Friday, October 06, 2006

Satu Cerita Tentang SMS

Hembusan nada dari lagu yang menenungku menghentikan kehidupanku. Suaranya
lamat-lamat kedengaran di malam yang menyepi ini. Walau pegal sedari tadi tak mampu hentikan jemariku menari, karena otakku kencang berlari. Kata-kata terus meluncur, mengalir, memecah selayaknya sel-sel yang membelah diri terus menerus membentuk jaringan. Dan tubuh dari tulisan mulai rampung, tinggal diperlukan sedikit nyawa untuk menghidupkannya. Aku ingin menyihir pada segala pembacanya.

Kebiasaanku mengatakan apa yang aku yakini pada semua huruf yang berbaris rapi terkadang membuahkan sebuah tulisan walau itu terkadang adalah dialog pada diriku. Dan itu menjadi begitu nyata ketika semua nyawa di rumah ini telah singgah pada keheningan malam. Aku mendapatkan segala percakapan pada keheningan ini, tak ada yang lebih indah dari mengungkapkannya. Bukan seperti mengigau diketidak sadaran yang aku yakini juga merupakan dialog yang terjadi di dalam mimpi. Realita yang terjadi sama, tapi mimpi kadang tak bisa dikenang kembali dengan sempurna, ingatan selalu memungkirinya. Bukankah ia hanya bunga mimpi, mekar di saat akal tertidur.

Kopi dan rokok teman yang setia, satu pelepas kantuk dan satunya lagi bagiku adalah penyambung nyawa. Hembusan yang aku yakini mampu mengalirkan kebuntuan, tercekatnya kebingungan dari mana aku harus memulai semua percakapan. Terkadang aku sedikit konyol, mengharapkan malam mampu berbicara, hanya sang penujum dan ahli bintang yang mampu bertahan menatap di kegelapan. Mataku merasa hampa pada kegelapan, pandanganku masih tak mampu menembusnya, andai aku bisa membaca segala hal di balik kegelapan. Malam bisakah kau berbicara?

Radio dari bilik teta’gaku sedikit mulai bersahabat, lagunya menemani. Tak terdengar suara-suara pemilik bilik, mungkin sudah tertidur atau mungkin ia sedang berpikir sepertiku. Lagu lama kembali melantun, sebuah lagu kenangan oleh Slank berjudul Anyer 10 maret.

Malam ini, kembali sadari ku sendiri
Gelap ini, kembali sadari kau telah pergi
Malam ini, kata hati harus terpenuhi
Gelap ini, kata hati ingin kau kembali
Hembus dinginnya angin lautan
Tak hilang ditelan bergalas-gelas arak
Dan kuterdampar…

Pengembaraanku pada jelajah ruang syair itu tergelincir, sebuah bip dari telepon genggamku (HP). Sepertinya ada SMS baru.

Apa kabarmu malam ini, aku rindu kamu
Sender : Bidadari; Sent: 12 Januari 2002; 1:30:14

Aku tersenyum sendiri, dia belum tidur. Bidadariku. Ingin aku membalasnya, tapi sudah dua minggu pulsaku habis. Isi dompet hanya cukup bertahan untuk makan dan membeli rokok hingga akhir bulan ini. Hanya bisa berharap dari gaji bulan berikutnya. Gaji bulan kemarin telah kupakai, sebahagian untuk membeli HP ini, sesuatu yang kurasakan kini sangat dibutuhkan untuk kemudahan komunikasi dilapangan selama peliputan berita atau tugas yang di jadwalkan padaku sebagai wartawan pemula.

…………
Malam ini, kita bernyanyi lepas isi hati
Gelap ini, kita ucap berjuta kata maki
Malam ini, bersama bulan aku menari
Gelap ini, ditepi pantai aku menangis
Tanpa dirimu ada disisiku, Aku bagai ombak tanpa air
Tanpa dirimu dekat dimataku, Aku bagai hiu tanpa air
Tanpa dirimu dekat dipelukku, Aku bagai pantai tanpa lautan
Kembali lah kasihku
Oooo…
Kembalilah kasih

Lagu itu masih melantun, belum selesai. Lagu dan isi pesan SMS, masa lalu...

Ketika itu aku masih kuliah, di perguruan tinggi negeri yang katanya gudang ilmu. Kenyataannya justru lumbung itu penuh tikus, semua yang ada hanyalah calon-calon plagiator. Dosennya tukang jiplak penelitian dosen dari kampus lain, mahasiswa menjiplak penelitian para senior yang telah tamat duluan. Sesama tukang jiplak sungguh damai, tak ada saling menyalahkan. Rektor memberi label baru, kampus industri. Penghasil robot-robot manusia, yang telah di-setting tanpa kesadaran dan nurani. Dan mahasiswa dikenal sebagai angka-angka, isi otaknya diperam dalam bilangan-bilangan jam lama perkuliahan dan kapasitas otaknya dinilai dengan bilangan-bilangan, skala 4 atau 5. Begitu juga mahasiswa, menilai dosennya dengan rupiah-rupiah.

Istilah kampus industri dipakai Mbah Rektor untuk mengimbangi pesan Mendiknas –Menteri Mendikte Nasib – dalam rangka penghapusan subsidi. Para peneliti kalang kabut mencari dana penelitian. Meneliti semut yang mengapa gandrung kerja, tinjauan kentut dalam etika kedokteran dihubungkan dengan adat istiadat atau pembelaan atas pembelaan atas pembelaan atas pembelaan studi kasus di partai beringin.

Mahluk yang selalu kutunggu di DPR (Dibawah Pohon Rindang) ini bukanlah tikus atau sejenisnya. Walau rambut sama hitam, jangan sangka ia akan terjebak oleh keju seperti tikus. Memandang keju pun ia akan berlari, apalagi tikusnya. Berbaju biru celana jeans hitam dia menyapaku. Berbicara panjang kali lebar, tidak ada makna menyempit atau meluas. Semua lugas dan tak berbekas salah prasangka. Kutahu ia orang yang paling jujur kukenal setelah Tuhan.

Bunyi yang paling kubenci itu mulai bersuara. Bukan mendecit seperti tikus. Atau mengeong seperti kucing. Hanya bip. SMS masuk ke inbox.

“Lagi-lagi sms masuk, siapa sih dia?” tanyaku curiga.

Aku bukan membenci teknologi atau karena aku tak memilikinya, tapi sungguh itu kurasakan terlalu mubajir. Mungkin karena aku dapat ditemukan di mana-mana karena aku selalu ada untuk tempat yang sama di tiap-tiap hari. Pagi hingga siang di kampus, sore di sekretariat, malam di rumah. Habis perkara.

“Temanku yang di Jakarta. Aku ‘kan pernah cerita, Abang ini yang membantuku dulu mencari bahan skripsi nantinya,” katanya sambil tersenyum, sejuta arti ada di bibirnya.

“Isi pesannya apa?” tanyaku lagi menyelidik.

“Hanya biasa, tentang sekarang dia ada di mana. Dan pertanyaan apakah aku sudah makan siang.”

“Bah. Kurang kerjaan dia, ibumu pun takkan seramah itu padaku. Memangnya dia mau kasih makan apa?” aku sedikit berang.

“Walah, Abang. Ini ‘kan basa-basi. Bunga-bunga percakapan.”

“Siapa pula yang merasa berbunga-bunga? Aku tak suka dengan segala keramahannya. Semua pria itu sama.”

“Abang berarti melawan teknologi,” ia coba mengalihkan pembicaraan, perdebatan yang kemarin-kemarin juga.

“Bukan aku melawannya. Tapi kuakui semua teknologi ada baik dan buruknya.”

“Keburukannya apa sih, Bang?”

“Dia merayumu. Kata-kata itu berbisa, dapat meracunimu. Sejuta janji sejuta mimpi. Kebenaran dan kebohongan beda tipis bila dipakai sebagai rayuan.”

“Abang marah nih, bukannya kata-kata Abang lebih mengena di hati. Ini ‘kan hanya tulisan bukan elusan,” godanya.

“Tapi kau akan ketagihan, seperti kerinduan bila kebiasaan itu hilang. Kau akan mengharap akan kabarnya. Mungkinkah kau sudah bosan denganku?”

“Walah Bang, kok segitunya. Aku juga sudah bosan menasehati Abang menghentikan merokok. Bukannya itu juga ketagihan?”

“Jangan disamakan dong. Kamu melarikan pokok permasalahan nih.”

“Biar Abang tahu kalau Abang juga egois. Mari berdemokrasi. Saling menghargai privasi,” dia berargumentasi.

“Oh ini yang kau definisikan privasi? Oke aku tak akan memarahimu,” aku meradang.

“Aku juga tak akan melarang Abang merokok,” dia naik pitam.

Kami diam, bisu. Angin terpana menangkap suasana dihadapannya. Suasana sejuk di bawah pohon ini mendinginkan panas di kepala perlahan-lahan. Seperti sudah ditakdirkan, lelakilah yang merayu wanita, mencoba untuk melunakkan hatinya.

“Maaf ya, aku cemburu. Aku takut kata-kata itu menculikmu dariku,” aku meminta maaf.

Dia hanya tersenyum, dia mengecup pipiku. Tapi matanya masih awas menatap pada genggamannya, HP itu.

“Bagaimana dengan deal tadi, berarti aku boleh merokok lagi dengan bebas.”

“Boleh tapi tak ada ciuman,” katanya ketus, marahnya bangkit lagi

Aku bengong.

Memikirkan antara pilihan berhenti merokok atau membiarkan hobi barunya, membuat aku bingung. Merokok sangat aku butuhkan, aku tak lengkap sebagai lelaki. Mencium juga kubutuhkan, aku tak lengkap sebagai pacarnya. Sama-sama kecut di bibir bila tak ada rokok dan cium. Tapi mengapa nyaliku hilang, bukannya aku bisa merayunya.

Hayalku terhenti sejenak, ada sebuah bip dari telepon genggamku . Ada SMS baru.

Yang bisa kukatakan malam ini, aku ingin selalu dekat denganmu
Mimpiku akan indah bila kau hadir di mimpiku,
peluk dan jangan lepaskan aku
Sender : Bidadari; Sent: 12 januari 2002; 1:44:08

Isi pesan seperti ini, yang tak aku inginkan dikirim pada gadisku. Bukannya ini akan membuainya, seperti apa yang aku rasakan sekarang. Walau itu hanya kata-kata.

“Ok, aku setuju. Aku berhenti merokok, kau hentikan menerima sms darinya. Atau dari yang lain. Biarlah kau katakan aku kolot, tapi aku percaya kalau kata-kata dapat menghipnotismu, seperti mereka yang bercinta di cyber, di MIRC,” kataku menyerah, bendera putih terkibar.

“Berhenti merokok total. Aku tak mau mendengar kau juga curi-curi merokok di belakang ku,” dia memastikan kembali kesepakatan kami.

Sejak itu, jatahku kembali lancar berjalan, tak ada sunatan. Tapi bibirku tetap kecut pahit. Nikotin telah mengikat liurku. Mencium asap rokok di sekeliling aku jadi ketagihan, tak ubahnya melihat orang makan nasi goreng dan aku hanya bisa menatap sambil berlalu mencium aroma yang gratis terbang. Di kebiasaanku berkumpul dengan teman-teman, membuat aku jadi bahan cemoohan, lelaki yang penakut pada wanita. Wanita ternyata jadi sukarelawan yang terbaik dalam mengkampanyekan anti merokok. Selain rumah sakit yang menakuti dengan poster penyakit kankernya.

Kebiasaan itu tak berlangsung lama, sekali waktu aku mencuri-curi merokok setelah kami berpisah pulang. Dan kupuaskan seperti tak ada esok hari. Sungguh puas menarik asapnya. Menelan dan membuang sisanya. Dan lengkaplah kejantananku, tak perlu membeli viagra.

Namun sepertinya ia pun tak jauh berbeda denganku. Sunyi rasanya dunia tanpa bunyi bip itu. Tak ada nada yang lebih panjang dan merdu selain dari sebuah nada. BIP. Sepertinya ku bukan gagap teknologi, tapi keindahan nada tak dirasakannya lagi dari musik-musik atau siulanku. Atau bisikanku. Aku cemburu. Dia jatuh cinta? Pada bip yang pertama?

Aku pernah curi-curi melihat beberapa pesan dari inbox di-messages, ketika dia lengah meletakkan HPnya. Sejak kesepakatan kami itu, dia makin tak sembarangan meletakkan HPnya. Aku pernah protes untuk itu, tapi dia bilang ia tak mau HPnya hilang, karena memang ia sedikit agak pelupa. Pesan ini tak sempat dihapusnya :

Tadi malam sejak pembicaraan terakhir
Aku tak bisa tidur, ingat kamu terus
Sender : pangeran

Sungguh siapakah yang terindah di dunia?
Bungapun tak bisa menyangkal
Dan mereka cemburu padamu
Sender : pangeran

Bangsat. Percakapan yang panjang tentunya di tiap malam. Dan mengapa aku harus cemburu? Pada pangeran? Pangeran kodok? Sialan, aku marah. Padanya aku bongkar semua itu, aku merasa tertipu. Dia terdiam, sudah kodratnya wanita diam. Mengapa harus ada kodrat lagi?

“Sejauh ini aku tak tahu tentang perkembangan apa yang kau rasa. Mungkin cinta tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Apakah kau telah terasuk dan diracuni oleh cintanya,” aku menatapnya tajam.

“Dia bisa menulis apa saja. Dan haruskah kita marah oleh semua kata-katanya. Aku akui aku tetap mencintaimu. Aku hanya bersahabat dengannya. Tak lebih,” dia menatapku, mencumbui amarahku.

“Tak ada asap kalau tak ada api. Aku tak mau kau terbakar oleh perbuatanmu sendiri.”

“Percayalah padaku untuk itu. Semua kata-kata itu hanyalah sekedar huruf-huruf yang tak ada makna. Ikon-ikon yang tak punya rasa dan ekpresi.”

“Tetapi bila terangkai dan bersanding di suasana yang manis, sebuah kata pun dapat melambangkan banyak hal. Apalagi bila kata-kata itu terus menerus hadir, penegasan makna akan lebih jelas.”

“Haruskah kau cemburu pada kata-kata. Dia tak dapat mengelusku. Hanya kau,” dia merayuku, dan aku lemah oleh kutukan segala kodrat ini.

“Aku orang yang paling percaya akan kejujuranmu. Itu sudah aku katakan dulu dan berkali-kali. Tuhan pun cemburu untuk itu. Tapi untuk terakhir kalinya, aku tak ingin kau membohongiku lagi. Hentikan saling membalas sms itu. Aku tak mau mengatakan pilih aku atau sms. Sungguh hina aku memberi pilihan itu. Cukup ini kesalahan yang terakhir, aku tak mau ditipu lagi,” kataku menegaskan.

Dia mengiyakan di pelukku. Amarahku mereda, jauh di relung hatiku aku menyadari penipuanku. Sepertinya kebohonganku dengan rokok membuahkan hal ini. Sejak saat itu aku berjanji berhenti merokok total.

Tapi yang kupandang – di minggu-minggu yang indah setelahnya – tak bisa menipu, di depanku sendiri aku membacanya. Bukan halusiansi atau mimpi :
Biar kupagut bibirmu
Nafasku tak putus mendapatkan
segala keindahan milikmu
Sender : pangeran

Jangan malu melakukannya, ikuti nalurimu
Buang jauh segala ragu, biarkan aku merasukimu
Segala kerinduan mencair kini
Sender : pangeran

Malam ini aku bahagia mendapatkanmu
Dalam pelukanku, jauh dilubuk hatiku
Aku tak ingin kau menjadi milik orang lain
Sender : pangeran

Aku begitu marah padanya. Segala alasan susah kuterima.

“Dia marah ketika aku cerita bahwa kau membaca sms nya yang dikirim dulu. Dan dia memancing kemarahanmu dengan mengirim sms ini. Sungguh aku tak melakukan apa-apa dengannya. Sungguh, jangan kita terjebak oleh permainan kata-katanya,” ia menangis, aku tak perduli lagi.

Aku telah berjanji. Kami dulu telah sepakat. Dan aku memutuskan untuk pisah dulu. Kini sudah 4 bulan lamanya aku tinggalkan dia. Aku beri waktu untuk memikirkan semua itu.

Apa kabarmu? Semoga kau bahagia dengan kata-kata nya.

Lagu dari bilik tetangga tak pernah terhenti, mencuri hening. Seperti sebuah narasi musik bagi ziarahku. Kasidah Cinta milik Dewa mengganggu, seperti mengejek. tapi kini aku merasakan hal yang lain. Sungguh indah kini. Apa kabar bidadariku :

Kujatuh cinta kepadamu
Saat pertama bertemu
Salahkah aku terlalu mencintai
Dirimu yang tak mungkin mencintai aku
Oh Tuhan tolong…
Aku langsung jatuh cinta kepadamu
Cinta pada pandangan pertama
Cinta yang bisa merubah jadi
hidupku jadi lebih berarti
Oh mungkin hanya keajaiban Tuhan
Yang bisa jadikan hambanya yang cantik
Menjadi milikku
……………..
Aku bukanlah laki-laki
Yang mudah jatuh hatinya

Dan sms kembali datang, tapi aku tak punya pulsa :
Rasuki aku dengan nalarmu dengan lenguh mu
Bibirku masih kering, tubuhku haus oleh keringatmu
Sender : Bidadari; Sent: 12 Januari 2002; 2:10:27

Bang, aku hamil 4 bulan. Oleh kata-kata
Bagaimana ini, Bang? Dia tak mau bertanggung jawab.
Selain hanya kata-kata. Maafkan aku dulu. SMS balik aku
Sender : gadis; Sent: 12 Januari 2002; 2:15:47

Maaf Dika, aku salah kirim sms.
Maaf yaaa….
Sender : Bidadari; Sent: 12 Januari 2002; 2:17:27

Aku terpana, tapi aku tak punya pulsa. Untuk memaki.

Dan radio itu masih bernyanyi, untuk semua wanita, untuk semua setan yang menemaniku.

***

Kitab2 kuning berbalut sampul tebal itu aku hamburkan ke seluruh sudut kamarku, satu sudutpun tak kubiarkan lepas dari cengkeraman kemarahanku. Goresan2 huruf Arab yang selama ini telah kupelajari dengan tekun ternyata tidak membawa hidupku menjadi lebih baik. Jeritan jiwaku sudah melelehkan belenggu besi yang selama ini terlalu kuat untuk aku lawan. Aku telah terkapar di lembah yang telah diciptakan oleh institusi2 bejat yang dilegalkan oleh waktu dan peradaban.

Daqaa'i qul Akbar, Ghoyat at-taqrib, Ushfuriyah, Fadhoitul Amal, .........aku tidak tahu lagi, berapa jilid kitab2 kuning yang telah aku pelajari. Aku hanya menghamburkan mereka, berharap ada yang mendengarkan kekecewaan hatiku. Lelah menangis, aku mengambil kitab terakhir yang masih tersisa di meja belajarku, Uqudul lijain...........spontan aku sobek2 lembaran itu, seakan membalas dendam atas isinya yang telah menyobek2 harga diriku sebagai seorang wanita muslimah dan seorang manusia merdeka.

Diinginkan diriku oleh si tua itu, seseorang yang selalu memimpin sholat berjamaah di kampungku, yang sebelumnya telah mempunyai tiga istri, dan aku dijadikan pelengkap dikarenakan itu sunnah Rasul*. Tidak hanya sunnah bahkan, ditambahi label muákkadah** dibelakangnya. Aku tidak habis mengerti, apakah orang-orang itu tidak bisa berhitung matematika, bahwa 2 itu lebih banyak daripada 1, dan kalau mereka mengerti hukum demokrasi, bahwa 2 itulah yang akan menang. Selalu mereka gembar-gembor ayat suci yang dipotong demi kepentingan patriarki, "kamu (laki-laki) boleh menikahi wanita satu, dua, tiga, atau empat", tanpa menyebutkan lanjutannya yang mengharuskan untuk berbuat adil, satu syarat yang sangat berat, bahkan Nabi Muhammad pun tidak bisa berbuat adil terhadap istri2nya, hanya adil lahiriah yang beliau bisa laksanakan, adil batiniah beliaupun harus angkat tangan. Apalagi jika ditambah dengan lanjutannya bahwa adil itu sangat susah bahkan mustahil terlaksanakan oleh seorang lelaki yang beristri lebih dari satu. Betapa berani mereka mendasarkan legalisasi poligami atas ayat suci Qurán yang mulia itu, sedangkan dengan pongahnya memotong sebagian untuk menonjolkan sebagian yang lai

Berat sungguh kurasa, mataku semakin terpejam, seakan tak mau terbuka lagi. Hanya setetes demi setetes air mata yang menyelinap dalam ketertutupan itu. Kehidupanku selanjutnya pasti akan sangat berbeda dari hari2ku sebelumnya. Dua hari ini perutku sudah tidak mau menuntut untuk diisi, hanya suaranya saja yang kadang mengganggu telingaku, tapi perintah hatiku tetap mengatakan tidak mau. Aku menutup jendelaku rapat-rapat, malu aku pada rembulan, tak ingin aku dibelai angin lagi, aku hanya ingin menyendiri dan meratap. Mencoba mencari sedikit alasan untuk tetap hidup dan berkarya sebagai makhluk.

Semakin larut, malam menarik selimutnya yang lembut, walau aku sudah tidak bisa merasakan kelembutan lagi. Kecantikanku selama ini ternyata tiada berarti, dan hanya akan kuserahkan kepada orang yang tak bisa aku mengerti. Untuk apa aku belajar selama ini, kalau ilmu2 itu hanya dipelajari "bil barkah", hanya untuk mendapatkan berkah dari pengarang2nya yang telah dipeluk dan dilumat bumi ratusan tahun yang lalu, sedangkan ilmunya sendiri tidak bisa dipraktekkan, kalaupun bisa sudah ketinggalan kereta peradaban. Romantisme masa lalu berlebihan yang banyak dipunyai oleh manusia-manusia beragama di jamanku.

Kuhempaskan dalam2 mukaku di bantal, sedalam hempasan asaku yang telah mencapai titik terendah. Kucoba menahan nafas, berharap derita batinku berkurang, tapi ternyata tak membantu sama sekali. Paru2 ku terasa penuh oleh sampah2 kehidupan, digerogoti sedikit demi sedikit, menyakitkan dan mengantarkan bau2 alam aneh yang tak dimengerti oleh seluruh badanku.

Kubalikkan badan lagi, mencoba menarik nafas dalam, sedalam tarikan lubang2 hitam atas bintang2 di sekitarnya, kuulangi berkali2, dan ternyata tak berpengaruh banyak. Kulepas satu persatu bajuku, jilbabku kulempar entah kemana, aku telanjang, tanpa sehelai kainpun menempel di tubuhku. Bersujud di kegelapan, sekali lagi aku meratap, dan ingatan2 indah itu seakan mengejekku, saat aku masih menjadi idaman para pemuda kampung, saat aku masih bisa bebas berimajinasi dan melukis masa depanku, saat aku masih bisa berbicara tidak, saat daun2 masih mengucapkan selamat pagi pada parasku. Telanjang seperti waktu aku pertama kali menghirup udara bumi, dan bersujud pada-Nya seperti sujudku waktu masih hangat mendiami uterus.

Sumpah serapah hatiku atas nasibku tak tertahan lagi, kuingin tumpahkan semua. Kenapa aku harus jadi korban sebuah anggapan yang belum tentu benar. Kalau mereka mau melaksanakan sunnah Rasul, kenapa mereka tidak mengawini janda2 tua yang tidak punya perlindungan seperti yang dilakukan Rasulullah. Kalau benar mereka mau bersunnah, tidakkah mereka tahu bahwa istri Rasulullah yang cantik hanyalah Zainab dan Aisyah, sedangkan kiai calon suamiku ini memilih istri2 muda dan cantik yang masih gadis saat dikawini. Dan aku tahu pasti laki-laki ini tak pernah menyentuh pekerjaan dapur, sedangkan Rasulullah Muhammad sering memasak untuk keluarga di waktu luangnya.

Genggaman tanganku kupukul-2 kan ke lantai, berharap kesedihan ini mampu mengeraskan suaranya menembus batas2 surga, sehingga Nabi Muhammad-ku mau mendengarnya. Mengharap kelembutannya dan kejeniusannya menuntut manusia-manusia yang mengaku mengikutinya tetapi sama sekali tidak mengerti pesannya. Semakin sakit jari-jemariku menabrak lantai2 dingin, tapi kesesakan jiwaku tak juga berkurang.

Tiba-tiba teringat aku akan tajamnya pisau yang sering aku pakai untuk memotong bunga mawar di belakang rumahku, kilauannya menarikku untuk memeluknya, tidak hanya memeluk, tetapi mendekap manja. Seerat mungkin, membagi dukaku, dan karena memang tajamnya setajam dunia yang telah merobek hidupku.

Darah berlumuran....hanya kurasakan alirannya, karena gelap menghilangkan warnanya.

Tak lama kemudian..., aku bisa melihat tubuhku sendiri, telanjang penuh darah, memeluk lantai, dan tangis membahana dari sanak saudara................

No comments: