Wednesday, October 04, 2006

Satu Cerita Tentang Sepotong Pagi, Telur Mata Sapi dan Kopi

Sepotong pagi tak pernah jenuh membukakan segala jendela kemungkinan. Begitu aku menyukai pagi karena sinarnya menerobos lewat tirai. Rasa hangat yang nikmat. Membias pada sebagian ranjangku. Seperti bayang seseorang yang datang dari dunia gelap dengan tubuh terangnya. Kadang aku membayangkan seorang perempuan yang menjemput dan mengajakku bercinta. Karena gerai tirai yang tertiup angin meliuk, hingga terobos matahari serupa bayangan perempuan yang menari.

Namun sejak tiga hari ini tak pernah lagi kubayangkan seorang perempuan. Seorang perempuan telah temani aku menjemput pagi. Rautnya dengan wajah yang kusut adalah sensasi yang tak pernah diberikan oleh khayalan. Tergeletak tanpa rasa jengah. Begitu pasrah. Hem putihku yang dikenakannya telah mengusut. Demi Tuhan, begitu menggairahkannya seorang perempuan yang mengenakan hem putih kekasihnya, yang sebenarnya terlalu besar baginya. Dan kini ia menggeliat, tatap aku dengan mata kucingnya. Lantas kakinya disilangkan dan matanya mengerdip nakal.

Aku tetap duduk pada kursi menatap lurus ke arahnya. Tiba-tiba ia merangkak di atas ranjang, berputar dalam posisi duduk. Kemudian berdiri di atas kasur. Kedua lengannya diangkat ke atas, hingga tersembul perutnya yang lembut. Jemarinya ia gerakkan seakan panggilan untuk bercinta. Namun aku tak bergeming. Aku ingin melihat seberapa besar keinginannya untuk bercumbu. Dan hup, ia meloncat dengan langkah ringan ke lantai. Kemudian ia duduk di pangkuanku. "Namaku Rachel, dan kau lelaki tampan siapa namamu?"

Begitulah aku mengawali pagi tiap harinya. Ia adalah kucing rumah yang liar, sedang aku malu mengumpamakan aku serupa dengan apa. Namun pagi kami adalah rutinitas percakapan lekat yang tanpa sengaja terekam oleh dinding-dinding berwarna peach. Pagi kami adalah ciuman kecil serupa arus yang dapat menguat atau berhenti pada tepian. Pagi kami adalah seribu rencana kantor, dan malam-malam saling melingkar lengan. Sepotong pagi kami adalah telur mata sapi, dan secangkir kopi.

Tak ada yang salah sebenarnya sampai suatu hari kami mulai mempermasalahkan telur mata sapi dan kopi. Entah siapa yang memulai, yang jelas suatu hari pagi kami mesti ternodai dengan selisih tentang itu.
"Arman, seharusnya kau yang menyiapkan kopi pagi ini. Kau tahu aku terburu-buru karena ada pertemuan dengan klien besar jam 10 nanti." Rachel memakai blazernya. Sempat kulihat blusnya yang magenta telah menyita mataku. Ia nampaknya tahu kemana arah pikiranku. Dengan sebal dilemparnya aku dengan bantal.
"Jauhi pikiran jorokmu. Seharusnya kau buat kopi pagi ini."

Dengan malas aku beringsut menuju dapur. Menjerang air hingga mendidih nantinya. Aku duduk sambil membayangkan apa yang akan aku tulis untuk feature nanti. Belum lagi aku mendapatkan ide, sebuah suara mengejutkan aku.
"Sayang, aku berangkat." Aku menyodorkan pipi, berharap ia mencium lebih dari sekedar pipi. Namun dengan ringan ia berkata,
"Tak ada ciuman pagi ini, sayang."

Ini pagi kesekian, dan kami tetap berkutat dengan persoalan yang sama. Tentang siapa yang seharusnya menyiapkan kopi dan menggoreng telur mata sapi. Rachel tetap merasa seharusnya akulah yang menyiapkan itu semua, mengingat ia yang harus berangkat kerja terlebih dahulu. Sedang aku yang selalu berangkat lebih siang seharusnya mengerti tentang hal ini.
"Kemarin aku yang membuat kopi, dan sekarang aku lagi sayang?" tanyaku dengan kata sayang yang aku tekankan.
"Bukan masalah siapa yang membuat kemarin, atau kemarinnya lagi. Tetapi Arman, demi Tuhan aku harus ke kantor lebih pagi.."
"Karena klienku kakap kali ini," potongku cepat, karena aku tahu kelanjutan ucapannya.
"Nadamu sinis, sayang."
Kali ini Rachel-lah yang memakai kata sayang dengan penekanan yang begitu kentara. Matanya yang serupa kucing, menatapku dengan garang. Gila, betapa perempuan ini dapat begitu cantik dalam keadaan marah sekalipun.
Dengan sebal kulempar koran pagi ke meja makan. Tak kulihat ekspresi wajahnya.
"Aku sarapan di dekat kantor saja," ucapnya cepat seakan tak memperhatikan sikap kasarku. Dan aku tahu pagi ini tak ada ciuman seperti kemarin.

Malam-malamku adalah dua punggung yang tak saling menyapa. Heran, kami telah berhenti bercinta sepanjang dua minggu ini. Aku tak tahu kemana perginya hasratku. Dan aku tak habis pikir, ke mana gairahnya dengan tarian dan hem putihku yang sering ia gunakan untuk menggodaku. Kami sedingin malam bulan Januari yang menghujan. Tak ada api yang memerahkan ruangan ini hingga membakar seluruh kordennya. Kadang kami berdua terkikik membayangkan bahwa baru saja ada dua ekor naga yang menghembuskan nafas di ruang tidur kami. Begitu panas akan gairah yang baru saja tuntas. Aku hanya bisa melukis hasratku pada punggungnya yang tanpa cela –terkadang aku mencuri lihat ke arahnya-. Punggungnya bagai nyanyian musim semi, daun-daun yang tumbuh pada pucuk-pucuk pohon oak. Begitu dekat, namun bagai panggilan dari belahan dunia yang jauh. Seakan tak terjangkau. Dan punggung itu terus membisu hingga keesokan paginya.

Pagi hari, kami masih saling menyindir siapa yang seharusnya membuat kopi dan telur mata sapi. Hingga suatu hari, akulah yang harus pergi lebih awal. Dan kesempatan ini tak kulepas begitu saja. Sejak semalam aku telah menjelaskan aktivitasku esok paginya. Tentunya dengan penekanan bahwa akulah yang harus pergi lebih awal. Maka ketika aku melihat di meja makan tidak kudapati secangkir kopi, aku memulai percakapan.
"Kopinya mana sayang, aku buru-buru nih…"
Rachel dengan santai mengikat rambutnya. Seakan tak mendengarkan celotehku. Ia malah masuk ke kamar dan sibuk memilih busana yang akan dipakainya hari ini. Perempuan ini memang menarik. Dalam setiap geraknya, seperti saat ia mematutkan blus dan syal begitu mempesona. Rambutnya yang bergerai sebahu nampak turut sibuk mengikuti segenap langkahnya.
"Rachel, sepertinya kita perlu bicara."

Kami duduk di meja makan dengan wajah tegang malam harinya, walau aku tahu kami berdua sama-sama melunakkan ekspresi yang keras. Garis- garis wajahnya yang telah kuhapal benar, telah menarik senyumannya. Hingga yang terlihat segaris bibir yang tipis, yang siap untuk meluncurkan kata-kata.
" Mengapa kita berselisih karena telur dan kopi?"tanyaku yang sebenarnya aku ajukan bagi kami berdua.
"Aku tak pernah mempermasalahkan itu, kau yang mempermasalahkannya."
"Bagaimana aku tidak mempermasalahkan bila setiap hari selalu aku, aku yang membuat kopi. Apa ini menurutmu adil?" tanyaku.
"Arman, cobalah kau ingat. Kau selalu punya pagi lebih panjang daripada aku. Jam kerjaku nine to five, walau kadang lebih malam. Dan kau, jam kerjamu yang menjelang sore hingga malam. Pernahkah aku mengeluh membuatkan kau secangkir coklat setiap malamnya."
"Kita bicara tentang pagi, sayang,"ucapku sambil menghembuskan asap rokok. "Kita bicara tentang awal hari, di mana kita seharusnya berbagi."
Kulihat Rachel memandangku tak berkedip. Aku rasa ia masih bisa mengendalikan marahnya dan nampak berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.
"Baik, kita buat jadwal."
"Setuju."
Rachel langsung berdiri, namun aku mengamit lengannya.
"Jangan lupa, buat juga jadwal bercinta. Sesering mungkin."


Namun jadwal yang kami buat, kami langgar sendiri. Ada saja alasan untuk melanggar. Dan berpuluh alasan lainnya sebagai pembelaan dari kami berdua. Kurasa kami telah menjelma menjadi sepasang naga yang saling terusik. Dan saling melemparkan api amarah. Hingga korden terbakar, bukan lagi karena gairah. Namun amarah yang himpit di dada kami.

Kami berubah jadi manusia-manusia yang sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang berceceran di lantai ruang tamu apartemen kami. Kami berubah menjadi manusia-manusia yang benci akan hari Minggu. Karena hari Minggulah, hari di mana kami tak bisa ke kantor. Hingga kami sibuk membuat rencana lunch dengan teman-teman lain. Aku bahkan sudah membuat jadwal berhari minggu hingga bulan depan. Bukan main.

Dan Rachel, kurasa punya jadwal yang sama ketatnya. Lebih ketat malah, karena pernah aku melirik agenda kerjanya: jadwal hari minggu telah penuh sepanjang dua bulan! Menakjubkan! Dan masalah kopi lambat laun bukan jadi masalah lagi. Karena entah mengapa –aku baru sadar- telah dua bulan ini, aku tak pernah sarapan lagi. Aku sengaja bangun siang hari setelah Rachel berangkat. Setelah itu aku segera berangkat ke kantor. Kurasa Rachel juga melakukan hal yang sama. Tak ada lagi pagi, yang menyapa kami berdua. Juga kopi dan telur mata sapi.

Kebiasaan meminum kopi tiap pagi hilang begitu saja. Itu aku baru sadari, ketika harus mengejar dealine tulisan seorang rekanku mengangsurkan kopi.
"Ngopi dululah Arman, biar tak mengantuk."
Masih dengan merokok, aku meneguk kopi yang tidak terlalu panas itu. Puah, pahitnya.
"Gila, yang benar saja kau Ray, kopi ini pahit sekali!"
"Mana ada kopi yang manis," ia menyeringai lantas berlalu ke desk-nya. Sambil berjalan ia berteriak,
"Kau tambahi gula sajalah…"
Namun itu tak kulakukan, karena aku telah menemukan gairahku dalam menulis.

Esoknya, ketika Rachel telah berangkat kerja, aku memulai kembali rutinitas membuat kopi dan telur mata sapi. Namun rasa kopi itu begitu masam dan pahit, bahkan ketika aku menambah takaran gulanya. Aneh. Mungkin kopi ini terlalu lama menghirup udara, hingga rasa dan aromanya tercemar. Hingga aku putuskan untuk membeli kopi di pasar swalayan sebelum berangkat ke kantor nanti.

Ini hari Minggu, dan ternyata aku lupa membeli kopi kemarin. Sialnya lagi, semalam kawanku mengirim sms bahwa acara jalan-jalan kami batal. Dan sendirilah aku tanpa kopi, dan Minggu tanpa aktivitas. Dalam diam, aku memandangi dinding kamar yang lama tak pernah aku sapa. Warna peach yang membosankan! Dan aku putuskan untuk menguningkan dinding ruang tamu, tanpa sepengetahuan Rachel. Aku tak menyangka aku punya energi yang begitu besar untuk menguningkan dinding. Setelah selesai, aku merasa puas. Begitu cerahnya ruang tamu kami. Namun rasa sepi tak dapat tergantikan dengan warna dinding apapun. Aku duduk di ruang tamu menanti Rachel. Ia datang, dua jam kemudian. Wajahnya nampak letih. Namun ia berusaha tersenyum dan menampilkan bahwa ia sangat menikmati hari itu. Wajahnya agak sedikit terperangah saat melihat dinding yang sedemikian cerahnya.
"Bagus. Cerah. Kau yang mengerjakannya sendiri sayang?" Ia mengelus rambutku dan berlalu. Adakah warna yang lebih cerah dari kuning benderang?

Ini pagi kesekian, setelah penguningan dinding. Ada yang aneh. Aku tak lagi bisa menikmati kopi. Awalnya aku pikir kopi yang dulu berasa masam karena terlalu lama tidak dipakai. Namun setelah aku berganti-ganti merk kopi, mulai dari yang murah sampai yang mahal, instan hingga kopi gilingan semuanya berasa tak sedap di lidahku. Aneh. Dan pertanyaanku tentang rasa kopi yang sepat itu aku tularkan pada Rachel, dengan membuatkannya kopi.
"Pagi Rachel…"
Jemariku menunjuk pada kopi yang kusediakan di meja makan. Ia tersenyum. Ternyata telah begitu lama, aku tak melihatnya tersenyum semanis itu.
"Terimakasih sayang. Tapi aku bukan peminum kopi."
Ia melihat aku mengerutkan dahi. Ia tertawa, begitu tawanya mengguncang dadaku.
"Mulai kapan?"
"Mulai aku merasa kopi tak lagi nyaman bagiku."

"Nyaman," ucapku seperti orang dungu.
"Ya. Entah mengapa, semua kopi terasa sepat. Aku tak tahu mengapa. Dan aku mulai merasa tak nyaman jika harus mengopi pagi hari. Bahkan siang, atau malam."
Aku tertawa melihat caranya berbicara, ia juga tertawa.
"Kau selalu bangun kesiangan. Kau tak tahukan apa yang aku makan setiap pagi?"
Aku menggeleng, seperti orang dungu. Ia menyiapkan berkas-berkasnya dan memasukkannya pada tas kulit warna khaki.
"Mulai besok, kau bangun lebih pagi. Dan kau bisa melihat apa yang aku makan."
"Mengapa bukan sekarang?"
"Kau lebih tampan dengan wajah merajukmu. Tapi makanan itu habis, sayang. Aku harus membelinya nanti. Bersabar ya?

Aku membayangkan apa yang dimakan Rachel pagi harinya? Nasi uduk yang diawetkan? Atau biskuit pengenyang rasa? Aku berpikir, bahkan ketika aku berbelanja ke swalayan sebelum ke kantor. Ketika melewati rak berbagai jenis kopi rasa muakku tak tertahankan. Aku terhuyung-huyung nyaris terjatuh. Gila, aku benar-benar phobia akan kopi. Hingga dalam terhuyungku ternyata aku telah berdiri di depan rak makanan. Sereal. Aku membelinya beberapa, dan berjalan menghindari rak kopi yang seakan memanggilku untuk singgah. Esok paginya, aku bangun pagi-pagi benar. Dan Rachel sedang di dapur, dengan hem putihku. Aku tak tahu, apakah ia sengaja memakainya. Namun seperti aku bilang sejak awal, aku tergila-gila dengannya dengan hem yang kebesaran itu.
"Pagi Arman…"
Ia membuka pintu lemari makan. Dan mengeluarkan sebuah kotak dari kantung plastik.
"Mau, ini yang aku makan setiap pagi."
Sekotak sereal dengan merk yang sama, seperti yang aku beli kemarin.

Sejak saat itu, aku dan Rachel selalu menyantap sereal setiap paginya. Tanpa amarah, atau saling melempar tugas. Aneh. Padahal apa beda kopi dengan sereal? Toh keduanya butuh air panas untuk menyeduhnya. Namun begitulah. Setiap pagi kami menatap dinding- dinding yang telah kembali ke warna semula, peach. Ada yang berubah, ada juga yang tidak. Seperti sepotong pagi yang selalu kami lalui, berdua.

No comments: