Thursday, October 05, 2006

Satu Cerita Tentang Dunia Sunyi......

~JBS~

Tak ada yang menarik dari perempuan itu. Sama sekali. Bahkan sejak pertama kali aku melihatnya. Badannya terlalu sintal dan berisi, walau menurut kebanyakan lelaki itu sedikit banyak bisa memuaskan fantasi - fantasi liar mereka. Wajahnya tidak terlalu mengecewakan, hanya perlu dipolesi bedak atau lipstik maka ia akan menjelma perempuan yang memiliki pesona lebih. Namun mengingat keadaannya sekarang, lelaki -
lelaki yang sering bermain - main dengan fantasi liarnya pun bahkan tak berminat untuk menyelam terlalu dalam ke ingatan mereka.

Mereka –lelaki - lelaki yang tak lebih liar dari seekor kucing jantan itu hanya akan menggerak - gerakkan ekornya dengan bola - bola mata yang berputar - putar. Hanya mengendus - endus dari jauh aroma perempuan yang kini tersekap dalam maya pikirannya itu.

Fuih! Lelaki - lelaki itu memang hanya seekor kucing jantan yang meraung - raungkan kepengecutannya dalam buta malam. Karena ketika perempuan berbadan sintal padat berisi itu lewat di ujung batang hidung mereka malahan tak ada yang tahan dengan penciuman mereka sendiri.

“Huuaaaksss.”

Lelaki - lelaki itu memuntahkan isi perut mereka. Semuanya sehingga yang tersisa hanya bunyi - bunyian keroncongan. Sejak itu mereka tak mau lagi bermain - main dengan perempuan itu. Menengok ke arahnya pun mereka begitu muak dan jijik.Heh tapi apa memang begitu?

Lelaki - lelaki itu tetaplah seekor kucing jantan! “Kalau saja tubuhnya tidak mengeluarkan bau - bau yang aneh.’ Sesal mereka. Bahkan di pos ronda pun pembicaraan mereka tak jauh - jauh dari perempuan itu yang tentu saja isinya kelakar kelakar nakal. Perempuan itu hanya mondar - mandir kerjaannya. Hari demi hari dengan baju - baju yang selalu berganti. Sekali ia mengenakan blus berwarna biru. Orang - orang yang pertama kali melihatnya tak akan segan mengira - ngira kalau ia perempuan berkarir. Sekali ia mengenakan daster berwarna merah. Orang - orang yang pertama kali melihatnya tak perlu ragu lagi untuk mengatakan kalau ia perempuan bersuami. “Wah siapapun suaminya, lelaki yang sangat beruntung.’ Sekali ia mengenakan kain yang dibelitkan serampangan. Orang - orang yang pertama kali melihatnya tak kan’ menunggu lama lagi untuk mensedekahkan kalimat - kalimat mengasihani.

Dan! Sekali ia hanya mengenakan beha dan celana dalam. Orang - orang yang pertama kali melihatnya tanpa berkompromi lagi untuk mengumpat. “Anjing, perempuan siapa yang kurang ajar begini.’ Mereka bersumpah serapah dengan kelicikan ekor mata yang tak jauh - jauh arah lirikannya.

Aku sendiri, melihat perempuan itu dengan perasaan yang tidak aneh - aneh. Biasa saja. Mungkin inilah, karena aku lelaki yang tidak mau menganggap segala sesuatu yang aneh sebagai sebuah keluarbiasaan. Menurutku, hanya orang gila yang berpikir seperti itu. Orang gila yang aneh. Atau orang aneh yang gila.

Halah….persetan!!

Selain kerjaannya yang lebih banyak mondar - mandir memamerkan baju - bajunya, perempuan itu lebih suka menyendiri dengan mendekap ujung - ujung lutut di bawah batang lehernya. Kalau sudah begitu, nampaknya serupa pahatan granit Aphrodite yang berkerak daki. Satu sisi ia begitu cantik dalam keteduhan wajah menatap hampa. Namun, satu sisi lain dia hanya seorang perempuan yang tidak terawat. Kecuali warna - warna bajunya yang selalu terlihat muda dan menyala.

Barangkali. Ada duka yang dalam. Ada luka yang menganga. Tanpa torehan atau tetesan - tetesan darah yang orang - orang tak kan’ mengetahui kecuali ia sudi untuk menceritakannya. Sedang sejauh ini, tak seorang pun yang sudi untuk menyapanya selain tatapan yang menguliti kebodohan mereka sendiri. Hanya gonjang - ganjing, perempuan itu sedang menunggu kedatangan seseorang. Entah siapa.

Orang - orang mengetahui perempuan itu sejak keberadaannya di sana. Sejak dua bulan yang lalu. Tepat di bawah jendela rumah yang tuan - tuannya tidak merasa terusik karena daun - daun jendela itu lebih banyak tertutup daripada mengirup udara. Ah iya, kota ini memang sudah tidak memiliki seteguk udara jernih yang sehat untuk dihirup. Jadi baik juga mengurung diri dalam ruangan sembari menikmati hembusan sepoi - sepoi air conditioner yang diimajinasikan sebagai kesegaran udara pegunungan oleh iklan - iklan produk tersebut di sela - sela buaian acara televisi.

Tak ada rumah yang merasa memilikinya. Apalagi sanak keluarga. Tapi perempuan itu bukanlah orang yang mau ambil pusing atau mau tahu dengan hal itu. Baginya rumah hanyalah sekat - sekat tembok yang menghalangi terawangan mata menuju kumpulan awan perak berarak. Rumah hanyalah tatakan batu - batu yang lambat laun juga akan mengubah kita menjadi batu - batu. Rumah hanyalah kotak korek yang isinya penuh dengan si kepala hitam yang sewaktu - waktu siap meledakkan amarah yang akan membakar rumah itu sendiri serta seisinya. Tentang rumah, tak disangkal aku dan perempuan itu memiliki kesamaan.

Dengan diam - diam aku mulai sering memperhatikannya. Semakin lama kuperhatikan ia seperti memiliki daya tarik yang kuat untuk membangkitkan gejolak penasaranku. Dari beranda rumahku yang tidak terlalu jauh dari tempatnya –yang merupakan kebiasaanku sehari - hari dari siang hingga sore duduk di kursi rotan dengan beberapa jurnal bisnis mingguan yang tagihan tetap langganannya dibayarkan kantor—kulihat perempuan itu mengenakan daster berwarna biru motif bunga melati dengan menekuk kedua kakinya. Pandangannya tak lepas dari ujung gang yang bergaris lurus dengan tempatnya sekarang. Kelopak matanya hampir tak berkedip sama sekali, di sana ia seperti baru menemukan sesuatu yang hilang darinya.

Bila sudah duduk dengan posisi yang sangat disenanginya itu–mendekap ujung - ujung lutut di bawah batang lehernya dengan jari jemari kaki gidik - gidik seirama decit rem mendadak atau dentum mesin tancap gas—maka tak ada lagi yang bisa mengusiknya. Lemparan batu atau celetukan anak - anak yang mengejek tidak ditanggapinya. Bahkan, saat baju - baju yang dikenakannya melorot dengan gantungan payudara yang walau pun sudah tak setegak bukit kapur tapi masih cukup kenyal itu pun sudah tak dihiraukan. Perempuan itu begitu menikmati dunia sunyi yang dirajutnya sendiri dari nyanyian - nyanyian sendu nan pilu yang selebihnya hanya merupakan sebuah gumaman begitu singgah di anak telingaku.

Sampai beberapa jam tak ada yang berubah. Beberapa orang yang mau tidak mau harus melewati jalan itu ada yang ketakutan juga. Langkah mereka dipercepat dengan saling berhimpitan. Padahal perempuan itu sendiri tak sedikit pun memalingkan wajahnya ke arah mereka.

Namun disengaja atau tidak tiba - tiba dalam gerakan sangat cepat dan tak bisa kuhindari, perempuan itu berpaling ke arahku. Hanya dalam sepersekian detik mata kami sudah beradu pandang. Spontan aku bereaksi dengan ekspresi yang tak terduga sebelumnya. Kikuk dan gugup. Keringat dingin mengucur deras dari jutaan pori - pori kulitku. Ingin rasanya aku segera beranjak dari tempatku itu tapi seperti ada berton - ton batu yang menghimpit serta mendesakku sehingga untuk menggerakkan ujung jari pun sangatlah berat.

Perempuan itu mungkin sudah membaca gelagatku sejak mula memperhatikannya. Kemudian dengan tangan kirinya ia menarik helaian rambut yang jatuh di keningnya lalu dijepitkan ke belakang daun telinganya. Bibirnya pelanpelan bergerak, kali ini ia tak sedang bernyanyi karena ritmenya yang berbeda.
Dan. Astaga!

Perempuan itu tersungging. Sepasang bibir yang bergerak pelan itu ternyata isyaratnya merangkai sebuah senyuman yang mungkin telah lama dilupakannya.

- - - oOo - - -

Setelah lebih dari tiga bulan keberadaannya di sana –di bawah jendela yang daundaunnya selalu tertutup—membuat orang - orang yang dulunya tak begitu perhatian mulai jengah. Bajubaju yang dikenakannya carutmarut tak patut lagi menutupi rahasia - rahasia dibaliknya. Darah dengan aroma yang anyir dan busuk membius menetes dari selangkangannya, darah - darah itu tercecer di sepanjang jalan yang biasa dilaluinya dengan mondar - mandir memamerkan baju - baju yang kini berwarna kusam dan kumal karena orang - orang yang selama ini memberinya baju sudah enggan karena baju - baju itu selalu dicampakkan begitu saja ke tumpukan sampah setelah dikenakan sepanjang hari.

Orang - orang mulai berkasak - kusuk mendesak tokoh - tokoh masyarakat untuk mengusirnya dari tempat itu. Apapun caranya karena mereka –orang per orang—sudah mencoba namun tetap gagal. Perempuan itu selalu datang lagi setelah orang - orang yang menghalaunya dari tempat itu kembali ke ranjang mereka masing - masing untuk bermimpi. Tengah malam perempuan itu datang dengan ringkikan seperti lolong anjing yang disambangi Banaspati.

Perempuan itu semakin menampakkan kegilaannya. Dan itu merupakan ancaman nyata bagi mereka serta anak - anak.

“Perempuan itu sangat berbahaya kalau tetap kita biarkan di sini.”

“Bagaimanapun ia harus disingkirkan.”

“Iya. Dengan cara apapun!”

Seru mereka dengan berapi - api. Para tokoh masyarakat mengangguk - angguk tanda setuju dengan usulan - usulan yang kian malam kian memanas dalam rapat mendadak di rumah salah seorang aparat pemerintahan tingkat RT itu. Malam itu dicapai kesepakatan, dengan dana swadaya perempuan itu akan dikirim ke RSJ.

Besoknya, pagi sekitar jam tujuh sebelum orang - orang beranjak pergi untuk memulai hari - harinya tiga petugas dari RSJ berseragam putih - putih datang untuk membawa perempuan itu. Ramai sekali orang berkerumun seolah peristiwa pagi itu begitu bersejarah untuk dilewatkan. Demikian juga aku padahal seharusnya aku sudah berada dalam ruang rapat di kantor untuk mempresentasikan rencana anggaran belanja bulanan perusahaan. Tapi ternyata segala sesuatu yang berhubungan dengan perempuan itu selalu lebih menarik perhatianku.

Perempuan itu meronta sekuat tenaga melepaskan diri dari gotongan petugas yang akan membawanya dengan sebuah mobil. Seorang petugas terjungkal ketika kaki perempuan itu mengena tepat di lambung perutnya. Petugas yang lain juga terlihat meringis - ringis menahan perih dari luka cakaran di dahinya. Kuku perempuan itu menancap cukup dalam.

Kini tinggal seorang petugas yang menahannya, mendekapnya dengan sangat erat dari arah belakang. Sebelah tangannya mengunci leher perempuan itu sehingga kepalanya mendongak ke atas dengan muka merah ketakutan.

“Cepat ambil penenang di mobil!” perintah lelaki yang posturnya lebih besar pada kedua temannya.

Petugas yang terjungkal itu bergerak cepat ke dalam mobilnya dengan badan masih terbungkuk - bungkuk memegang perutnya. Rupanya tendangan perempuan itu cukup menyakitkan. Tak lama kemudian ia datang dengan bergegas menyuntikkan insulin yang sudah terisi dengan cairan penenang ke pembuluh darah di pangkal leher perempuan itu.

Penenang yang disuntikkan bereaksi dengan cepat. Perempuan itu terkulai lemas, pandangan matanya nanar beredar ke kerumunan orang - orang yang menonton prosesi pagi itu. Kesannya dramatis sekali. orang - orang menjadi kasihan, tak mampu untuk sekedar berkata - kata. Mulut mereka seakan terbungkam demi melihat tatapan terakhir yang memelas dan tak berdaya dari perempuan itu.

Dunia seketika sunyi. Bulir - bulir air mata mengalir dari dua sudut mata perempuan itu, begitu juga dengan orang - orang yang mengitarinya dalam seribu diam. Aku menyeruak orang - orang yang kini berdiri mematung tanpa bahasa itu menuju ke barisan paling depan. Di sana aku melihat perempuan itu telah disandarkan ke tembok oleh petugas yang sedang mempersiapkan tandu untuk membawanya. Ia nampak begitu menyedihkan. Perlawanan yang sangat gigih tadi membuatnya terluka. Lebam - lebam biru kemerahan membekas di sekujur tubuhnya. Yang lebih parah adalah bilur - bilur merah di leher yang disebabkan oleh betotan kuat lengan petugas yang membekapnya. Begitu merahnya sampai - sampai aku berpikir kalau ada salah satu dari pembuluh darahnya yang pecah!

Sekejap kelopak matanya berkedip. Jari - jemarinya tergerak menunjukku. Entah dengan maksud apa karena sejauh aku telah memperhatikannya, aku belum pernah menerjemahkan bahasa - bahasa tubuh yang disampaikannya. Tapi kali ini semuanya berbeda. Seperti ada ikatan khusus di antara kami berdua, yang menjadikan diri kami seolah begitu dekat. Ikatan yang aku sendiri tak mengerti. Tak begitu jelas bentuknya.
Perempuan itu memanggilku ke dalam tatapan matanya yang kosong. Menarikku untuk menyelami dunianya yang hilang. Mengajariku untuk memahami dunianya yang sunyi. Dunia sunyi yang diciptakannya sendiri dimana tak perlu lagi memikirkan keinginan - keinginan yang belum terkabulkan atau rencanarencana besok pagi yang harus disusun dengan perhitungan - perhitungan statistik!

No comments: