Tuesday, October 03, 2006

Satu Cerita Tentang Mimpi Seorang Wanita......

Tangan itu kembali menari-nari, meliuk-liuk indah diatas kanvas hitam pemberian
sang malam. Tangan lembut berjemari lentik mengalirkan cat dari mata air hati
dan jiwa. Sosok wanita pewarna angan dan mimpi mengalirkan bahasa membubuhkan
gundah gulana diatas kanvas kehidupannya. Berdiri menghadap senja yang sedang
berduka disiram gerimis petaka. Nafas yang memburu menderu-deru menjadi
ombak-ombak menggulung asa terpental menyeberang pantai ditangkap tangan lembut gunung. Setiap gerakan tangannya adalah lagu simponi jiwa tanpa reka. Setiap
desahannya adalah rasa yang terkumpul dalam hati. Sosok wanita menggambar angan
dan mimpi kala lembayung menaungi.

Sketsa wajah tersenyum mati tanpa jiwa menatap kosong pemberi warna. Kerinduan
membingkai sketsa wajah baru yang tercipta dari tarian wanita bermakna.
“kuingin engkau menjadi wajah anak kesayangan yakub “ hati wanita
pemberi warna berbisik menggema hingga ke seluruh lorong sukma menjadi benih
asa yang tertanam dalam petak hati. Setiap detik yang menyapa adalah imajinasi
mimpi menjadi warna baru gerak tarian tangannya diatas kanvas. Dua musim
terlewati sketsa wajah itu belum juga berjiwa. Mimpi-mimpi yang terkumpul dalam
lumbung hati belum cukup untuk mewarnai sketsa wajah ciptaan pemberi warna.
Bunga-bunga malam semakin berkembang dalam mimpi wanita pemberi warna. Rembulan selalu purnama, gemintang selalu bertahkta.

Hingga pada suatu malam saat lelap mendekap wanita pemberi warna, sosok
bercahaya menghampiri. Memberikan senyum pesona bagai rembulan menatapnya
lembut dengan mata bagai bintang. Sosok wanita terpana tiada sangka dalam hati.

“Siapakah engkau wahai tamu mimpi ? engkau datang seperti pagi, bercahaya
bagi cerahnya siang hari, berjubah kesederhanaan memikat hati”
“Aku adalah gambaran hati dan jiwamu yang kau lukis dengan tarian
tanganmu diatas kanvas pemberian sang malam. Aku hadir memenuhi undanganmu
lewat sketsa wajah angan dan mimpimu”

Sosok wanita mendekati tamu mimpi meraih tangannya, menggenggamnya erat
kemudian sirna menjadi cahya berkelebat masuk kedalam matanya. Sesaat kesilauan
tiada tara membutakan penglihatannya. Suara binatang malam terdengar telinga
kasatnya. Sepoi dingin angin malam menyapa lewat celah jendela kamarnya.
Kesadaran mendudukkan tubuhnya diatas peraduan setia. Kantuk masih
bergelantungan dibulu mata menarik-narik kelopak mata sayunya.
“apakah dia sketsa wajah yang kulukis ?” hati wanita pemberi warna
bergumam.

Empat musim berjalan lamban dalam hati sesosok wanita pemberi warna. Sketsa
wajah telah sempurna terwarnai namun belum jua berjiwa seperti mimpinya.
“kemanakan kan kucari jiwa sketsa wajah ini ?” hatinya kembali
dikepung tanya. Malam-malamnya tanpa mimpi, hari-harinya mengunci pintu
imajinasi. Kebuntuan mengintip hatinya kemudian menyergapnya bagai binatang
buas menyergap mangsa. Hatinya terluka oleh kebuntuan yang menggelar panggung
kesepian. Hymne kesunyian menggema ditiap relung sukmanya mencipta bocah-bocah
ketakutan yang menari-nari dalam petak hatinya.

“Hai bocah-bocah ketakutan, jangan menari-nari diatas petak hatiku,
jangan injak-injak benih-benih asaku”

Wanita pemberi warna berteriak lantang bagai petir kepastian hujan hingga
bocah-bocah ketakutan berlarian memeluk lututnya. Sekelebat cahaya jiwa melesak
keluar dari matanya. Perlahan membentuk sosok lelaki tampan bercahaya.

“Wahai jiwa bercahaya, kuingin engkau menjadi jiwa sketsa wajah mimpiku“
“Wahai wanita penanam benih asa, sesungguh akulah jiwa sketsa wajah
mimpimu”

Wanita pemberi warna berlari kearah senja yang sedang berduka dan dilihatnya
gerimis turun berirama. Sketsa wajah telah sempurna, tersenyum penuh makna
menatapnya. Dengan kelembutan kasih ia ukir bingkai kerinduan sketsa wajah.
Senyum berbunga disudut bibirnya. Bait-bait syair memancar dari sinar matanya
tercetak biru diatas lembayung jingga. Seorang wanita menumpahkan tinta hatinya
kelaut malam saat kereta senja tiba distasiun malam. Ombak-ombak malam berdebur
menjadi lagu keinginan dipantai matanya. Buih-buih putih memudar membening
meresap ke pasir pantai jiwa. Sketsa wajah lukisan berjiwa sederhana, tegak ia
peluk menatap gemintang dan rembulan. Bersimpuh menyatukan telapak tangan yang
terpisah saat senja, meminta dengan doa yang lama terbungkus sutra keinginan di
palung hati.

“Duhai rembulan purnama, berikan secuil pesonamu pada sketsa wajah citaku
agar harapan yang kutanam dipetak hatiku tumbuh berkembang berbunga saat musim
tiba”

“Duhai gemintang yang bertakhta dikerajaan langit, berikan kerlip indahmu
pada mata sketsa wajah citaku agar pandangannya menggugah hati dan pikiranku
setiap waktu”

“Duhai dewa jupiter yang bertakhta ditata surya, lingkarkan cincin
pelangimu dijari sketsa wajah citaku, agar keindahanku lebih berwarna”

Hingga kokok ayam jantan menepuk kesadaran muazdin, wanita pemberi warna tiada
henti mengumandangkan doa untuk sketsa wajah citanya. Suara bedug
mengetuk-ngetuk pintu hati beriman, menunjukkan langkah ke surau tuk jalankan
rukun agama. Seorang wanita pemberi warna memeluk sedu sedan hingga dadanya
terguncang-guncang, hingga airmatanya menjadi pancoran. Sketsa wajah cita yang
sempurna tiada jua berjiwa. Tiada kan sempurna dan berjiwa. Seorang wanita
memeluk erat lukisan cita saat terdengar kumandang kalimah Illahi membahana
membelah langit.

Saat Fajar mengintip dengan indah kerling matanya, terdengar suara menggema memenuhi tiap relung hati wanita pembuat lukisan cita. Terlepas pelukan dari wajah lukisan cita keinginan yang sempurna.

“Wahai wanita pemberi warna lukisan cita, berdirilah di tepi telaga keheningan, kemudian tanyakan pada bayanganmu di atas telaga, ‘apakah kesempurnaan yang kau lukis selayaknya kau minta?’”

Dengan langkah berat karna beban harapan yang menggantung di pundak, seorang wanita pemberi warna lukisan cita berjalan menuju telaga keheningan di tepi malam. Wajah bayangannya memerah dibias rembulan. Seorang wanita pemberi warna lukisan cita tertunduk mengamini kesadaran. Hatinya bersujud kemudian berbisik lirih, “Tiada ada yang sempurna seperti kehendak hati dan jiwa.”

Wassalam
JOe ' SoRJaN

No comments: