Pilar-pilar hati meretak terlanda suara menggema menggelegar diiringi hujan airmata. Kemudian runtuh perlahan menimpa jiwa yang melungkrung meratapi keringkihan yang lama bersemayam di kedalaman kalbu. Langkah terhenti saat persimpangan menyapa dengan tanda tanya menggelinding menerjang kaki hingga terlonjak menggetarkan seluruh tubuh.
Terasa ada yang terjatuh ikut menggelinding bersama tanda tanya yang mengelilingi tubuh. Jawab yang berbaris dalam akal dan kesadaran masih enggan keluar untuk menghalau tanda tanya yang menatap tajam bak mata serigala.
Potret-potret masa lalu terbuka oleh angin waktu nampak close up di depan mata hati bagai slide-slide film berputar menampakkan adegan-adegan yang terekam. Hati bergetar jiwa gemetar meresapi tiap slide-slide yang berputar. Inikah yang selama ini memberangus jiwa, menelikung hati terbelenggu oleh waktu. Penyesalan hadir menyapa sendu dengan nyanyian yang mengundang sedu sedan. Kesadaran duduk bersimpuh memeluk lutut yang memandang dengan ketakutan.
Mata hati memandang kosong langit yang membisu tanpa memberikan kesaksian akan kesetiaan bumi. Kenyataan melenggang tanpa memperdulikan satu jiwa yang menatap iba. Kasihan.
Masa indah yang pernah menaungi hati bak kubah istana raja runtuh oleh sapaan malaikat maut yang datang menjemput roh terkasih. Desah nafas yang menandakan kehidupan pada tubuh yang bernyawa tiada dapat menahan kematian sang jiwa yang hidup. Hidup dalam kematian.
Kehidupan macam apa yang dapat menghidupkan jiwa yang yang berhati kesedihan mendalam. Kematian macam apa yang dapat mengambil kehidupan yang ada dalam jiwa nelangsa.
Jiwa yang terombang-ambing oleh ombak lautan memeluk buih hingga menghilang di pantai pandan. Kemudian terseret kembali dan terhempaskan ke karang hitam di tengah lautan. Sungguh indah kesedihan, sungguh nikmat kepedihan, sungguh hangat dan menyenangkan ada dalam pelukan kesedihan. Jiwa nelangsa bicara;
”Kenyataan, engkau telah merampas segala keindahan dan kebahagiaan, engkau telah memenggal harapan yang tumbuh subur berkembang, kau hanya sisakan akar tunggang kering yang menancap kejam jantung hatiku, kemudian kau tinggalkan aku.”
No comments:
Post a Comment