Wednesday, October 11, 2006

Satu Cerita Tentang BuNga KehiDupan

Suatu kali, aku berkhayal menatap pagi yang masih segar dan baru berjingkat, meloncat dari tubuhku. Beratus bunga tumbuh di pekarangan rumah. Ya, bagiku, bunga-bunga merupakan cerminan dari keindahan hidup. Semestinya memberikan sebuah warna baru dalam hidup ini. Bunga-bunga yang berwarna-warni dan menebarkan aroma harumnya ke udara. Menjilati bumi dengan apa adanya. Menebarkan pesonanya, menantang pada langit yang membiru. Mengharap hangat pelukan mentari. Begitulah, imajiku, terkadang pula kenyataan yang ada berbicara lain, sangat lain dari yang kupikirkan sebelumnya. Bunga-bunga yang kutemui disetiap perjalanan sangat berbeda, total beda sekali.


Meskipun, bunga-bunga itu masih tetap indah, tapi ada hal-hal lain yang tiba-tiba saja melukai hatiku setiap kali menatapnya. Bunga-bunga yang kulihat telah koyak, penuh luka, penuh koreng, dan tak lagi menebarkan harumnya. Beberapa kaki-kaki raksasa yang perkasa telah menginjaknya hingga tak berbentuk lagi. Kaki-kaki yang penuh lumpur itu menorehkan warna hitam ke sekujur tubuh mereka. Padahal, sebenarnya bunga-bunga itu hanya ingin tumbuh dengan bebas, wajar apa-adanya, damai di dalam cinta. Tapi itulah! Terkadang mereka merasa enggan menyayangi bunga. Dan mereka coba mengotori bunga-bunga itu dengan berbagai cara, sampai membusuk oleh polusi yang meradang di seluruh jalanan. Baik di desa-desa, kota-kota, mereka ulangi tindakan itu. Seperti pita kaset yang siap memutar ulang semua kenangan yang ada. Khayalanku pupus lagi, tidak dapat lagi kutemukan bunga-bunga indah. Semua bunga yang dengan berbagai macam nama, warna, harumnya telah kutemukan dalam keadaan yang membusuk dan menimbulkan aroma palsu. Bangkai! Lalu, aku coba menulis puisi untuk bunga-bunga yang telah dihinakan itu:

Elegi Bunga

Sejak saat itu, aku tak lagi temukan indah warnamu entahlah barangkali pelangi telah mendampratnya, membuang dirimu ke ujung selokan yang berbau busuk. Hingga musim pun gugur, berjatuhan rontok ke bumi, membelah akal kau tak kunjung mekar…

Hari-hari yang berbisingan terus mendampratku, memintalku sampai kusut. Menenteng beberapa bongkah peristiwa baru. Membagikan pamflet-pamflet kekusaman yang senantiasa menipu diri. Aku kemudian ditipu, diumpat, kemudian diserapahi habis-habisan oleh orang-orang yang mulutnya dipenuhi belatung. Aku tak lagi sempat menikmati hangat matahari pagi, angin yang melambai menutupi kekusaman tubuh, terlebih lagi bunga.


Lalu, sebagai gantinya, diam-diam aku bunuh bunga-bunga itu dari atas kepalaku… aku patah-patahkan dahannya, aku koyak warnanya yang menawan hati, dan aku telah masuk ke sebagian dari mereka yang kusebutkan tadi diatas. Tiada lagi peduli dengan bunga-bunga yang bermekaran. Namun, setelah berminggu berlalu, aku terperosok semakin dalam dalam keadaan itu, ketika kutatap cermin pada malam hari… kusaksikan berpuluh bunga mekar di ujung kepalaku. Aku berkaca lagi, tak percaya! Ah, betapa. Ya, betapa mereka telah bermekaran. Macam-macam warnanya berpuluhan jenis dari bunga-bunga itu tumbuh di atas kepala, mulai dari: mawar, anggrek, melati, kamboja, sedap malam… sampai aku letih menghitung jumlah mereka semua.

No comments: