Wednesday, October 04, 2006

Satu Cerita Tentang Bibir......

Sudah larut untuk berjalan sendirian. Menyeruak dingin angin. Menelusuri lorong-lorong kelam malam. Badan seakan remuk redam seribu lebam. Mengerang tulang-belulang diserang meriang. Langkah tetap tak bisa dihentikan.

Bukankah akan lebih menyakitkan bila tertidur di aspal jalan, trotoar, atau emperan-emperan? Sebelum terbangun, mungkin aku sudah jadi bangkai bersimbah darah karena digerogoti tikus-tikus terowongan bawah kota yang tak berhasil mendapatkan buruan.

Seringkali aku melihat tikus-tikus itu--yang ukurannya lebih besar dari seekor kucing--keluar dari terowongan untuk memburu kucing-kucing rumah. Mereka menyerang kucing-kucing itu dengan sangat ganas, tak akan dibiarkan untuk berkutik sedetik pun. Tikus-tikus itu juga saling menyerang sesamanya, berebut makanan sampai ada yang kalah dan berjalan mundur ke dalam lorong persembunyiannya dengan luka-luka cabikan penuh di sekujur tubuhnya.

Sinar lampu dan suara klakson mobil atau motor sesekali masih terdengar di ujung jalan menikung. Setelah itu aku segera tancap gas karena jalanan memang lengang. Sempat juga aku berpikir kalau salah satu dari mereka berhenti tepat di sebelah trotoar yang kutapaki, menawarkan tumpangan, misalnya? Fuih! Tak akan mungkin, nasehat akal sehatku. Tak kan ada yang berkenan menawarkan tumpangan. Beginilah malang badan yang tak berkawan.

Otakku yang bergelut dengan macam-macam pikiran yang melintas sepintas-sepintas, tiba-tiba dikagetkan oleh suara teriakan.

“Hei, jalan lihat-lihat dong!” Gerutu suara yang tak tentu itu.

Aku edarkan pandangan, tak ada satu orang pun terlihat olehku.

“Sssiiiaa.. aappp …aaa kau? Hantu?” tanyaku tergagap.

“Huh, enak saja menuduh hantu. Kau buta, ya?”

“Tidak, aku tak buta. Tapi aku tak melihat siapa pun. Siapa kau? Di mana?” tanyaku semakin ketakutan.

“Aku di sebelah sini. Tiga langkah di depanmu.”

“Haaaa??? Hantu?”

“Manusia bodoh, tolol! Lagi-lagi hantu. Memangnya semua yang tak terlihat itu harus hantu? Jalan dan lihatlah ke sini.” Jawabnya dengan nada kian ketus dan marah.

Aku berjalan dengan pelan ke arah suaranya. Tiga langkah ke depan, terlalu gelap. Tapi, aku paksakan juga keberanianku. Dan, di bawah sana, tepat di ujung jemari-jemari hitam kakiku, terlihat sesuatu yang nyaris tak bisa kupercaya: teronggok sepasang bibir di ujung setangkai lipstik merah. Benar, hanya sepasang bibir.

“Bibir?”

“Ya, ini aku.”

“Oh, tidak! Aku pasti salah. Baiklah, aku tidak melihat apa-apa,” kataku dengan membalikkan badan karena ketakutan yang sangat menyengat. Ingin sekali rasanya aku melesat pergi dari tempat itu. Sesegeranya.

“Hei, tunggu. Tolong jangan tinggalkan aku di sini. Please,” katanya lirih dengan nada memelas.

“Tapi…,” aku menjawabnya dengan keraguan.

“Sudahlah, bawa aku dari sini. Hanya kau yang bisa menolongku setelah beberapa jam tergeletak di sini tanpa keberdayaan. Coba pikir, dalam keadaan seperti ini aku bisa ke mana? Aku bisa melakukan apa? Tak ada yang bisa aku perbuat lagi selain berteriak, berteriak dan berteriak. Itu pun kalau ada yang sudi mendengar, sudi berpaling, sedang sekarang? Telinga-telinga sudah banyak yang ditulikan, mata-mata sudah banyak yang terbutakan. Kalau sampai besok siang, aku pasti sudah jadi daging busuk yang digerogoti seribu belatung dan lalat-lalat pesta.”

Tergugah juga rasa kasihanku. Penuh kehati-hatian aku mengangkatnya dari becek lumpur. Sepasang bibir itu begitu lembut. Ia terasa hangat saat bersentuhan dengan telapak tanganku. Warnanya merah, sepadan dengan warna lipstik yang ada bersamanya. Tak salah lagi kalau dengan lipstik itulah ia telah dipoles, dipercantik oleh perempuan yang menjadi puannya.

Perempuan?

Perempuan manakah yang begitu tega menanggalkan bibirnya? Aku tak tak bisa membayangkan bagaimana wajahnya tanpa sepasang bibir. Muka yang tampak akan serupa hantu, kuntilanak atau sundel bolong. Secantik apa pun ia adanya, kalau tak dilengkapi sepasang bibir tetap akan terlihat sangat menyeramkan.

"Ia tak akan sebodoh itu mau hidup tanpa sepasang. Apalagi sampai menunggu besok.” Bibir yang tadinya diam, mulai angkat bicara. Dari omongannya, ia bisa membaca mataku yang menyiratkan sejuta heran.

“Lalu? Apakah ia sekarang sudah menggelepar tanpa nyawa karena tak akan mampu menanggung malu dengan wajahnya yang menyeramkan?” tanyaku menerka.

“Itu lebih bodoh lagi! Kau mau tahu? Sekarang ia sudah berada di ruang praktek dokter ahli bedah dan kecantikan. Untuk apalagi kalau bukan operasi plastik. Hanya dalam beberapa jam saja ia sudah mendapatkan penggantiku. Tentu saja sepasang bibir yang indah. Yang lebih seksi untuk memikat seribu laki-laki. Ia tak perlu lagi pusing untuk tahu di mana dan bagaimana aku sekarang ini.”

Setelah menyelesaikan kalimat tersebut sepasang bibir itu kini benar-benar terlihat sangat menyedihkan. Lebih menyedihkan dari keadaannya di dalam kubangan lumpur tempat aku menemukannya. Dialah helai-helai yang kuncup layu. Merahnya meluntur pucat. Aku tak sanggup mengatakan kalau saat ini ia sedang sekarat.

“Bisa saja perempuan itu tak seperti yang kau kira…” bisikku memberi harap.

Bibir itu sepenuhnya sudah seperti mati. Tak berkutik walau sedetik. Aku tak tahu bagaimana harus menolongnya, padahal baru beberapa jam lalu ia memintaku untuk itu, menjadi seorang penolong. Pelan-pelan aku mendekatkan wajah ke depannya di atas meja. Mencoba mengalirkan kehangatan dengan sentuhan-sentuhan nafas dari bibir-bibirku yang tergugah meniupkan sukma. Bila Romeo memang harus mati demi kecintaannya pada bibir-bibir merah Juliet, maka malam ini pun aku sanggup melepas jiwa dari ujung bibirku yang tengah berpagut dengannya.

***

Perempuan itu menggerai rambutnya yang panjang dengan sisir. Ditatapnya dalam-dalam bayangannya yang terpantul dalam wujud samar-samar muram dari permukaan kaca yang suram dan buram. Sesuatu yang berat baru saja dialaminya yang membuatnya tak berhenti mengutuk diri, sampai pada kebingungan bagaimana mengawali hidup esok pagi.

Ia sudah menghibur diri dengan menelepon seorang dokter ahli bedah kecantikan dalam selembar kartu nama yang diberikan oleh teman warianya. Mereka sepakat membuat janji yang sifatnya lebih pribadi malam itu juga, mengingat si dokter yang semakin sibuk dengan pasien-pasien yang kian malam kian berjubel. Dokter bersedia mendahulukan dirinya dari pasien-pasien yang sudah mengantri lebih dulu dengan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan. Tentu saja berdasarkan kemauan dan kepentingan si dokter.

Tapi, apakah perlu ia melakukan ini semua? Perempuan itu kembali merenungi bayangannya di kaca. Ia tahu ada yang hilang di wajahnya. Sangat mengganjal. Sepasang bibir merah merekah yang sangat dikaguminya tak ada pada posisinya. Apa yang akan dikatakan orang-orang bila melihatnya dalam keadaan seperti itu. Aneh dan menakutkan. Percumalah kecantikan yang selama ini dibanggakannya, yang membuatnya menjadi ratu seribu malam. Ratu seribu laki-laki. Betapa aneh dan menakutkannya barisan gigi-giginya yang putih langsung menyembul keluar itu.

Sepasang bibirnya yang indah itu entah di mana. Kejadian di jalan itu begitu cepat. Seperti biasa ia berdiri di jalan itu dengan balutan rok mini dan baju ketat berwarna merah. Sesekali batang rokok putih yang menyala di ujung jemarinya yang lentik dimainkan, diputar-putar, lalu di hisap dalam-dalam. Asapnya mengepul berbentuk bulat-bulat. Terlalu lama menunggu, perempuan itu mulai resah. Gurat wajahnya terlihat merenggut. Bah! Memang tak biasanya jalanan begini sepi, hanya ada dua tiga mobil yang lewat dengan bunyi klakson yang melengking nyaring. Mobil-mobil itu parkir sebentar di pinggir jalan, merayu dari balik kemudi dan kemudian tancap gas membawa perempuan yang ditaksirnya.

Perempuan itu belum beranjak dari tempatnya semula berdiri. Untuk mengurangi kebosanan ia mengeluarkan alat rias dari dalam tas kecil di lengannya. Ia menyapukan serbuk-serbuk halus bedak di kedua pipinya hingga merata ke seluruh wajahnya. Dipatut-patutkan wajahnya yang cantik itu dalam sebuah cermin, dipoleskan ujung lipstik berwarna merah ke bibirnya yang agak pucat karena kedinginan. Sangat lama kedua bibirnya diperhatikan. Begitu indah.

Sepasang bibir yang memberinya kehidupan yang cukup di kota yang dulu asing baginya. Setiap laki-laki yang pertama kali bertemu dengannya pasti akan langsung memuji keindahan lekuk-lekuk bibirnya. Menurut mereka, bibirnya memancarkan daya tarik serta pesona yang luar biasa. Wajahnya cukup cantik, tapi tanpa sepasang bibir sempurna itu tidak akan memiliki arti apa-apa. Karena itulah perempuan itu begitu mencintai bibirnya.

Tiba-tiba, saat sedang asyik memoleskan lisptik ke bibirnya, suara raungan sirine yang disambut oleh teriakan orang yang kalang kabut serta panik mengagetkannya. Dentum pelor membentur udara menggema dahsyat. Perempuan itu hilang kesadaran, panik tak tahu harus lari ke mana. Sepanjang jalan sudah dikepung oleh puluhan orang berseragam lengkap dengan senjata dan pentungan. Orang-orang berseragam itu sigap menangkap perempuan-perempuan yang berlari tanpa arah di tengah jalan. Mereka yang tertangkap hanya bisa pasrah dengan menangis sejadi-jadinya. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain patuh digelandang ke kantor polisi untuk segera diinterogasi di depan kamera stasiun televisi untuk disiarkan ke rumah-rumah penduduk di negeri ini.

Siapa nama Anda?

Berapa usia Anda?

Anda memiliki KTP?

Dari mana asal Anda?

Sejak kapan Anda menjalani profesi ini?

Dan, pertanyaan terakhir, ini penangkapan Anda yang ke berapa kali?

Beruntung bagi perempuan itu. Ia memiliki KTP, walau tidak menggunakan nama aslinya namun fotonya terpampang dengan jelas di pojok kanan bawah. KTP itu didapatkan dari Pak RT tempatnya mengontrak sepetak kamar. Tak sulit baginya sebagai perempuan yang memiliki sepasang bibir indah.

“Tenang saja, dik. Biar Bapak yang mengurus semuanya. Kamu tinggal menunggu saja. Besok siang Bapak antarkan. Cuma, sekarang....“

Kalimat Pak RT tertahan tak bisa diselesaikan. Tangannya yang liar menyergap perempuan itu dengan buas. Malam itu Pak RT menggigit keranuman sepasang bibirnya dengan sangat rakus, ditukar dengan selembar KTP seharga dua ratus lima puluh ribu bila lewat jalur lain.

Perempuan itu masih terduduk membayangi kaca. Sinar matanya lekat memancarkan kerinduan yang pekat. Setelah semuanya terjadi, ia hanya bisa berharap besok akan ada berita penemuan sepasang bibir manusia. Di televisi, radio, atau pun koran harian. Seperti berita-berita yang tiap hari ia lihat dalam kasus-kasus kriminal, penemuan tubuh tanpa kepala, potongan kaki, potongan tangan dan potongan kelamin.

Ia tak berniat mengganti sepasang bibirnya yang indah dengan sepasang bibir yang baru karena begitu banyak hal yang telah mereka lakukan bersama. Apalagi, itu hanya sepotong kepalsuan. Sepasang bibir plastik!

***

Warga di gang sempit itu digemparkan dengan berita kematian Sumarni. Perempuan tercantik di wilayah tersebut ditemukan tergeletak di bilik kontrakannya setelah beberapa hari tak terlihat. Tak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya. Tak ada juga buih-buih di sudut bibirnya yang bisa membuat orang berkesimpulan ia mati bunuh diri dengan menenggak racun tikus. Perempuan itu seperti mati dalam kesempurnaan, selain tentang keberadaan sepasang bibirnya yang meninggalkan cerita dan tanya.

Orang-orang merasa kehilangan semenjak kepergian Sumarni. Ibu-ibu kehilangan bahan omongan dan gunjingan. Laki-laki kehilangan gairah meniduri istrinya karena tak lagi memiliki fantasi. Gadis-gadis kehilangan saingan dan pemuda kehilangan godaan. Tapi, sampai kapan pun tak kan pernah ada yang tahu bahwa mereka kehilangan Sumarni karena ia sangat menderita telah kehilangan sepasang bibirnya.

No comments: