Friday, October 20, 2006

Satu Cerita Tentang TiraMisHu

Dion membeli empat potong besar tiramisu dan membayar sejumlah Rp100.000 di kasir. Sambil bersiul senang, dia kemudian menghentikan sebuah taksi untuk membawanya ke rumah Tiara. Dia tidak ingin naik bus, supaya tiramisu yang dibawanya tetap dingin dan tidak meleleh.

Malam ini akan jadi hari spesial, pikir Dion senang sambil menutup pintu taksi dan menyebutkan tujuannya. Hari ini Tiara berulangtahun, dan Dion sengaja membeli tiramisu untuk merayakannya. Tiara belum punya pacar, sehingga harapan Dion untuk mendapatkan perhatian Tiara melambung tinggi.

Tiara, temannya di kampus yang sudah 3 bulan ini mengisi angan-angannya. Cantik, pintar dan supel. Sayangnya, Dion sangat pemalu, sehingga dia selalu grogi alias mati gaya bila berhadapan dengan Tiara. Beruntung, Dion memiliki sahabat yang dapat diandalkan, Ryan. Melalui Ryan, Dion memperoleh segala informasi tentang Tiara. Mulai dari rumahnya, hobinya, hingga makanan kesukaannya. Dion jadi tahu kalau Tiara sangat menyukai tiramisu.

Ryan mengorek informasi tentang Tiara tersebut melalui Wenny, teman serumah Tiara. Ryan mudah bergaul, dan dengan bakatnya itu dia mendekati Wenny untuk mendapat informasi tentang Tiara. Terkadang Dion iri pada Ryan, yang selalu luwes jika berhadapan dengan perempuan.

Taksi yang membawanya terjebak kemacetan rutin di Jalan Sudirman. Dion melihat arlojinya. Masih pukul 18.45 WIB. Belum terlalu malam, pikirnya sambil memandang ke jalan.

Dion tersenyum sendiri saat mengenang pendekatan pertamanya kepada Tiara. Melalui tiramisu. Dia menitipkan satu loyang kecil tiramisu lewat Wenny. Sebagai imbalannya, Dion harus mentraktir Wenny makan siang dua hari berturut-turut.
Siasatnya cukup berhasil. Keesokan harinya, ketika dia dan Ryan sedang menunggu Wenny untuk makan siang bersama, sebuah suara menyapa dibelakangnya.

"Hai Dion!"

Dion menoleh dan mendapati dirinya berhadapan dengan Tiara. Jantungnya melompat, dan perutnya langsung bergolak, seakan dia telah meminum satu botol obat pencahar. Dia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, namun yang keluar hanya semacam lenguhan, seperti sapi yang hendak disembelih.

Ryan yang menyadari kebodohan sikap Dion, segera menyelamatkan situasi. "Hallo Tiara. Kita baru mau makan nih, mau ikut?" tanyanya renyah, dengan gayanya yang khas.
Maka demikianlah, mereka makan siang bersama di kantin kampus. Keesokan harinya, secara tidak sengaja Dion melihat Tiara di perpustakaan. Pujaannya itu baru saja mengambil beberapa buku dari sebuah rak, dan membawanya ke atas meja. Dion tidak berani mendekati Tiara, tapi dia mendekat ke rak untuk melihat buku-buku macam apa yang dibaca Tiara. Rak itu menampilkan sederet buku-buku politik dan filsafat. Hmm, bacaannya berat banget, pikir Dion. Tapi dia segera maklum, karena Tiara memang mengambil Jurusan Politik, sedangkan Dion mengambil Jurusan Kimia. Tiba-tiba pundaknya ditepuk.

"Dion! Ngapain kamu di sini?" tanya Tiara.

Dion gelagapan. Seperti biasa, jantungnya melompat. Seketika, dia ingin sekali menjadi Ryan yang tidak pernah canggung menghadapi perempuan.

"Eh, aku..aku nyari buku," katanya tanpa berpikir.

Tiara menatapnya heran. "Kamu tertarik filsafat?" tanyanya.

Kepalang basah, Dion mengangguk. Sejak kapan aku tertarik filsafat? pikirnya pasrah. Dia kan dari Jurusan Kimia, nggak ada hubungannya dengan filsafat. Yah, kecuali kalau Louis Pasteur bisa disebut sebagai filsuf.

Melihat Dion mengangguk, Tiara tampak berseri-seri.

"Aku punya buku filsafat ringan, gampang dibaca. Mau pinjem? Itu buku terlaris di dunia loh," kata Tiara berpromosi.

"Harry Potter?" tanya Dion bodoh. Seingatnya, buku terlaris di dunia adalah Harry Potter, tapi itu buku anak-anak, mana mungkin bercerita tentang filsafat.

"Bukan. Tapi Dunia Sophie," kata Tiara, sambil tersenyum. Dion merasa tolol sekali.
Taksi sudah memasuki Jalan Gatot Subroto. Lampu-lampu di kiri-kanan jalan mengedip dengan riang. Dion mengatur posisi duduknya agar tiramisu yang dipangkunya tidak rusak.

Dia menghela nafas. Senang sekali. Sejak kejadian di perpustakaan itu, kekakuan sikapnya terhadap Tiara mulai mencair. Bahkan, dia memberanikan diri main ke rumah Tiara di daerah Cawang, untuk 'meminjam' Dunia Sophie. Ditemani Ryan, tentu saja. Dan, dengan membawa tiramisu untuk membuat Tiara terkesan.

"Tuh, apa gue bilang. Gampang kan deketin cewek. Elu aja yang norak," ledek Ryan ketika mereka pulang dari rumah Tiara.

"Ah basi lu!" jawabnya sambil nyengir.

Taksi sudah memasuki daerah Cawang. Dion segera merapikan bajunya, kemeja biru tua polos yang dipinjamnya dari kakaknya. Ketika berkaca di kaca spion depan, Dion ingat bahwa dia belum memberitahu Ryan soal kunjungannya ke rumah Tiara kali ini. Ntar baru gue ceritain hasilnya, pikir Ryan sambil nyengir sendiri. Sopir taksi meliriknya, tapi Dion tidak peduli.

Taksi berhenti di depan rumah. Setelah membayar taksi, Dion keluar dan mengamati rumah Tiara sejenak. Rumah itu mungil, hanya dihuni dua orang, Tiara dan Wenny. Dia mengetuk pintu, namun setelah sekian menit tidak ada jawaban, dia memberanikan diri membuka pintu. Ternyata, tidak dikunci.

Pandangan mata Dion segera tertumbuk pada seloyang besar tiramisu di atas meja ruang tamu. Tiramisu itu sudah dipotong sebagian, pertanda telah ada yang memakannya. Siapa yang beli? Mungkin Tiara dan Wenny, untuk ngerayain ulangtahun Tiara, pikir Dion. Tapi, dia kemudian ingat kalau Wenny sedang pulang ke Surabaya.

Dion maju perlahan. Terdengar suara tv dari arah ruang tengah, dan suara tawa Tiara. Dion tersenyum. Pasti dia ketawa nonton tv, nggak mungkin ketawa sendirian, pikirnya.
Dion melangkah perlahan menuju ruang tengah. Sesampainya di ruang tengah, Dion tak dapat mempercayai matanya sendiri. Apa yang dilihatnya sungguh di luar dugaan. Matanya terpaku, menatap Tiara dan Ryan yang duduk membelakanginya. Mereka tampak mesra sekali, menonton tv sambil berangkulan. Di meja di depan mereka, tergeletak dua piring kecil berisi sisa-sisa potongan tiramisu.

Dion membeku, tak mampu bergerak. Dia ingin berlari sekencang-kencangnya, tapi tidak mampu menggerakkan kakinya. Seluruh tubuhnya, bahkan hatinya, seolah membeku, sedingin tiramisu dalam bungkusan ditangannya.

No comments: