Friday, October 13, 2006

Satu Cerita Tentang Tami............

Tami puteri Bandung. Gadis ayu ini lebih pantas menjadi anakku. Atau sekurang-kurangnya adalah keponakanku. Umurnya baru dua puluh tahun. Tidak sampai separuh dari usiaku yang 43 tahun ini. Sesungguhnya.

''Benarkah kamu serius ingin mengawini saya?''

''Hmm... Kenapa bertanya begitu?

''Aku ingin meyakini macam-macam perasaanku.

Perasaanmu. Atau mungkin perasaan kita.''

''Jika aku menjawab ya, apakah kamu...?''

''Heh... Tentu saja aku tak mau!''

Sudah sekian kali aku mengajukan proposal kawin pada Tami. Tak pernah ia menyetujuinya. Untuk kesekian kali aku tak bosan-bosan merayunya. Yang kesekian kali juga ia tak bosan menolaknya.

Kawan-kawan, terus terang sesungguhnya aku tidak serius merayu Tami. Hah, menikahinya?! Ho oh, tak mungkin... itu semua tak mungkin. Aku masih mempunyai kewarasan kelakian. Sebuah kewarasan yang kujadikan senjata bagi surviveku. Kewarasan yang amat aku bangga-banggakan.

Kewarasan mengajarkan perbedaan kontras tentang kultur masyarakatku yang senantiasa ku usung sampai di negeri ini. Seorang calon istriku mestilah taat dalam ajaran agama. Ia juga pandai mengurus suami. Bisa mengatur budget keuangan keluarga. Ia pun harus pintar mengambil hati supaya bisa masuk ke dalam sanubari selera keluargaku. Selera masyarakatku. Negeriku.

Pada diri Tami, satu pun tak ada yang pas dengan kriteria tersebut. Bahkan sangat berjauhan. Tami tidak bakal bisa mau mengerti tuntutan dan pelbagai tetek-bengek itu. Konsep perkawinannya, menurut reka-rekaku, sebatas pada kepentingan dia dan suaminya. Atau dia dengan anak-anaknya, itu pun jika ia memang ingin memiliki anak.

Ah, persetan betul dengan kewarasan! Aku menyukai Tami. Titik. Aku tidak bakal mau memperisterinya. Titik. Aku mau senang-senang saja. Titik. Aku tidak mau terikat tetek-bengek birokrasi, misalnya administrasi pernikahan apapun dengan dia. Titik. Semua, jika bisa harus kubuat titik. Titik.

Jika bung-bung paham, sebenarnya konsepsiku sudah jelas. Aku tahu apa yang kuinginkan. Aku tahu apa yang harus kuhindarkan. Semua ada di kepalaku. Semua ada pada rancanganku.

Aku sangat mengerti kecantikan Tami. Tubuhnya langsing semampai. Rambutnya lurus melewati bahu. Matanya biru meniru langit. Tatapannya acap membuat jantung berdebar-debar. Belum lagi bibirnya...Merah merekah dan selalu basah

Tami memang sangat pintar bermain cinta. Ia selalu membuatku lupa segala-galanya. Lupa umur. Lupa waktu. Lupa ruang. Lupa status. Lupa kenyataan potensi kelelakianku.

Aku dan Tami sering bepergian ke luar kota. Berdua saja. Musim semi lalu kami pergi ke Lembah Mawar, Kazanlek. Lalu memutar perjalanan ke sebuah kota kecil tempat wisata: Bogor yang berjarak 160 km dari Sofia. Ini kunjungan kami yang kesekian kalinya. Di sini kami biasa melakukan pendakian. Mendaki bukit. Mendaki cinta.

Sebuah kota bangunkan kita

Kamu ngelantur main cinta

Tubuhku meluncur dari ketinggian bukit

Bagai bola salju menghantam tiang-tiang troly

Di musim dingin nanti

Aku tergelincir di bibirmu beku

Kita akhirnya terbakar

Kota mendamparkan kenyataan

kewanitaanmu janjikan cahaya

kelelakianku kembali ke masa purba

Aku belajar tentang kegelisahan

Gelisah adalah kelahiranku

Yang kubawa berlari di pebukitan Bandung

dan menghempaskannya ke sejumlah susu

Sampai pada masa karam

di atas malam bersuhu nol

pada sebuah peristirahatan ketinggian Bogor

Di situ kita jatuh dan aku bergulingan

dengan bayangku yang dimangsa embun

Aku suka geli jika membaca catatan percintaanku dengan Tami itu. Setiap saat, jika catatan itu kubaca secara sengaja atau tidak sengaja, rinduku langsung menyentuh langit. Bagai remaja belasan tahun, akupun memburunya ke mana saja. Setelah bertemu, biasanya kencan kami jadi jauh lebih ambisius.

Tami mewarisi kecantikan Slav. Aku merasa beruntung menetap di Bandung. Bersyukur mengetahui kemolekan gadis-gadisnya. Satu di antaranya adalah kau, Tami.

Bung, padamu kukatakan, Tami jauh lebih memikat dibandingkan empat percintaanku di Yogya dulu. Tami memiliki kecantikan yang berpotensi meruntuhkan iman. Aku senantiasa menemukan kelelakianku pada tubuhnya. Sementara di Yogya dulu, masa percintaan lebih banyak diisi dialog budaya, diskusi kehidupan dan membeber kata-kata yang sesungguhnya sia-sia.

Tidak ada tidur bersama. Paling sekadar berciuman. Itu pun musti di tempat yang tersembunyi dari pandangan publik.

Masa lampauku memang membutuhkan itu. Masa kiniku memerlukan tuntutan lain. Cinta kubentuk lewat tubuh. Lewat bibir. Lewat ranjang. Bukan lewat kata-kata. Atau nurani. Atau norma dan nilai "ketimuran" (Aku begitu alergi dengan istilah ini).

Bung, ada juga aku mendengar tipikal wanita seperti Tami banyak di Jakarta sekarang ini. Bahwa mereka gampang diajak tidur. Gampang dicium di sembarang waktu dan tempat. Tetapi, bung, aku sangat tak yakin kecantikan mereka bisa mengimbangi Tami.

Permainan cinta Tami pun jauh lebih piawai! (Bung menduga, komparasi ini tentu berdasarkan pengalaman empiris. Aku jawab: Masya Allah!). Aku tidak mengada-ada.

Tami bagai penari. Tahu kapan dan kemana jari-jemarinya memetik berahi. Menyapu nafasku. Membuatku terbang. Menyadarkan kelelakianku. Pada gilirannya Tami otomatis telah membangkitkan vitalitas kerjaku sebagai manager perusahaan ekspor-impor pakaian jadi.


***
Tami puteri Bandung. Gadis ayu ini lebih pantas menjadi anakku. Atau sekurang-kurangnya adalah keponakanku. Umurnya baru dua puluh tahun. Tidak sampai separuh dari usiaku yang 43 tahun ini. Sesungguhnya.

Tami tiba-tiba mengejutkan. Dia datang tidak dengan jati dirinya yang lain. Matanya menatap tajam, menghunus sebuah nafsu. Semula kutafsirkan ia ingin mengajakku tidur. Atau menawarkan gagasan mengajakku ke luar kota. Liburan musim panas.

Konsepsiku tentang Tami segera berantakan. Membuatku panas dingin. Ketidak percayaan. Ketakutan. Was was. Cemas. Ragu-ragu. Curiga. Aku menduga-duga mana yang harus kuyakini.

Tami minta dinikahi! Karena alasan ekonomi. Ayahnya kena PHK gara-gara bank tempatnya bekerja bangkrut. Inflasi Bulgaria merajalela. Mata uang keras, terutama US$, dengan perkasa menginjak daya mata uang negeri mereka, Leva. Jika 3 bulan sebelumnya US$ 1 = Lv 75, kini menjadi Lv 190. Harga-harga membubung ke langit pekat.

''Masa alasan ekonomi begitu membuatmu berubah?''tanyaku.

''Kamu menolak? Terserah. Kita bisa pisah sekarang!''

Aku seketika tahu Tami benar-benar serius. Diam-diam dia pun menyadari keberpuraanku mengajaknya menikah dulu. Dia pun mengetahui tipikal lelaki penipu seperti apa aku ini. Ya, aku memang suka berpura-pura. Aku memang egois. Sesungguhnya aku memang tidak pernah serius. Kecuali aku sangat serius untuk bermain-main.

Tami pergi meninggalkan ultimatum. Aku hanya diberi waktu 24 jam memberi keputusan. Tidak ada kompromi lagi. Tidak ada basa-basi. Tidak ada senda gurau. Ada pertanyaan. Maka harus ada jawaban. Absolut.

Aku benci dengan situasi ini. Semula kupikir ini akan mudah. Aku cukup mengatakan "Tidak". Lalu cao-cao, selamat tinggal. Dan aku bisa mencari bunga Bandung lain yang bisa menjadi pelipur sunyi. Toh, apa sih susahnya mencari wanita seperti Tami di sini. Ibarat mencari warung tegal di Jakarta.

Tapi aku menyadari bahwa tubuhku sulit menerima wanita lain kecuali Tami. Aku sudah mendapatkan tipikal wanita yang kucari saat ini. Aku tidak bakal bisa tenang tanpa merasakan baunya. Bibirnya. Tubuhnya...

Bung, akhirnya aku menyadari kelemahanku ini. Betapa aku didominasi oleh selera murah kaum lelaki. Bahwa aku tak lebih daripada pemuja seks. Bahwa aku ternyata juga lelaki absolut.

Semula ajakan perkawinan kujadikan permainan. Sekarang tidak bisa lagi. Kini aku dituntut untuk serius dengan permainan itu. Aku tak bisa bermain-main dengan keseriusan itu.

Aku belum mempunyai keputusan menerima atau menolak Tami. Aku tahu aku masih membutuhkan tubuhnya. Aku tahu aku tidak membutuhkan administrasi pengesahan hubungan kami. Aku tak menganggap perlu lembaga perkawinan. Paling tidak buat Tami.

Bung, aku sempat berpikir untuk menerima ajakan Tami. Menikah. Dengan begitu aku bisa tetap memiliki tubuhnya. Bahkan jadi lebih permanen. Soal ekonomi dia, terpecahkan. Soal biologisku, menemukan solusi. Dia senang, aku pun begitu.

Tetapi masalahnya, aku tak siap menerima cercaan keluargaku, teman-temanku, kerabat-kerabatku. Masyarakatku. Negeriku. Sebab mereka menganggap aku lebih pantas menikah dengan seorang perawan Melayu.

Hah, keperawanan?! Omongan busuk apa lagi ini. Walau hati kecilku memang menginginkan itu. Lelaki sebrengsek aku masih membutuhkan status perawan istriku? Lalu Tami?

Sebelum tidur denganku, Tami sudah biasa melakukannya dengan macam-macam lelaki. Katanya, dia memulai hubungan seks sejak berusia 14 tahun-- sesuatu yang amat lumrah bagi masyarakat Tami. Sesuatu yang sangat tidak lumrah bagi masyarakat aku.

Aku sendiri? Sejak dua puluh tahun lalu aku mulai mengenal hubungan seks. Pertama kali dengan Bibi Sita, istri dari teman Pakde Kardjo yang aku lupa namanya. Itu terus berlanjut. Jika dihitung, hingga kini aku sudah meniduri minimal 99 wanita. Mereka dari pelbagai etnis. Macam-macam bangsa.

Aduh, Tami, kau berikan soal super pelik padaku. Kau semburkan ide gila pernikahan. Sesuatu yang amat memuakkan aku. Melemahkan mentalku. Meluruhkan semangat hidupku. Membuka kedok kepalsuanku. Menguak tabir catatan buruk jalan hidupku.

Bung-bung, aku pun sempat terpikir untuk lari saja dari soal Tami. Aku membencinya. Aku mau muntah.

Masa deadline dari Tami tinggal sesaat lagi. Semalaman aku tidak bisa tidur. Beribu cerita mengalir di kepalaku. Biografi hidup dia menjulur satu persatu dari memoriku.

Sampai pada saat yang kritis. Adalah bayangan Tami menampar libidoku. Kisah winter yang lalu. Dalam memori itu, Tami menarik dan mencomoti mantel dan pakaianku pada sebuah lift blok apartemenku. Bibir Tami memerah. Lembut. Sesegar cocktail. Dan aku ingin mengunyah sopska salata ...

***

No comments: