Thursday, October 19, 2006

Satu Cerita Tentang HeNinG


Aku tidak pernah tahu kenapa aku menikahi Saras. Selain alasan, dia wanita yang cerdas, menyenangkan, menarik, cantik, dan aku merasa nyaman bersamanya, ada hal lain pada diri Saras yang membuatku ingin menikahinya. Meski beberapa sahabat sempat memprotes keputusanku melamar Saras. "Gila loe Bas, dia kan punya anak!" Itu, salah satu alasan mereka memprotesku. Aku cuma menggeleng. Hal itu tidak menghalangiku.

Bahkan, ketika ibuku tercinta menentang keputusan itu, mati-matian aku meyakinkan beliau agar merestuiku. "Kamu anak ibu satu-satunya, Baskara. Apa tidak ada wanita lain?" tanya ibu keseratus delapan puluh tujuh kalinya, sambil berurai air mata. Mungkin beliau nyaris putus asa dengan kengototanku yang tidak bisa diubahnya. "Nak, ibu tidak pernah meminta apa pun darimu, hanya satu ini saja, jangan nikahi wanita itu.."

"Bu.. Saras wanita baik. Ibu juga kan sudah kenal..."

"Ibu tau, Nak! Tapi..."

"Apa karena dia janda beranak tiga, Bu? Itu alasan yang tidak adil," sanggahku kesekian kalinya.

"Yaa.. Tapi, bagaimana komentar masyarakat sekitar...?"

"Ibuku sayang.. Apakah Ibu lebih mementingkan pendapat orang lain yang tidak tau apa-apa, daripada pendapat aku yang lebih mengetahui apa yang bisa membahagiakan anak semata-wayangmu ini? Saras wanita luar biasa. Dia ibu yang hebat untuk anak-anaknya. Dia bisa jadi wanita yang sempurna untukku," jelasku lemah lembut sambil memeluk kakinya.

Ayahku tidak berkomentar kecuali, "Lakukan apa yang menurutmu benar. Ayah percaya pada kebijaksanaanmu memilih jalan hidupmu sendiri."

Ibuku pun luluh. Apalagi ketika dalam upacara lamaran, Saras memeluk ibuku sambil berkata, "Ibu, terima kasih karena telah melahirkan anak yang begitu besar hati. Kebijaksanaan Ibu tercermin dari sifat Baskara, dan saya berterima kasih untuk semuanya. Saya tidak akan menyia-nyiakan anak yang telah Ibu besarkan sepenuh cinta, keringat, darah, dan air mata. Mungkin cinta saya kepada Baskara tidak bisa melebihi cinta Ibu, tapi mohon percaya, saya akan selalu berusaha menjadi wanita yang pantas bagi Baskara.." Saras justru malah menjadi sahabat terbaik ibuku. Kehadiran Bram dan si kembar Luna – Lena (anak-anak Saras dari suami pertamanya) juga menghibur hati ibuku.

Itu enam tahun lalu. Selama itu pula, aku menyadari, aku tidak pernah mencintai Saras. Sejak awal aku memang menyukai dia. Rasa suka itu berkembang menjadi sayang. Tapi, cinta? Tidak. Aku tidak mencintai Saras. Dan, kurasa Saras tahu hal ini. Hanya saja, dia tidak pernah berkata apa-apa, kecuali terus bersikap sebagai istri dan ibu yang sempurna dalam rumah tangga kami. Saras sangat mencintaiku, itu saja yang aku tahu.

Meski begitu, perih hatiku melihat Saras terbaring lemah di tempat tidur seperti ini. Wajahnya yang biasa memerah berseri-seri, kini putih pucat. Senyum tetap tersungging di bibir tipisnya (as always!), tapi sekarang senyum itu tampak beku. Aku menggenggam tangannya erat. Kupejamkan mata kuat-kuat. Tuhanku... Jari lentik yang biasanya hangat dan selalu menyentuh kami (aku dan anak-anak) lembut, kini berubah dingin dan kurus. Tangan yang dahulu selalu memeluk kami erat sebagai cara dia mentransfer cinta--itu yang sering Saras katakan sebagai alasan kenapa dia begitu suka memeluk--kini gemetar, lemah.

Kubuka mataku dan memandang Saras. Kedua mata indah berbentuk biji almond hitam milik Saras, tampak letih. Tapi masih terasa cinta yang hangat memenuhi tatapannya kepadaku. Bibir Saras yang biasanya tipis menggiurkan itu kini kering dan pecah. Meski begitu, tak kuasa aku menahan diriku untuk tidak menciumnya lembut.

"Bibirku udah nggak enak dicium, ya Mas?" ujarnya lirih sambil tersenyum ceria. Ya, Tuhan! Kekuatan luar biasa apakah yang Engkau pinjamkan kepada istriku, sehingga masih bisa melontarkan gurauan di saat seperti ini! Aku menggeleng. "Bibirmu tetap yang paling nikmat untuk kucium, sayang," jawabku lembut.

"Mas tuh nggak pantes ngerayu, tau nggak sih?" Saras terkekeh, lalu terbatuk-batuk. Wajahnya berubah mengernyit menahan sakit. Hancur hatiku rasanya melihat Saras begini menderita. "Mas, kan udah kubilang, jangan mengatakan apa pun yang tidak sesuai dengan hatimu. Jangan berdusta, meski itu untuk membuatku senang," ujar Saras lagi, tersenyum tulus. "Makanya aku ngerti kenapa Mas tidak pernah bilang 'I love you' padaku. Mas hanya bilang, 'Aku sayang kamu' tapi nggak pernah bilang 'aku cinta kamu' ya karena memang itu yang Mas rasakan. Ya kan?" Aku terperangah. Saras tersenyum, tulus. "Jangan kaget begitu, aku tau kok, Mas.. Tapi aku bahagia kok, dengan sayang yang Mas berikan selama ini kepadaku, dan kepada anak-anak," kata Saras.

"Sebenarnya, aku masih nggak habis pikir, kenapa Mas ngotot ingin hidup bersamaku meski Mas tidak mencintai aku... Tadinya aku ingin menolak lamaran Mas... Tapi, melihat kesungguhan di matamu....aku jadi urung menolak... Apalagi, Mas begitu baik pada anak-anak.... Aku sempat takut Mas berubah...setelah menikah. Tapi...ternyata Mas malah...lebih baik lagi....dibanding waktu.... pacaran...hh... dulu.." Saras bicara begitu panjang, nafasnya terengah.

Aku berdesis, melarangnya bicara lagi, sambil kubelai rambut Saras yang hitam kecoklatan. Saras memejamkan mata, menikmati belaianku. Beberapa detik kemudian dia terkekeh lagi, "Payah, ya aku.. Padahal dulu kalau kita making-love... nafasku yang paling panjang! Hhh... sekarang.. Senin-Kemis begini.... hhh.." Aku tergelak, sambil menahan air mata menyeruak keluar dari kelopak mataku.

Benakku melayang pada ingatan 'nakal' tentang Saras. Dia wanita yang cuek dan tegas dari luar, tapi sebagai pasangan di ranjang dia benar-benar pecinta ulung! Anggun tapi menggebu-gebu. Liar tapi tenang seperti air danau. Tiap kali menyampurinya, Saras membuatku serasa raja dan budak dalam waktu bersamaan. Kalau dipikir-pikir, dia selalu membuatku "gila" (dalam arti menyenangkan!) Aku tersenyum mengingatnya. Tawanya. Pelukannya. Ngambeknya. Desahnya. Ciumannya. Kecerdasannya. Kedewasaannya. Kekanak-kanakkannya. Pengetahuannya. Keluguannya. Cara bicaranya. Cara dia melayaniku. Cara dia mendidik anak-anak dengan penuh pengertian.

Semuanya begitu indah, sampai beberapa bulan lalu Saras mulai sering pingsan. Puncaknya, Saras muntah darah di mobil kami ketika aku menjemputnya di kantor. Aku pun segera melarikannya ke rumah sakit terdekat. Bagai disambar petir aku mendengar diagnosa dokter. Saras menderita leukimia stadium IV. Aku begitu shock, sementara istriku yang cantik ini hanya bisa menunduk mengetahui waktu yang tersisa untuknya hanya terbilang bulan saja. Tiba-tiba aku mengerti kenapa aku menikahinya. Kenapa Tuhan membuatku menikahinya!

"Mas, maaf, aku belum sempat memberimu anak… Sudah begitu.. aku malah membuatmu.. jadi calon duda… maaf ya," Saras menyadarkan aku dari lamunan. "Kamu sudah memberiku anak, Sar.. Tiga anak-anak yang hebat!" kataku lembut. Aku sungguh-sungguh mengatakannya.

"Kalau aku sudah 'pulang'..." aku mendesis, melarang Saras melanjutkan ucapannya. "Denger dulu, please.. Aku cuma takut...tidak sempat mengatakan apa.....yang mesti ku...katakan.." Aku mengalah.

"Mas, kalau aku sudah nggak ada... biarkan anak-anak... bersama papa mereka... Mas... menikah lah lagi.." kata Saras. Aku menggeleng kuat-kuat. Saras meremas tanganku. "Mas... Mas harus janji padaku... Menikahlah lagi! Buat keluarga... yang.. baru... Lamarlah wanita...yang Mas... cintai.." Saras tersenyum. Lagi-lagi tulus. Hatiku semakin remuk rasanya. Saras begitu mencintaiku. Begitu memikirkanku. Lalu kenapa aku tidak pernah bisa mencintainya?

"Mas... Aku tau, kenapa Tuhan.... tidak membuatmu...jatuh cinta... padaku.."

Tenggorokanku seperti tercekik. Seakan-akan Saras mendengar gelisah batinku! "Itu... ya, karena ini...aku sekarat.. Sebetulnya, semua orang.... sekarat dan.. pasti mati.. Hanya saja.. waktuku lebih cepat," Saras terkekeh. "Kalau Mas... mencintaiku dari awal... lalu aku.. meninggal.. kan broken-heart banget tuh... hh.. Mas.." Saras tersenyum geli di sela-sela kernyit kesakitannya.

Ya Tuhan, betapa aku membenci diriku yang tak mampu mencintai wanita se-luar biasa ini! Tapi, mungkin ucapan Saras ada benarnya. Tetap saja, rasa bersalah menyelinap ke dalam jiwaku dan mengunciku dalam kebekuan. "Mas..jangan merasa bersalah... karena tidak bisa... mencintaiku.." Kembali aku terkejut. Kenapa Saras bisa mengetahui isi benakku? Aku memandanginya, bingung. Saras hanya tersenyum. "Kan aku sering bilang.. aku bisa melihatmu.. langsung ke dalam hati.. seperti melihat batu warna-warni dari balik kaca," ujar Saras.

"Hatimu.. meski aku dapat melihatnya secara langsung.. tetap saja... ada.. di dalam.. kotak kaca, dan.. tak bisa kuraih.." Aku tak mampu lagi menahan air mataku mendengar Saras berkata penuh duka seperti itu. "Hey.. Hey..." Saras mengusap air mataku. "Jangan sedih... Jangan menyesali sebuah kejujuran!" Ada ketegasan dalam suaranya. Membuatku terpekur sambil menciumi telapak tangannya. "Walaupun tak bisa kuraih hatimu... tapi sungguh aku.. bahagia.. karena memberi aku.... kesempatan untuk memeluk.. kotak kaca itu.. meski cuma sebentar.."

Saras menatap mataku lekat-lekat. "Mas, terima kasih.. karena sudah begitu baik padaku.." jemarinya mengusap wajahku perlahan. "Aku tau kebaikanmu bukan karena kamu kasihan padaku tapi ya karena Mas memang baik. Itulah yang sejak awal membuatku begitu mencintaimu sejak kita kuliah. Walau awalnya jodohku tidak berlabuh padamu" Saras memandangiku dengan tatapan kekaguman bercampur kebahagiaan, seperti yang SELALU ia tunjukkan padaku! Tatapan Saras yang seperti itu tidak pernah berubah!

"Sejak awal, aku sudah tau Mas lelaki hebat! I believe what I saw in your eyes before. And I'm right, And I'm proud of you, your bravery, you've proven me your-true-self" desahnya.

"Saras, You've brought out the best in me. And that's more noble than the love it self!"

"You already are a great man.. You were born...a great man! I only.. stimulated you... a bit.." Saras tersenyum lebar. "Terima kasih karena... sudah begini berani.. menjalani hidup yang… penuh tantangan.. penuh luka.. bersamaku. Aku mencintaimu.. sangat... sangat,” desisnya pelan. “Tapi, jangan sampai... Mas.. terhantui perasaanku ini ya.. Mas tidak perlu... membalas cintaku... Kebaikan dan kesabaran Mas...selama ini padaku dan anak-anak.... sudah cukup... sebagai balasan Mas... terhadap cintaku.." Aku pun terpuruk, menangis di pelukan lengannya..

Detik ini. Aku hanya bisa bersimpuh di samping makam Saras. Dia pergi beberapa hari lalu dengan senyum damai di wajah cantiknya. Anak-anak kami tampak tegar.

Ya Tuhan, aku baru sadar. Aku begitu mencintai anak-anak kita, Saras! Kini aku mengerti kenapa aku menikahimu! Kenapa Tuhan membuatku begitu ngotot menginginkanmu meski cinta tidak tumbuh di hatiku. Kamu memberikan aku kebahagiaan yang lebih besar daripada sekedar merasa mabuk kepayang karena jatuh cinta. Kau mengajarkanku cinta tulus yang sesungguhnya! Itu jugalah yang membuatku tetap setia pada Saras. Tidak pernah terbit keinginan mengkhianati Saras, sedikit pun. "Pa..ayo pulang.. Biar Mama beristirahat di sini," ajak Bram, anak sulung kami. Luna dan Lena juga menggandengku sambil tersenyum kuatir.

Ya, aku sadar, inilah jawaban pertanyaanku selama ini.. Betapa Saras dan anak-anak kami, menganugerahiku cinta, dalam keheningan..

No comments: