Wednesday, October 11, 2006

Satu Cerita Tentang SeBuTir PeLuRu yang MeLayang

Di kota itu, cuaca siang yang terik dengan panas mendamprat sampai ke ujung ubun-ubun terus berkepanjangan, cuaca macam begitu menjadi hal yang biasa bagi para penduduk. Maklum, musim kemarau telah tiba. Dan, matahari bersinar, menebarkan panasnya ke seluruh penjuru. Membakar kota sampai gosong dan menjadi abu. Berita-berita TV semakin tidak jelas. Situasi sudah tak terkendali lagi. Chaos. Kerusakan dimana-mana.

Dan, sebenarnya pula kota ini sebenarnya sejak lama telah kacau. Demonstrasi dari arah seberang jalan yang dipelopori beberapa anak muda mulai terdengar yel-yelnya. Mereka menyanyi sepanjang jalan yang panas itu. Lagu yang mengenang ke masa kecil dulu…buat apa susah…buat apa susah…rakyat susah…kita juga yang celaka…begitulah kira-kira isi nyanyiannya. Berteriak, lantang sekali. Berharap agar perubahan segera terjadi. Ya, kalau bukan mereka, siapa lagi yang peduli terhadap kondisi ini? Cerita ini sendiri terjadi beberapa saat yang lalu. Saat gerakan dashyat itu telah berhasil menurunkan sang diktator agar ia tidak lagi terus-terusan tersenyum di lembar uang kertas puluhan ribuan.

Pertamanya, sih hanya berjumlah puluhan saja. Namun, lama-kelamaan jumlah mereka bertambah menjadi ribuan. Aku sendiri tidak habis pikir dari mana asal mereka. Pokoknya, setiap ada yang datang—kesemuanya menyambut dengan gembira. Welcome saja. Mereka merasa tak perlu pekerjaan payah-payah lagi mengusut dari mana asal orang-orang yang baru datang itu. Perjuangan harus berlandas pada persatuan. Kata orang pintar, agar negara kuat maka rakyat harus lemah—itulah sekarang yang sedang dikoreksi oleh kerumunan yang ada di jalan. Menantang panas matahari yang mendamprat kepala mereka sampai koyak. Mereka bergerak, melangkahkan kaki satu per satu dengan pasti dan mantap—menikmati udara panas musim kemarau. Angin yang membawa debu, menerpa wajah mereka yang sudah berpeluh. Beberapa orang tua, berdiri di pinggir jalan sambil berdoa:”Semoga Tuhan membalas budi mereka buat negeri ini. Perubahan total. Serta membawa perbaikan yang berarti. Amien.”

Aku amati wajah-wajah demonstran itu, masih polos, lugu, terlihat sinar di matanya yang melonjak kegirangan, sepertinya yakin sekali bahwa di depan sana ada sesuatu yang cerah. Dan, sejak rakyat tercekik oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Mereka mulai mencoba peduli—mereka tinggalkan bangku-bangku kampus yang telah lapuk karena pembodohan lewat teori, turun ke jalan, bergabung dengan tukang becak, tukang sayur, anak-anak jalanan, juga supir-supir angkutan, bahkan sebagian pekerja dan karyawan kantor. Mereka, merasa harus kembali pada akarnya: rakyat! Nilai rupiah naik lagi. Harga sayur-mayur, Beras, Cabe keriting, Ia tak lagi mampu bersaing dengan mata uang asing yang bergambar seorang bule. Barangkali, perlu diganti namanya dari rupiah menjadi rapiih.

Sejenak di sebuah tempat, langkah mereka terhenti. Beberapa orang dari mereka coba membaca sajak. Begini bunyinya: Untuk apa kalian berteriak terus-terusan rakyat lapar, rakyat lapar namun di atas kalian asik-asikan menyantap sepotong paha ayam panggang untuk apa kalian bergambar segala hal tentang kemiskinan, umr, dan harga-harga yang melonjak tinggi sementara itu, kalian mendiskusikan masalah tersebut di ruangan ber-AC, sementara kalian mendiskusikan sambil minum kopi dari brazil percuma, tahi kucing kalian mampus.matilah kalian (liswan payub)

~o0o~

Peluru-peluru berdesingan. Tak tahu dari mana berasal. Barangkali, salah satu dari peluru itu akan ada yang menancap di tubuh kami. Namun, kami yakin perjuangan tetap tidak berhenti, meski ribuan peluru melubangi dada, kepala, dan juga perut. Meskipun darah telah muncrat di aspal yang gelap dan pekat ini. Walau darah tadi, mengalir bagai sungai di negeri ini dan air mata yang meleleh berkepanjangan. Ketidakberdayaan tak akan bisa dipendam. Biarpeluru menembus kulit, kami akan terus berlari. Berlari sampai kepedihan ini menghilang dan menjauh. Berdiam diri merupakan suatu pengkhianatan. Masak sih kita tega mengkhianati mata hati kita sendiri? Kalau sudah begitu, siapa lagi yang bisa dipercaya? Kalau kita telah kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Nyali sudah terkesan sangat kecut. Kami tak lagi perlu merasa takut ataupun kalut—bahkan untuk menghadapi sebutir peluru sekalipun. Peluru-prluru yang beterbangan di udara kami nggap hanya sebagai butir-butir air hujan yang sedang turun dari langit. Kami terima semua anugerah ini. Ketika saudara sendiri membantai anaknya sendiri. Kami sudah mengerti hal itu—itulah resiko perjuangan yang bakal dihadapi. Tak perlu merasa gentar maupun takut. Ya, begitulah kami terus bergerak untuk mencapai ke pintu cahaya. Mengetuk pintu itu berharap akan ada seseorang yang membukakannya. Orang yang dapat merengkuh kami, menyambut layaknya sahabat lama yang telah sekian waktu tak lagi bersua. Dan, itulah masalahnya, kami tak pernah bertemu orang macam begitu. Orang-orang yang kami jumpai hanyalah wajah-wajah yang bertampang diktator, haus kekuasaan, dan mukanya seram semua. Setiap apa yang kami kerjakan selalu saja salah bagi mereka. Dengan segera, mereka lekatkan cap berlabel subversif pada kami. Untuk membungkam mulut kami yang sedang giatnya mendumel resah. Orang-orang itu, tak lagi bersikap ramah, bertindak semau gue, yang jelas tak pernah lagi menerima kami utuh dan apa-adanya.

“Kami telah lelah. Setiap apa yang kami lakukan selalu saja salah. Namun, ketika kami bertanya dimanakah kebenaran yang seungguhnya tak ada seorangpun yang mau menunjukkannya. Semua orang coba menasehati, pura-pura peduli. Tapi, apa? Tahi kucing semua! Kami disuruh begini-begitu seenak perut dan congor mereka. Lalu, mereka bilang kami orang-orang sesat. Pengkhianat bangsa. Tapi, sekali lagi, tak ada yang memberikan peta untuk memandu kami ke jalan berikutnya, dimana jalan yang semestinya harus dilalui. Mereka hanya bisa membungkam kami lewat peluru. Sebutir peluru!!” kata penyair yang tadi baca sajak—lalu ia mengambil sebutir peluru, lebih tepatnya, selongsongan peluru yang tersisa di jalan. Di sisi tubuh kawan-kawannya telah melesat sebutir peluru. Ya, sebutir demi sebutir yang mengerubungi. Setelah tubuh diterjangnya satu per satu, brgelimpangan seperti mayat. Tumbang di tengah kelelahan.

~o0o~

“Bagaimana, Ira? Ah, mungkin kau juga tidak terlalu peduli dengan cerita-cerita sedih macam beginian. Kamu hanya tahu bagaimana shopping yang baik di mall, nomgkrong di diskotik sampai jauh larut malam, atau ber-hand phone ria dengan beberapa pria yang memuja-mujamu. Pria-pria yang kau berikan nomor undian untuk mendapatkan tubuhmu yang seksi itu. Kau tentu tak pernah merasakan kesedihan mereka. Aku sendiri, tak percaya dengan ceritaku sendiri, bila hal ini bisa terjadi di negeri ini. Negeri kita yang dibilang sejak dulu sebagai bangsa yang paling ramah dan beradab. Tapi, tengoklah, mereka yang membakar hidup-hidup, atau yang memukuli seorang pencuri seperti anjing yang mau di samsak. Aku tahu, mereka salah, tapi apa kita juga tidak salah? Ya, seresidivis-residivisnya penjahat, kalau hanya kabur tanpa menyerang petugas, untuk apa di-dor?

Tapi sebelum aku benar-benar menjemukan buatmu, biarlah aku teruskan cerita ini: Peluru-peluru yang berhamburan itu kembali dipunguti lagi dari aspal yang pekat. Mayat-mayat bergelimpangan diangkut dengan truk, oleh manusia-manusia bertopeng besi, berambut cepak, dan berhati besi, yach…tak ubahnya seperti robot-robot yang memiliki satu kode. Amis darah yang menghambur ke udara disemprotkan dengan gas air mata oleh mereka. Sedangkan, warna darah merah yang membekas di jalanan dibilas dengan air sungai yang disemprotkan oleh para pemadam kebakaran. Tak ada lagi rasa kecut itu, semuanya telah lenyap ditutup oleh pembantaian yang juga tak berbentuk. Ya, begitulah mereka, Ira, rasa takut memang telah menghilang dari diri mereka. Peluru-peluru yang datang menerjang tubuh dianggap sebagai anugerah yang turun dari langit. Siang itu, di langit telah tergambar dengan penuh kemurungan yang mendayu. Duka menyeruak di lazuardi. Tentulah, jelas sekali apabila sebuah peluru tak akan pernah sebanding dengan seonggok nyawa. Tapi…o… lihatlah…. Lihatlah mata mereka yang berbinar itu, nyali anak-anak muda nampak begitu jelas sekali. Mata yang gelisah, berbicara lantang terhadap kondisi, mata yang mengandung kebenaran. Ah, mata itu terlampau indah untuk terus menatap kepalsuan ini, kepincangan yang mewabah di sekitar. Dan, sebenarnya, jujur kuakui, aku sangat cemburu dengan mata itu, membuat aku agar segera mencungkilnya lalu mengawetkan dengan air raksa…


“Kau mungkin bisa membunuh kami, namun kau tidak dapat membunuh ketimpangan, kau tak dapat mematikan rasa ketidakpuasan itu, ” ada suara yang menggelegar di langit. Membahana, pantulan yang bergema dan sepertinya tidak sanggup dicegah lagi. Bergerak dengan kecepatan cahaya. Dalam hitungan detik. Merayap ke seluruh jalanan kota. Melintasi gang-gang dingin yang sumpek yang dipenuhi dengan coretan dinding. **

Ya, begitulah Ira. Ceritaku, apa-adanya. Aku tahu kau pasti tidak suka. Tipemu bukan cerita-cerita macam begini. Dan, lagi pula mana ada sih di negeri yang aman-sentosa kisah macam begini?

Berkisah tentang perkembangan perjalanan demokrasi Indonesia sebelum rezim Orba jatuh.

No comments: