Wednesday, October 18, 2006

Satu Cerita Tentang HiLanG

Hilang
oleh Blu

Suara letusan tembakan terdengar sekali lagi. Kali ini Dion terpekik dan tersungkur jatuh. Timah menerjang bahu kanannya. Teriakan histeris massa yang menyaksikannya terdengar seperti gelombang seruan kemarahan terik matahari siang itu.

Dua anggota reserse yang mengejarnya makin cepat berlari menghampiri pemuda itu. Darah memercik di aspal panas, kemeja putih Dion ternoda cairan kental berwarna merah pekat yang terus melebar. Pembuluh darahnya pecah. Dion merasakan tangannya menegang. Aneh. Dia tidak merasakan sakit, hanya terasa pegal sekali. Pandangannya mengabur. Setengah panik Dion mencoba menggerakkan tangannya yang tidak terasa lagi. Ia melihat jarinya bergerak sesuai perintah otak, tapi ia sama sekali tidak merasakan jarinya telah bergerak.

Tiba-tiba hari berangsur menjadi gelap untuknya. Ia melebarkan mata. Tidak mungkin! Hari masih siang, tidak mungkin mendadak gelap! Tadi mendung pun tidak! Ada apa ini? Kenapa mataku terasa berat dan gelap? Kepalaku jadi terasa berputar! Dion menggapai, meminta tolong. Dion merasa diselimuti kegelapan total dan kebekuan. Suara-suara menjauh. Ia menggigil hebat. Apa aku mati? Wajah tegang dua reserse tadi saja yang terakhir ia lihat.

Dion adalah pelajar teladan. Pendiam. Tertutup. Kesayangan para guru. Selalu senang hati membantu jika dimintai tolong oleh gurunya. Dari masalah pelajaran sampai memesankan makanan ke kantin. Hampir tidak pernah membuat masalah. Hanya satu kali ia terlibat kasus perkelahian dengan sesama siswa. Itupun karena ia hanya membela diri.

Begitu cerdasnya dan sering jadi sumber pujian para guru, Dion malah jadi bulan-bulanan sesama siswa. Bahkan Dion pernah dinobatkan menjadi “siswa paling menyebalkan” oleh buletin bulanan sekolah. Hampir semua siswa enggan mendekatinya. Jangankan sekelas, siswa yang berbeda kelas pun segera menghindar dan berkasak kusuk dengan senyum mengejek setiap kali Dion melewati mereka.

Dion tidak mengerti apa salahnya. Kenapa tidak ada satupun yang menyukainya. Ia tidak mengerti. Bukankah ia selalu berusaha untuk diterima? Ataukah usahanya kurang keras? Kecerdasan dan semua buku yang dibacanya tidak membantu sama sekali! Ia hanya mendapatkan tawa ejek dan komentar ketus seperti “Sok tau lu! Iya tau, yang pinter! Kita kan bodoh, makanya nggak level sama kamu!” dan banyak lagi. Dion hanya bisa menggeleng bingung. Apa yang salah?

Entah sejak kapan dimulainya, tapi kelihatannya semua orang membenci Dion. Ia tidak punya teman yang bisa diajak bicara. Kalaupun ada yang menyapanya, itu hanya sekedar basa-basi. Begitu ia mencoba mengajak bicara, mereka akan segera menjauh. Dion benar-benar tidak mengerti. Sekian bulan lalu, saat Andi masih ada, keadaan tidak seperti ini. Ia sangat menyayangi Andi, adik satu-satunya yang setahun lebih muda. Andi disukai banyak orang. Tidak terlalu cerdas, tapi pintar bergaul. Andilah yang membuat Dion banyak teman. Teman Andi adalah temannya juga.

Dion begitu terpukul ketika Andi meninggal. Seringkali Dion menyalahkan diri sendiri. Ia yang menyetir motor itu, kenapa malah Andi yang lebih dulu dipanggil oleh-Nya? Dion tidak bisa melupakan hari itu! Mereka sedang bercanda. Dion menggoda Andi yang baru jadian dengan Lisa. Dion sama sekali tidak melihat mobil angkutan umum di depannya berhenti. Ia segera banting ke kanan. Badannya mendadak kaku, sangat terkejut, karena dari arah berlawanan melaju truk pengaduk semen dengan kecepatan sedang. Ia segera banting ke kiri lagi. Tangan dan kakinya mencengkeram rem sekuat mungkin, tapi terlambat!

Ia mendengar teriakan Andi dan suara keras geretak besi ekor motor yang dihantam truk. Tubuh Dion terpelanting membentur keras angkutan umum di kirinya. Sayup ia mendengar jerit histeris orang di sekitarnya. Dion berusaha tetap sadar.

Di mana Andi? Ia langsung bangkit, meski badannya terasa remuk, ia harus menemukan Andi! Harus! Lalu lintas padat segera terhenti dan Dion dengan nyalang mencari Andi yang ternyata terlempar jauh. Segera ia menyeruak massa yang mengelilingi Andi. Dion bersyukur karena yang dilihatnya, hanya memar saja di dahi Andi.

Tapi begitu ia merangkul Andi, baru Dion melihat luka mengerikan di punggung adiknya! Kemeja putih sekolahnya memerah, hancur, beberapa tulang menyembul keluar. Dion menggigil. Antara sakit di tubuhnya dan, hatinya. “Andi,” lirihnya. Dan dia melihat bibir Andi lirih melafalkan doa, ia memandang Dion, tersenyum dan menatap kosong. Tidak lagi bergerak. Andi menghembuskan nafas terakhir di lengannya!

Dion hanya memandang lurus. Butiran air mata meluncur di pipinya. Dion tidak mampu lagi menahan sakit di tubuhnya, apalagi di hatinya. Pandangannya menggelap. Kemudian ia mendengar suara tangis ibunya, Lisa dan semua teman-teman Andi.

Dion sungguh berharap ia tidak pernah bangun lagi. Begitu menyakitkan tatapan yang seakan menyalahkannya. Tatapan penuh kebencian. Bahkan ia melihat kebencian dari mata orangtuanya sendiri. Pertama kalinya ia melihat ayahnya yang perwira tinggi itu, begitu shock. Meski kesatuannya memberi izin cuti, tapi ayahnya tetap pergi bertugas ke luar daerah selama berbulan-bulan. Ibunya yang seorang peneliti di sebuah lembaga pemerintah makin gila bekerja. Dion merasa ditinggalkan.

Satu-satunya yang paling dekat dengannya telah terenggut, dan ia-lah yang bertanggung jawab atas itu. Dion merasa kesepian. Mungkin itu yang membuatnya dibenci oleh semua orang. Dion merasa begitu terkucil. Kecil. Mini. Mikro. Lenyap. Hilang.

Dion sudah mati. Mati bersama Andi. Tubuh ini hanya rangka kosong. Hanya ampas. Sampah! Bekas luka sobek yang melintang di dadanya akibat kecelakaan itu tidak seberapa dibanding luka menganga di jiwanya. Dion begitu ingin menumpahkan segalanya, tapi tidak ada yang mau mendengar. Haruskah ia berteriak? Apakah kali ini ia akan didengar? Dion hanya ingin didengar. Dulu, hanya Andi yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Andi, maaf,” bisiknya. Ia meraih sesuatu dari dalam tas dan segera diselipkan ke dalam kemeja sekolahnya yang kelonggaran. Ia bangkit. Lalu berjalan santai menuju lapangan upacara. Barang ini diambil pagi tadi, Dion tersenyum sendiri. Salah satu pistol milik ayahnya.

“Cepat bawa ke ruang operasi,” teriak satu suara. “Dok, dia sudah membunuh 3 orang temannya, dan melukai beberapa orang,” kata suara lain. Si dokter melotot marah, “Biar bagaimanapun, dia pasien saya! Mau pembunuh kek, mau penjagal kek. Dia tetap manusia. Saya dokter, tugas saya menyelamatkan manusia.” Lelaki berbaju preman itu pun mengangguk. Lalu sang dokter segera mendorong ranjang menuju kamar operasi.

Tiba-tiba Dion merasa badannya ringan dan melayang. Lucu, Dion bisa melihat orangtuanya di ruang tunggu Rumah Sakit. Dia termangu. Baru kali ini Dion melihat ayahnya yang selalu tegar itu menangis. Bahkan, ibunya pingsan berkali-kali. “Saya tidak menyangka hal ini terjadi! Mungkin akibat kami sebagai orangtua yang kurang memperhatikannya.. Dia selalu menyalahkan diri atas kematian adiknya, padahal kami tidak pernah menyalahkan Dion. Dion anak kebanggaan kami! Setelah adiknya meninggal, dialah satu-satunya harapan kami!” ujar ayahnya kepada seorang polisi berpangkat Komisaris. Dion tersenyum. “Alat pengejut jantung! Cepat!” teriak dokter.

No comments: