Wednesday, October 04, 2006

Satu Cerita Tentang Surat Cinta Terakhir..

Entahlah, malam ini yang ada di benakku adalah engkau yang dedauan kering disungkur angin, diam membisu, pasrah terbelah, membusuk menjadi kompos bagi tumbuhku. Berlembar-lembar memori yang setiap ujungnya hangus terbakar karena emosi jiwa kembali mengotori telapak tanganku. Masih saja lembar-lembar ini menyisakan abu, lembar-lembar diary yang disetiap barisnya ada namamu, ada kisah tentang kita.


Entahlah, malam ini ingin sekali aku membacanya, mewujudkannya dalam imaji fragmen cinta yang setiap adegannya adalah engkau dan aku. Ada kekeh panjang, ada bahak lebar, ada senyum manjamu, ada cemburu kita, ada cumbuan kita, ada segala tentang kisah kita. Kubaca dengan senyum hingga sampai imajiku pada adegan terakhir fragmen cinta,… oh… aku urung membacanya, aku tak sanggup mewujudkan dalam imaji fragmen cinta karena aku belum menyiapkan pincuk-pincuk daun untuk menampung airmata.


Entahlah, malam ini aku enggan menyelesaikan fragmen ini, mungkin esok pagi saja kala bisa ku petik dedaun yang berembun agar saat airmata mulai berloncatan keluar ada teman bermain dalam pincuk-pincuk daun.
Lalu mata ini berlarian ke rak-rak buku, ke laci almari dan mejaku, meraba-raba, tak ada yang tertangkap dalam kepekaan. Kemudian mata ini terpaku pada sebuah kotak berwarna merah jambu, kotak yang sangat jelas ku ingat adalah kotak surat-suratku. Ada jutaan kata-kata saling tindih disana, mungkun juga saling bercanda dan bercerita tentang waktu berpijak mereka yang tak sama.


Ku buka kotak merah jambu dengan senyum, ku ambil segepok surat-surat bertulis namamu, benar… ini surat cinta darimu. Surat cinta yang telah lusuh usang berlumur lumpur jaman, berurutan ia dari terawal. Kemudian ku ambil yang terakhir dan kuselipkan pada diary halaman terakhir.


Entahlah, malam ini aku ingin membaca semua surat-surat cinta darimu yang berpuluh-puluh lembar itu, yang enam tahun berjalan dan terhenti itu. Kita telah menelorkan jutaan ukiran kata pada puluhan surat cinta yang tercipta, berlipat-lipat suka dan duka disana, adakala huruf-huruf itu menonjok-nonjok bibirku hingga ‘mecucu’, adakala kata-kata itu menggelitik bibirku hingga tersenyumku, adakala kalimat-kalimat itu mengerutkan dahiku. Betapa kita telah mencipta suatu kisah cinta yang terhebat untuk kita, mungkin dunia. [aku tersenyum].


Aku yakin, engkau tak akan pernah bisa melupakan kisah cinta yang dahsyat ini, karna disana kita telah menikmati segala apa pada cinta. Kita telah merubuhkan pagar-pagar, kita telah tumbangkan pohon-pohon, kita telah taklukkan gununggunung, kita telah sebrangi lautan-lautan, kita telah susuri sungai-sungai, kita telah selami palung dan selat, kita bisa benar-benar tertawa, kita bisa benar-benar menangis. Peta Cinta hampir selesai tercipta, telah jelas selatan dan utara.


Namun entahlah, fragmen ini kembali terhenti pada halaman terakhir diary dan pada sepucuk surat terakhir. Aku ragu tuk menyelesaikan fragmen imaji ini, tapi.. fragmen ini harus berakhir. Degup jantung kian cepat, poripori muntah, mata memerah, tangan gemetar saat buku harian ini telah berada dalam genggaman, dan aku harus menyelesaikan fragmen cinta imaji ini, saat ini.

:pada buku harianku:

“dia menghilang bagai embun takut kan teriknya siang, entah kemana embun-embun itu, meresap ke tanahkah? Atau terpencar di bebatuan?


dia terbang bagai awan di ketinggian, kapankah dia berhenti kepakkan sayap yang tak kasat itu? Ataukah aku harus menunggu hingga bumi berhenti berputar dan langit turun tepati janji?


Kini anginpun hanya berbisik-bisik lirih pada dedauan bercerita tentang dia, dan kala aku menyeruak diantaranya, daun-daun itu diam membisu”.

Sejenak hening menyapa keterpakuan.

:Surat cinta terakhirmu untukku:

“percintaan kita adalah yang terhebat di dunia ini sayangku, takkan lagi bisa kutemui lelaki sepertimu yang mampu membuatku tahu tentang tingginya gunung dan dalamnya lautan hingga takkan pernah ada kata selamat tinggal dariku untukmu”.


Aku terdiam beberapa jurus merenung setelah membaca surat cinta terakhirmu. Engkau benar sayangku, mungkin lebih baik tak pernah ada kata “selamat tinggal Cinta” bagi kita, karena kita juga tak pernah mengucap “selamat datang cinta" saat cinta menyapa. Dan saat kau tak lagi di sisi, aku hanya bisa mengucapkan “selamat jalan Cinta”

No comments: