Wednesday, November 01, 2006

Satu cerita Tentang "Lemon Tree"

Lemon Tree

Oleh Blu 1sty


Sekali lagi mataku melirik pada sosok manis di sebelahku. Chiara. Rupanya, dia juga melirik kepadaku. Bila tidak, tak mungkin pipinya yang merah jambu alami itu merona laksana buah stroberi ranum.


Siang ini, Chiara mengenakan pakaian terusan berwarna kuning cerah. Tampak begitu serasi dengan kulitnya yang putih. Namun, kontras dengan bias kemerahan segar dari wajahnya. Dalam hati, aku menepuk kepalaku. Oh my God, gerangan apa yang kupikirkan? Usia Chiara baru 14 tahun. Aku, dua kali lebih tua dari dia. Kok bisa? Entahlah. Yang jelas, bayangan Chiara kerap menari-nari di pelupuk mataku.


Chiara yang lugu. Chiara yang lucu. Berlari. Menari berputar-putar. Rok kuning cerahnya mengembang. Kepangan rambutnya ikut melayang di belakang kepalanya. Seperti kucing kecil yang mengejar ekornya sendiri.


Chiara. Chiara. Rasanya baru kemarin aku membelai tubuh bayimu yang mungil. Kini aku menyaksikan pipi tembam-mu memerah ketika kutatap lekat matamu. Atau, justru akulah yang bersemu merah, ketika mata bening Chiara menangkap tatapku? Lalu, kenapa aku harus tersipu? Apakah aku jatuh cinta? Ha? Jatuh cinta? Apa benar? Tidakkah terlalu dini untuk menterjemahkan perasaan ini dengan label CINTA?


Belum usai aku menyusun kepingan puzzle di dalam benakku, Chiara menghampiri. Membuatku bergetar. Bahkan aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku hanya mampu menunggu dengan tegang. Apa yang akan Chiara lakukan kali ini? Membelaiku dengan sayang, atau apa? Menunggu, aku hanya menunggu.


Chiara menatapku dan tersenyum riang. "Selamat pagi," ucapnya sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan mencondongkan badannya ke depan. Kedua tangannya saling silang di belakang. Dia mengucapkan salam padaku dengan cara yang begitu manis. Seperti biasa. Tapi, selalu lebih manis dari sebelumnya.


"Dadaku" berdegup kencang. Rasanya jantung hampir loncat dari tempatnya. Seluruh tubuhku berdesir, setiap pembuluh mengalir lebih cepat. Ingin rasanya aku melonjak kegirangan, namun aku tak mampu. Aku hanya terdiam, membalas senyumnya. Aku lebih berdebar lagi ketika tangan Chiara terulur ke depan. Dia ingin menyentuhku lagi. Ah! Aku terus menunggu, setengah tak sabar. Mataku terpejam menunggu. Menunggu. Menunggu.


Tapi, sentuhan Chiara tak kunjung tiba. Masih merasa exciting, kucoba membuka mataku. Melihat apa yang terjadi. Dan, aku harus menahan kedongkolan ketika ternyata Chiara berada sekitar lima langkah dari tempatnya semula berdiri. "Tom!" seru Chiara. Gadis itu menepis genggaman tangan Tom. Anak lelaki nakal, teman sepermainan Chiara. Gadisku itu mendengus kesal. Aku juga jadi ikut-ikutan mendengus kesal.


Tom melihat ke arah Chiara, lalu ke arahku. Anak bandel itu tertawa. Memperlihatkan giginya yang berjejer tidak lengkap. "Apa maumu? Dasar anak bandel," ejek Chiara-ku. Aku mengangguk-angguk menyetujui ucapannya. Ingin pula rasanya aku menjitak kepala botak Tom, tapi dia di luar jangkauanku.

"Kamu juga anak bandel, mau apa pagi-pagi bermesraan sama dia?" telunjuk Tom menunjuk ke arahku. Huh! Dasar anak tidak sopan. Menunjuk-nunjuk ke arahku yang jelas-jelas lebih tua darinya. "Biar saja! Terserah aku dong," gadisku itu bersungut, lalu melangkah mendekati aku lagi. Dengan cepat, Tom kembali menarik lengan Chiara.


Kali ini, Chiara menatap marah kepada temannya, "Mau apa sih kamu?" Tom masih nyengir lebar. "Main sama aku saja yuk," jawab Tom. Tanpa bisa menahan kekesalan lagi, aku cemberut. Syukurlah, ternyata Chiara menggeleng, menolak ajakan Tom. "Ayolah, nanti aku ajak main Playstation," bujuk Tom. Huh! Playstation, mainan yang tidak pernah ingin kusentuh. Hanya membuang waktu saja.


Ternyata, Chiara-ku kembali menggeleng. Aku bersorak girang dalam hati. Tampaknya, Chiara juga membaca pikiranku. "Ayolah!" Hah! Dasar bandel. Kali ini Tom menarik kepangan rambut Chiara, sampai-sampai gadisku itu berteriak kesakitan.

Aku menjadi marah, tapi ternyata Chiara memang sudah cukup besar untuk bisa membela dirinya sendiri. Dengan cepat, Chiara melayangkan tinju kecilnya ke arah kepala Tom. Menjitak kepala Tom. Pemuda bandel itu mencoba berkelit, tapi kalah cepat. Tangan Chiara dengan sukses mendarat di dahi Tom yang segera mengaduh. Bagus, bagus, sorakku dalam hati. Gerakan Chiara tadi, aku lho yang mengajarinya!


Tapi, hei. Kenapa akhirnya Tom dan Chiara saling berkejaran sambil melayangkan tinju-tinju kecil mereka? Dalam sekejap, mereka melupakan kehadiranku. Malah larut dalam canda dan tawa.


"He he he," aku mendengar suara terkekeh. Bernada mengejek. Aku segera menoleh. Ah, si pengacau lainnya datang. Saki. Berlagak seperti teman lamaku, Saki menopangkan tubuhnya di bahuku. Masih terkekeh, dia berkomentar, "Cemburu?" Aku hanya melengos. Selalu saja ejekan itu yang diberikan Saki padaku. Anehnya, kenapa Saki selalu datang setiap kali Chiara dan Tom "bertengkar" di hadapanku. Jangan-jangan Saki-lah biang kerok semua ini. Jangan-jangan dialah yang memprovokasi Tom agar membuat Chiara-ku menjauh dariku.


"Mungkin kaulah yang cemburu, Saki," jawabku akhirnya, setengah menahan dongkol. Saki tertawa. Terdengar sumbang. "Aku? Cemburu? Pada siapa? Padamu? Pada gadis itu? Yang benar saja." Dia tertawa geli sambil menggeleng-geleng dan mematuk-matuk lenganku.


"Kau ini memang lucu, selalu membuatku tertawa," tandas Saki. Aku menatapnya dengan sewot. "Apa maumu, gelatik nakal? Kalau hanya ingin menggoda atau menghinaku, pergi saja. Bawa paruh jinggamu itu menjauh dari hadapanku," aku menghardik.


"Jangan marah, kawan. Aku tidak bermaksud menggoda, apalagi menghina," Saki mengepakkan sayap kecilnya lebih dekat ke tubuhku. "Aku hanya ingin kau sadar, bahwa kau dan gadis itu sungguh berbeda," jelas Saki. Aku menggeleng-geleng, tak ingin mendengar ucapan yang sama untuk ke-lima ribu delapan ratus dua belas-kalinya itu.


"Aku tahu kau jatuh cinta pada anak itu.." "Gadis!" potongku, sebelum Saki menyelesaikan kalimatnya. "Oke, gadis. Whatever! Aku tahu kau menaruh hati sejak kau melihat gadis itu dalam gendongan Belinda, ibunya," kicau Saki. Aku tertawa sinis. "Tapi, kau dan dia sangat berbeda. Lagipula, mana mungkin Chiara mengerti perasaanmu?"


Tak ingin mendengar lebih jauh ucapan Saki yang terasa menyakitkan, aku mengibaskan lenganku kuat-kuat, seiring angin berhembus. "Baiklah. Baiklah. Aku pergi. Tapi, jangan katakan aku tidak mengingatkanmu, kawan. Kalau kau patah hati, jangan datang dan menangis padaku," kemudian Saki terbang ke angkasa sambil terkekeh.


Sebaliknya, Chiara melihat Saki terbang dari lenganku. "Lihat! Lihat! Burung gelatik lucu berwarna kuning!" Chiara berteriak kepada Tom sambil menunjuk-nunjuk ke arah Saki. "Wah cantiknya," Chiara berdecak kagum. Lalu tertegun melihat sesosok buah berwarna kuning di antara dahanku. "Ah, kau sudah berbuah lagi, pohon lemon," ucap Chiara padaku sambil membelai daunku, lalu meraih lemon kuning dari salah satu dahanku. Aku melonjak girang.


Ya. Ya. Ambil saja buahku, Chiara. Aku akan terus berbuah sampai mati. Tanda aku mencintaimu yang selalu ramah padaku. Naiklah ke dahanku, kujamin kau tak akan jatuh. Dan, jangan kuatirkan terik matahari, daunku akan selalu melindungimu. Tapi, kalau hujan, kau tetap harus ambil payungmu, ya Sayang!

No comments: