Thursday, October 19, 2006

SaTu Cerita TenTanG Blues UnTUk TiGor

Cerpen Voiceless

1996, Musim hujan di bulan tertentu.

Ada sesuatu yang magis dalam nada-nada blues. Nada-nada melankolis adalah nada yang paling kusuka dalam lantunan jargon-jargon blues ketika itu. Gary Moore, Jimmy Hendrix dan lainnya kerap kupersepsikan dalam kamarku. Ketika jari-jariku belum mampu menari-nari di atas gitar pemberian Tigor, aku lebih sering berfantasi dengan setangkai sapu di pojok kamar yang berada di balik pintu – berlagak menjadi idolaku di depan cermin.

Pendekar-pendekar blues yang kusebut namanya sebelumnya telah kuanggap sebagai nabi-nabi untuk segmen di jiwaku yang memeluk agama bernama blues. Aku yakin bahwa manusia adalah segambar dengan Penciptanya. Sebagaimana penulisku menggoreskan aku dalam barisan kalimat-kalimat yang sedang kalian baca, aku terlahir dari ruang penciptaan di kepalanya. Penulisku adalah manusia biasa, seperti juga kalian. Manusia terlahir dari dalam alam pikir Pencipta, yang disebut-sebut sebagai causa prima. Frasa Latin ini kuanggap sebagai peng-istilah-an yang tepat untuk mendamaikan kutub ilmiah dan kutub yang tak ilmiah. Bahwa kehidupan pastilah memiliki penyebab pertama. Manusia segambar dengan Penciptanya, apapun nama Penciptanya. Aku meyakini hal ini-hal yang bukanlah orisinal dari ruang penciptaan kalimat di otakku. Aku butuh keyakinan untuk menepis kekosongan-kekosongan.

Sebelum kalian tertipu dan menerima kisah ini begitu saja karena kurang memperhatikan hal-hal kecil, aku akan memperingatkan bahwa realita aku pada tahun 1996 tidaklah sekompleks pemikiran 'aku' yang dituliskan dengan latar tahun tersebut, pada di kekinian cerita ini, di tahun 2002-nya kalian, Pembaca-Pembaca yang Budiman.

Aku di tahun 1996 cuma menjadi fragmen memori dalam akumulasi pemikiran penulisku dengan masa lalunya dan-seperti kalian juga-sedang berjalan menuju masa depannya yang tak pasti alurnya. Alur menuju masa depan yang tak pasti miliknya diakhiri oleh kepastian dalam kematiannya kelak di dunia.

Karena kehidupanku melangkah dalam tapak-tapak waktu, waktu jugalah yang mengajarkanku bahwa aku cuma punya masa lalu dan kematian. Keduanya adalah kisahku. Kisah besar yang akan selalu diingat oleh orang-orang yang mengasihi aku dan yang kukasihi. Kemudian aku diajarkan bahwa kasihlah, cintalah yang membuat masa lalu dan kematianku kelak menjadi berarti.

Aku sendirilah kehidupanku. Masa lalu yang di awali kelahiran menuju kematian adalah jarak untuk setiap langkah dalam tapak-tapak waktuku, langkahku yang hidup.

Aku terlahir untuk lebih mencintai air mata dan kesedihan. Ironis sekali bahwa aku sangat sulit meneteskan air mata. Laki-laki tak seharusnya menangis. Sebagai ganti untuk tangisan-tangisan kesedihan aku memilih blues untuk menghanyutkan kesedihan ke dalam lautan perasaan-untuk mengencerkan kepekatan rasa sedihku di dalam keluasan ruangnya. Masih tanpa air mata.

Blues menggerakkan jari-jariku untuk belajar menari di atas dawai-dawai gitar. Takkan kuumbar sebuah gitar untuk membual bahwa aku adalah lelaki romantis. Tentunya kalian melihat validitas pola sebab-akibat dalam kisahku, bukan? Pola itu, sebagaimana pola-pola lainnnya menjelaskan fenomena ataupun membangun fenomena bermuka dua: diharapkan dan tak diharapkan. Fenomena yang diharapkan sebagai produk utama dan yang lainnya sebagai produk sampingan. Aku berpikir bahwa hal ini bukanlah sekedar pretensi yang kubuat-buat untuk menjebak kalian melalui tipuan-tipuan ideologis.

Ah.ya, aku suka blues. Selang beberapa bulan dalam tahun 1996 aku telah agak mahir mengkombinasikan jemari dan dawai-dawai untuk mentransfer perasaanku dalam bunyi-bunyian yang menyayat hati.

Aku jatuh cinta pada gitarku. Tidak gitar lainnya.

Aku jatuh cinta pada bluesku. Tidak blues lainnya.

***

1996, Masih musim hujan.

Dengan seragam abu-abu dan putih yang kukenakan, aku memulai pelajaran SMU-ku di sebuah sekolah negeri yang murah dan bermutu. Murah, karena SPP kami terbilang kecil. Hanya sebesar tiga tibu rupiah. Bermutu karena hanya murid-murid yang memiliki level berpikir rata-rata delapan yang tertulis pada daftar NEM tingkat SLTP yang layak terdaftar di SMU ini. Banyak sisi cerita dari apa yang tertulis.

Banyak sisi yang harus dipertimbangkan untuk menjadikan rata-rata delapan tersebut menjadi sebuah representasi yang cukup untuk mewakili kualitas berpikir murid-murid di sekolahku.

Hmm.aku tak bermaksud membuat kisahku menjadi konstruksi sebuah klasifikasi level berpikir manusia berdasarkan variabel-variabel yang hanya berisikan angka-angka.

Aku hanya ingin mengisahkan bahwa di sekolah inilah aku telah hampir dua tahun bersahabat kental dengan seseorang yang bernama Tigor. Tigor Pandapotan Rumahorbo, anak tunggal keluarga Batak yang kaya-raya.

***

Kantin Kak Nanik sesak dengan pemuda-pemuda berseragam SMU pagi itu. Aku dan Tigor berada di antara kumpulan pemuda-pemuda itu, untuk sekedar mengisi perut di awal pagi. Kami biasanya memakan lima buah tahu isi dengan harga dua buah tahu isi. Kami memang brengsek. Jika ketahuan, kami biasanya berdalih dan merayu Kak Nanik agar berdoa kelak kami menjadi orang berhasil. Dalam keberhasilan itu, kami akan selalu mengingat Kak Nanik. Aku dan (terutama) Tigor yang gape dalam hal cas-cis-cus kerap mengeksploitasi Kak Nanik yang hanya lulus SD dengan janji-janji masa depan kami.

"Kau tidak ikut kelas Biologi-nya Ibu Simanjuntak, Di?" demikian tanya sobat karibku dengan mulut yang penuh dengan tahu dan sayur-sayuran.

"Ngga, ah. Malas, " jawabku kalem sembari menikmati teh manis yang telah menghangat.

"He.he.he, " Tigor tertawa jenaka dan melanjutkan dengan ngocol ba-bi-bu. "Presiden sudah ada, Menteri sudah ada. Buat apa belajar Biologi jika keadilan hanyalah sebuah omong-kosong di negeri ini?"

Aku terkesiap mendengar pernyataan asal jadi Tigor yang nyeleneh itu. Dia memang jeblok secara akademik, namun aku sangat kagum dengan pola pikir lateralnya.

"Aku akan menjadi Presiden untuk Negara Blues. Makan sajalah tahu di mulutmu itu. Setahuku tauge di dalamnya terkelompok dalam tumbuhan dikotil, tumbuhan dengan biji berkeping dua. Dan kau seharusnya tahu bahwa klasifikasi mahluk hidup disusun oleh Carolous Linnaeus. Bukan disusun oleh Dapot Rumah Kebo, bapakmu yang gemar korupsi itu, " jawabku sekenanya.

"Bah, kau ini, kedan!" moncong anak bengal ini menjadi monyong sejadi-jadinya. Tigor selalu jengkel karena tak bisa menyaingiku dalam bermain blues. Dikarenakan ucapan terakhirku yang menamai bapaknya, tangannya mencoba menjitak kepalaku. Tapi aku sudah lebih dahulu berlari ke dalam kelas.

Demikianlah kerapkali tipikal obrolan-obrolan kami sebagai dua orang sohib kental. Kami biasanya tak pernah kehabisan kata-kata untuk langsung menyerah begitu saja pada dinding-dinding retorika.

Pernyataan-pernyataan retorika biasanya diakhiri ketika kami berdua mulai saling mengejar. Mencoba menjitak kepala dari kami berdua yang menjadi mangsa pengejaran-mangsa yang menyebabkan kebuntuan dalam dialog-dialog cempreng kami. Aksi saling kejar itu adalah aksi yang penuh canda dan tawa.dan tak pernah berubah menjadi aksi sakit hati yang berkarat dalam kisah kami.

***

1996, hujan di suatu sore.

Rambut ikalku yang tebal basah oleh hujan. Benang-benang abu-abu dan putih yang menutupi tubuhku lembab oleh airnya. Dengan kondisi inilah aku tiba di rumah Tigor yang besar sore ini.

Agak lama kuketuk pintu rumahnya hingga akhirnya mukanya yang kusut sehabis bangun tidur muncul dari balik pintu.

"Hah, kenapa bibirmu, Di? Kepalamu juga kok banyak darahnya?" tanyanya panik campur cemas begitu melihat kondisiku. Langsung saja dia memapah tubuhku yang lemah karena banyak mengeluarkan darah. Lalu dia langsung berteriak-teriak tidak sabar memanggil ibunya yang juga seorang bidan.

"Ada apa, Gor?" tanya ibunya yang tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Ibunya--yang kupanggil namboru karena mempunyai marga yang sama dengan
bapakku--selanjutnya tidak mengharapkan jawaban lagi ketika beliau melihat kondisiku sore itu. Oleh ibu dan anak yang telah kukenal dekat itu, aku dibawa ke ruang praktek kebidanan di rumah mereka untuk mendapatkan perawatan.

Aku dikeroyok sekelompok anak SMU lainnya sore itu, dalam perjalanan pulang dari sebuah lembaga pengajaran bahasa Inggris swasta di kotaku. Tawuran sedang nge-trend.

***

Telah dua hari sejak kejadian itu, aku harus mendekam di dalam kamarku. Selama dua hari itu Tigor selalu menjengukku. Di hari ketiga aku merasa sudah baikan. Aku sudah bisa berangkat ke sekolah.

Aku menemukan kehampaan dalam batas-batas tembok sekolah. Tigor tidak hadir di dalam kelas hari ini. Aku tidak mencium tanda-tanda kehadirannya dari arah manapun juga. Sampai jam pelajaran terakhir aku diliputi kebosanan dan ditingkahi oleh denyutan-denyutan dari balik balutan di kepalaku. Tanpa kehadiran Tigor, kondisi hari ini menjadi begitu menyiksa. Belum ada kabar tentangnya. Tiur, sekretaris kelas kami memberitahuku bahwa Tigor tidak masuk tanpa sebuah surat pemberitahuan.

***

Telepon di rumahku berdering ketika aku baru saja melemparkan sepatu di lantai kamarku. Kuraih gagang telepon di ruang tamu.

"Ya, haloo?"

Terdengar isak tangis di ujung sana. Tangis namboru, ibunya Tigor. Tubuhku terasa kaku, dan bibirku kelu. Tidak ada airmata, demikian ikrarku dan Tigor. Denyutan di kepalaku semakin menjadi-jadi dan mataku berkunang-kunang. Aku terkulai di lantai.

***

2021, Musim Hujan

Telah hampir seperempat abad sejak kematian sobatku Tigor. Tigor yang oleh kasihnya kepadaku sebagai sahabat, telah mencuri pedang Samurai bapaknya, oleh-oleh dari Jepang ketika rombongan wakil rakyat menyambangi Negeri Sakura itu.

Seorang diri dengan samurai itu, dengan dadanya yang penuh emosi di masa muda, dia bermaksud membuat perhitungan kepada pengeroyok-pengeroyokku pada hari ketiga setelah untuk pertama kalinya dia menyentuh darah dari luka-lukaku.

Satu dari mereka, seorang anak Jenderal dari kubu lawan ternyata membawa pistol bapaknya dan menjebol jantung Tigor dengan peluru dari kejauhan.

Pada hari ketiga aku pulih dan kembali dari derita luka-luka di tubuhku, pada hari ketiga pulalah Tigor meninggalkanku untuk selamanya.

Sampai hari ini aku masih sering membawa gitar pemberian Tigor ke makamnya dalam celah-celah waktuku. Kumainkan musik bluesku di sisi makamnya.

"Pure hand seldom strong, .” bisikan-bisikan tersebut sering bergema di dalam kepalaku dalam dimensi waktuku saat ini sebagai orang teratas dalam Departemen Pendidikan di negaraku. Bukan sekedar seorang pemimpin di negara Blues seperti ocehanku kepada Tigor dahulu.

Jika kau tanyakan bagaimana kondisi dunia pendidikan dan kondisi negara ini di tahun 2021, aku takkan memberitahu kepadamu. Aku takkan sudi menjadi seorang peramal bagimu. Mari, akan kusambut kau di tahun dua ribu dua puluh satu.

Aku jatuh cinta pada gitarku. Tidak gitar lainnya.

Aku jatuh cinta pada bluesku. Tidak blues lainnya.

Aku jatuh cinta pada Tigorku. Tidak Tigor lainnya.

Aku jatuh cinta pada negaraku. Tidak negara lainnya.

Dengan cinta sejati takkan ada airmata kesedihan, Gor. Itulah yang seharusnya kita koreksi sejak dulu dalam kalimat-kalimat ikrar kita.Tidak seharusnya kalimat-kalimat kita hanya sekedar ikrar maskulin yang penuh gejolak emosi masa muda. Kita seharusnya selalu mengkoreksi kalimat-kalimat kita sehingga keusangannya tidak menjadi benih yang secara sembunyi-sembunyi melahirkan aksi liar dari alam bawah sadar.

Namun cinta dan emosi-emosi lainnya kerap membutakan mata kita yang memiliki segudang keterbatasan. Pada titik itulah kita seharusnya mengakui eksistensi Sang Pencipta. Demikianlah kisah-kisah kehidupan tergores dengan indahnya, dengan maknanya.


No comments: