Tuesday, October 17, 2006

Satu Cerita Tentang Kesaksian ToiLet

KESAKSIAN TOILET

By: Kiku


Sepasang bola mata kecil melotot. Pijar dimatanya memancarkan cahaya keemasan. Wajahnya polos dan bersih, seakan tanpa beban dan dosa! Di indah matanya yang bening, memantulkan kaca-kaca luka dan sayatan-sayatan nista yang tak pernah di buatnya. Dirinya adalah buah. Buah yang tumbuh dari pergulatan dua benih yang bersatu padu, meneteskan titik-titik air kehidupan. Berkembang mengikuti alur waktu. Namun, apalah arti kehidupan baginya? Sedang dirinya adalah buah, yang tak pernah dikehendaki pertumbuhannya. Salahkah bila dirinya ingin merasakan kehangatan Mentari?Nyatanya, tangan-tangan itu terlalu kuat dan kekar…menghempas… mengoyak, mencengkram, mencakar, mencekik dan merampas kehidupan yang diimpikannya.
Perlahan-lahan, bola mata kecil itu terkatup. Rapat. Tanpa rintihan ataupun suara hembusan nafasnya. Sesaat, lalu merentangkan kedua tangannya…membiarkan bulu-bulu halusnya menjelma White feather.

Tubuh kecil itu ringan tanpa beban. Mengepakan kedua tangannya dengan punggungnya yang telah bersayap. Bermain bebas. Mengitari istana-istana yang terbentuk dari gumpalan awan putih.

“Mamaaa…Mamaaa…”Rintih suara kecilnya, menggema.

“Apa salahku? Kenapa kau tak mengijinkanku untuk menatap dunia?”Sepasang bola mata kecilnya mulai berkaca-kaca. Meluruhkan kristal-kristal bening dari kelopak matanya.

“Kenapa…kenapa Ma?”Tubuh mungil itu tepekur dalam sunyi, tanpa sebuah jawaban dari setiap tanya yang dilontarkannya. Menundukan pandangannya. Menatap bola bumi. Lurus. Mencari sosok perempuan yang didambanya…atau justru perempuan yang sangat dibencinya. Tidak! Bagaimanapun dia adalah perempuan yang membuat aku ada, dan menjadi tiada. Bisik suara hatinya.

“Ma…aku kesepian disini, aku lapar Ma!”Wajah polosnya mengekspresikan kelelahan dan kepenatan jiwa. Begitu nelangsa! Dan. Perempuan yang dipanggilnya Mama, seakan tiada hirau. Tak mendengar rintihan dan suara tangisnya. Bagaikan sebuah batu. Ditatapnya lekat.

Perempuan berwajah cantik dengan sejuta pesona diwajahnya. Wajah ayu, berpoleskan false kehidupan. Perempuan itu tersenyum, mengembangkan kebebasan yang telah tergenggam. Walau harus mengorbankan nuraninya. Menggadaikan harga diri dengan lembaran Ringgit. Menjatuhkan tubuh moleknya kepelukan lelaki tanpa ikatan pernikahan. Entah terbuat dari apa hatinya. Batu? Kayu? Atau daging busuk yang berbelatung? Hingga Nuraninya menjadi mati rasa, terkesilap keindahan fana. Tanpa garis sesal ataupun perasaan berdosa yang menggurat dikeningnya. Entah sudah berapa buah yang digugurkannya? Perempuan itu kian memainkan kelekar asmaranya. Menjerat para pemuja keindahan rupa dan tubuhnya. Menjajakan tarian vulgar demi lembaran uang.

Sepasang bola mata kecil itu mulai berkaca-kaca. Menangis, mengenangkan nasibnya. Memandangi sepasang kaki mungil yang masih menyimbul disebuah tempat yang menjijikan. Sepasang kaki kecil yang telah dingin dan kaku. Dalam lubuk hati kecilnya, ia berharap dan berdoa. Semoga, akan ada orang yang melihat sepasang kaki kecilnya. Menariknya dari lubang kecil, sarang segala kotoran bermuara.

===***==***= ==

Arni menjerit. Teriakannya seperti orang yang dijegal hantu. Menggugah yang lain untuk menghambur kepusat suara teriakan.

“Kamu kenapa Ar? Ada apa?”Tanya teman-teman satu Mess Arni. Begitu mendapati Arni sedang berdiri telongo dengan pandangan kosong didepan toilet. Arni menunjulurkan jari telunjuknya, lurus kedalam toilet. Wajahnya menyiratkan sebuah ketakutan yang teramat.

Ada bayi di dalam toilet itu…!”Jawab Arni, dengan suaranya yang bergetar. Teman-temannya memandangi wajah pucat Arni secara bergantian, kemudian memburu masuk kedalam toilet. Ingin membuktikan kebenaran ucapan Arni.

“Iiihhh…”Ucap mereka serempak, sambil bergidig. Ngeri, begitu bola mata mereka menangkap dua buah kaki mungil bayi tak berdosa setengah tenggelam kedalam lubang toilet.
“Astagfirullah… Subhanaallah… MasaAllah… Naudzubillah… terkutuklah perempuan yang membuang bayinya kedalam toilet!”Kata-kata serapah, keluar dari mulut Heni. Disusul oleh kutukan lain yang keluar dari mulut teman-teman Arni. Lina melangkahkan kakinya, maju mendekati ke arah toilet. Lalu berjongkok, menjulurkan tangannya, hendak mengambil bayi yang sudah tak bernafas itu.

“Eeitt…tunggu! Jangan diambil dulu! Aku mau memphotonya, kemudian kita lapor ke polisi. Biar pihak polisi yang menangani” Teriak Yunita mencegah Lina yang hendak mengangkat bayi itu dari dalam lubang toilet. Kemudian Yunita berlari menuju ke kamarnya, mengambil kamera dan Handphone. Kemudian ia menyuruh Lina untuk menghubungi dan melapor pada polisi, sementara dirinya sibuk mengambil gambar bayi di dalam toilet itu.

Tak berapa lama kemudian. Empat orang polisi datang ke tempat kejadian peristiwa. Seorang polisi mengambil dan mengamankan bayi yang masih merah itu kedalam box. Sementara yang lain sibuk menginterogasi Arni dan teman-teman yang lainnya, juga mengamankan tempat kejadian perkara. Mencari bukti-bukti lain yang bisa dijadikan clue untuk melacak pelaku yang membuang bayinya ke dalam toilet itu. Lama Arni mendekam di kantor polisi untuk dimintai keterangan. Karena dirinya adalah saksi utama, yang melihat pertama kali dan menemukan bayi itu di dalam toilet. Arni menceritakan runtutan peristiwa itu dengan seksama, pada polisi yang mengintrogasinya.

“Sejak sore tadi saya sedang mencret, kebanyakan makan Laksa Pak! Jadi sering keluar masuk ke toilet. Terus…setelah saya pulang berobat ke dokter. Saya langsung menuju ke toilet, karena kebelet pengen buang hajat. Dan begitu sampai di toilet, pintu toiletnya tertutup, saya pikir sedang ada orang di dalamnya. Karena saya merasakan perut saya begitu sakit, dan enggak bisa ditunda lagi. Terpaksa saya gedor-gedor pintunya. Namun tak ada suara jawaban…”Ujar Arni menjelaskan.

“Terus…!”Tanya polisi yang mengintrogasi Arni, tambah penasaran.

“Lama-lama saya merasa ada yang aneh. Akhirnya, saya beranikan diri untuk membuka. Ternyata tidak dikunci, hanya ditutup biasa. Kemudian saya melihat ada bercak darah dilantai toilet, saya pikir itu hanya darah menstruasi. Begitu saya hendak jongkok dan melongok kedalam toilet bowl, saya melihat ada kaki bayi di dalamnya. Kemudian saya langsung menjerit…”Jelas Arni lagi panjang lebar.

Setelah merasa laporan yang diberikan Arni cukup memadai. Polisi itupun kemudian mempersilahkan Arni untuk kembali ke Mess-nya. Menjalani rutinitasnya sebagai seorang TKW di sebuah pabrik yang ada di kawasan Petaling Jaya-Selangor. Setelah sampai di Mess-nya, Arni langsung di serbu oleh teman-temannya.

“Gimana Ar…? Kira-kira siapa ya yang melakukan itu?” Tanya Lina, yang sudah tidak sabar menunggu informasi dari Arni.

Arni diam. Sepertinya, ia tak mau banyak berkomentar. Bayangan bayi itu terus bermain di pelupuk mata Arni. Arni merebahkan tubuhnya ke lantai, di ikuti oleh teman-temannya yang ikut rebahan juga. Mengitari Arni.

“Jangan-jangan si Shanti…? Diakan pacaran sama cowok Bangladesh?” Gumam Heni, mencoba menerka. ”Atau, mungkin juga Laras?”Tambahnya lagi.

“Huuss…hati-hati kalau ngomong” Sela Yunita.

“Oh iya, aku lupa. Kemarin, temanmu Ayu nyariin kamu loh Ar!”Ucap Yunita.

“Ayu?”Arni hampir terlonjak, mendengar Yunita menyebut nama Ayu. Sahabat lamanya.

Sesaat Arni diam. Mencoba membayangkan sosok Ayu, mengingat pertengkaran yang terjadi antara dirinya dengan Ayu satu tahun yang lalu. Wajah Ayu, yang sangat dibenci, dan telah dihapus dari mindanya. Dalam hati Arni bertanya-tanya ; Ada apa? Kenapa Ayu datang mencarinya? Ada maksud apa? Jangan-jangan, Ayu yang telah membuang bayinya ke dalam toilet itu? Beribu praduga, terbesit di otak Arni. Karena ia tahu siapa sahabatnya itu, dan apa pekerjaannya di negeri jiran ini.

Keyakinan Arni begitu kuat. Tanpa banyak bicara, Arnipun segera bangkit dan berlari menuju ke kantor polisi kembali. Meninggalkan teman-temannya yang terheran-heran memandangi Arni dengan tatapan tak mengerti.

===***==***===
Berita tentang bayi mungil yang di buang ke dalam toilet oleh ibunya, menghiasi halaman ‘Main News’ salah satu surat kabar terkemuka di Malaysia. Seorang perempuan berwajah Ayu yang sedang membaca berita di koran tersebut, mendadak tangannya nampak gemetaran. Seketika, wajahnya menjadi pucat. Matanya memandang ke sekeliling taman, memperhatikan orang-orang yang berada di tempat itu. Wajah Ayu itu kian bertambah pucat, keringat dingin mengucur dari seluruh lubang pori-porinya. Ia begitu gugup, ketika matanya berbenturan dengan mata dua orang Polisi yang sedang berjalan dan kian mendekat. Dalam deraan perasaan takut yang menjalar. Wajah Ayu itu segera bangkit hendak meninggalkan taman itu. Namun, belum sempat ia menggerakan kakinya. Sebuah suara lantang menggema, menghentikan langkahnya.

“Berhenti…jangan bergerak…!”

No comments: