Pagi sekali, Herman datang ke rumahku. Wajahnya cerah. Di tangannya ada map hijau. Aku langsung mencium bau penting, atau paling tidak serius. Tanpa basa-basi ia usulkan sebuah ide baru. Yang tadinya terasa penting, atau serius, langsung menjadi sedikit gila, menurutku. Menurutnya? Ide cemerlang.
"Sebentar Man, duduklah dulu. Mau kopi atau te?"
"Sudahlah, tak perlu repot-repot, " jawab Herman tergesa-gesa, dan akupun langsung merasa ini pasti jadi masalah. Kalau yang satu menganggap cemerlang dan yang satu lagi menganggap sedikit gila, itulah namanya masalah. Ia menjual gagasan bisnis perkudaan. "Sejak dua hari yang lalu, aku selalu memikirkan ide ini. Aku yakin, usaha ini bakal jadi usaha yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Kita akan menjadi kaya, Bung!" ucap Herman berapi-api.
"Bisnis kuda?"
"Ya! Langkah awal yang akan kita susun, yaitu menjadikan kuda sebagai obyek wisata di
Herman menatapku, setelah meneguk kopi. Ia serius. Menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulutku. "Oke, ..Oke. Aku bisa mengerti ide gilamu itu." Ia terperanjat, tapi tak berkomentar.
"Kalau idemu itu akan diwujudkan, dari mana kita harus mendapat kuda-kuda pilihan. Lalu dimana kita akan membuka bisnis ini. Kita perlu tempat yang strategis, Man."
"Lho, kenapa bingung? Kau
"Maksudmu, kantorku?"
"Ya! kenapa?!"
"
"Tapi, kau pemegang kebijakan tertinggi di Partai itu. Bilang saja bisnis ini untuk kesejahteraan anggota partai,
"Gila kau Man. Tidak bisa!"
"Alaaah, jangan sok idealis, Bung! Kita
"Kalau nanti usaha ini sudah besar, kita
Ini sungguh gila, tapi aku pikir soal ruangan bisa juga diakali dan hitung-hitung kelak bisnis kuda itu --kalau berkembang layaknya angan-angan Herman-- tentu jadi salah satu sumber pemasukan buat partai. "Baiklah. Aku sepakat."
Herman bangkit dari kursinya menyalamiku erat dan menggoyang-goyangkan beberapa kali, seolah-olah aku yakin juga dengan kuda enterprise itu, walau sebenarnya aku berharap juga kalau besok dia sudah lupa dan datang lagi dengan bisnis baru, yang sama sekali tidak perlu ruang kantor.
"Setelah cukup maju, kita akan membuka lagi usaha jual beli kuda. Untuk sementara waktu kita akan sosialisasikan kuda sebagai kenderaan alternatif yang bebas polusi.
"Bebas Polusi?"
"Ya, bebas polusi. Kuda
"Soal ijin bagaimana?"
"Itu soal gampang. Kau
"Kau kok yakin amat sama usaha ini?" karena aku tiba-tiba merasa menjadi amat dibutuhkan untuk pengembangan kuda enterprise padahal aku, kelak, mungkin hanya sekedar meminjamkan ruangan kosong --sambil berharap nantinya akan ada uang sewa untuk masuk kas partai. Dan pemikiran sepositif itupun masih dengan sedikit berat hati.
"Kenapa tidak? Strategi pertama, kita kampayekan saja, kendaraan bermotor itu kendaraan yang menimbulkan polusi. Kita jaring LSM-LSM yang peduli terhadap anti polusi. Kita ajak mereka untuk turun ke jalan. Lalu kita kaitkan juga dengan kenaikan BBM. Jalan keluarnya apalagi kalau bukan berkuda. Kendaraan tanpa bahan bakar dan bebas polusi. Bereskan?!"
Aku mulai paham dengan gagasan Herman. "Lalu, aku akan bekerja sama dengan pemerintah, agar pemerintah juga ada perhatian terhadap ketertiban kuda ini. Misalnya, setiap para penunggang kuda harus memiliki semacam STNK, SIB alias Surat Ijin Berkuda. Paling penting adalah pajak dan aturan berkuda. Kalau sudah menyangkut pajak dan retribusi, pemerintah pasti membuka peluang. Ini
Sampai selepas dzuhur, Herman masih berceloteh tentang rencana yang melambung itu. "Coba kau bayangkan, jika nanti
Aku ikut tersenyum kecil membayangkan Gubernur dengan safarinya berkuda, lantas Direktur BNI pakai dasi berkuda, Ibu Walikota berkebaya dan bersanggul, juga berkuda. Yang paling asyik mungkin melihat Kapolda pakai seragam polisi ngebut berkuda dengan Pangdam, terus topi Pangdam lepas terhembus angin dan terinjak kuda di belakangnya, yang dipacu seorang mahasiswa yang terlambat berunjuk rasa ke Gedung DPRD. Ini pasti akan lebih lucu dari Srimulat. Aku mulai menikmati ide Herman.
"Lalu?"
"Ya, lalu, kita akan membuka kursus bagi para calon penunggang kuda. Dan yang lulus akan segera mendapat SIB. Mereka dinyatakan berhak mengendarai kuda."
"Lalu?"
"Kau ini hanya bilang lalu, lalu...terus. Ini bukan lalu, tapi Kuda Enterprise."
"Iya, aku ngerti. Tapi aku perlu konsep yang jelas. Jangan berani-berani babi, " sambil aku membayangkan di Gedung DPRD kuda-kuda parkir kayak di film-film koboi. Lantas bagaimana kalau ada orang yang salah ambil kuda?
"Kemudian, kalau nanti kendaraan kuda ini makin berkembang, pasti harga kuda akan semakin tinggi. Sebab, hukum ekonomi mengatakan, semakin banyak permintaan, harga akan semakin naik. Dan saat itu, sudah waktunya, kita membuka show room kuda kelas tinggi. Kendaraan bis akan diganti dengan kereta kuda.
"Sudah kau pikirkan kalau juragan bis protes?" aku menyahut dingin, sedikit cemas kalau angan-angan kudaku yang sudah semakin asyik jadi lenyap begitu saja.
"Ya itu tadi. Kita hantam mereka dengan isu polusi dan pencemaran udara. Lagian, kita akan mendapat simpati, kalau kita mau ikut kampaye anti polusi dan pencemaran udara."
"Kalau mereka mengancam akan menghabisi Kuda-kuda kita! Kuda kita dibunuh misalnya?" Aku makin kuatir membayangkan juragan bis menghimpun para supir bis dan kenek bis plus orang-orang yang gagal lulus Surat Ijin Berkuda. Mereka bunuh kuda-kuda itu dan dimakan rame-rame di tengah lapangan.
"Ini memang resiko terburuk. Tetapi, kalau kita punya banyak
Herman sendiri sudah terbang jauh, melepas soal tehnis jauh di belakang
Soal lain, seandainya kuda-kuda pada sakit, tentu harus ada rumah sakit kuda dan dokter spesialis kuda. Semuanya sudah direncakan Herman dengan rapi. "Ya, kalau sudah cukup modal, kita dirikan saja rumah sakit khusus Kuda.Kita sediakan layanan apa saja. Sejak pemeriksaan kehamilan Kuda, Persalinan, dan proses pengembangannya. Ini juga peluang bagi bisnis kita. Kita akan membuka pusat pembelajaan yang menyediakan segala peralatan dan aksesoris kuda. Pelana, sepatu kuda, tali, kantong penampung tinja, dan aksesoris kuda lainnya."
"Kalau ada pemasok kuda liar yang kualitasnya lebih dari kuda-kuda kita bagaimana?"
"Ini memang agak sulit. Tapi tak perlu diresahkan. Kita bermain dari izin impor kuda. Kita akan tanamkan orang-orang kita untuk menghambat keluarnya impor kuda dari luar daerah. Katakan saja, dalam otonomi daerah, semua kebijakan harus ditentukan oleh Pemerintah daerah sendiri. Termasuk perijinan impor Kuda."
"Caranya?"
"Mudah saja. Berikan peluang masyarakat untuk mengembangkan Kuda. Dan kuda induknya harus mengambil dari show room kita. Kalau masyarakat sudah banyak menjadi pemelihara kuda, akan mudah kita mendesak agar pemerintah tidak mengeluarkan ijin impor kuda. Ya, katakan saja ini akan merusak perekonomian masyarakat, terutama bagi para peternak Kuda.
Aku sebenarnya sudah cukup lelah mendengar ocehan Herman sejak pagi, tapi sedikit tertarik juga dengan ide gilanya, sekaligus mencari penjelasan yang lebih mantap karena aku harus yakin sebelum bisa meyakinkan orang lain dalam soal kantor tadi. Untung Istriku sedang pulang kampung, jadi aku uji juga gagasan Herman itu.
"Man, kau bilang, kita akan dirikan rental kuda. Lalu SDM-nya dari mana?"
"Itu gampang. Aku
"Kalau sampai upah mereka di bawah UMR, itu sama saja kau pakai ideologi kuda. Ini sama halnya kita sedang mengkudai teman sendiri, dong."
"Ya, bukan begitu, Bung. Ini
" Wah, kayak wartawan amplop saja."
" Ya, itu risiko. Kalau wartawan jadi kudanya si pemilik modal, apa tidak lebih baik menerima amplop saja. Atau kalau mau mempertahankan idealismenya, ya keluar saja. Di tempatku juga begitu." Herman tersenyum masam. Dia punya koran dan dia anggap para wartawannya seperti kuda tunggangan. Gajinya di bawah UMR, tetapi kerjanya sampai tengah malam dan paginya sudah diminta meliput lagi. Tidak heranlah dia paham betul soal kuda karena mengkudai para wartawannya.
"Nah, ini proposalnya, " katanya mantap. "Ini kau serahkan ke DPP. Jadi usaha ini, katakan saja bagian dari pemberdayaan ekonomi rakyat melalui partaimu."
Aku kembali diingatkan. Ini bukan soal angan-angan atau lucu-lucuan, pikirku. "Wah, ini bahaya, Man. Kalau DPP sampai tahu akal bulusmu, aku bisa dipecat sebagai pimpinan partai. Itu mencoreng namaku di mata pendukung partai. Ini tidak bisa."
" Ini hanya tawaran, Bung. Lagi pula,
"Bung, " Herman menepuk pundakku mencoba menenangkan kegalauan yang sedang berkecamuk. Antara memilih ya dan tidak untuk menggolkan proposal Herman ke DPP, "kau yakin sajalah, pihak Pusat tidak akan mengetahui usaha ini. Mereka hanya akan bangga jika usaha ini maju. Lain tidak. "
Akhirnya aku putuskan Kuda Enterprise cuma sekedar cerita lucu ketika aku sedang kesepian ditinggal istri yang pulang kampung. "Man sebenarnya, aku tertarik dengan gagasanmu itu. Tapi aku tak setuju dengan akal bulusmu mempolitisir partai untuk kepentingan bisnis."
"Alaaah, idealis lagi! Ketua Dewan saja bisa mengeluarkan
"Tidak bisa, Man, '' kataku tegas karena waktu semakin beranjak ke tengah malam. Aku sudah lelah berangan-angan tentang kuda dan angan-angan itu sudah makin kehilangan lucunya. Aku mau masuk kamar dan tidur lelap. Syukur-syukur mimpi kuda.
Herman terdiam, menghela napas panjang dan minta pamit. Ia ambil kembali proposalnya. Tanpa salam, ia meninggalkan rumahku. Kecewa. Tapi setahun kemudian, usaha Kuda Enterprise Ltd. benar-benar terwujud. Tidak jelas bagaimana ceritanya. Produk Kuda Enterprise Ltd. ada di setiap sudut
No comments:
Post a Comment