perasaan aneh dalam dirinya setiap kali Ia memikirkan Dwi, Joe membenamkan diri dalam pekerjaanya. Bahkan ajakan makan siang dari Ryan dan teriakan Prima yang mengumumkan kalau dia akan pulang hanya dijawab dengan anggukan tak perduli. Prima tahu, kalau temannya itu sedang sibuk bekerja seperti itu, jangankan tidak makan siang, bahkan dua hari tidak makan pun Joe sanggup. Ia tahu pasti, karena Joe adalah sahabatnya sejak SMA.

Jam kukuk antik di dinding kantornya berbunyi 7 kali. Menyadarkan Joe dari keasikannya bekerja. Tinggal sedikit lagi, pikirnya. Prima bisa menyelesaikan sisanya Senin nanti. Ia beranjak menuju ke ruangan sempit berukuran 2 x 3 meter yang hampir seluruh dindingnya tertutup oleh poster bergambar Rinoa Heartily. Kantor si bos. Joe tersenyum sendiri ketika melihat koleksi terbaru Ryan yang bergambar Rinoa dalam keadaan telanjang, entah dapat darimana. Temannya itu memang terobsesi oleh Rinoa. Pernah suatu ketika Ryan mengaku kalau Ia membayangkan Rinoa ketika sedang bercinta. Gila, bercinta dengan tokoh kartun, pikir Joe geli. Kursi boss kosong, tapi Ia tahu itu bukan berarti Ryan tidak ada di kantornya. Joe mencari ke kolong meja dan menemukan Ryan sedang tertidur di tempat favoritnya itu. Memang temannya itu punya kebiasaan dan hobi yang nyentrik, tapi Joe tahu Ia bisa diandalkan sebagai teman. Setelah meninggalkan pesan di meja, Joe melangkah keluar. Pulang.

******

Sabtu, 21:10. Kamar kos Joe.

Joe membersihkan Gillette Mach 3 nya dengan cermat, lalu membasuh bekas cukuran di mukanya dengan aftershave. Ia merasa segar setelah mandi tadi. Tapi tetap saja ada 'empty feeling' di hatinya. Joe memeriksa HP nya. Tidak ada missed call. Dwi tidak meneleponnya. Perasaan sepi yang melanda dirinya sejak siang tadi mendadak hilang, digantikan oleh rasa marah dan kesal, Ia merasa dirinya tidak berarti bagi Dwi. Ia ingin Dwi mempercayainya, membagi semua suka dan duka yang dirasakannya, tapi Joe mendapat kesan setiap kali Ia mencoba setiap kali pula Dwi menarik dirinya menjauh, menjaga jarak. Memang resminya mereka hanya teman, tapi Joe tahu ada sesuatu yang lebih dari itu. Getar tubuh Dwi ketika Joe memeluknya, setiap ciuman penuh kepasrahan di mulutnya, desah penuh kepuasan Dwi di telinganya, Joe tidak percaya itu hanya sex semata. There must be something more than that between them, he know it for sure.

Frustasi, Joe membuka lemari bajunya dan mulai memilih baju yang akan Ia kenakan malam ini. Ia telah memutuskan untuk mengikuti ajakan Andre untuk bersenang-senag malam ini. Mungkin dengan sedikit refreshing Ia akan berhasil melupakan Dwi dari pikirannya, paling tidak untuk malam ini saja. Tak lupa digantinya kacamata minus yang sedang digunakannya dengan sepasang contact lens hijau miliknya. Kemudian ia menyelipkan sebungkus karet yang terendam larutan Nonoxynol 9 di dompetnya. Bukannya Ia merencanakan untuk berhubungan sex malam ini, hanya berjaga-jaga bila Ia sampai di 'point of no return', kalau menuruti istilah Prima.

Joe menyalakan mobilnya, sambil menunggu mesin mobilnya panas, Ia mencabut sebatang Djarum Super dari saku bajunya. Setelah asap rokok memasuki para-parunya Ia merasa sedikit lebih rileks. Semua kejadian yang dialaminya bersama Dwi selama 4 bulan terakhir ini berlangsung dalam kilas balik di ingatannya. Sejak Ia tidur bersama Dwi hidupnya berubah drastis, dari seorang workaholic yang 'dingin' tanpa perasaan menjadi seorang pencari kenikmatan yang seakan-akan tidak pernah terpuaskan. She's good in bed, pikir Joe. Ia tahu Dwi bukan perawan ketika pertama kali tidur dengannya, tapi bukan masalah besar baginya. Ia tidak ingin menjadi munafik, berlagak seperti seorang suci padahal dirinya sendiri bergelimang dosa. Tapi benarkah yang dicarinya hanya kenikmatan semata? Mengapa hatinya panas setiap kali ada pria yang memandang Dwi penuh nafsu? dan mengapa pula setiap kali mereka berjauhan serasa ada sebagian diri Joe yang hilang? Joe tidak dapat menjawabnya.

Selama perjalanan Joe mencoba untuk benar-benar rileks, Ia berniat untuk tidak memikirkan Dwi malam ini. Tak lama kemudian mobil Joe memasuki tempat parkir sebuah gedung tempat Cafe yang disebutkan Andre siang tadi. Joe meraih Nokia-nya. Dicarinya nomor HP Andre, lalu Ia memijit tombol bergambar telepon hijau.

"Ndre, gue udah di bawah nih. Elo tunggu di mana?"
"Langsung aja ke atas Joe, gue tunggu loe di tempat biasa."
"OK, wait for me then." Masih sempat di dengarnya Susan berteriak kegirangan di latar belakang sebelum hubungan terputus.

*****

Sabtu, 23:30. JJ Cafe.

Speaker berkekuatan 30.000 watt menggelegarkan Magic Carpet Ride versi remix dari Fatboy Slim. Irama house bercampur sedikit latino mengundang para pengunjung untuk menggerakkan badannya. Segera saja lantai disko yang tadinya tidak begitu ramai mendadak dipenuhi pria dan wanita yang bergoyang dengan panasnya. Joe mengamati Susan yang sedang bergoyang dengan asyik. Hmmmm, Ia harus mengakui malam itu Susan tampil sangat luar biasa.

Tank-top keperakan membungkus tubuh bagian atasnya dengan terpaksa, sekedar mencegah bagian dada yang membuat begitu banyak pria di lantai disko, yang entah disengaja atau tidak bergerak mendekati Susan, terekspose dengan bebas. Di bagian bawah, Susan mengenakan rok pendek ketat dari kulit. Entah rok tersebut dipakai terlalu ke bawah ataukah tank-top silver-nya yang dikenakan terlalu tinggi sehingga menunjukkan perut dan pinggang yang rata. Sesekali tangan Susan bergerak menggerai rambutnya yang sebahu, membuat dadanya yang sudah menonjol penuh itu meronta-ronta. Sepatu Bot setinggi betis, juga dari kulit, menonjolkan bentuk kakinya yang bagus sekaligus menambah kesan seksi dan sedikit nakal.

Joe sendiri hanya bergerak sekedarnya mengikuti irama yang menghentak lantai disko. Rupanya Susan tidak tahan melihat Joe begitu dingin. Ia bergerak semakin mendekat. Dengan ahlinya Ia mengangkat kedua lengannya yang bergerak mengikuti beat ke atas, seperti seorang penari ular Ia mulai menggeserkan tubuhnya menyentuh dada Joe. Sentuhan halus yang hanya sesekali mengenai tubuhnya itu membuat Joe terpancing untuk bergerak lebih panas. Susan menggerakkan bokongnya yang indah ke kiri kanan, se-sekali dengan nakal di dorongnya pinggang ramping tersebut sehingga menyentuh kemaluan Joe. Boy, she's really a teaser, pikirnya. Sebenarnya Susan bukanlah wanita tipe Joe. Ia lebih suka yang bertubuh tinggi langsing, dengan lekuk liku yang tidak terlalu menonjol.

Tapi apa dayanya, suasana lantai disko yang panas, setengah butir Inex yang tadi diminumnya dengan dua gelas Long Island mulai menunjukkan pengaruhnya. Joe mulai mengikuti gerakan Susan, tubuh mereka bersentuhan berkali-kali di tengah gerakan-gerakan mereka yang semakin liar. Berpasang mata memandang mereka berdua dengan iri, terutama yang pria memandang ke Susan dengan pandangan penuh nafsu. Joe tidak memperdulikan semua itu. Mukanya terasa panas, jantung dan pelipisnya berdenyut keras, mulutnya terasa kering, pandangannya mengabur. Lampu spot-light warna warni dan lightning berpendaran membuat gerakan di sekelilingnya bagai film yang diputar dalam adegan lambat. Dilihatnya kepala Susan bergerak liar, tangannya membuat gerakan membelai buah dadanya sendiri. frame demi frame adegan tersebut terlihat dalam gerakan lambat di mata Joe. Kemudian tanpa peringatan tangan Susan meraih bahu Joe, setengah menariknya sehingga kini muka mereka berdekatan.

Ia bisa merasakan napas Susan yang hangat di pipinya, wangi Bvlgari lembut bercampur dengan aroma keringat membelai hidungnya. Halusnya kulit punggung Susan terasa bagai sutra di jemarinya. Dada Susan lembut menekan dadanya sendiri, mengalirkan kehangatan yang tak asing lagi di tubuhnya. Joe sedikit membungkuk, berbisik lembut di telinga Susan.

"Bad girl, are you trying to tease me??"
"Hmm...... I'm trying Joe, you know I want you," bisik Susan.
"Guess you've made it, Sue."
"Really??" tanya Susan penasaran. Tangan kirinya menghilang ke bawah, ke arah selangkangan Joe. Dibelainya dengan lembut tonjolan keras di balik celana Joe.

Kepala Joe terasa ringan. Musik yang keras menghentak terdengar timbul tenggelam di telinganya, serasa ada cahaya terang di otaknya. Dinikmatinya belaian tangan Susan. Ia sendiri mulai meraba punggung dan leher Susan, lalu berlanjut ke samping, ke arah payudara dan perut yang langsing menantang. Didengarnya Susan mendesah di antara musik hingar bingar. Pandangannya sayu, mulutnya setengah terbuka, merah, menantang....

"Jangan di sini, di tempatmu saja," bisik Joe ketika Susan dengan setengah sadar berusaha membuka ikat pinggangnya.
"Uhhh..... Ok, sori gue gak sadar," jawab Susan terengah-engah, jelas Ia sudah mabuk. Mabuk oleh minuman keras dan oleh nafsunya sendiri.

Sebenarnya Joe juga tidak lebih baik keadaannya, kejantannya terasa sakit karena tidak bisa berdiri dengan leluasa. Kepalanya makin ringan, berputaran, jantungnya masih berdenyut keras, tetapi Ia memaksakan kakinya kembali ke Bar di lantai atas untuk berpamitan dengan Andre yang berkumpul dengan teman-temannya yang lain di sebuah reserved table.

"Guys, gue cabut dulu, ada urusan nih. Biar Susan gue anterin pulang sekaligus, katanya dia kurang enak badan."
"Elo bisa nyetir Joe?? Apa perlu gue anterin?" tawar Andre.
"It's okay, gue cabut dulu ya, see ya all. Have fun," salam Joe kepada mereka semua.

Terdengan sahutan dari sekelilingnya. Joe tidak tahu apakah mereka percaya dengan alasan "kurang enak badan" nya Susan, dan sejujurnya dia juga tidak perduli. Dengan langkah agak diseret, Ia bersama Susan melangkah menuju Lift. Saat itulah Ia melihatnya. Kira-kira 5 meter di depannya, menghadap ke arah lain, tampak sepasang pria wanita yang rupanya juga menunggu Lift.

Tidak mungkin salah, bahkan dalam keadaan setengah mabuk dan masih 'high' dengan penerangan secukupnya, Ia bisa mengenali seraut wajah yang kerap kali mengisi lamunannya. Wajah yang menemaninya dalam mimpi. Wajah yang bisa membuat hidupnya secerah mentari pagi, atau sebaliknya bisa membuat hatinya begitu sakit dan perih seperti saat sekarang ini.

Dwi tidak melihat Joe, tapi Joe bisa melihatnya dengan jelas. Seorang pria tegap berusia 30-an merangkulnya ketat, tangannya dengan kurang ajar menggerayangi payudara Dwi dari samping. Bibirnya mencuri-curi kesempatan untuk mencicipi mulusnya leher jenjang milik Dwi. Si empunya leher dan payudara itu sendiri kelihatannya menanggapi dengan agak dingin perlakuan tersebut. Pandangannya kosong, menerawang seakan-akan Ia tidak berada di sana.

Joe merasa hatinya tercabik-cabik. Wanita yang dicintainya sepenuh hati, yang dikiranya sedang sibuk menyelesaikan tugas kantornya, yang teleponnya ditunggu penuh harap oleh Joe seharian ini, ternyata sedang berada dalam pelukan pria lain. Kakinya mendadak lemas sehingga Ia terpaksa sedikit bersandar ke Susan bersamaan dengan terbukanya pintu lift. Dwi menoleh ke arahnya, mulutnya mendadak terbuka kaget, matanya membelalak seakan-akan melihat hantu. Susan menariknya masuk ke dalam lift, diikuti oleh belasan orang lain, termasuk Dwi dan pasangannya.

Di dalam lift posisi mereka memungkinkan Joe dan Dwi saling berpandangan. Joe bisa melihat kelam mata Dwi dengan jelas. Ada seribu kesedihan di sana. Sejuta tangis tanpa air mata. Herannya, tidak ada kilat marah di mata Dwi. Ia bisa melihat bahu Dwi bergetar halus, sedangkan pasangannya yang tolol itu masih saja berusaha mencium daun telinga Dwi. Joe merasakan bibirnya bergerak tanpa sadar memanggil nama Dwi tanpa suara. Matanya panas terbakar cemburu dan amarah. Pelipisnya berdenyut dengan hebat sampai Joe bisa merasakan tarikan otot wajahnya sendiri. Ia sadar tidak adil untuk marah dan cemburu kepada Dwi karena bukankah Ia pun sedang merangkul Susan sekarang ini? Tapi rasa hatinya mengalahkan semua pertimbangan tersebut. Ia masih memandang Dwi lekat-lekat. Cantiknya Ia malam ini, pikir Joe pahit. Kenyataanya, Ia selalu nampak cantik di mata Joe, bahkan dalam keadaan seperti sekarang ini.

Dwi melihat ekspresi wajah Joe. Ada kemarahan di mata Joe. Sinar matanya membayangkan sakit hatinya, seperti juga hati Dwi yang serasa disayat-sayat pisau berkarat. Tidak Joe, kau tidak mengerti, jerit Dwi dalam hati. Hatiku pun sakit, sakit sekali. Tapi aku tidak mampu menceritakannya kepadamu Joe. Maafkan aku Joe. Dwi berhasil memaksakan seulas senyum getir.

Lift sampai di lantai dasar. Pintunya membuka, kerumunan orang berdesakan keluar. Joe dan Susan keluar terakhir, berusaha agar tidak terdorong masuk kembali oleh kelompok yang hendak memasuki lift. Sesampainya di luar lift, Joe mencari bayangan Dwi, tapi tak terlihat di manapun juga siluet punggung dan bahu yang kurus itu. Joe dan Susan melangkah ke lapangan parkir, menghampiri mobil Joe.

*****

00:47, Apartemen Susan.

"Oohhhhhh............ Joe. Yeah, feels so good."
Joe sedang menciumi leher Susan. Tangannya meremas lembut payudara Susan yang kini tinggal mengenakan celana dalamnya. Joe sendiri telah kehilangan bajunya, dan sekarang tangan Susan sedang menyelesaikan pekerjaannya membuka ikat pinggang Joe yang tadi tertunda di lantai disko. Tiba-tiba bayangan Dwi yang digerayangi oleh partnernya melintas kembali. Joe merasa amarahnya mulai naik ke ubun-ubun. Dengan sedikit kasar di dorongnya Susan sehingga terbaring di ranjang. Ditendangnya celana panjangnya yang sudah melorot sampai ke paha, sekarang Joe tinggal bercelana dalam. Susan tak mau kalah. Dengan ahli dilepaskannya celana dalam Joe, dibelainya kejantanan Joe, diremasnya pelan. Joe semakin buas, Ia bergerak ke atas tubuh Susan. Bibir mereka bertemu, saling pagut, saling gigit, lidah mereka berbelitan, air ludah mereka bercampur menjadi satu. Setelah ciuman yang panas itu bibirnya turun ke arah dua bukit yang bergetar, menunggu bibir Joe mengambil alih tugas tangan yang kini berpindah ke pinggul Susan, berusaha melepas sisa penutup tubuh yang masih menempel.

"Mmmmmppphhhh..... ohhhhhh, don't stop Joe, ahhhhhhh......."
"I want you NOW Joe, ahhhhhhhhh........"
"Pleaseee......."

Joe tidak menanggapi rintihan Susan, kini setelah segitiga pengaman Susan terlepas, bibirnya berhenti menghisap puncak kedua bukit yang memerah tersebut. Dijilatnya kedua putik itu, membuat Susan lagi-lagi merintih. Kemudian diambilnya gelas red wine yang tadi disuguhkan Susan, dengan perlahan Joe menuangkan sisa isi gelas tersebut ke belahan dada yang membusung itu, dijilatnya dengan satu jilatan panjang dan basah. Susan menggelinjang kegelian, kemudian berteriak kecil ketika cairan merah tersebut mengalir ke perut dan pinggangnya karena dengan segera Joe mengejar dengan lidahnya, seakan-akan tidak rela kalau ada setetes cairan yang terlewat. Lidah Joe akhirnya sampai ke daerah kewanitaan Susan. Daerah bukit kemaluan yang menonjol itu bersih tanpa ada rambut. Joe mengambil bantal dan mengganjalnya di bawah pinggul Susan sehingga keindahan itu kini terbuka dengan jelasnya. Dengan tangannya Joe membuka paha Susan lebih lebar, diurutnya dengan lembut pangkal paha Susan. Kemudian mulailah lidahnya menari-nari. mencari klitoris yang sudah membengkak penuh. Tidak digubrisnya erangan penuh kenikmatan yang keluar dari mulut Susan, dinikmatinya cairan kental dengan bau khas feromone bercampur red wine yang mengalir tanpa henti seiring dengan gerakan lidahnya yang kini menggelitik kedua bibir luar vagina Susan. Sesekali di sedotnya bibir tersebut, membuat Susan meronta-ronta liar penuh kepuasan.

"Joe, please, I can't take it any longger. Get inside of me, please......... AAAAHhhhhhhhhhhhh," tiba tiba kedua paha Susan menjepit kepala Joe dengan kuat, tangannya mengepal mencari pegangan di rambut Joe, pinggulnya terangkat tinggi, tubuhnya bergetar hebat menyambut gelombang orgasme yang menghantamnya dengan sejuta kenikmatan. Susan masih terengah-engah ketika didengarnya bungkus plastik tersobek, Joe sedang mengeluarkan karet pelindung dan mengenakannya.

"Jangan pakai Joe, I wanna feel you, the real you inside of me," kata Susan lemah. Ia masih lemas setelah orgasmenya yang pertama, tapi rupanya Joe tidak akan memberinya kesempatan beristirahat.

Joe mengelus-ngelus sekujur tubuh Susan untuk meredakan gelombang kenikmatan yang tersisa. Ia membuang bungkusan kondom yang terbuka itu ke lantai. Kemudian dengan kasar Ia menaiki tubuh Susan, Ditariknya kedua tangan Susan, ditindihnya dengan tangannya sendiri di samping telinga Susan. Dijilatnya daun telinga Susan, dengan keras lidahnya bermain di situ, kemudian bergeser ke belakang telinga, lalu ke leher, turun ke bahu, kembali ke payudara Susan yang kini terguncang bebas. Dirasakannya kejantannya bersentuhan dengan kewanitaan Susan yang basah dan hangat. Dengan satu gerakan keras Ia mendorong dirinya memasuki Susan, bibirnya mencari bibir Susan, mencegahnya berteriak. Terasa oleh Joe betapa lidahnya di hisap kuat, lidah Susan menari di langit-langit mulutnya menimbulkan rasa geli yang nikmat. Ia mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, menerobos kewanitaan Susan berulang-ulang.

Pinggul Susan bergerak mengimbangi tusukan-tusukan Joe dengan otomatis. Ke kiri dan ke kanan, lalu memutar, kejantanan Joe serasa dipijat dan ditelan sekaligus. Rintihan Susan memancing gairah Joe naik semakin tinggi, dipercepatnya gerakan pinggulnya.

"ooohhh..... feels so good babe....... yeah........"
Entah berapa lama Joe menyetubuhi Susan, menerima kenikmatan bersatunya kedua jenis kelamin itu. Susan pun merasakan hal yang sama, mulutnya menggumamkan nama Joe. Pinggulnya bergerak semakin liar. Ia bisa merasakan gelombang orgasmenya yang kedua mulai datang. Lebih nikmat dari yang pertama, seakan-akan ada sesuatu yang makin besar dalam dirinya, siap meledak sewaktu-waktu. Sementara itu Joe bergerak semakin cepat, mulutnya meracau.
"Uhhhh....... I'm cumming......, ohhhhhhhhhhhh."
Seiring dengan itu Susan menjerit panjang, Ia dilanda orgasmenya yang kedua, lebih panjang, lebih nikmat, meledak dalam kontraksi otot-otot vaginanya yang membuat Joe mencapai orgasmenya dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Ooooohhhhhhhh!!!" tubuh Joe menegang, kemudian ambruk, lemas, disamping tubuh Susan.

Basah oleh keringat, tangan Susan membelai dada Joe. Gemetar. Matanya membasah oleh air mata. Joe masih terdiam, menikmati belaian Susan. Kemudian disadarinya isak tertahan dari tubuh telanjang di sampingnya.

"Elo nangis Sue???" tanyanya.
Tidak ada jawaban, hanya bahu Susan yang berguncang menahan agar tidak lebih banyak air mata yang keluar. Sepi. Hanya tangis pelan Susan, ditambah dengung AC 3/4 pk di pojok ruangan yang terdengar. Joe menghela napas. Ia membelai-belai tubuh Susan untuk menenangkannya. Ditariknya selimut menutupi tubuh mereka berdua.

"Do you love her Joe???" tanya Susan tiba-tiba, memecah keheningan.
"Siapa?" Joe tersentak mendapat pertanyaan tiba-tiba tersebut.
"Wanita yang kita temui di lift tadi, namanya Dwi?? Jangan kaget," tambah Susan ketika dirasakannya tubuh Joe menegang.
"Walaupun setengah mabuk tapi gue masih bisa ngeliat gimana elo orang berdua liat-liatan," kata Susan. Perih hati Joe kembali meruyak, teringat pertemuannya dengan Dwi tadi.

"Do you??" kejar Susan lagi.
"Yes. I love her very much. Sometimes it hurts me coz i know i can't live without her," bisik Joe pelan.
"Apa elo selalu nidurin cewe yang nggak elo suka cuma sebagai pelampiasan kekecewaan elo aja Joe??" pertanyaan Susan itu menusuk hatinya, membongkar rasa bersalah yang membuncah di hatinya.
"Elo tau Joe, gue sayang elo udah dari dulu, gue rela tidur sama elo walaupun elo gak sayang gue. Tapi malem ini elo bener-bener nyakitin gue," Susan mengusap air mata yang kembali mengalir di sudut matanya.
"Sori kalo gue agak kasar tadi," ucap Joe.
"Bukan itu Joe, bukan fisik gue yang sakit. Tau nggak betapa sakitnya gue begitu tau elo bercinta sama orang lain, bukan gue, barusan," kata Susan lagi.
"Tapi..." kata kata Joe dipotong di tengah jalan.
"Elo manggil-manggil namanya tanpa sadar tadi," potong Susan perlahan.

Seperti disambar petir rasanya. Joe termenung mendengar ucapan Susan. Betapa Ia telah menyakiti hati gadis ini. Betapa jahatnya dia terhadap Susan. Joe bergerak untuk memeluk Susan, untuk menyatakan betapa menyesalnya dia atas perbuatannya. Tetapi Susan membalikkan tubuhnya, kini punggungnya yang telanjang menghadap Joe.

"Joe, don't....." cegah Susan. "Tinggalin gue sendirian Joe, gue butuh waktu buat mikir," katanya lagi.
Joe bangkit perlahan. Ia memakai kembali pakaiannya, lalu duduk di pinggir ranjang. Tangannya meraih jemari Susan.
"Sue, gue jahat sekali sama elo. I'm sorry. Please, can we......" Joe tidak melanjutkan kalimatnya. Ia berpikir apakah terlalu kejam untuk meminta Susan tetap menjadi temannya, setelah apa yang Ia perbuat malam ini. "Gue pergi Sue," Joe akhirnya berkata. Dikecupnya kening gadis itu lembut. Sempat dilihatnya Susan memejamkan mata, sia-sia mencegah dua butir air mata mengalir keluar. Ia menganguk.
"Don't worry about me. Kunci pintunya Joe, trus balikin besok. biar gue pake kunci cadangan."

Pelan-pelan, Joe melangkah ke luar dari kamar Susan. Sebotol wine masih berdiri di atas meja, di sampingnya ada sebotol Black Label yang masih setengah penuh, diambilnya botol itu. Ia ingin mabuk malam ini. Di kepalanya segala pikiran bercampur aduk. Perasaannya terhadap Dwi, kejadian tadi di cafe, persetubuhannya dengan Susan, kata-kata Susan tadi. Ia ingin melupakan semuanya sejenak. Joe melangkah keluar, ke tempat parkir.

I met him that day

Hey, don't you look at me like that !!

he's not like you're thinking full of thoughts and ideas

he has the most fabulous eyes I've ever seen

I met him that day
what's wrong with me back then?
why my knees shakin?
I barely could look him in the eyes
when he took my hands

I met him that day
starting our journey together
never been like this before
the days full of laugh
when sun dancing in the sky
or nights cryin' on my pillow
wacthing the moon bleeding

I met him that day
never thought this moment came
what should I do now?
don't wanna lose him
yet I'm afraid to confess

I met him that day destiny? or tragedy?

(taken from Dwi's diary, she gave me few page of her diary that night. The night she told me everything)

Episode Satu : DWI

Kepalaku sakit. Seperti otakku terlempar ke sana kemari setiap kali aku menggerakaan leher. Segelas Screwdriver yang kuminum tadi masih saja menunjukkan pengaruhnya. Aku memang tidak biasa minum, hanya saja malam ini aku merasa ingin mabuk. Malam yang melelahkan, dan menyakitkan. Aku memejamkan mataku, kejadian di lift tadi kembali melintas dalam pikiranku. Ooohhh, mengapa Tuhan sedemikian kejamnya sampai Joe harus melihat aku malam ini? Begitu banyak cafe di Jakarta, mengapa kami bertemu di cafe yang sama?? Begitu ramai orang di sana, mengapa ia harus melihatku?

Di sampingku duduk seorang asing. seorang yang tidak kukenal sama sekali sampai malam tadi. Seorang yang telah menikmati tubuhku malam ini. Aku merasa kotor, ingin rasanya cepat sampai ke rumah sehingga aku bisa membersihkan diriku. Di luar masih gerimis rintik-rintik sisa hujan lebat semalam. Siapa gadis yang bersama Joe tadi?? Kekasihnya kah? Haruskah aku marah melihatnya berdua denganmu Joe?? Suara-suara bergema di kepalaku. Tidak Dwi, sadarlah. Memangnya siapa dirimu?? Suara lain mengiang, mengingatkan keadaan diriku.

"Sudah hampir sampai nih, yang mana tempatmu?" terdengar suara orang asing itu. Mobilnya berjalan perlahan mendekati tempat kontrakanku, hanya tinggal satu gang lagi. Tidak, jangan sampai dia mengetahui tempatku.

"Di sini saja, aku ingin membeli sesuatu dulu" kataku ketika mobilnya melewati warung Mbok Sum, janda beranak satu yang merupakan langgananku kalau kehabisan sesuatu.
"Di sini?? Apakah aman?" keningnya berkerut mendengar permintaanku.
"Tidak apa, warung itu adalah langgananku, dan aku sudah terbiasa dengan lingkunganku" aku berkeras.
"Baiklah" ia menyerah. "Dan terima kasih untuk malam tadi".
Aku menganguk sekilas dan menyaksikan mobilnya meluncur pergi ditelan kegelapan malam.

Aku melewati warung Mbok Sum. Bisa kulihat ia tidur di bagian dalam warungnya. Terharu aku melihatnya. Betapa berat perjuangan perempuan tua itu mencari makan di Jakarta ini. Untunglah anaknya sudah mulai bekerja sebagai loper koran, bisa diharapkan untuk membantu ibunya. Aku tidak jadi membeli permen untuk menghilangkan rasa tidak enak di mulutku. Biarlah, aku toh sudah hampir sampai, tinggal menyikat gigiku untuk itu.

Di remang malam pagar rumah kontrakanku sudah terlihat. Lalu tong sampah yang kepenuhan. Lalu, hey, tidak salahkan mataku? Agak jauh di samping tong sampah, di bawah kerimbunan pohon akasia, sebuah mobil jip berwarna hijau parkir miring dengan satu roda di atas trotoar. Rupanya si empunya buru-buru, atau mabuk. Aku mendekat dengan ragu-ragu. Sticker V-Kool di sisi pemgemudi itu serupa benar dengan milik seorang yang kukenal baik. Perasaanku semakin tak keruan ketika membungkuk untuk membaca nomor polisi mobil tersebut. B 24......

My God, ternyata benar dia !!! Apa yang dilakukannya pukul setengah 4 pagi di sini? Kuperiksa mobil tersebut. Kosong. Dengan risau kulihat sekelilingku, di bawah pohon, di kolong mobil, bahkan di selokan. Tapi tak kutemukan juga orangnya. Dengan setengah berlari aku menuju pintu pagar. Terkunci, tepat seperti ketika kutinggalkan tadi. Lalu kemana dia? Cemas, lekas kubuka pintu pagarku. Dengan buru-buru kukunci kembali pintu pagar. Kucoba menelepon Joe dari cell-phone ku. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok tubuh tergeletak di depan pintu rumah. Aku ingin menjerit, ketika tiba-tiba nampak nyala hijau samar dari bagian saku tubuh itu diikuti lagu Mission Impossible, tepat ketika cellphoneku mendapatkan nada dering.

"Joe !!!" aku berlutut di samping tubuh lunglai itu. Wajah Joe tampak pucat, matanya terkatup rapat. Dalam keadaan tidak sadarpun aku bisa melihat jelas gurat-gurat kesedihan di wajahnya. Karena akukah? Ingin menangis aku rasanya. Baju dan rambutnya basah kuyup. Botol minuman keras yang sudah hampir kosong tergeletak agak jauh dari kaki Joe, ada bekas muntah di situ. Dengan sebelah tangan berusaha membuka pintu, tanganku satunya menahan kepala itu dalam pangkuanku. Pintu terbuka dengan derit tajam. Kutepuk pelan pipinya, "Joe, come on. Wake up Joe, you scared me". Lega hatiku ketika akhirnya mata itu membuka, merah dan berair.

"Uhh.... Uwie.... kau bersamanya........ aku..... menunggumu" gumamnya kacau.
"Shhhh...... Joe, ayo bangun. Kau bisa sakit di luar" kucoba menariknya bangun.
"Aku......dia bukan....apa-apa......cuma kamu Uwie"
Berdarah hatiku mendengarnya. Tidak ada yang lebih jujur daripada perkataan orang mabuk ketika menyesali sesuatu.
"Aku tidak layak untuk itu Joe, ayo bangun. Kita bicarakan nanti". Sedikit kupaksa, akhirnya ia berusaha berdiri. Dengan susah payah kuseret tubuh kami berdua. Bisa kurasakan berat badan Joe yang bersandar pada lenganku.

******

Entah bagaimana, aku berhasil membawanya ke kamar mandi kamarku. Kubaringkan Joe di bathtub. Kunyalakan water heaterku dan kubuka keran airnya, lalu dengan penuh perjuangan aku berhasil membuka pakaian dan celananya. Kulitnya pucat karena kedinginan. Semoga tidak terkena pnemonia, pikirku. Dengan gayung, kusendok air yang mengalir dari keran. Air hangat yang kusiramkan ke tubuhnya mulai bekerja. Berangsur-angsur rona merah menjalari tubuhnya. Aku memandikan Joe malam itu, seperti seorang bayi yang tidak berdaya, penuh kepasrahan kepada ibunya. Tuhan, betapa aku mencintainya. Kulepaskan pakaianku, lalu masuk ke dalam bathtub. Berimpitan dalam bathtub itu, kubasuh tubuhku di bawah pandangan memuja Joe yang terlihat jelas di matanya. Ia tidak berkata sepatahpun. Matanya terus mengikuti setiap gerakanku.

Setelah selesai di kamar mandi, aku memapah Joe yang sudah lebih kuat sekarang ke kamarku. Kusuruh ia berbaring di ranjangku sementara aku menyiapkan kopi panas dan dua tangkup roti selai. Yah, aku tidak suka susu, jadi tidak ada susu di rumahku. Terpaksalah, tak ada susu kopi pun jadi. Sementara menunggu coffee maker-ku bekerja, aku duduk di pinggiran ranjang. Kubelai rambutnya, wajahnya, pipinya, merasakan setiap inci wajahnya, wajah yang terkadang membuat malamku penuh air mata. Joe tidur meringkuk di balik selimut, dengan tangan kananku dipeluk erat di dadanya, tangan kiriku yang bebas bermain di wajah dan rambutnya. Wish this could last forever. Aku ingin selalu menjaganya, berada di sampingnya bila dia membutuhkanku, menjadi tempatnya menumpahkan duka dan tangis. Entahlah, mungkinkah hal itu terjadi?? Setelah apa yang terjadi malam tadi?? Di luar hujan kembali deras. Bisa kudengar bunyi titik air menghantam genting. Untunglah aku pulang lebih cepat, kalau tidak mungkin Joe masih di luar, kehujanan dan kedinginan menungguku.

Kubangunkan Joe ketika kopi sudah matang, setengah kupaksa akhirnya ia mau juga menghabiskan roti dan kopi yang kusiapkan untuknya. Lucu melihatnya mengatupkan mulut rapat, kepalanya menggeleng kuat ketika aku berusaha memasukkan gigitan terakhir roti selai ke mulutnya. Tentu saja akhirnya aku yang menang, Joe tidak akan sampai hati membuatku menangis. Seorang gentlemen sejati, dan seorang anak kecil yang haus belaian sayang. Akhirnya kopi dan roti habis juga. Matanya tidak merah lagi, dan sorot matanya yang kukenal baik sudah kembali. Kami berpandangan dalam diam. Aku tahu, saat ini pasti akan tiba. Moment yang selalu membuatku bermimpi buruk. Tiba-tiba aku merasa kecil, mataku menghindar tatapannya. Aku tahu, ia ingin penjelasan atas kejadian semalam. And he deserve one. Perutku tiba-tiba sakit.

"Uwie, you remember when we first met??" tanyanya memecah kesunyian.
"Clearly. Hujan, Hoka-Hoka Bento, kopi, ekkaddo, salad dan sup miso" mau tak mau aku tersenyum membayangkan pertemuan kami yang pertama.
Ia menyeringai, "Kau lupa lemon tea. Tapi bukan itu yang ku maksud. Apakah kau pernah membayangkan kita jadi seperti ini sebelumnya Uwie?".
"I mean, resminya kita teman, but there's so much things involved here. I love you. You love me. Why can't we be more than friends??" sambungnya lagi. Kali ini tidak ada senyum di wajahnya. Berbahaya.
"Cause it's better this way Joe" jawabku.
"So you can go out with other guy? That stupid man on elevator whose trying to touch your breast???" terdengar suaranya naik satu oktaf. Mata Joe mulai berkilat marah.
"Joe, don't yel at me. If you keep that tones, get out of my sight. If you want explanation, keep your voices low" jawabku tenang. Perdebatan panjang penuh dengan bentakan adalah hal terakhir yang kuinginkan. Bila harus berakhir di sini, biarlah. Aku pasrah. Aku tak bisa lagi menutupi rahasia ini, tidak terhadapnya.
Hening sejenak. Tampak Joe berusaha menguasai dirinya. Lalu ia menganguk, "Okay. Cukup fair. But I have one condition".
"Apa?" tanyaku.
"Sini, selimutan bareng-bareng" katanya lucu.
Aku tersenyum. Joe memang unpredictable. Sesaat lalu ia marah-marah, sekarang sudah bisa bercanda. Aku menyusup ke dalam selimut, berbaring di sebelahnya. Dengan tangan kanan aku meraih tombol lampu ruangan. Sekarang penerangan yang ada hanyalah lampu tidur kecil dengan sinar kuningnya yang lembut.

"Okay, let's get started" kataku.
"I don't care about your past, Uwie. Only from the time we're together. Rasanya cukup fair kalau aku berhak tahu hidupmu. You change my life since that rainy day, 6 month ago, when first i met you." katanya tenang.
"Okay Joe. Ready?" Ia mengangguk, maka kuceritakan semuanya.

******

Why, you run away from me?
I'm not gonna hurt you
let me reach your heart
here's mine
keep it for me

why you're crying??
people look down at you?
a buch of hypocrite !!
to hell with them !
ssshhh baby, don't cry
I'm here now
share the pain with me

even a sinner need love
I'm sinner, too
you and i are the same
I'll take care of your heart
never let it breaks
won't let it loose
please???
will you trust me??

Episode Dua : JOE.

Wanita itu melepaskan sackdress hitamnya perlahan, meninggalkan sebentuk garis hitam melintang di punggungnya yang putih. Tangannya menggapai ke belakang, melepas secarik kain yang menyangga dua bukit di dadanya. Tulang belikatnya bergetar menahan dinginnya AC. Kakinya yang panjang melangkah perlahan. Di depannya, seorang pria terbaring di atas ranjang. Telanjang. Matanya memandang penuh nafsu pemandangan yang tersaji di depannya. Napasnya terengah. Panas. Nafsunya bergolak. Sang naga menggeliat. Keras. Si gadis menunduk. Rambutnya sebahu, jatuh menyembunyikan wajahnya. Tangan si pria meraih sang gadis. Ditariknya tubuh langsing itu ke bawah himpitan tubuhnya sendiri. Butiran peluh berkilauan memantulkan cahaya lampu. Mulutnya mencari sumber air kehidupan di bukit penuh pesona tersebut. Kering. Tentu saja. Kehidupan belum lagi terbentuk di rahim sang gadis. Si pria dengan rakus menghisapnya, tak perduli rintihan pedih sang gadis. Kedua tangannya meluncur ke bawah, melucuti selubung hitam yang menutupi lembah berhutan kelam. Si pria terpana, ilusi membawanya terbang tinggi. Ia buta, bukan keindahan yang tampak. Kenikmatanlah yang terbayang. Matanya tertutup oleh nafsu, pikirannya kabur terselubung kabut birahi. Sang gadis tergolek pasrah di bawah tindihannya. Sang naga menari ganas, menyelusuri hutan dan lembah, terbang menghindar di angkasa. Ketika ditemukan apa yang dicarinya, ia terhenyak, sang naga menghujani hutan dan lembah tersebut dengan lava panasnya. Sang gadis menyibakkan rambutnya yang hitam, lembut bagai sutra. Wajahnya terlihat jelas sekarang.........

"Tidaaaaaaakkkkk !!!!" Aku menjerit keras. Bayangan itu kembali menghantuiku. Mengejarku bagai hantu penasaran. Aku ingin melupakannya. Ingin menghapusnya dari memoriku. Tapi aku tidak bisa. Betapapun aku ingin melupakannya, aku tidak mampu. Aku terduduk di tempat tidur, nafasku memburu. Telepon berdering di samping tempat tidurku. Kuacuhkan. Akhirnya deringan mengganggu itu berhenti. Kucabut batang Mild Seven terakhir yang tersisa di bungkusnya. Dengan tangan masih gemetar kunyalakan Zippo-ku. Kunikmati hisapan demi hisapan taktala asap penuh racun itu memasuki paru-paruku. Pikiranku melayang kembali ke dua minggu yang lalu. Ke malam di mana Dwi menceritakan kisah hidupnya kepadaku. Dwi, hatiku hancur mengingat dirinya. Betapa berat beban yang harus ditanggungnya. Haruskah aku meninggalkannya? Kalau begitu apa bedanya aku dengan orang-orang yang membayar untuk menikmati tubuhnya? Tidak. Bukan salahnya menjadi seorang........ahhh, tidak tega aku menyebutkannya. Orang mengutuk wanita seperti dirinya, tapi secara munafik juga mencari-cari kaumnya sebagai pelampias nafsu. Aku mencintainya, bukan hanya tubuhnya. Seutuhnya. Dengan segala kekurangannya. Dan ia mencintaiku, teramat sangat. Ia menangis malam itu, bukan untuk dirinya, untuk diriku. Menangisi hatiku yang hancur karena dirinya. Ia memberikan dirinya untukku. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya, jiwanya. Dan sekarang mimpi buruk itu terus mengejarku. Aku tidak rela laki-laki lain menikmati tubuh Dwi, tidak Dwi-ku. Aku harus berbuat sesuatu. Kuraih telepon di samping tempat tidurku. Banyak hal yang harus kulakukan hari ini.

"Tidak, tidak Joe. Bukan begitu caranya. Lagipula kau pasti membutuhkannya" dari nada suaranya aku tahu Dwi tersinggung. Bagaimanapun juga aku harus mencoba.
"Uwie, bukan maksudku merendahkanmu. Tapi aku tidak ingin membayangkan kau......bersama laki-laki lain" aku mencoba membujuknya untuk menerima sejumlah uang yang kutransfer ke rekeningnya. Pendapatan rutinku tiap bulan.
"Apa perdulimu Joe??? Kau tahu aku seorang pela....."
"Stop !!!! Aku tidak perduli siapa kau, aku hanya tahu aku mencintaimu, aku tidak rela orang lain menikmati tubuhmu. Biar aku membayarmu supaya kau tidak usah..." kata-kataku yang penuh amarah terhenti di tengah jalan ketika tamparan Dwi meledak di mukaku. Kulit mukaku pedih. Tapi tak ada artinya dibanding sakitnya hati ini. Serasa ada ribuan jarum menusuk perutku. Mata Dwi yang indah terbelalak, tangannya menutupi mulut yang mengeluarkan rintihan lirih. Aku masih terdiam mematung ketika ia mendapatkanku dalam pelukannya.
"Joe, ohh, Joe, i'm so sorry" bisiknya penuh penyesalan.
Masih kurasakan panas di mukaku. Belum reda perih di hatiku.
"Uwie, jangan katakan aku tidak perduli. I love you, and i never regret it. Did you know how much it hurts me just to think you sleeping with another guy?? I want you only for myself " kataku pelan.
Kutatap matanya. Tuhan, akan kuberikan semua yang kumiliki agar mata itu bersinar lagi. Agar gadis mungilku tidak menderita lagi. Ia menganguk. Sebutir air mata jatuh menuruni hidungnya yang mancung.
"Baiklah Joe, aku menerimanya. Bukan sebagai bayaran atas diriku karena aku menyerahkan diri kepadamu bukan untuk uang. Untuk persahabatan kita".

Hubunganku dengan Dwi memang aneh. Aku mencintainya. Sedangkan dari dirinya belum pernah sekalipun terucap kata yang satu itu. Ia pun berkeras hubungan kami hanyalah teman baik. Sesuai perjanjian yang kami buat, Dwi tidak lagi pergi bersama orang lain. Kini ia bekerja full time sebagai junior staff accounting di tempatnya yang lama. Aku memasukkan sejumlah uang ke rekeningnya sebagai 'ganti' pendapatannya yang hilang. Tak sebanding tentu saja. Namun aku bertekad untuk melepaskannya dari kehidupannya yang dulu. Dan ya, aku tidur bersamanya. Tapi bukan karena itu aku membutuhkannya. Aku membutuhkan dirinya karena ia selalu mengerti diriku. Persetan apa kata orang mengenai hubungan kami. Hanya satu kata itu yang kutunggu dari mulutnya. Sungguh penasaran aku dibuatnya. Setiap bagian tubuhku mengatakan kalau iapun mencintaiku. Mengapa begitu berat baginya untuk mengucapkan sepatah kata itu?

*******

Aku terjaga dari tidurku. Udara pagi Megamendung yang dingin terasa menyegarkan setelah sehari-hari menghirup udara kota Jakarta yang penuh debu. Entah mengapa setiap kali pergi ke daerah gunung atau pantai, aku selalu bangun pagi. Sejak mengikuti kegiatan pecinta alam kala SMA, pagi hari di daerah yang masih alami selalu merupakan momen yang paling indah bagiku. Matahari masih malu-malu memancarkan sinarnya, tertutup oleh awan mendung kelabu, embun yang bergayut di pucuk rumput, kabut tipis yang menggantung menyusur tanah. Semuanya terasa begitu sempurna. Di sampingku terbaring Dwi-ku. Rambutnya yang hitam sebahu berantakan di atas bantal. Matanya yang indah terpejam rapat. Wajahnya begitu damai dalam tidurnya. Tak ada yang akan menyangka dibalik wajah damai itu terdapat begitu banyak kepahitan. Kurendahkan tubuhku. Kekecup lembut keningnya. Ia menggeliat. Piyama yang dikenakannya tak mampu menutupi perut dan pinggangnya yang putih. Aku tak tahan melihatnya. Kugelitik pinggang putih itu. Ia menggeliat lagi. Tangannya menarik selimut menutupi daerah yang menjadi incaran tangan nakalku. Aku tertawa. Ia menggumam tak jelas.
"Anak nakal, sini masuk kalau berani" katanya mengantuk. Tentu saja kuladeni tantangannya. Aku menyusup masuk ke dalam selimut itu. Tanganku bersiap melanjutkan serangan ke pinggangnya. Tapi ia lebih cepat. Tahu-tahu tubuhku sudah ditindihnya. Sia-sia kedua tanganku yang dipegangnya di bawah himpitan punggungku sendiri mencoba berontak. Dengan gemas digigitnya perutku sampai aku berteriak minta ampun, barulah dilepas gigitannya itu.

Kupeluk tubuh langsing itu. Kubenamkan kepalaku di lehernya. Kurasakan kehangatan tubuhnya, begitu mengundang. Aroma tubuhnya membelai hidungku.
"Uwie...."
"Hmmm...?"
"You smells good " aku berbisik di telinganya. Ia tersenyum. Masih senyum yang sama yang mempesonaku, yang membuat hari-hariku cerah. Kupuji diriku sendiri untuk membawanya ke sini, ke villa milik keluarga Ken yang dipinjamkan kepadaku. Dwi tampak begitu bahagia di sini. Tidak tampak sekalipun sinar matanya yang keruh selama kami berada di sini.
"Did I taste good too???" tanyanya menggoda.
"Delicious " jawabku tak kalah nakal. Aku teringat kembali adegan semalam. Bersatunya tubuh dan hati kami. Begitu indah. Saling memberikan kenikmatan kepada partnernya. Baru pada malam tadi Dwi memperbolehkanku melakukannya tanpa pelindung. Selama ini ia selalu memaksaku menggunakannya karena takut aku tertular penyakit. Terharu aku ketika ia mengatakannya kepadaku. Kupeluk ia lebih erat. Kami berdua terdiam, menikmati 'rasa' pelukan tersebut. Aneh juga, bagaimana aku bisa mendeskripsikan 'rasa' yang abstrak itu?

"Love you girl" bisikku di telinganya.
Seperti biasa, ia hanya tersenyum, kemudian mencium bibirku lembut.
Tiba-tiba ia bangun.
"Joe, ke jacuzzi yuk. Uwie ingin mencobanya".
Aku menganguk menyetujui. Bersama-sama kami melangkah ke halaman. Ke sebuah gazebo yang di tengahnya terdapat kolam bulat berdiameter sekitar 1,5 meter. Kolam jacuzzi. Ken telah memberitahuku di mana letak pompa air dan heaternya sehingga aku bisa mengisi dan menghangatkan airnya sendiri tanpa harus memanggil penjaga villa yang tinggal di kampung sebelah. Aku sengaja menyuruhnya pulang pada hari kedatanganku, tidak ingin kehadirannya mengganggu saat kebersamaanku dengan Dwi. Kunyalakan sebatang Mild Seven sambil menunggu penuhnya kolam itu. Sebatang rokok itu kuhisap bergantian dengan Dwi.

Akhirnya air kolam penuh juga. Kutarik lengan Dwi mendekati kolam.
"Joe, Uwie ganti baju renang dulu"
"Hmm.....cuma ada kita berdua di sini. Kenapa harus pakai baju segala?"
Mukanya sedikit merah mendengarkan ajakanku. Sebelum ia berubah pikiran kutarik dia masuk ke kolam. Ternyata cukup dalam juga. Kira-kira seleher Dwi kalau ia duduk. Kulepas pakaianku yang basah kuyup. Kulempar begitu saja ke rumput. Demikian juga nasib sama dialami sisa kain yang menempel di tubuhku. Kuraih Dwi. Dalam beberapa detik tubuh atasnya tidak mengenakan apa-apa lagi. Aku berhenti sejenak, mengagumi keindahan yang terpampang di depanku. Kubenamkan mukaku di kehangatan dua bukit kecil di dadanya. Tangannya lembut mengusap kepalaku. Kulepas celana piyama yang digunakannya. Sekarang kami berdua telanjang. Kupeluk dia erat, merasakan setiap inci kulit tubuhku menempel pada tubuhnya. Angin dingin bertiup, membuat pundaknya menggigil. Kutarik dia ke bawah. Terasa kehangatan air kolam melingkupi tubuhku. Semburan air hangat dari lubang-lubang di sekeliling kolam bagai pijatan erotis yang memanjakan tubuh kami berdua. Dalam posisi duduk berdampingan, tangan nakalku kembali menyelusuri tubuhnya. Membelai, mengusap, memijat, menggelitik bagian bagian yang sensitif. Air kolam merendam tubuhnya, menyisakan bagian leher ke atas di atas air.

Tangannya menarik leherku mendekat. Bibirnya bergerak mencari bibirku, antara bersentuhan dan tidak. Menggunakan lidahnya membasahi bibirku, memancing lidahku keluar ikut bermain dengan lidahnya. Di sela-sela ciuman itu masih sempat kubisikkan betapa aku mencintainya. Kudengar rintihan lirih dari tenggorokannya. Tanpa sadar tubuhnya sudah berada dalam pangkuanku. Kurasakan berat tubuhnya pada paha atasku. Kejantananku beradu dengan bukit berambut halus miliknya. Kakinya melingkari pingganggku, tangannya mencakar punggungku. Pinggulnya bergerak, mencari posisi yang tepat agar kejantananku bisa mencapai pasangannya. Tiba-tiba hujan turun. Mula-mula hanya tetes ringan di atas rumput dan atap gazebo, kemudian bertambah deras. Kejantananku memasuki dirinya pelan-pelan. Setiap gerakan tubuhnya memberikan kenikmatan yang tak terlukiskan. Matanya setengah terpejam, alisnya berkerut menahan nikmat yang juga kuberikan kepadanya. Mulutnya mengeluarkan suara-suara rendah dari tenggorokannya. Wajah dalam ekstase. berbeda dengan semalam, kali ini gerakanku dan Dwi tidak tergesa. Ke atas, ke bawah, memutar, semua kulakukan dengan gerakan lembut. Uap air naik menutupi pandanganku, membuat sekelilingku berwarna putih susu.

Entah berapa kali aku hampir sampai ke puncak, tetapi setiap kali aku hendak mencapai orgasme gerakan kami melambat, menunda puncak kenikmatan yang menghampiri diriku. Tanpa kata-kata. Hanya erangan dan rintihan yang menjadi komunikasi kami. Heran, darimana ia tahu apa yang kumaksud dalam setiap eranganku. Dan darimana aku tahu apa yang diinginkannya hanya dengan mendengar rintihannya. Tapi itulah yang terjadi. Kilatan petir membelah langit. Kututup mulutnya dengan mulutku. Kubawa kepalanya menyelam ke bawah air. Aku tahu ia takut mendengar suara halilintar. Di dalam air mulutku bisa merasakan kepasrahan dirinya. Suara deras hujan tiba-tiba tak terdengar lagi, digantikan bunyi gelegak air yang menyembur. Dalam air seakan waktu berhenti, paru-paru kami berbagi udara yang sama, tubuhnya bergetar. Aku tahu, ia menantikan gelombang kenikmatan melanda dirinya. Demikian juga denganku. Kubuka mataku dalam air yang menggelegak, aku ingin melihat wajahnya ketika orgasme mengahantamnya. Aku sudah tidak mampu bernafas, kuberikan semua persediaan udara dalam paru-paruku kepadanya. Matanya juga terbuka, tepat ketika diriku seakan-akan meledak oleh kenikmatan. Gelegar halilintar terdengar samar dalam air. Tubuhnya mengejang dalam pelukanku. Tubuh kami masih bergerak, memompa semua kenikmatan yang datang melanda.

Seperti ikan dilemparkan ke darat, kami berdua megap-megap ketika kepala kami keluar dari air. Mengisi paru-paru kami dengan udara segar yang membawa aroma hujan. Melayang tinggi, kesadaranku belum kembali sepenuhnya. Bunyi hujan putus-putus terdengar di telingaku. Kilat putih masih sambar menyambar dalam kepalaku. Lalu hening.
"That was.....incredible" kataku terbata-bata di telinganya. Tidak ada kata yang mampu melukiskan keadaan itu dengan tepat. "Thanks". Ia masih terdiam. Dadanya bergerak naik turun. Hanya matanya memandangku penuh cinta. Kasihku. Aku tahu aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Kami akan bersama selamanya.

Episode Tiga : EPILOG

Dear Joe,
Uwie baik-baik saja di sini. Hanya sedikit kedinginan. Bagaimana denganmu?? Jangan lupa dengan kesehatanmu. Uwie akan marah sekali kalau kau sampai sakit Joe. Makan yang teratur dan kurangi rokokmu. Joe, jaga dirimu baik-baik ya.

Kau masih marah kepadaku Joe?? Perusahaan bersedia mensponsori pendidikanku di sini Joe. Uwie pergi tanpa pamit karena aku tahu bila aku bertemu denganmu mungkin sekali pikiranku akan berubah. Maafkan Uwie ya Joe.

Ingat ketika kita berdua di Villa?? It was great Joe. One the best time in my life. Kemudian ketika pulang dari villa kau bertanya apakah aku bersedia hidup denganmu selamanya. Oh Joe, bahagianya hatiku. Betapa inginnya bibir ini menjawab ya. Uwie yakin kau akan membahagiakanku Joe. Uwie mencintaimu, sayangku.

Kau menangis Joe?? Jangan menangis, cintaku. Uwie pun sedih harus meninggalkanmu. Tapi bukankah kaupun ingin agar Uwie meninggalkan kehidupan lama Uwie?? Ini jalan keluarnya Joe. Terima kasih atas segala dukunganmu. Doakan aku berhasil Joe.

Kadang Uwie berpikir, apakah kita berdua bisa bersama selalu. Tapi aku terlalu menyayangimu untuk itu. Ketika kau mengenalkan Uwie pada orang tuamu mereka belum tahu siapa aku Joe. Relakah mereka membiarkanmu bersamaku? Uwie tidak ingin hubunganmu dan orang tuamu terganggu karena aku. Bagaimana bila suatu saat nanti, bila kita bersama lalu bertemu dengan orang yang pernah bersama Uwie??? Tidak Joe. Saat ini jalan hidup kita bersisian, tapi takkan pernah bertemu. Mungkin nanti Joe, suatu saat bila memang kita ditakdirkan bersama, kita akan bertemu lagi.

Aku pergi Joe, you will always in my heart. Lanjutkanlah hidupmu. Jangan lupakan Uwie, sayangku.......

(penggalan e-mail dari Dwi yang kuterima tak lama setelah ia pergi. Au revoir Uwie. You'll never leave my heart)

Matahariku telah pergi. Hidupku kembali gelap. Sebagian diriku ikut hilang bersamanya. Semoga dia bahagia, dimanapun ia berada.

I don't want to get off my bed
day by day seems the same
boring
don't know what to do

my head aching
why my mind can't stop shaking
dark voices seduce me
damnmit !!! get the hell out of me

images floating around
can't tell you which is real
that?? no, maybe this
which one?

so dark and wide
where should I go??

~*The enD*~