Wednesday, October 11, 2006

Satu Cerita Tentang Bulan Merah jambu.....

Ku lihat langit malam ini tak lagi cerah. Memang, bintang bertaburan bagai permen dan angkasa seperti berdandan dengan beribu-ribu intan. Bulan mengapung. Ah, tunggu dulu, tapi itu seperti bukan bulan. Apa aku salah lihat? Masak sih bulan berwarna merah jambu? Ya,bulan merah jambu itu mengambang di atas langit kelam. Luruh saat aku berlabuh di kotamu. Dengan segera saja,aku terkenang-betapa penuh kau merajai hari-hariku di masa lalu. Hari-hariku yang senantiasa terburu-buru. Aku yang selalu merasa dikejar waktu padahal apa juga yang sedang kucari di muka bumi ini? Dan,nampaknya langit yang membentang di depan mataku kian membara, terpantul-bersatu dengan cahaya bulan yang merah jambu. Ya, merah jambu! Entahlah,apa yang sedang terjadi di kotamu saat ini,kasih? Aku mendengar orang-orang yang gelisah. Orang-orang yang terlampau mudah terbakar amarah. Berkerumunan. Siap disulut menjadi api-api yang membakar ke pelosok kota. Bergerombol. Kumpulan manusia yang senantiasa berkeliaran di jalan-jalan kota dengan mata merah,penuh dendam. Lidah mereka menjulur bagai serigala yang kelaparan. Dan,di setiap langkah yang diayun tertinggallah air liur, berwarna merah menetes di sepanjang jalan.


O,Tuhan. Dari mana datangnya manusia laknat ini? Manusia bagai zombie dengan aroma tubuh yang telah membusuk. Padahal,tadinya aku kira bila bulan merah jambu menggelepar di kotamu-aku kota ini adalah kota yang ramah,kota yang sedang menyambut kedatanganku dengan sejuta kasih sayang. Namun,kenyataan nampaknya berbicara lain. Semua bertolak seratus depalan puluh derajat dari yang ku sangka.

Lalu, dimanakah kau berada malam ini, juwitaku? Aku mencarimu di tempat kenangan masa lalu kita. Kau yang senantiasa menungguku di taman ini,pada saat malam datang menghujam. Tapi,tak kutemukan kau saat ini. Kau seperti menghilang ditelan langit yang membara. Hanya kucium aroma parfum Calvin Klein yang sering kau pakai. Aku ikuti aroma itu,hingga aku bertemu dengan ribuan manusia yang bermata nanar dan menatapku penuh curiga. Mereka seperti telah hilang kepercayaan.


Ya, dimanakah kamu sekarang? Tenanglah,buanglah sedihmu jangan terus-terusan kau simpan di dalam hati nanti malah makin menyakitkanmu. Percayalah, aku berdiri di sini-di kotamu,sengaja sekali aku kembali ke kotamu, untuk bertemu denganmu. Berbincang denganmu, mengurai masa kita yang lalu. Mengabarkan padamu bahwa diriku tetap masih saja aku yang dahulu, tidak menjadi pesakitan macam orang-orang itu, sekelompok manusia yang selalu membawa wabah. Mungkin juga, aku akan sendirian merenung di taman kesayanganmu. Menatap pohon akasia yang beranjak tua seiring paruh waktu yang berlalu. Di bawah sinar bulan merah jambu itu aku mencium aroma darah. Bau daging yang terbakar, kota yang menjadi puing-puing bara api. Barangkali,orang yang hidup di sini telah binal,sebinal-binalnya. Terlalu banyak kepalsuan yang menyelimuti kalbu mereka. Hidup mereka yang ditindas lewat kekuasaan tak berbentuk hingga berubah menjadi robot-robot tak bernyawa. Mereka yang senantiasa terjebak dari satu rutinitas ke rutinitas lainnya. Dengan tatapan mata yang nanar-kosong. Selalu saja, kupikir mereka lakoni peran mereka dengan hati-hati. Merajut kesedihan satu-satu, sampai akhirnya perbuatan mereka itu membakar langit jadi merah. Kemudian, kehidupan
sepertinya tak kunjung berubah meski mereka itu telah berusaha sekuat tenaga melontarkan perubahan.


Cahaya bulan merah jambu berkelebat-dengan segera berubah menjadi perkabungan yang panjang buatku. Bayangan dirimu yang aku cari saat ini makin mengabur, makin samar dan tak pernah jelas. Entahlah,apakah kenangan punya bentuk? Punya perasaan? Punya mata? Dan, aku merasa menjadi orang asing di kotamu. Bukannya kedamaian yang kutemukan melainkan nestapa. Orang-orang yang berpas-pasan denganku tak mau menegur. Tak ada lagi keramahan yang memancar dari wajah mereka. Kota makin sesak.

"Ya,babi. Mana babi itu? Babi itu telah datang lagi ke kota ini,dasar mata sipit! Lihat saja kalau ketemu dengan dia pasti akan kucincang sampai habis!" orang yang membawa aparang itu berteriak di sebelahku. Matanya memerah,tak tahu dendam kesumat macam bagaimana yang membuat seperti itu.

"Sudah bakar saja. Bakar!" Dan,langit makin gemetar,bulan merah jambu terbatuk-batuk melihat kepulan asap yang menyembur mukanya. Semua jadi serba samar. Malam seakan tak mampu lagi berbicara tentang cinta. Bagai telah terlena mengikuti kemarahan yang terus berlanjut. Orang-orang sudah tak lagi bisa diberi penjelasan. Mata mereka buta dan telinganya tuli. Begitulah,langit tak lagi cerah. Malam menutupkan dukanya selapis-lapis pada rembulan. Mendayu sendu dan gelisah. Di sepanjang jalan kota telah mengalir darah berwarna saga. Aliran itu membentuk sungai baru yang menggenang di setiap jalan. Orang-orang berubah menjadi buas,tak mau lagi percaya pada segala hal. Barangkali,kehilangan kepercayaan memang sesuatu yang tidak mengenakan dalam hidup ini.


Dan, cahaya bulan merah jambu itu terus menghujani tubuhku. Membawa beribu luka. Aku mendengar suara-suara manusia bertangan parang. Lewat tangan mereka mengalirlah dendam,menebas kepala musuh-musuhnya. Ya, mereka nampaknya sudah telalu rapi menyisipkan dendam ke dalam dada.. kota makin membara, bercahaya menjilat ke angkasa-lepas.

Dari balik keremangan taman kota,aku terus perhatikan wajah-wajah manusia itu. Aku mencari kamu. Aku butuh pelukan hangat dari tubuhmu untuk meredakan kegundahan ini. Mengapa orang-orang ini mendadak liar? Persis bagai singa lapar yang baru saja keluar kandang. O,dimana kamu kekasihku? Aku tiba-tiba merasakan kalau taman ini segera membusuk, memantulkan kegundahan-kegundahan kurus yang bernada ketidakpastian.


Ya, begitulah! Di tengah kota yang menyala aku berjalan. Orang-orang sibuk menyiramkan bensin ke atas bangunan,mobil,atau rumah mewah. Ada yang melempari kacanya dengan batu lalu menguliti satu-satu. Mereka kalap-menguras habis isi bangunan itu hingga habis. Dan, bulan merah jambu makin menatap dengan resah.


Aku sendiri tak kunjung mengerti. Aku telah lelah berpikir dari manakah asalnya makhluk-makhluk ini? Siapa pula yang mendidiknya hingga berubah jadi hewan liar yang buas? Apa mereka juga dilahirkan lewat rahim seorang Ibu? Lalu, macam apakah Ibu mereka? Aku telah lelah,tak habis mengerti. Sebenarnya juga aku marah menyaksikan ini semua. Tapi, aku segera sadar kalau aku hanya memiliki dua buah tangan,sudah tentu aku tak akan mampu menghadapi jumlah mereka. Kekasihku dimana kamu sekarang? Apa kota ini benar-benar mencampakkanmu? Dari dulu aku sebenarnya mencoba mengerti bila orang-orang di kota ini tak akan menyambutmu dengan tangan terbuka. Wajahmu berbeda dengan wajah mereka. Kulitmu terlampau putih dan yang lebih membedakan lagi matamu yang sipit itu. Aku telah lama tahu juga bahwa di dalam tubuhmu yang langsing itu telah mengalir darah Cina.


Bulan merah jambu itu telah demikian sempurna menitipkan cahayanya. Terus membawa kerinduanku padamu. Dahulu,aku terkenang akan dirimu yang selalu membuatku tertawa lepas,mengisi hari-hari laluku. Kau telah memberikan sebutir keceriaan saat kita berjalan bergandengan tangan menyusuri gang-gang sempit kota ini. Sayang! Ya,sungguh sayang! Rupanya waktu lebih kuat dari kita. Kita tiba-tiba saja terpisah begitu saja karena aku harus mengembara ke kota lain. Dan, perjalanan kisah kita harus berhenti begitu saja sampai di sini. Tapi, yang kutemukan sekarang membuatku harus mengurut dada beberapa kali. Kotamu terbakar dan aku telah putus asa mencarimu. Aku kunjungi rumahmu, namun yang nampak hanya puing-puing dan sisa-sisa asap yang mengepul ke udara.


Aku temukan kamu terkapar dengan pakaian compang-camping di salah satu gang kota ini. Mukamu sembeb dan membiru. Kau hanya menangis sambil menutupi bagian tubuhmu yang vital dengan sisa robekan kain. Ada bercak darah di berbagai tempat di tubuhmu. Aku sadar dan mengerti apa yang menimpamu. Sebagimana aku telah tahu sebelumnya bila orang-orang di kota ini telah berubah menjadi serigala yang lapar. Aku kemudian hanya mendekatimu,mengelus kepalamu sekedar meredakan penderitaan yang kau alami tadi.

"Tolong, Pedro! Aku telah diperkosa oleh ratusan bajingan itu, " kau berujar pelan sekali, sambil menunjuk ke arah kota yang memerah. Suaramu menghilang ditelan nocturno. Dan, kulihat sepertinya juga bibirmu telah pecah, masih ada darah kering yang menggumpal di sela bibirmu. Aku mencoba mengerti. Lewat diam. Dengan diam. Sambil menatap bulan merah jambu itu, barangkali juga cahayanya sebentar lagi akan padam dan kita juga tak mungkin sanggup bicara jujur dan terbuka. Kupeluk kamu di tengah kota yang membara. Begitu erat. Masih ada aku yang mau menerimamu.


Catatan kecil:

Sepenuhnya cerita ini tidak telepas dari tragedi 13-15 Mei Kelabu di Jakarta

No comments: