Friday, October 13, 2006

Satu Cerita Tentang MaTa IsTri

Ternyata benar apa yang dikatakan yang lain, bahwa kita saling mencintai tanpa perasaan. Telah kehilangan banyak jejak persoalan yang satu-persatu kita sama-sama lupa. Tapi jelas dan gamblang, bahwa aku masih bersamamu dengan penuh kesadaran. Tepatnya seperti dua kaleng Bir Tiger yang tengah kandas ditenggak, dan berbaur dengan Chivas Regal yang tinggal separoh, plus tiga bungkus rokok putih yang tertelan di rongga paru-paru.

Yang aku tahu kita tengah berjalan 3 mil, dari ribuan kilometer yang kelak pasti ditempuh. Serpihan hidup kita seakan gersang tanpa menyisakan amarah, penuh diselimuti kabut. Banyak ketidak tahuan, yang tampak dimataku hanya satu warna hitam.

Saat ini dimataku, matamu saling bertumpah pandangan. Mendalami mata kita. Matamu, mataku dan mata kita tak lebih dari rahasia yang telah tertumpuk di ribuan tahun. Mataku jelas menggambarkan mahkota dikelopak matamu yang berbingar. Dengan kedap kedip seingat lampu petromag di nelayan terserang badai. Entahlah matamu, mungkin hanya menggambarkan hari yang kejam, tanpa menyisakan dari detik ke detik untuk mengulang peradaban ketika kita masih di Jawa. Dan mata kita bertatapan pada ketelanjangan, “memang hidup di Batam sangat kejam.”

"Di luar masih hujan, hari ini Om Sani ada janji dengan kamu," kataku dengan kelopak mahkota mata melukiskan kebergumulan seperti hari-hari kemarin. Lalu kelopak itu meneteskan embun-embun kemudian membasahi tangkai-tangkainya. Lalu menjadi air yang menyisir dedaunan hingga hinggap di bongkahan sungai.

Kamu masih enggan untuk bicara, dengan sorot matamu sendiri, sejurus dengan itu ada ketelanjangan pada kain yang tersingkap di paha kiri. Jakunku tertegun sesaat, hawa dingin menjadikan kita sebagai orang dewasa. Masih Chivas Regal aku tenggak dengan puas, getir alkohol membawa arus hangat menyetir darah-darahku.

"Senin kemarin, pada minggu lalu, aku melihatmu dengan mataku menunggu seseorang di depan Hotel Seruni. Kamu tampak lesu, waktu itu sekitar pukul 2 pagi," kataku menelan heningnya malam. Kebekuan itu menatap matamu didepanku yang masih terpejam. Diluar hujan masih belum berhenti, dan bulan masih prihatin untuk menampakkan wujudnya. Kelihatannya enggan untuk menghajar mendung. Dimataku, ada bisikan dimatamu untuk menikmati kelelahan.

Aku berpikir, bahwa akulah yang paling jenaka memandang matamu yang diam, segumpal peluh di pelupuknya. Kain baju masih terkoyak dari sisa percumbuan. Sepasang dada sedikit berjumbul dengan indahnya. Kain putih tipis membungkus tubuh indah pemberianku pada malam pertama kita di kampung belantara Malang.

"Hari selasa besoknya, aku juga melihat kamu naik BMW merah. Kamu bersama lelaki berkaca mata hitam berkulit kuning. Saat berpapasan kamu tersenyum padaku dan maaf jika saat itu aku pura-pura tak kenal kamu," kataku menjelaskan.

Kali ini matamu sedikit ada gerakan. Tangan kiri mengusap ulap peluh di kening atasnya. Tampak tenang tidurmu malam ini, seakan aku enggan untuk mengusik lelahnya. Seandainya dimata kita ada cengkrama yang iklas yang mengusir berulangkali kelemahan-kelemahan kita. Kita tidak bakal sengsara. Dimataku, ujung matamu penuh ambisi yang kurang, yang tak puas dengan pijakan-pijakan yang telah aku berikan. Tapi dengan kesabaran di matamu, aku paling berjasa untuk menutupi mata-mata yang memandang kita.

Selintas matamu menatap jam dinding di atas kepalamu. Kelihatannya asing dengan ruang yang telah setahun kita huni. Masih diam, berdiri dan melangkah ke arah kursi. Ketelanjanganmu memang menggoda, pada titik-titik pusatnya mendegub jantungkan kesekian birahi.

Diluar masih hujan, dan dikamar ini persis terakhir kita bersama lima hari yang lalu lengang, hanya lampu 10 watt bertengger di tiang-tiang bolanya. Mengambil sehelai piyama di kursi, lalu satu-persatu kancing-kancing itu menutup tubuhnya.

Aku masih ditempat yang sama, mengamatimu dari setiap inci gerak mudah matamu.
"Tidak perlu buka jendela,'' aku kuatir dingin malam di luar menggiringmu menjadi sakit perut. Chivas Regal sekali lagi aku tenggak dengan khidmat, dibarengi separoh botol berserakan dipinggirnya. Kali ini aku semakin yakin, tak peduli ocehan mata dunia. Aku menganggap sebagai mimpi manusia yang tidak pernah usai dimakan umur. Dan mimpi-mimpi itu datang bersambutan seperti sorak gemurainya gedung stadion bola. Aku semakin kerdil ditengahnya, semakin menatap mata ke atas, semakin kecil nyaliku untuk menghantui mimpi-mimpi itu. Maka dari itu aku tak peduli olehnya.

Menurutku adalah setidaknya waktu yang paling bijak menyelesaikan segala langkah kita. Tidak terdapat dalam kamus waktu yang tidak pernah selesai. Toh hari-hari ini hanya sebatas Chivas Regal dan tiga bungkus rokok putih, tertelan seiring malam yang menghantui kesendirian. Kita saling berhadapan, dirimu duduk tenang di pinggiran kasur. Sedangkan aku masih di kursi depanmu.

"Kemarin aku juga melihatmu, bergandengan mesra dengan pria berkumis di Matahari Batam Centre, sedang memilih baju laki-laki" kataku membeku jauh dari rasa cemburu. Kukatakan padanya bahwa ada kalanya manusia perlu diam ketika bertemu ataupun bertegur sapa. Meskipun jelas di depan matanya bahwa dunia perlu berubah. Bergantung kebutuhan mata yang memandang etis dan tidaknya. Ini menandakan kepandaian manusia untuk menempatkan dirinya berdasarkan posisi yang ada. Jelas tidak mungkin jika pada saat itu secara tiba-tiba aku menegurmu, tentu di mata pelangganmu akan enggan menggadengmu lagi. Tambah lagi dengan mata kepalaku aku lihat kamu menciumnya agak lama setelah membayar di kasir toko.

Sekali lagi kau masih diam, berdiri menghadap luar jendela ditengahnya derainya hujan. Melangkah kearah cermin, mengamati matamu yang sudah kamu hafal, mengambil sebatang rokok putih dan kau nyalakan. Kau tatap matamu diwajah kaca putih itu.

Aku perhatikan semua itu seperti gunung dengan kesejukan daun-daunnya. Dan saat aku tersesat di rimba tersebut, kita semakin berlari untuk mencari arah mata air. Dipelarian itu hawa peluh membanjiri baju-baju kita. Aku suka gunung. Disitu aku bermain dan bersembunyi di ketiak-ketiak bebatuan. Dahan-dahan kering yang berjatuhan aku bakar, dan asapnya wangi. Sambil mengamati hangatnya pembakaran aku ingat birahi. Lalu mataku tertuju pada cermin yang aku tatap dimatanya. Aku masturbasi.

Dari cermin, kamu menoleh memataiku. Tatapanmu meggambarkan kebengonganku, menggores peristiwa-peristiwa keperjakaan dan kegadisan.

"Dapatkah kau berjanji untuk tidak mengutuk dunia tentang hal ini sayang" kali ini kamu bicara cemas. Suaramu yang lirih membasah dimata hati memecah gerahnya ruang sempit.
Aku mengangguk menjawab. Aku perankan dimataku dengan kepanutan sebagai lelaki yang reflek melindungi istri. Dan kenyataan di ruang pulau kerdil ini semua tersentak menjadi kejam. Seperti selintas peristiwa-peristiwa kemiskinan dan demontrasi buruh minta kenaikan upah. Dan mata dunia pada ketakutan untuk mengunyah Batam. Demi hidup kita mendulang kesabaran untuk membunuh cemburu dan amarah, sekedar keinginan untuk menghirup nikmatnya Chivas Regal, dan tiga bungkus rokok putih.

"Tadi malam sebelum mataku berpapasan denganmu, aku tidur dengan majikanmu. Dia mengajakku kawin minggu depan." Tanpa canggung dari perwujudan kekesalan untuk mendulang kekeliruan berkhianat. Kepalamu tegak dengan sadar. Aku tatap, masih bernyawa
Ini bagian dari hak individu untuk memilih. Aku ingat dimataku, pada suatu saat ada lingkaran cincin bermahkotakan berlian di jemari manismu. Itu dari pria setengah hati yang mengajak istriku kawin lagi.
Sebetulnya aku telah mati sejak dulu. Namun aku mencoba memaksakan diri dengan hawa-hawa resah menggelantung menganggur di Batam. Membiarkan semuanya berlarut-larut, ketika niat mencari tambahan makan berbuah segepok uang. Kau telah membunuhku. Aku mati seketika; lelaki yang diam dengan keringat istri sebagai lacur.

Sejenak lima menit kita diam, mengatur nafasnya sendiri-sendiri. Aku di kursi masih berhadap-hadapan denganmu di pinggir kasur. Baju piyama putih tipis hadiah ulang tahun setahun perkawinan masih enak dipandang. Kamu ambil selimut di helaian seprei kasur. Kau mainkan ujungnya hingga membentuk makna-makna pribadi. Hawa dingin ketakutan merasuki pori-pori yang senyap. Mengajakku untuk tidur lagi, membuang jauh-jauh pikiran-pikiran bodoh yang mengkhianati diri sendiri. Tapi itu tidak mungkin, permainan ujung selimut itu aku pastikan persoalan kita harus terselesaikan malam ini juga.

"Apa aku tidak menghargaimu sebagai manusia?," tanyamu mencoba menghambarkan kesenyapan. Aku tidak tersanjung, malah mengutuk para pembuat istilah-istilah peradaban. Kenapa manusia menjadi kekanak-kanakan jika memperdebatkan dengan kemarahan. Apa selamanya aku harus diam sebagai laki-laki yang dimatamu supaya dianggap paling dewasa.

"Tidak sayang, justru dengan permintaanmu itu kamu menghargaiku." Aku yakin dengan ikhlas ketika aku lepaskan maumu seketika itu juga aku tersanjung sebagai lelaki demokratis. Sebelum aku membuat kesempatan baru bersama istri-istri lain, dimufakati atau tidak, laki-laki akan diam dengan banyak mata istri.
***

No comments: