Monday, December 18, 2006

Satu Cerita tentang Ibu yang Menangis

MENGAPA engkau menangis, wahai ibu? Terdengar begitu sayup
lantunan suaramu, bergetar di malam yang dingin membekukan itu. Dengan sudut
matamu yang basah, engkau luluh dalam doa di atas sajadah panjangmu,
berbicara dengan penuh rasa rindu, pasrah dan tawadhu. Engkau menghinakan
diri dalam sujudmu, demi meraih keampunan dirimu dan orang-orang tersayang
kepada Rabb Yang Maha Mendengar dan Maha Pengampun.


Sungguh mulia engkau ibu. Tatkala anakmu tenggelam dalam keserakahan duniawi
yang tiada tara, engkau menggunakan doa keselamatan agar sang anak menjadi anak yang shaleh dan sabar. Ketika dirimu dinista oleh perbuatan yang tidak engkau
lakukan, engkau berharap si penista itu diberikan petunjuk ke jalan kebenaran. Engkau juga senantiasa mengingatkan pada anak-anakmu agar hidup ini selalu berpijak di atas iman, ikhlas dan ihsan, dalam menerima setiap keadaan.


Engkau bahkan melupakan kesenangan duniawi. Namun juga tidak mencemaskan
datangnya rezeki, kecuali selalu disibukkan mencari Allah sebagaimana diucapkan Musa as: "Dan aku bersegera kepada Mu, Wahai Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)." (Thahaa: 84)

Ibu, engkaulah yang mengenalkanku, putramu yang bebal ini kepada dunia. Engkau tidak mempedulikan betapa perih dan menderitanya dirimu pada masa-masa kehamilanmu, bahkan kau rela mengorbankan nyawa demi kelangsungan hidup si bebal ini. Adakah pengorbanan yang lebih luhur dan mulia dari seorang ibu, kecuali mengorbankan nyawanya demi putra tersayangnya?


Sungguh benar ancaman Allah, neraka bagi si pendurhaka. Allah memuliakan hakikat seorang ibu sebagai penerus generasi umat, dan mewajibkan setiap anak bersyukur kepada ibu bapaknya. Seperti dalam firman Nya: "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada Kulah kembalimu. (Luqman: 14)


Engkau juga memperingatkan, seperti Luqman mengingatkan anaknya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Luqman: 13) "Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang-orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kecuali ia berpaling dari padanya ...." (As-Sajdah: 22)


Kemudian engkau berbicara tentang hakikat dosa manusia, seperti pembicaraan Luqman kepada anaknya: " ... sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada di dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Besar." (Luqman: 13) Dengan maksud Maha Halus di sini, ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu bagaimana pun kecilnya.


Benarlah ungkapan, 'surga di bawah telapak kaki ibu'. Tanpa doa disertai keikhlasan dan keridhaan seorang ibu kepada anaknya, betapa pun besarnya amal saleh yang dikerjakannya, tidak akan dilirik Allah sedikit pun.


Suka Lupa

Manusia sebenarnya makhluk yang suka lupa, atau pura-pura lupa. Padahal di hadapan Nya, engkau bukan siapa-siapa. Meski hadir dalam dimensi ruang dan waktu yang sama, engkau bisa lupa pada keberadaan dirimu sendiri. Paling fatal, engkau juga lupa pada fitrah kejadianmu atau asal kehadiranmu: dari alam 'ketiadaan' menjadi 'ada'. Karena sifat lupa itu, engkau menjadi angkuh dan sombong. Lupa kepada ibu yang mengandung dan melahirkanmu. Lupa pada sang ayah yang mencarikan penghidupan untukmu. Paling mengerikan, lupa kepada kewajiban yang diperintahkan Maha Pencipta kepada setiap hamba Nya. Seperti firman Nya: "Dan (alangkah ngerinya) jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): Ya Tuhan, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin." (As-Sajdah: 12)


Meski ibu hanya pendampingi bapak atau suami, namun tanpa ibu mustahil sebuah rumah tangga bisa berlangsung langgeng dan lestari. Ibulah yang mengarahkan apakah anaknya kelak menjadi manusia mandiri, atau sekadar parasit yang lebih suka menumpangkan hidupnya di atas kekuatan orang lain, tanpa kemampuan dirinya sendiri. Sebagai ibu kandung (biologis) yang menyusui, warna kehidupan seorang anak seperti kesehatan, kecerdasan dan perkembangan kepribadiannya, sangat ditentukan peran ibu. Karena itulah Allah mengutuk dan mengharamkan anak yang mengingkari nasab (garis keturunan) dengan orangtua kandungnya.


Menjadi sunnatullah, manusia lahir karena adanya ibu dan bapak, dan ini berlangsung terus sampai Hari Kebangkitan. Siksa neraka yang pedih menunggu anak durhaka yang ingkar, sekalipun ibu bapaknya tergolong musyrik. Tidak mengherankan Allah SWT memuliakan ibu. Ketika ibunda Nabi, Aminah, wafat di Abwa' --desa antara Madinah dan Juhfa-- Nabi yang baru ditinggalkan ayahandanya Abdullah menangis pilu. Padahal baru beberapa hari lalu ibundanya mengeluh tentang kehilangan ayahandanya, (bapaknya Aminah) ketika Nabi masih dalam kandungan. Karena itu Allah mengingatkan Nabi atas nikmat yang dianugerahkan Nya kepadanya. "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (Adh-Dhuhaa: 6-7)


Ibu, kini engkau telah tiada. Dimensi ruang dan waktu memisahkan kita. Namun kematian bukanlah 'akhir' masa kehidupan manusia, tapi 'awal' kehidupan baru. Kematian dalam kaitannya dengan dunia memang kematian. Tapi dalam kaitannya dengan alam akhirat adalah kelahiran. Sungguh Maha benar firman Mu ya Allah, "Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (Al Mu'minuun: 115)


Karena keberadaan di dunia ini bukan kehendak manusia sendiri, seyogianyalah kita memanfaatkan waktu sedikit ini untuk mensyukuri Nya. Bukankah Allah berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku." (adz Zaariaat: 56).


Anak yang bebal ini menyadari, air mata yang tumpah dalam shalat malam yang dingin itu semata untuk meraih keridhaan Nya. Dan suara yang bergetar tatkala bermunajat ke hadapan Rabb itu, adalah pertanda kerendahan diri dan cinta kepada Nya. Meski ibunda telah tiada, doa anakmu ini senantiasa menyertaimu setiap waktu.

Wahai anak… apakah engkau kau mengerti
Betapa deritanya ibu yang mengandung?
Wahai anak… apakah engkau tahu
Alangkah deritanya ibu melahirkanmu?

Namun kelahiranmu adalah penghibur hati
Di buai dan dimanja setiap hari
Di malam hari tidur tak berwaktu
Tapi tak mengapa.. karena kau disayangi

Hari – hari sudahpun berlalu
Usiamu semakin bertambah
Seorang ibu sudah semakin tua
Namun terus berkorban untuk sesuap rezeki
Agar sempurna hari depanmu

Kini kau dewasa… ibumu telah pergi
Waktu yang berlalu seakan memanggil
Sudahkah kau curahkan kasih sayangmu?
Apakah terbalas segala jasanya?
Surga itu dibawah telapak kakinya

Hanyalah akan-anak yang sholeh
Bisa memberikan kasih sayangnya
Hanyalah anak-anak yang sholeh
Bisa mendoakan hari akhiratmu

Joe Sorjan
~DaLam Satu Rindu~

No comments: