Thursday, October 12, 2006

Satu Cerita Tentang JOe MuDa....

Pertama-tama, ini hanyalah sebuah serial tentang kehidupan di sebuah tempat di kota, tepatnya kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Cerita ini cerita tentang Joe, seorang pria yang menjalani masa remaja, mencari jalan menembus gerbang kedewasaan, dan hingga akhirnya menjadi seorang lelaki matang. Pada babak awal cerita, Pembaca dapat menyimak kisah-kisah di masa-masa pubertasnya. Pada masa awal inilah, dimana seksualitas dan sensualitas terbentuk. Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang sedikit melodramatik.

Siapa Joe? Joe hanyalah seorang pemuda biasa sama seperti remaja-remaja lainnya . Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi pada siapa saja, karena merupakan sebuah kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan dengan seksama. Kita letakkan di lipatan-lipatan yang tak mudah ditemukan, agar tak menjadi keseronokan yang tidak sopan. Halaman-halaman berikut ini bermaksud mengungkap kelumrahan itu tanpa tergelincir menjadi keseronokan. Entah apakah maksud itu tercapai, Pembaca jua lah yang menjadi jurinya. Nama dan tempat dalam cerita ini -tentu saja- adalah fiktif belaka. Namun bila ada kesamaan dengan apa yang Anda temui dalam kehidupan nyata, penulis hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah sebuah kebetulan. Sambil mengucap terimakasih, selamat membaca dan kalo bisa jangan lupa komentarnya yach, karena kisah ini bisa mengungkap kenyataan.


Mba Dwi - Awal Perjumpaan

Nama panjangnya adalah Dwi Mutya Sekar Utami. Mba Dwi, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Joe tak pernah tahu persis berapa usia wanita itu yang sesungguhnya, namun yang jelas bagi Joe ia tak terlalu tua, pun jelas bukan pula seorang gadis remaja. Wajahnya (jika memakai ukuran normal) tidaklah terlalu cantik. Tidak pula terlalu jelek. Biasa-biasa saja. Tetapi Mba Dwi memiliki mata yang sangat indah, bening dihiasi bulu mata lentik. Juga memiliki bibir yang (menurut Joe) sangat menarik, karena selalu terlihat basah, ditambah lagi lesung pipit di pipinya yang menambah pesona kecantikan setiap senyumnya terurai. Waktu itu Joe duduk di bangku SMA. Untuk usianya, waktu itu Joe tergolong "terlambat" dalam soal pacaran. Ia tidak punya teman wanita istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon ada yang naksir, namanya Yuli, gadis yang juga satu sekolah namun berbeda kelas dengan Joe. Tetapi Joe tidak tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi Joe, ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tidak begitu tertarik dengannya. Buat Joe, berenang di sungai lebih menarik , ketimbang jalan-jalan dengan Yuli. Tetapi tidak untuk Mba Dwi, Mba Dwi berhasil menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu, Joe mengantar adik perempuannya, Wulan, ke sanggar untuk latihan menari. Joe sangat sayang kepada adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun itu (jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). Dengan sepeda, diboncengnya Wulan ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Dwi, sedang mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.

"Selamat sore Wulan...," ucap Mba Dwi menyapa Wulan, lalu sekejap melirik Joe.

Suara wanita itu lembut tetapi bernada wibawa, pikir Joe sambil melepas gandengan tangan adiknya.

"Mba Dwi, ini kakak saya...," Wulan menunjuk ke Joe yang masih berdiri di pintu ruang latihan. Mba Dwi mengangkat muka, dan tersenyum kepada Joe. Agak canggung, Joe membalas tersenyum dan berucap serak, "Selamat sore, Mbak...". Mba Dwi hanya mengangguk tanpa berhenti tersenyum, lalu menerima salam Wulan, dan berbalik menuju tempat segerombolan anak-anak yang sedang bersiap belajar menari. Joe masih berdiri, memandang tubuh Mba Dwi dari belakang, dan entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup lebih keras. Tubuh Mba Dwi menyita perhatiannya, terbungkus kain dan baju ketat, menampakkan lika-liku yang menawan. Astaga, pikir Joe, wanita ternyata bisa menarik juga! Untuk beberapa saat, Joe masih berdiri di depan pintu, menelan ludah berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa? Entahlah.

Tetapi perjumpaan pertama dengan Mba Dwi memberikan bekas yang cukup dalam di kalbunya. Sambil mengayuh sepedanya pulang, Joe tiba-tiba memiliki pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara lain di kepalanya. Meremas....? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir Joe gelisah. Berkali-kali Joe merasa sadel sepedanya terasa lebih kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial! sergahnya dalam hati.

Ketika ayah memintanya untuk menjemput Wulan, dengan penuh bersemangat Joe mengatakan “ya”. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit sebelum waktu latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tidak jauh dari ruang latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Dwi melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yang diikuti oleh belasan anak-anak kecil. Pandangan Joe tak lekang dari gerakan-gerakan Mba Dwi, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yang indah! Selama ini, bagi Joe menari adalah kegiatan perempuan yang tak menarik. Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Dwi mengangkat tangan, melenggok ke kiri-kanan, menggoyangkan pinggulnya ...., membuat Joe menelan ludah lagi. “Bajingan kamu!” ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Joe membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput di hadapannya. Tetapi, seperti ditarik magnit, mata Joe sesekali ditarik entah oleh kekuatan apa untuk kembali lagi memandang ke ruang latihan. Dari ruang tari, Dwi juga bisa melihat keluar, walau perbedaan bias cahaya mentari menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke arah Joe duduk. Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Dwi melirik dan mengerenyit heran melihat remaja itu betah duduk sendirian. Biasanya, para penjemput murid-muridnya datang terlambat, dan tidak pernah berlama-lama di sanggar tari. Apalagi yang laki-laki, entah itu kakak, ayah ataupun paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari bukanlah sesuatu yang menarik untuk pria. Makanya, tingkah Joe bagi Dwi agak tidak biasa.
Pun Ketika akhirnya latihan telah selesai, Joe bangkit dan melangkah mendekat ke arah ruang latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon kamboja. Entah kenapa, ia tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin mendekat, tetapi dadanya berdegup kencang setiap kali ia melangkah kakinya. Semakin dekat ke ruang latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia berhenti setelah dua langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Wulan keluar dan menghampirinya.

Dwi, dengan sedikit peluh di lehernya, mengucapkan salam perpisahan kepada murid-muridnya. Lalu, sambil melepaskan stagennya, ia berjalan ke pintu. Dilihatnya Wulan sedang berlari ke arah penjemputnya, remaja yang betah berlama-lamaan di rindang pohon kamboja menunggu dan menonton latihannya itu. Sambil melepas ikat rambutnya, sehingga rambutnya yang sebahu kini tergerai, Dwi berdiri di pintu dan berucap lembut, tetapi juga cukup jelas untuk bisa didengar Joe. "Kenapa tadi tidak tunggu di dalam saja, Dik...," ujarnya. Joe cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang. Dwi tersenyum melihat seringai remaja yang tampak kikuk itu. Dan senyuman itu membuat Joe menelan ludah lagi untuk yang kesekian kalinya. Entah kenapa, senyum itu tampak menarik sekali. Rasanya, Joe seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap suara di dalam kepalanya lagi.

Dan Joe pun cepat-cepat membungkuk berpamitan, lalu menggandeng tangan Wulan menuju sepeda. Dwi kembali tersenyum memandang kedua kakak-beradik yang akur itu meninggalkan sanggarnya.

*****
Sejak pertemuan itu, Joe sering melamunkan Mba Dwi. Lebih gila lagi, saat mandi dan menyabuni tubuhnya, Joe merasakan darahnya berdesir membayangkan Mba Dwi. Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah. Cepat-cepat ia menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dengan handuk dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat tonjolan di bawah pinggangnya yang terbungkus handuk itu!

Malam hari, ketika ia gelisah di ranjangnya, mendekap erat bantal gulingnya, Joe kembali membayangkan Mba Dwi. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yang padat berisi, pinggangnya yang ramping, dan dadanya yang membusung, walau tidak terlalu besar. Joe juga terkenang akan jenjang lehernya yang agak basah oleh keringat. Juga bibirnya. Ya, bibirnya itu yang paling menawan. Selalu nampak basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum, menampakkan sedikit gigi-giginya yang putih. Bagaimana rasanya menggigit bibir itu?

Joe makin gelisah, sebab kini saudaranya makin menegang lagi seperti ketika ia sedang mandi. Malam sudah agak larut, dan rumah sudah sepi. Tak ada suara-suara, selain nyanyian sumbang jangkerik. Joe kembali menelungkupkan tubuhnya. Celaka, justru gerakan itu menyebabkan saudaranya terjepit di antara tubuhnya dan guling yang empuk. Tanpa sadar, Joe menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke bantal gulingnya. Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Dwi. Terbayang ia mengulum bibir Mba Dwi yang basah. Terbayang dadanya yang ceking menempel di dada Mba Dwi yang kenyal. Gila! Joe terlonjak ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya. Untung ia sigap, sehingga seprai tidak ikut basah. Hanya saja, di pagi hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana dalamnya, tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yang lain!

*****
Beberapa hari setelah perjumpaan pertamanya dengan Joe, kembali Dwi terheran melihat remaja itu sudah ada setengah jam sebelum latihan usai. Setengah jam! Betapa lamanya ia akan menanti di situ sendirian, ucap Dwi dalam hati sambil terus menggerakkan badannya di depan murid-muridnya. Berkali-kali Dwi melirik ke arah pohon kamboja, dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa remaja itu begitu betah menunggu adiknya? Terlebih-lebih lagi, remaja itu selalu memandang ke dalam dengan seksama. Sialan, mungkin ia tertarik melihat tubuhku, umpat Dwi dalam hati. Tetapi, mungkin juga ia tertarik pada tarianku. Siapa tahu? Atau mungkin tertarik pada dua-duanya, ucap Dwi dalam hati. Dan Ia tersenyum sendiri ketika mengambil kesimpulan terakhir ini.

"Satu...dua...tiga....empat, putar......," Ucap Dwi sembari Ia memutarkan tubuhnya memberi contoh, diikuti oleh bidadari-bidadari kecil yang tertatih-tatih mencoba meniru sesempurna mungkin. "Satu .. dua ... tiga ... empat, putar....," suaranya lembut, tetapi terdengar tegas dan cukup nyaring.

Joe menyenderkan tubuhnya di batang pohon kamboja. Sayup-sayup suara Mba Dwi sampai di telinganya. Terdengar merdu. Gila! semua yang berhubungan dengan wanita itu selalu bagus. Apa-apaan ini? sebuah suara menghardik di kepala Joe, membuatnya tertunduk sendiri. Dicabutnya sebatang rumput, dimain-mainkannya di antara jari-jarinya. Joe merenung, bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi dalam dirinya. Mengapa Mba Dwi jadi begitu menarik? padahal ia jauh lebih tua dariku? Mengapa Yuli yang seusia dengannya, tidak semenarik Mba Dwi, padahal Yuli juga cantik. Joe menarik nafas dalam-dalam, lalu kepalanya terangkat lagi, memandang lagi ke dalam ruang latihan.

Cuma kali ini ia tidak melihat Mba Dwi di sana. Dipanjang-panjangkannya lehernya, mencari-cari, kemana gerangan wanita itu. Joe bahkan memiringkan tubuhnya, sampai hampir rebah ke kiri, untuk melihat sudut terjauh yang masih terjangkau pandangannya. Mba Dwi tidak ada, sementara murid-muridnya masih bergerak sesuai irama musik dari tape-recorder. Kemana dia?

Hampir copot rasanya jantung Joe, ketika tiba-tiba Mba Dwi muncul dari balik tembok rumah di sebelah ruang latihan. Rupanya, ada gang yang menghubungkan rumah itu dengan ruang latihan, yang tidak terlihat dari tempat Joe duduk. Rupanya Mba Dwi meninggalkan murid-muridnya untuk masuk ke rumah itu. Dan kini ia berjalan kembali ke ruang latihan, tetapi tidak melalui gang, melainkan lewat pintu depan. Lewat di hadapan Joe, melenggang santai dengan kainnya yang ketat membungkus pinggulnya yang indah.

"Hayo.., tunggu di dalam aja, Dik!" ucap Mba Dwi menghentikan langkah sebelum masuk. Senyum yang memikat Joe terhias di bibirnya. Joe menelan ludah, tak bisa menyahut, cuma bisa meringis lagi. Betul-betul seperti kera yang sedang kepedasan.
"Hayo ...," ajak Mba Dwi lagi, lembut tetapi tegas. Joe bangkit, dan dengan ragu-ragu melangkah mendekat. Mba Dwi tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah mendahului masuk. Pelan-pelan Joe menyusulnya. Ketika ia tiba di ruang latihan, Mba Dwi sudah berputar-putar lagi memberi contoh gerakan tarinya. Joe mencari-cari bangku untuk duduk, tetapi tak ada satu pun di sana. Ia lalu berdiri saja, menyender di sebuah tiang yang cukup besar.Dwi melirik, melihat remaja itu berdiri kikuk. Kasihan, pikirnya. Tetapi biarlah begitu, kalau ia memang tertarik pada tarianku -atau tubuhku!- biar saja

ia berdiri sampai pegal. Tersenyum Dwi mendengar kata hatinya yang terakhir ini. Ya, biar dia berdiri sampai pegal!

Selama 20 menit, Joe berdiri saja melihat adiknya latihan menari bersama teman-temannya. Wulan terlihat begitu senang melihat kakaknya sudah hadir. Berkali-kali Wulan kelihatan ketinggalan langkah, karena ia tersenyum-senyum kepada kakaknya. Joe mengerenyitkan dahinya, meletakkan telunjuk di bibirnya, memperingatkan Wulan agar tetap serius. Dwi tersenyum melihat tingkah keduanya. Ketika akhirnya latihan selesai, Joe bernafas lega. Bukan saja karena ia sudah pegal berdiri, tetapi juga karena sebenarnya ia agak tersiksa. Betapa tidak? Sejak tadi ia terpesona oleh gerak Mba Dwi, namun ia harus menyembunyikan perasaan itu. Betapa sangat sulit! Dwi berjalan mendekati Joe sembari melepaskan ikatan stagen yang melilit pinggulnya. Joe berdiri kikuk ketika akhirnya Dwi berada di hadapannya, cukup dekat untuk mencium bau keringatnya yang ternyata tidak mengganggu Joe.
"Suka menari?" tanya Dwi. Matanya memandang lekat remaja di hadapannya. Senyumnya mengembang halus. Joe menelan ludah lagi. Joe menggeleng kuat. Dwi tertawa kecil, "Saya pikir kamu suka. Sebab, kamu betah menunggu adikmu latihan."

"Saya ...., sebetulnya saya suka ..," ucap Joe tergagap.

"Oh, ya???" Dwi membelalakkan matanya yang indah, senyumnya mengembang lagi. Joe menelan ludah lagi. "Seberapa suka, sebetulnya...?" tanya Dwi lagi, ringan.

"Mmmm ... saya suka menonton saja." jawab Joe sekenanya.

"Menonton anak-anak kecil menari?" tanya Dwi. Wah! Joe tertunduk, mukanya tiba-tiba terasa panas. Sial!

Dwi tergelak melihat Joe tertunduk malu. Kini ia tahu apa yang sesungguhnya tujuan pemuda ini! Ia ke sini untuk menontonku, melihat tubuhku! Dan kesimpulan ini membuat dirinya senang. Bagi Dwi, penari yang juga tergolong seniman, menyenangkan penonton adalah tujuan utamanya, bukan begitu?

"Siapa nama kamu?" tanya Dwi lembut sambil melepas ikat rambutnya. Joe mengangkat muka, melihat kedua tangan Dwi terangkat, dan samar-sama kedua ketiaknya yang mulus terlihat dari lengan bajunya yang agak tersingsing.

"Joe..," terdengar jawaban pelan. Dwi tersenyum lagi, sengaja berlama-lama membuka ikat rambutnya, membiarkan remaja itu melihat apa yang ingin dilihatnya. Nakal sekali kamu, Dwi! sebuah suara terdengar di kalbunya.

Siksaan bagi Joe baru berhenti ketika Wulan menarik tangannya pulang. Sambil menggumamkan selamat sore, ia berbalik dan menggandeng adiknya ke tempat sepeda.

"Datang lagi, yaaa!" seru Dwi ketika Joe sedang bersiap mengayuh. Duh! Joe jadi serba salah. Apakah ia harus menjawab seruan itu? Ah, sudahlah! sergahnya dalam hati dan cepat-cepat mendayung. Dari kejauhan Dwi memandang kakak-beradik itu menghilang di balik tikungan. Senyum manis masih di bibirnya.

*****
Demikianlah seterusnya, Joe semakin terpikat oleh wanita yang pandai menari dan pandai menggoda itu. Sekali waktu ia mencoba menghindar, meminta kepada ayah untuk tidak usah menjemput Wulan dengan alasan harus latihan bola kaki. Selama empat kali latihan, ia tidak mampir ke sanggar, dan tidak berjumpa Mba Dwi. Dan itu artinya, sudah sebulan ia tidak melihat tubuh molek itu melenggak-lenggok. Lama juga, ya?

Sampai suatu hari, ada pertunjukkan dari di balai kota, diselingi permainan band sebuah kelompok amatir yang cukup populer di kota kecil ini. Joe datang bersama teman-temannya, tentu hanya untuk menonton band. Acara tari-tarian di sore hari dilewatkan saja. Rombongan Joe baru tiba di atas pukul 8, saat band mulai naik panggung. Di situlah Joe berjumpa lagi dengan Mba Dwi. Saat band memainkan lagu ketiga, Joe pergi ke belakang panggung untuk buang air kecil, karena di sanalah terdapat toilet untuk umum. Saat kembali ke tempat duduknya, sewaktu melewati pintu yang menuju tempat pemain berganti pakaian, Joe melihat Mba Dwi duduk di sebuah bangku. Langkahnya terhenti, lalu ia menyelinap ke balik tembok yang agak gelap. Dari situ, ia bisa melihat Mba Dwi, tetapi wanita itu tidak bisa melihatnya. Dwi memakai jeans ketat dan sebuah kaos agak longgar berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan agak basah oleh keringat. Ia tampak letih, dan sedang menikmati sebotol minuman dingin. Bibirnya menjepit sebuah sedotan, dan matanya tampak melamun. Bagi Joe, Mba Dwi tampak menawan malam itu. Ia kemudian melihat wanita itu bangkit menuju ke sebuah kamar di belakang panggung. Joe mengikuti gerak-geriknya dengan seksama, aman dalam lindungan bayang-bayang yang gelap. Tak lama kemudian, tampak Mba Dwi membuka sebuah pintu, dan di dalam terlihat terang benderang tetapi sepi. Berjingkat, Joe berpindah tempat sehingga bisa memandang lebih bebas ke dalam ruangan itu.

Dwi menutup pintu ruang, tetapi rupanya kurang begitu kuat mendorong, sehingga masih tersisa celah untuk melihat ke dalam. Dengan jantung berdegup kencang, Joe melihat ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Semua orang berada di depan panggung asyik menonton band. Pelan-pelan ia melangkah mendekati ruang yang ternyata adalah ruang ganti pakaian bagi para artis. Ia tiba di depan pintu ruang itu, dan dari celah yang tersisa, ia bisa melihat ke dalam. Joe menelan ludah, dan menahan kagetnya. Di dalam, Mba Dwi tampak sedang membuka kaosnya, membelakangi Joe. Tubuhnya yang putih dan padat terlihat jelas, apalagi kemudian ia berputar menghadap sebuah cermin yang pantulannya terlihat dari tempat Joe berdiri. Ia bisa melihat dua payudara yang indah, terbungkus beha yang tampak terlalu kecil. Lutut Joe terasa bergetar.

Kemudian tampak Mba Dwi melepas celana jeansnya. Joe merasa kakinya terpaku di tanah. Dengan kuatir ia melihat ke sekeliling, takut kepergok. Tetapi suasana di sekitar ruang ganti itu sepi. Maka ia tetap mengintip ke dalam. Jeans sudah dibuka dan tergeletak di lantai. Mba Dwi hanya bercelana dalam dan berbeha, dan tubuhnya indah bukan main. Putih mulus, padat berisi. Joe berkali-kali menelan ludah. Pemandangan indah itu berlangsung tak lebih dari 10 menit, karena kini Mba Dwi sudah berganti rok panjang dan baju hem coklat. Tetapi bagi Joe, rasanya lama sekali. Cepat-cepat ia berbalik dan tergopoh kembali ke depan panggung.

Dwi mendengar suara langkah orang. Terkejut, ia segera lari ke pintu dan melihat pintu belum tertutup sepenuhnya. Celaka, pikirnya, seseorang tadi mengintipku berganti pakaian. Cepat-cepat dikuaknya pintu, dilongokkannya kepala, bersiap berteriak jika memergoki si pengintip. Tetapi di luar sepi, tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin cuma perasaanku saja, pikir Dwi.

Sementara itu, di depan panggung Joe gelisah mengenang pengalamannya. Lagu-lagu yang dibawakan band di depannya terasa hambar. Teman-temannya terlihat girang, tetapi ia sendiri kurang bergairah. Dengan alasan mengantuk, ia pulang lebih dulu dari teman-temannya yang keheranan. "Ada apa denganmu, Joe?" tanya sobatnya, Prima. Ia tidak menjawab, dan hanya menggumam sambil melangkah meninggalkan arena pertunjukkan. "Dasar kutu buku ...," gerutu Iwan, temannya yang lain. Joe tak peduli, dan terus melangkah menembus malam.

Dan malam itu, Joe menikmati khayalnya di atas ranjang, meremas-remas kelaki-lakiannya yang menegang sambil membayangkan tubuh mulus Mba Dwi. Tak berapa lama, ia mengerang tertahan, merasakan cairan hangat memenuhi telapak tangannya. Dengan tissue yang sudah disiapkannya, ia melap tangannya, lalu tidur nyenyak sambil berharap bisa bertemu Mba Dwi di alam mimpi. Namun mimpinya ternyata kosong belaka, tentu karena ia sebetulnya sudah sangat mengantuk malam itu.

Seminggu setelah peristiwa di belakang panggung itu, Joe mengantar Wulan ke sanggar Mba Dwi. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Wulan dan kembali kerumah secepatnya. Kepada Wulan ia telah pula berpesan agar tidak perlu diantar sampai pintu ruang latihan. Wulan mencibir manja, tetapi tidak membantah ucapan kakaknya.

Namun semua rencana buyar ketika ternyata Joe berjumpa Mba Dwi di gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Joe tergagap menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi khayalnya semingguan ini.

"Hai, Joe ... lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana saja?" sambut Mba Dwi riang.

"Sibuk, Mbak..," jawab Joe menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari masuk.

"Wah... begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Dwi lagi, ya?" sergah Mba Dwi sambil tersenyum manis. Joe menyahut dengan gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan polisi.

"Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?" ucap Mba Dwi lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Joe. Tergagap, Joe menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia sendiri tak ingat!

"Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak menari sampai selesai!" kata Mba Dwi yang kini sudah memegang erat satu tangan Joe dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Joe tak kuasa menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Dwi sambil menyeret sepedanya.

Mba Dwi tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan hanya duduk bersimpuh di lantai, di sebelah Joe yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Joe bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Dwi. Bagi Joe, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan jika yang menari adalah Mba Dwi.

Joe melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Dwi bersimpuh. Darahnya berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba Dwi sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah!

Ketika suatu saat Mba Dwi harus berganti posisi bersimpuhnya, Joe mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba Dwi. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman di selangkangan, membuat Joe terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya pandangan kembali ke tempat anak-anak menari.

Dwi menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah Joe seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Dwi menahan tawa. Minta ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Dwi membatalkan keinginannya untuk menanyakan komentar Joe. Sebaliknya, ia malah bangkit membuat Joe memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Joe, jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.

"Kamu mau minum, Joe?" tanya Mba Dwi setelah berdiri, dan tanpa menunggu jawab ia berkata lagi, "Yuk, ikut saya ambil minum di ruang sebelah." Joe bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya dalam hati.

Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Dwi tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Joe berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak membungkuk di depannya. Kepala Mba Dwi tersembunyi di balik pintu lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di mata Joe. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Joe dalam hati.

Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Dwi menawarkan kue, tetapi Joe menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih tepatnya Mba Dwi bercerita tentang segala macam. Joe lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Dwi sendiri merasa semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Dwi merasa bahwa Joe adalah adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar.

Untuk Dwi, Joe adalah remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja seusianya. Joe juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada usia seusia Joe dulu, ia juga mengalami "revolusi" yang sama. Saat itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Joe pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu.

Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Joe mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Dwi, dan Dwi melambai di gerbang sambil mengucap, "Jangan bosan kemari, ya, Joe!"

Ah, bagaimana aku bisa bosan? ujar Joe dalam hati.

*****
Hubungan Dwi dan Joe berkembang cepat bagai api yang membakar ilalang kering. Wulan sudah tidak lagi latihan menari, karena kini ayah dan ibu menyuruh Wulan lebih berkonsentrasi ke pelajaran sekolah. Ujian akan berlangsung tiga bulan lagi. Joe tidak lagi mengantar Wulan, tetapi justru kunjungannya ke sanggar semakin sering!

Ada satu hal yang membuat mereka semakin dekat. Keduanya suka berenang, dan Dwi dengan senang hati mengajak Joe ke pantai jika ada waktu senggang. Seperti kali ini, Joe pulang lebih cepat karena guru-gurunya harus berseminar di luar kota. Dari sekolah, Joe menuju sanggar untuk melihat kalau-kalau Mba Dwi ingin berenang. Dan ternyata Dwi memang sedang tak ada kegiatan, selain sibuk sendirian membaca-baca majalah di sanggar.

"Berenang, yuk, Mba Dwi..," ajak Joe. Kini ia sudah berani mengajak duluan, setelah berkali-kali mereka berenang bersama di sungai, di kolam renang, maupun di pantai. Selama itu, mereka berenang bersama-sama dengan beberapa orang lainnya. Kadang-kadang bersama Prima dan Iwan, sahabat Joe. Kadang-kadang bersama Devi, salah seorang penari di sanggar. Teman-teman Joe pun kini tahu, bahwa di antara Mba Dwi dan Joe "ada apa-apa". Tetapi mereka cuma bungkam, karena Joe pasti akan berang setiap kali topik itu diangkat dalam pembicaraan.

Siang itu mereka berenang berdua saja. Teman-teman Joe memilih memancing di danau di luar kota. Devi tidak ada di sanggar karena harus belanja ke pasar. Dwi dengan senang hati menerima ajakan Joe, dan segera mengambil pakaian renang dan sepedanya.
Di pantai tidak banyak orang, karena ini memang bukan hari libur. Dwi mengajak Joe ke sebuah bukit pasir yang dipenuhi semak, karena tempat itu jauh lebih sejuk di bandingkan tempat di mana orang-orang biasa berenang atau bermain pasir. Joe menurut saja. Mereka pun lalu berenang, bermain-main air dan saling berlomba mencapai batu karang di tengah laut. Mba Dwi bukanlah perenang yang dapat diremehkan, begitu selalu kata Joe kepada teman-temannya. Tubuhnya gesit seperti ikan, dan tahan berenang berjam-jam.

Setelah puas berenang, mereka kembali berteduh di bawah semak-semak. Joe menggelar dua handuk lebar yang selalu dibawanya jika berenang ke pantai. Dwi merebahkan tubuhnya yang penat di sebelah Joe yang juga sudah tergeletak kecapaian. Mereka terdiam mendengarkan debur ombak memecah pantai. Joe memejamkan mata dan merasakan otot-otot tubuhnya pegal dan sedikit linu.

"Joe..," tiba-tiba Dwi berucap, hampir tak terdengar.
"Yup?..." Joe kaget dan setengah bangkit. Mba Dwi masih tergeletak dengan mata tertutup, tetapi bibirnya tersenyum.
"Ada apa, Mba?" tanya Joe.

"Aku mau tanya, tetapi kamu musti jawab yang jujur ya!" kata Mba Dwi, masih memejamkan mata dan tersenyum. Joe cuma diam.
"Joe .., kamu senang melihat saya, bukan?" tanya Mba Dwi pelan. Joe cuma diam, tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya tergeletak seorang wanita dewasa, dengan tubuh sempurna, basah oleh air laut, dan bertanya seperti itu! Apa jawabannya?
"Lho, kenapa diam?" sergah Mba Dwi, kini membuka matanya, memandang Joe dengan sinar mata yang menembus kalbu. Joe menelan ludah, lalu menunduk. Dwi lalu bangkit, duduk bersila menghadap Joe yang kini juga sudah duduk dengan kepala agak menunduk. Lalu Dwi melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah terduga oleh Joe. Ia membuka pakaian renangnya, menanggalkan bagian atasnya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum, putih mulus dan basah berkilauan! Aduhai indahnya dua bukit kenyal yang turun naik seirama nafas pemiliknya, dengan puncak yang dihiasi dua puting coklat kehitaman, berdiri tegak bagai menantang! Joe mengangkat muka, pandangannya terpaku di kedua payudara indah di hadapannya. Mulutnya terkunci rapat. Dwi tersenyum melihatnya, lalu dengan lembut digenggamnya kedua tangan Joe. "Jangan malu, Joe. Katakan kamu memang suka melihat tubuh saya, bukan?" ucapnya setengah berbisik. Joe menangguk pelan.

"Ingin menyentuhnya?" bisik Mba Dwi lagi. Joe tergagap, mengangkat mukanya dan memandang wajah wanita di depannya tak percaya. Tetapi di wajah itu ada sepasang mata yang sangat sejuk, bagai danau di kaki bukit tempat teman-temannya biasa memancing. Sebuah hamparan air yang tampak tenang meneduhkan hatinya yang bergejolak.

"Apa maksud, Mba Dwi?" ucap Joe tersekat.

"Tidak inginkah kamu menyentuh dadaku?" jawab Mba Dwi, genggaman tangannya semakin kuat, dan kini perlahan-lahan mengangkat tangan Joe. Tersenyum lagi, Dwi merasa betapa kedua tangan itu bergetar. Cepat-cepat kemudian ia meletakkan kedua tangan Joe di dadanya, di puncak-puncak payudaranya yang membusung. Joe segera menarik kembali tangannya, bagai menyentuh benda bertegangan listrik. Dwi tertawa kecil.

"Hayo, pegang lagi...," ucapnya ringan. Diraihnya lagi kedua tangan Joe dan diletakkannya kembali di atas payudaranya. Kali ini Joe tak menarik tangannya, dan membiarkan kedua telapak tangannya menerima sebuah kelembutan, kehangatan, kekenyalan, dan entah apa lagi .... semuanya serba menakjubkan. Pelan-pelan, Joe mulai memegang lebih erat, menempelkan seluruh telapaknya di puncak-puncak payudara Mba Dwi. Baru kali ini, setelah lepas dari susu ibunya 14 tahun yang lalu, Joe memegang kembali payudara seorang wanita!

"Senang?" tanya Mba Dwi, masih dengan suaranya yang setengah berbisik, setengah menuntut. Joe hanya bisa mengangguk dan menatap lekat mata Mba Dwi, seakan-akan hanya dari kedua mata itulah ia bisa memiliki kekuatan untuk hidup saat ini.

Lalu Mba Dwi menurunkan tangan Joe, mengenakan kembali pakaian renangnya, dan mengusap lembut wajah Joe. "Kamu sekarang sudah dewasa, Joe!" ucapnya riang, sambil bangkit dan menarik tangan Joe untuk ikut berdiri. Lalu ia berlari, menyeret Joe kembali ke laut, terjun sambil berteriak riang, dan melesat meninggalkan Joe menuju batu karang di tengah. Joe merasa tubuhnya yang panas bagai bara dicelupkan ke dalam air dingin, segera memadamkan api yang tadinya sudah hampir membesar. Joe menyelam sedalam - dalamnya, seakan - akan hendak bersembunyi dari rasa malu yang tiba-tiba mengukungnya. Tapi kemudian ia segera timbul kembali, segera bersemangat lagi mengejar wanita yang baru saja memberinya pelajaran sangat berharga dalam hidup ini. Aku telah dewasa! jeritnya dalam hati.

*****
Pengalaman di pantai segera disusul pengalaman-pengalaman berikutnya. Joe kini sangat dekat dengan Mba Dwi, tetapi hubungan mereka menampakkan dimensi yang aneh. Jika ada orang bertemu mereka berdua, niscaya orang-orang itu akan berkata, 'Akur sekali kakak-beradik itu!'. Bahkan kedua orang tua Joe berpandangan seperti itu, oleh karenanya mereka tidak pernah tahu apa yang terjadi antara Dwi dan anak mereka.

Sebaliknya, bagi Dwi dan Joe, hubungan mereka telah memasuki babak yang sangat menentukan. Bagi Dwi, kini Joe adalah seorang lelaki sempurna, lengkap dengan segala atributnya, termasuk birahinya terhadap wanita. Joe adalah sebuah kepompong yang sedang berubah menjadi kupu-kupu. Dan Dwi adalah seorang peri yang membantu kupu-kupu itu belajar terbang, mengepakkan sayap, dan membawanya mengarungi dunia baru.

Minggu sore itu, Dwi mengajak Joe mencari kenari di hutan kecil dekat danau. Mereka berangkat setelah pukul tiga, saat matahari memulai perjalanan turunnya. Tadinya Devi hendak ikut, demikian pula Prima teman Joe. Tetapi lalu Devi sakit perut karena datang bulan, dan Prima harus mengantar ibunya ke dokter gigi. Jadilah akhirnya mereka hanya berdua ke hutan.

Dwi hanya bercelana pendek, dan memakai t-shirt yang ditutupi jaket parasut. Joe bercelana khaki militer, lengkap dengan sepatu bot, dan t-shirt hijau tua. Berdua mereka menyusuri jalan setapak, masuk semakin jauh ke dalam hutan yang konon dulu menjadi salah satu tempat pertahanan bala tentara Nippon. Di hutan ini banyak pohon kenari, dan dalam waktu kurang dari setengah jam, keranjang mereka berdua sudah dipenuhi kenari. Dengan gesit, Dwi berlarian menemukan kenari-kenari yang masih utuh di tanah. Joe selalu kalah gesit, terutama karena ia lebih banyak disibukkan memandang Mba Dwi yang tampak seksi sore itu.Lalu, tiba-tiba saja hujan turun. Pertama cuma rintik-rintik, tetapi lalu berubah menjadi sangat lebat. Mereka pun berlarian mencari tempat berteduh, dan beruntung karena tidak jauh dari situ ada sebuah gua kecil bekas persembunyian tentara Jepang. Joe menyeret Mba Dwi berlari ke gua itu, dan tiba di sana sedetik sebelum hujan yang sangat deras jatuh ke bumi.

"Wah, untung ada gua ini!" tukas Mba Dwi sambil gemetar menahan dingin yang tiba-tiba menyerbu. Gua kecil ini tidaklah terlalu dalam, tetapi sangat lembab, sehingga dindingnya dipenuhi lumut dan udaranya lebih dingin dari di luar. Apalagi sekarang turun hujan. Joe pun ikut gemetar kedinginan.Mereka berdiri berdekatan, dan entah bagaimana, Dwi akhirnya memeluk tubuh Joe dari belakang. Joe tak menolak, dan bahkan merentangkan tangannya ke belakang, balas memeluk kedua lengan Mba Dwi. Perlahan-lahan, gemetaran tubuh mereka mereda, sejalan dengan tersebarnya kehangatan dari dua tubuh yang menempel itu. Joe perlahan-lahan mulai merasakan kekenyalan di punggungnya, tempat kedua payudara Mba Dwi menempel erat. Dwi merebahkan kepalanya di punggung pemuda belia yang harum sabun mandi ini. Sebentuk perasaan sayang tiba-tiba saja menghambur keluar dari dadanya, menyebabkan Dwi memejamkan mata.

Setelah lebih dari sepuluh menit, hujan tampaknya makin membesar saja. Sementara langit mulai gelap menjelang sore. Dwi sedang berpikir-pikir bagaimana caranya pulang, ketika ia mendengar Joe memanggil namanya. "Kenapa, Joe?" tanyanya sambil tetap memejamkan mata dan merebahkan kepala di punggung remaja itu.

"Aku juga ingin memeluk, Mba Dwi..." ucap Joe pelan. Dwi tersenyum dan berkata pelan, "Seperti aku memeluk kamu?"

Joe tidak menyahut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Seperti apa ia ingin memeluk Mba Dwi, ia belum tahu caranya!

Dwi tersenyum lagi, lalu melepaskan pelukannya. Ia berkata lembut, "Sini..., putar tubuhmu menghadap aku.."

Joe memutar tubuhnya, lalu tiba-tiba saja ia sudah memeluk Mba Dwi yang tubuhnya agak lebih pendek sedikit darinya. Dagu Joe menyentuh dahi Mba Dwi, dan kedua tangan Mba Dwi merengkuh erat, bagai hendak meluluhkan tubuh Joe. Oh, begini rupanya rasanya dipeluk seorang wanita dewasa! pikir Joe dalam hati, dan ia merasakan sebuah kehangatan menjalar dari antara kedua kakinya.

"Begini?" tanya Mba Dwi dengan sedikit nada menggoda. Joe cuma mengangguk.

Dwi tertawa kecil, nafasnya yang hangat menyerbu leher Joe dan menelusup ke dalam t-shirtnya. Joe pun bergidik, membuat Dwi tambah tertawa. Lalu tiba-tiba Dwi menggigit leher Joe. Tersentak, Joe lalu ikut tertawa kegelian. Dwi tidak berhenti menggigit, dan bahkan lalu berubah menciumi leher perjaka ini. Hmm, harum sabun wangi, desahnya dalam hati. Persis seperti wangi bayi kakaknya yang dulu ia sering bantu memandikannya. Dengan gemas, ia menciumi terus leher Joe, membuat remaja ini menggelinjang kegelian. Saat itulah Joe merasakan sebuah desakan kuat untuk membalas tindakan Mba Dwi. Tanpa disadari, Joe menunduk dan menempelkan wajahnya ke wajah Dwi yang sedang tengadah. Tanpa sengaja pula, kedua bibir mereka telah berpadu. Sejenak Dwi tersentak kaget, tapi ia lalu memejamkan mata dan segera melumat bibir Joe. Berdesir cepat darah Joe merasakan bibir basah yang hangat mengulum bibirnya, dan desahan nafas harum menyerbu penciumannya. Astaga, jadi beginilah rupanya rasanya ciuman pertama itu!

Tentu saja Joe tak tahu cara berciuman. Ia diam saja membiarkan Mba Dwi mengerjakan segalanya, termasuk memaksanya membuka mulut agar lidahnya bisa masuk ke dalam mulutnya. Dengan nafas agak tersenggal, Joe mencoba melakukan sesuatu dengan lidahnya sendiri, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Maka ia diam saja, membiarkan Mba Dwi mengulum-ulum bibirnya, menelusuri rongga mulut dengan lidahnya, dan menghisap-hisap bibir bawahnya dengan rakus. Dwi sendiri merasa kaget atas apa yang ia kerjakan. Rupanya, birahi yang selama ini tak pernah ia tampilkan, kini menyeruak keluar memberotnak dengan kekuatan sendiri tanpa dapat dicegah. Telah lama sekali Dwi tidak berciuman, sejak ia memutuskan hubungannya dengan Rian yang sekarang entah di mana. Telah lama tubuhnya tidak merasakan gejolak seperti ini, dan kalaupun waktu itu ia membiarkan Joe memegang payudaranya di pantai, itu hanyalah untuk menghapus rasa penasaran remaja yang menarik simpatinya itu.

Kejadian di pantai dulu, bagi Dwi, bukanlah birahi. Tetapi kini, di gua yang gelap dan dingin ini, Dwi sendiri begitu kaget ketika sadar bahwa ia begitu bersemangat menciumi Joe!

Untunglah kesadaran itu cepat datang. Buru-buru ia menghentikan ciumannya, dan dengan satu tangan ia menghapus bekas-bekas bibirnya di bibir Joe. Sambil tersenyum, ia minta maaf dengan suara lembut, " ... Mba Dwi keterlaluan, nih!" Joe mengerenyitkan dahi tanda tak mengerti. "Kenapa berhenti, Mba?" tanyanya penuh heran.

"Tidak. Saya tidak boleh menciumi kamu seperti itu. Kamu bukan pacar saya...," kata Mba Dwi, masih dengan suara lembut, mencoba meneduhkan hati Joe yang sudah bergejolak.

"Tapi saya suka, Mba Dwi..." Joe bersikeras. Dwi tersenyum melihat tuntutan remaja ini.

"Suka apa?" tanyanya menggoda.

"Suka dicium seperti itu," jawab Joe cepat. Ia kini semakin berani untuk berdebat.

Sejenak Dwi bimbang. Simpatinya kembali datang. Kasihan ia melihat remaja ini terputus di tengah jalan yang sedang dinikmatinya. Tetapi ia tahu, kalau ciuman itu diteruskan, ia sendiri akan ikut hanyut di dalam gelombang itu. Satu-satunya jalan untuk menghindari kekecewaan Joe adalah dengan menciumnya lagi, tetapi tidak dengan birahi.

Maka Dwi berkata, "Baiklah ..." lalu ia menarik leher Joe, mendekatkan bibirnya ke bibir Joe dan menciumi remaja ini dengan lembut. Joe memejamkan mata, menikmati ciuman Mba Dwi yang terasa sekali dipenuhi kasih sayang. Tubuhnya bagai disiram kehangatan kasih yang tak tergambarkan oleh kata-kata. Tubuhnya bagai melayang tak menginjak bumi. Tubuhnya bagai awan di langit yang biru sejuk.

Dwi menahan senyum melihat tingkah Joe yang memejamkan mata dan memeluk tubuhnya seperti tak hendak dilepaskan. Tetapi ada satu hal yang tidak diperhitungkannya! Perlahan tapi pasti, ia merasakan sesuatu membesar menempel sedikit di atas perutnya. Karena Joe lebih tinggi, maka bagian depan kelaki-lakiannya menempel di perut Dwi, dan Dwi segera menyadari apa yang terjadi.

Dengan tangan kirinya, Dwi meraba bagian itu. Ah, tegang sekali kelaki-lakian Joe, dan panas pula rasanya, seperti dialiri air mendidih. Sejenak Dwi bimbang lagi, sementara bibirnya masih sibuk mengulum-ngulum bibir Joe. Apa yang harus ku lakukan? Dwi berpikir keras, tetapi tangannya sudah pula mulai meremas. Seakan-akan tangan itu punya pikiran sendiri untuk bertindak!
Akhirnya kepala Dwi mengalah kepada tangannya. Ia melanjutkan remasan, dan mulai menyukai pilihannya. Nafas Joe terdengar terengah-engah, dan Dwi semakin merasa tak enak jika harus berhenti sekarang. Ia sudah membangkitkan api di tubuh remaja ini, ia pula yang harus memadamkannya. Dengan pikiran begitu, Dwi membuka resleting celana Joe yang masih terpejam seakan-akan tak sadar.

Pelan-pelan tangan Dwi merayap ke dalam celana dalam Joe dan menemukan kelaki-lakiannya sudah tegang dan agak basah di ujungnya. Ah, halus dan kenyal sekali kelaki-lakiannya, desah Dwi dalam hati, diam-diam menikmati apa yang dikerjakannya. Joe merasakan tangan Mba Dwi merayapi kelaki-lakiannya, membuat dirinya semakin terlena. Ia merasakan desakan aneh yang sangat kuat, sama dengan desakan-desakan yang selama ini ia rasakan ketika berkhayal sendirian di kamarnya. Kini desakan itu semakin kuat, dan apa yang dikerjakan Mba Dwi di bawah sana sangat berbeda dengan apa yang biasa ia kerjakan. Kali ini terasa jauh lebih nikmat, jauh lebih menggairahkan.

Tangan Dwi meremas lebih kuat, lalu menggosok ke atas dan ke bawah. Ia tahu persis apa yang harus dilakukan. Rian, pacarnya dulu, pernah memberinya pelajaran bagaimana cara terbaik untuk memuaskan laki-laki dengan menggunakan tangan. Maka kini ia lakukan apa yang telah lama tidak dilakukannya. Dwi kini ikut memejamkan mata, berkonsentrasi pada bagian bawah tubuh Joe tanpa melepaskan ciumannya. Ia merasakan betapa kelaki-lakian itu kini menegang dengan cepat, dan mulai berdenyut-denyut. Dwi tahu, sebentar lagi Joe akan mencapai puncakdi tangannya. Sejenak ia menurunkan telapak tangannya sampai ke pangkal kelaki-lakian Joe, lalu dengan gaya mengurut ia membawa naik telapak tangannya, dan sesampai di atas ia meremas-remas dengan kuat.

Joe tak tahan lagi. Tangan Mba Dwi yang halus dirasakannya bagai sedang menarik dan melepas sebuah sumbat di bawah sana. Dan dengan lepasnya sumbat itu, sebuah air bah yang dahsyat menyerbu keluar. Joe mengerang pelan, melepaskan bibirnya dari bibir Mba Dwi, mendongak seakan berusaha menghisap lebih banyak udara, lalu menjerit tertahan.

Dwi merasakan betapa kelaki-lakian Joe tiba-tiba membesar dengan cepat, lalu bergetar dan berdenyut-denyut kuat. Telapak tangan Dwi meremas untuk terakhir kalinya, lalu mulai menerima semburan cairan hangat dan agak kental itu. Ia mengepalkan tangannya, menampung semua itu agar tidak bermuncratan ke mana-mana. Tidak kurang dari tujuh kali rasanya semprotan cairan itu memenuhi kepalannya.

Lalu, Joe terkulai lemas, dan memeluk tubuh Mba Dwi. Pelan-pelan Dwi mengeluarkan tangannya, dan diam-diam mengambil sapu tangan untuk membersihkan tangan itu.

"Enak?" tanya Mba Dwi lembut, layaknya seorang ibu yang menanyakan bagaimana rasa sajian makan malam yang dihidangkannya. Joe tertawa tertahan, malu bercampur senang. Hujan masih turun, walautak selebat tadi. Joe tak peduli. Walau harus bertarung melawan macan di hutan ini pun, ia tak peduli. Selama Mba Dwi ada di sisinya, ia tak peduli!

"Peristiwa Kenari", demikian Dwi menamakannya, adalah sebuah langkah tak terencana yang sempat membuat wanita lajang ini panik. Ketika mereka berdua akhirnya tiba kembali di kota, menembus rintik hujan dan gelap senja, Dwi sempat ingin berbincang dahulu. Ada sesuatu yang harus dijelaskan, agar Joe tak salah tangkap. Tetapi mulutnya seperti dikunci, dan otaknya terasa buntu. Lagipula, apa yang bisa ia jelaskan? Misteri apa yang bisa ia ungkap dalam sebuah peristiwa pendek yang begitu bergelora tadi? Dan kenapa ia harus kuatir akan Joe; kesalah-tanggapan apa yang mungkin terbesit di benak pria muda itu?

Akhirnya mereka berpisah dengan kikuk. Di perempatan dekat kantor camat, Dwi berbelok ke kiri, ke tempat kostnya. Sambil berusaha tersenyum menenangkan diri, ia melambaikan tangan dari atas sepedanya. Joe tampak ragu-ragu, apakah hendak ikut belok kiri atau terus lurus langsung ke rumahnya. Tetapi dilihatnya Mba Dwi hanya melambai, tidak menawarkan mampir. Maka ia pun hanya membalas lambaian dan melanjutkan perjalanan ke rumah.

Di tempat kost, Dwi memutuskan untuk segera mandi, terburu-buru melepas jaket parasut dan celana pendeknya. Dengan bersaput handuk, ia berlari kecil ke kamar mandi di sebelah kamar tidurnya. Teman satu kostnya, seorang guru SMP bernama Laras yang sebaya dengannya, tak tampak. Mungkin sedang main ke tetangga sebelah. Cepat-cepat Dwi mengunci pintu kamar mandi dan membuka pakaian-pakaian dalamnya. Lalu ia membasuh kaki-kakinya yang terpercik lumpur, dan mencuci tangan. Sewaktu mencuci tangan itulah, terbayang kembali "peristiwa kenari" yang barusan dialaminya. Sambil tersenyum, dalam hati ia memarahi dirinya sendiri. Dwi, kamu telah membuka gerbang ke arah dunia yang tak terduga! Kini, apa yang akan terjadi berikutnya, kamu harus simak dengan seksama dan dengan hati-hati. Siapa yang tahu, apa yang kini bergejolak di hati Joe, dan apakah keremajaannya mampu menampung gejolak itu. Dwi mengambil sabun dan membasuh kedua tangannya dengan seksama. Tangan itu yang tadi meremas-membelai, menguak sebuah tabir dari babak baru cerita di panggung kehidupannya!
Lalu Dwi menumpahkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya. Segera kesegaran menyerbu badannya, membuatnya ingin bernyanyi. Maka tak lama kemudian ia menggumamkan lagu -entah apa- sambil mulai menyabuni tubuhnya. Lehernya yang jenjang ia sabuni. Sepasang bukit indah di dadanya, ia sabuni, sampai dipenuhi busa-busa harum. Hingga pada saat ia menyabuni bagian bawah tubuhnya, ia terkejut sendiri. Hampir saja sabun lepas dari genggaman. Ternyata kewanitaannya basah oleh cairan bening yang telah lama tak pernah ada di sana. Kekagetannya bertambah lagi ketika ia sadar bahwa di bagian itu ada rasa hangat yang berlebihan. Ada sensitifitas yang lebih dari biasanya. Tanpa sabun, tangannya mulai bergerak lebih ke bawah, mengusap-usap seperti sedang menduga apa gerangan yang terjadi. Sebenarnya, Dwi tak perlu menduga, karena setiap usapan mendatangkan rasa yang telah lama tak dirasakannya: sebentuk rasa geli yang bercampur nikmat, yang dengan mudah membuat jantungnya berdegup sekian kali lebih kencang. Tanpa bisa dicegah, Dwi tiba-tiba mendesah, dan kedua kakinya bagai sedang berseteru, saling memisahkan diri satu sama lainnya.
Suara kucuran air kran yang cukup keras menyembunyikan desah Dwi yang kini memperkuat usapan tangannya. Bahkan itu bukan lagi mengusap namanya. Itu meremas namanya. Menekan-nekan dengan telapak, dan menggaruk-mengurat dengan jari tengah. Lalu pangkal ibu jarinya bertumbu pada bagian atas, bergerak-gerak seperti sedang menarik picu senjata. Dwi menggelinjang, dan hampir saja terpeleset di lantai kamar mandi yang licin. Tangan kirinya yang bebas buru-buru berpegangan ke tembok, sementara tangan lainnya tak ada hasrat untuk berhenti. Tangan itu malah bergerak makin cepat, seperti ada sesuatu yang mendesak yang harus dilakukan di bawah sana. Mata Dwi sedikit terpejam, dan mulutnya yang berpagar bibir basah itu sedikit terbuka. Nafasnya sedikit memburu. Serbuan-serbuan kenikmatan datang entah dari mana, dan membuat Dwi agak terhuyung, sehingga ia akhirnya bersandar pada tembok marmer yang dingin dan basah.

Suara orang membuka pintu ruang depan membuat Dwi tersentak sadar. Buru-buru ia kembali ke dekat bak mandi. Terdengar suara Laras nyaring, "Wieeee ........ kau kah itu di kamar mandi?"

Dwi membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba tersekat, sebelum menjawab keras-keras, "Ya, ini aku La ... sedang mandi...", entah apa pula perlunya menambahkan kata "sedang mandi" di ujung kalimat!

"Dari mana saja, anak manis?" teriak Laras lagi, terdengar melangkah menuju kamarnya di seberang kamar Dwi.

"Dari hutan mencari kenari .... ", jawab Dwi sambil mulai mengguyur. Duh, segera saja api yang berkobar di tubuhnya padam seketika. Dalam hati Dwi bersyukur, Laras datang sebelum dirinya betul-betul terlena oleh tangannya sendiri! Tetapi sesungguhnya ia juga kesal, kenapa Laras datang pada saat seperti itu. Sambil tertawa kecil, Dwi menghentikan perdebatan didalam kalbunya. "Peristiwa Kenari" ternyata tidak hanya mengubah hidup Joe!!

******
Sementara Joe telah pula sampai di rumahnya. Ia telah pula beradadi kamar mandi, dan telah pula menyabuni tubuhnya. Sama dengan Mba Dwi, ia telah pula kembali membayangkan apa yang terjadi di hutan tadi. Bedanya, Joe tak berhenti karena terganggu oleh teriakan ayah, atau panggilan ibu, atau ajakan Wulan untuk bermain petak umpet. Joe melanjutkan gerakan-gerakan tangannya, mengerang pelan ketika akhirnya ledakan-ledakan hasratnya tercapai, dan pelan pula ia berusaha mengatur nafas yang terasa semakin cepat dan berat.

******
Seminggu setelah "peristiwa kenari", Joe disibukkan oleh ulangan-ulangan di sekolahnya. Dalam kesibukannya itu, Joe tak bertemu Mba Dwi. Ia tak mungkin bisa menemui Mba Dwi, karena diam-diam Mba Dwi pergi ke rumah salah seorang kakaknya di kota B, yang terletak 6 kilometer di sebelah selatan. Sebuah pesan pendek disampaikan Devi kepada Joe, ketika pria remaja ini lewat di depan sanggar (tentu saja, dengan sengaja ia lewat!). Kata Devi, Mba Dwi menyuruh Joe untuk rajin belajar supaya semua ulangannya bernilai bagus. Kata Devi lagi, Mba Dwi baru akan pulang bulan depan, karena sanggar akan tutup untuk sementara semasa murid-murid menjalani ujian sekolah.

Untuk beberapa saat, Joe merasa ada sesuatu yang tak beres. Kenapa dia tiba-tiba menghindar? sergahnya dalam hati disertai gundah karena kepergian Mba Dwi hanya berjarak seminggu dari peristiwa di gua itu. Apakah ia marah? Tetapi apa yang membuatnya marah? Mba Dwi tak tampak marah ketika ia melakukan itu di gua; ia bahkan tampak ceria, dan matanya penuh senyum menggoda. Apakah ia malu menemuiku lagi? Tapi, bukankah aku yang seharusnya malu menemuinya? Pikiran-pikiran itu berkecamuk sepanjang hari, berlanjut sepanjang malam, sehingga Joe baru tertidur pukul 2 pagi. Untung keesokan harinya ulangan belum lagi dimulai karena masih dalam rentang "minggu tenang". Tentu saja Joe tak punya seorang pun yang bisa diajak mendiskusikan pikiran-pikirannya. Tidak Prima dan Iwan yang baginya cuma akan menambah persoalan. Tidak juga ibu, dan apalagi ayah. Keduanya pasti cuma akan marah dan menuduh yang bukan-bukan.

Maka Joe terpaksa mengambil kesimpulan sendiri. Ia pergi ke pantai sendiri, berenang sampai letih, kemudian tidur-tiduran di bawah semak-semak dimana di tempat itu dulu pertama kali ia menyentuh dada Mba Dwi. Sambil tiduran itulah akhirnya ia memutuskan, bahwa tak mungkin Mba Dwi bermaksud buruk. Tak mungkin tiba-tiba Mba Dwi meninggalkan dirinya penuh dengan tanya yang belum terjawab. Ia adalah seorang wanita bijaksana, pikir Joe dalam hati, dan ia pergi karena aku harus ulangan umum. Karena aku harus berkonsentrasi dengan buku-bukuku. Karena dengan Mba Dwi di dekatnya, buku-buku akan dia lempar jauh-jauh! Sejenak pikiran itu meneduhkan gejolak hati Joe, walau tak pernah menjadi jawaban yang sempurna bagi pertanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan di kepalanya. Pikiran itu pula yang membantu Joe untuk berkonsentrasi pada pelajaran sekolahnya, sehingga ulangan umum tak terasa begitu menyiksa. Dua minggu ia hanya belajar dan belajar, sehingga ketika ulangan tiba, kepalanya seperti penuh dengan huruf dan angka. Satu demi satu ia menyelesaikan mata ujian dengan sedikit kesulitan saja. Di akhir masa ujian, kepalanya terasa kosong sekali. Begitu ringan dan sejuk.

"Kamu nampak begitu riang dan optimis...," tiba-tiba Yuli sudah berdiri di dekatnya, memeluk tas dan menuaskan senyum di mukanya yang tampak letih setelah seharian berkutat dengan kertas dan pensil serta pulpen.

Joe membalas senyum Yuli, dan entah darimana datangnya, yang jelas Joe baru saja sadar bahwa cuma gadis ini yang tampaknya peduli akan perasaannya. Joe teringat, Yuli pula yang dua minggu lalu -sebelum ulangan dimulai- bertanya kenapa wajahnya keruh. Yuli pula yang pernah menawarkan sebotol minuman dingin ketika ia sedang duduk sendirian di pinggir lapangan basket menunggu bel masuk setelah istirahat. Yuli yang penuh perhatian!

"Lega rasanya setelah semua ulangan selesai," ucap Joe sambil memandang Yuli, dan menyadari betapa indah kedua bola mata gadis yang oleh Prima dan Iwan selalu dipuji-puji setinggi langit. Yuli tersenyum lagi, menembakkan seberkas perasaan yang belum jelas tertangkap oleh Joe.

"Pulang sama-sama?" kata Yuli lembut, seperti mengajak, seperti menebak. Ah, Joe tak tega mengatakan "tidak", maka ia cuma mengangguk dan mereka berjalan beriringan pulang. Joe menuntut sepedanya, Yuli berjalan sambil tetap mendekap tas sekolahnya. Sayup-sayup Joe mendengar Prima berteriak "cihuiii.." dan Iwan memperdengarkan suitan nakalnya. Joe mengutuk dalam hati, dua monyet itu sungguh tak punya sopan. Tetapi ia tersenyum juga.

Mereka berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan yang dipagari pohon-pohon asam rindang, berbincang-bincang ringan tentang sekolah. Yuli bertanya tentang rencana liburan, Joe mengatakan ia belum punya rencana. Yuli berbicara tentang rencana berkemah anak-anak kelas dua dan kelas tiga, Joe mengatakan dukungannya kepada rencana itu. Yuli bertanya apakah Joe akan ikut berkemah, dan Joe menjawab "mungkin". Yuli lalu terdiam. Joe juga diam. Pohon-pohon asam juga diam. Angin juga diam.

Dalam diam Joe membandingkan Yuli dengan Mba Dwi. Betapa berbedanya! Yuli tampak lembut, mungil, terkadang seperti sedang bersedih. Mba Dwi selalu menggairahkan, tegas, dan penuh ide kegiatan. Tetapi Yuli sangat cantik, terutama jika mereka sedang berdua, dan jika ia sedang bertanya, "Ada apa?" dengan suaranya yang pelan dan matanya yang menatap bening. Di depan Mba Dwi, Joe seperti murid di hadapan maha-guru dunia persilatan, mengikuti segala gerak-geriknya dengan seksama, mematuhi anjuran dan permintaannya. Di depan Yuli, sebaliknya, ia merasa perlu melingkarkan tangan di bahu yang tampak ringkih itu. Merasa perlu selalu jalan di sebelah kanan kalau beriringan. Merasa perlu menawarkan membawa alat-alat laboratorium setiap kali mereka selesai praktikum. Mereka tiba di depan bioskop satu-satunya di kota itu. Mereka harus berpisah di sini, kecuali jika Joe ingin mengantar Yuli sampai ke rumahnya. Yuli memecah kesunyian di antara mereka, "Sampai jumpa lagi sehabis liburan," katanya pelan, lalu mulai berbelok.

"Yuli..," tiba-tiba saja Joe sudah berucap, tapi ia sendiri lupa hendak bicara apa. Yuli menghentikan langkah, berputar menghadap Joe yang juga sedang berdiri terpaku. Yuli menunggu, wajahnya penuh harap. Ah, mengertikah Joe apa artinya "harap"?

"Aku ingin ikut berkemah..., tapi...," Joe berucap penuh keraguan. Cepat sekali wajah Yuli berubah mendengar ucapan Joe, dan bibirnya yang mungil susah-payah menyembunyikan senyum yang tiba-tiba menyeruak. Segumpal harapan tersekat di kerongkongnya.
"..... tapi aku tidak tahu harus mendaftar kepada siapa." lanjut Joe setelah menelan ludah yang terasa pahit.

"Aku bendahara panitia," sergah Yuli cepat sekali, seperti memang sudah dipersiapkan sejak tadi tetapi ditahan-tahan,

"Kamu bisa mendaftar kepadaku. Hari ini juga namamu sudah bisa kutulis sebagai peserta. Aku bisa menalangi uang pendaftarannya. Aku....," Yuli menghentikan ucapannya, sadar melihat Joe berdiri melongo memandang gadis di depannya bicara penuh semangat, seperti berbicara di depan pertemuan partai politik!

Yuli merasa mukanya tersiram air hangat, dan ia segera menunduk menyembunyikan rasa malu yang menyerbu. Joe tiba-tiba ingin tertawa keras, tetapi ia bertahan sekuat tenaga, sehingga yang keluar cuma senyuman yang lebar.

"Kalau begitu," ucap Joe sambil tetap menahan senyum, "Sampai jumpa di alun-alun sekolah Sabtu depan!"

Yuli mengangkat muka, memperlihatkan wajahnya yang memerah tetapi juga bersinar riang sempurna. Matanya berbinar seperti bintang timur di pagi hari. Mulutnya mengguratkan senyum amat manis, bahkan bagi Joe, bahkan di terik siang yang kering itu. "Sampai jumpa," bisiknya, tetapi tentu Joe tak mendengar karena ia telah mulai melangkah lagi sambil melambaikan tangan. Yuli mengangkat tangan kanannya, melambai pelan, dan akhirnya berbalik untuk berjalan ke arah rumahnya. Bumi terasa empuk, seperti kasur terbuat dari busa. Yuli senang sekali hari itu. Senang …. Senang … senang sekali!

******
Bumi perkemahan adalah arena penuh suka-duka remaja. Pak Guru dan Bu Guru adalah sipir-sipir penjara, dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga adalah para pesakitan. Tetapi siapa yang peduli! Setelah letih didera ulangan dan ujian, bumi perkemahan adalah penjara yang dirindukan. Di sini mereka bisa berteriak mengalahkan guntur di langit, bernyanyi tanpa not balok dan tanpa dirijen (yaitu Pak Daman, guru seni yang terlalu tua itu!), serta tidur melewati batas waktu yang selalu ditetapkan secara sepihak oleh orangtua. Di sini pula menyebar cinta remaja, cinta monyet, puppy love, atau apa lah namanya!

Di perkemahan itu pula, Joe "menemukan" Yuli, setelah sekian lama mereka berteman. Joe kini menyadari, Yuli bukan gadis biasa, bukan semata-mata teman sekelas yang duduk di bangku kayu berwarna coklat tua itu. Bukan seperti Aimy, atau Fanny, atau Parti, atau Lisa. Karena Yuli punya kelebihan dari semua mereka itu: Yuli peduli padanya, peduli pada apa yang dirasakannya, dan peduli dengan ketulusan. Karena Yuli tidak meminta, tetapi memberi. Yuli tidak mengajak, tetapi mendampingi.

Pagi itu, dengan alasan menemani Yuli mengambil air di sungai, Joe menarik gadis itu ke balik sebuah batu besar. Di situ, di antara gemersik air dingin dan kicauan burung yang terlambat bangun, Joe menciumnya. Lembut dan penuh perasaan, ia mengulum bibir gadis yang kini memeluknya erat sekali. Yuli memejamkan mata, merasakan angin seperti sutra menyelimuti tubuh mereka berdua, mendengar nyanyian merdu dari daun-daun yang berjatuhan. Joe merengkuh tubuh yang terasa jauh lebih mungil itu (Yuli cuma setinggi hidungnya), melumat bibirnya yang merah merekah basah dan terasa manis. Ember terguling berkelontangan. Untung saja, sehingga mereka bisa menyadari saat Prima dan Iwan lewat. Namun tetap mereka memergoki Joe dan Yuli yang sedang berdua. Sejak itu, Prima dan Iwan mengubah sebuah lagu pop dengan teks gubahan mereka sendiri yang sangat gombal. Joe pusing sekali mendengar gubahan yang tidak karuan itu. Bahasanya buruk, tidak puitis, dan jelas-jelas memproklamirkan percintaan Yuli dengannya. Pusing sekali Joe dibuatnya, tetapi apalah dayanya, cuma Prima dan Iwan yang bisa menghiburnya dengan ketololan-ketololan seperti itu!

******
Enam hari menjelang masa sekolah, Yuli menemani kedua orangtuanya ke ibukota, katanya hendak menjenguk kakek-neneknya. Inilah pertama kalinya Yuli merasa perlu melaporkan kepergiaannya kepada Joe, karena sejak perkemahan dan ciuman pertama itu, Joe resmi menjadi kekasihnya. Seorang kekasih harus tahu kemana pasangannya pergi, bukan? Maka Yuli menulis surat pendek, di atas kertas merah jambu, dan dikirim lewat kurir istimewa bernama Prima dengan pesan wanti-wanti,
"Jangan dibuka sebelum tiba di tangan Joe!"

Joe tersenyum membaca surat itu, sementara Prima memanjang-manjangkan leher ingin mengintip isinya. Dengan seksama, dilipatnya kertas merah muda itu, dan disimpannya di dompet. Kepada Prima, ia bilang bahwa Yuli pergi ke ibukota untuk menikah dengan pria pilihan orangtua mereka. Prima mencibir tak percaya, tapi Joe tak peduli apakah temannya percaya atau tidak. Mereka lalu bersiap-siap berenang ke sungai, dan mengajak Iwan ikut serta. Sepanjang sore, mereka berlomba-lomba menyebrangi sungai, dan Joe selalu menang. Kedua temannya terlalu ceking dan terlalu banyak bergadang. Sepulangnya dari berenang, ketika Prima dan Iwan telah terpisah darinya, Joe bertemu Devi.

"Hai..., apa kabar!" sergah wanita teman Mba Dwi itu.
"Kabar baik," ucap Joe pendek. Sebetulnya ia ingin melanjutkan dengan pertanyaan tentang Mba Dwi, tetapi Joe ragu apakah hal itu patut ditanyakan kepada Mba Devi.

"Tidak pernah ke sanggar lagi?" tanya Devi, entah kenapa Joe merasa wanita ini sedang menggodanya.

"Mmmm .... bukankah latihan tari belum dimulai lagi, dan Wulan belum perlu datang lagi?" jawab Joe.

Devi tertawa kecil, "Maksudku, .... koq tidak pernah ngobrol dengan Mba Dwi lagi, dia kan sudah datang!"

Joe menelan ludah. Oh, Mba Dwi telah pulang. Cepat sekali rasanya waktu berlalu, pikirnya dalam hati. Lalu, entah kenapa ia akhirnya berjalan beriringan dengan Devi ke arah sanggar. Devi berceloteh entah tentang apa, Joe tak begitu memperhatikan, karena kepalanya sibuk menjawab berbagai persoalan yang tiba-tiba muncul.

Sesampai di sanggar, Devi berkata bahwa ia hendak ke belakang dulu, dan bahwa Mba Dwi ada di ruang latihan. Joe menggumamkan terima kasih, menjawab sekenannya, lalu berjalan ke arah ruang latihan. Langkahnya terasa berat, tetapi kaki-kakinya seperti digerakkan oleh mesin yang tak bisa dikendalikannya sendiri.

"Hei!!! Joe!...apa kabar?" suara Mba Dwi yang lepas-nyaring terdengar begitu Joe muncul di pintu ruang latihan. Joe terpaku sejenak, matanya menyesuaikan diri dengan keremangan ruang latihan. Akhirnya ia melihat Mba Dwi, sedang menggelar tikar-tikar bersama seorang wanita lain yang tak dikenal Joe. Dwi mendekat dengan cepat. Duh, kenapa ia jadi rindu kepada remaja ini? sergahnya dalam hati, tetapi ia tak mempedulikan perasaannya. Dipeluknya Joe sebelum pemuda ini sepenuhnya sadar apa yang terjadi, lalu dikecupnya cepat pipinya. Kemudian dilepasnya pelukan secepat ia mencium pipinya, dan diberondongnya Joe dengan serentetan pertanyaan. Joe tergagap-gagap menjawab pertanyaan tentang ulangan, tentang liburan, tentang orangtuanya, tentang Wulan, tentang .... entah tentang apa lagi. Banyak sekali yang tak bisa dijawabnya. Mba Dwi tampak bersemangat sekali, dan Joe baru belakangan menyadari bahwa rambut wanita ini telah berubah pendek. Tetapi perubahan itu justru menambahkan kecantikan baru, karena lehernya yang jenjang dan mulus itu semakin terpampang indah, dan matanya yang bersinar itu semakin tampil. Joe tiba-tiba merasa ingin melingkarkan tangannya di leher yang menggairahkan itu!

Setelah mencencar dengan pertanyaan dan menyeret Joe untuk membantunya menggelar tikar-tikar, akhirnya Mba Dwi mengajak Joe ke tempat kostnya. Joe hendak membantah, karena hari sudah mulai gelap. Tetapi, sebagaimana biasanya, ia tak pernah bisa menolak ajakan-ajakan Mba Dwi. Lagipula ini malam Minggu dan sekolah belum lagi mulai. Lagipula ia tadi sore telah mengatakan akan bermalam minggu bersama teman-teman, dan ayah-ibu telah mengijinkannya pulang paling lambat pukul 11. Maka akhirnya Joe bertandang ke tempat kost Mba Dwi.

Di tempat kost Mba Dwi, tampak Mba Laras sedang asyik berbincang dengan seorang pria berwajah tampan dan berpakaian rapi, mungkin pacarnya. Joe mengangguk sopan, dan Mba Laras mencubit pahanya sambil mengomel, mengatakan bahwa Joe tidak adil karena hanya datang kalau ada Mba Dwi. Pria yang sedang bersama Mba Laras bertanya, siapa si Joe itu (usil juga dia!) dan segera dijawab bahwa Joe adalah adik bungsu Dwi. Pria itu menggumamkan, "Oooo.." yang entah mengandung curiga atau percaya. Entah mengapa Joe tiba-tiba sebal kepada pria yang -harus diakuinya- berwajah tampan dan berbaju cukup bagus untuk ukuran kota kecil. Seperti ada keangkuhan yang terlalu di dalam pria tampan itu

Mba Dwi mengajak Joe masuk ke kamarnya, dan Joe tentu menurut saja karena Mba Laras juga mengusirnya dari ruang tamu ("mengganggu pembicaraaan," katanya). Di kamar, Mba Dwi mengeluarkan sebungkus kue bolu oleh-oleh dari kakaknya, dan Joe bersuka-cita melahap pengganan lezat kegemarannya itu. Mba Dwi terus bercerita tentang kakaknya, tentang anak kakaknya, tentang kota yang terkenal dengan bolunya, dan sebagainya, dan seterusnya. Joe, seperti biasa, cuma mendengar dengan seksama. Tetapi mata Joe tak lekang dari Mba Dwi yang bergerak lincah mengimbangi keramaian ceritanya. Ia seperti burung gelatik di pagi hari, pikir Joe. Menggairahkan pula, dengan dada yang terlonjak-lonjak seperti itu, dengan mulut yang basah seperti itu, dengan pinggul yang bergoyang seperti itu.

Lalu terdengar Laras berteriak dari ruang tamu, mengatakan bahwa ia dan teman prianya ingin pergi nonton. Mba Dwi keluar sebentar dan berbicara dengan pria teman Laras itu, lalu terdengar pintu depan ditutup, dan Mba Dwi kembali ke kamar. Joe sedang berdiri membuka-buka album foto di meja kerja Mba Dwi yang dipenuhi majalah-majalah dan buku-buku yang isinya tak jauh mengenai tari-tarian. Cantik sekali Mba Dwi dalam foto-foto penampilannya. Ia memang penari yang kata orang penuh bakat, dan sudah pernah diajak tur keliling Indonesia oleh seorang sutradara tari dari ibukota. Joe juga pernah mendengar bahwa Mba Dwi diajak tur ke luar negeri, tetapi entah kapan realisasinya.

Joe tersentak ketika merasakan nafas Mba Dwi di tengkuknya. Tanpa terdengar, Mba Dwi telah berdiri di belakang Joe, dekat sekali. Dengan ringan ia menjelaskan foto-foto di album itu, tetapi Joe tak bisa sepenuhnya mengerti. Bagaimana tidak! Tubuh Mba Dwi melekat di tubuhnya. Nafasnya harum memenuhi udara. Dadanya yang kenyal menekan punggung Joe, membuat pemuda ini tiba-tiba bersyukur bahwa Mba Laras dan teman prianya pergi ke luar rumah!

Lalu, entah pikiran apa yang datang ke Joe, tiba-tiba ia sudah berbalik dan memeluk Mba Dwi. Bukan itu saja, Joe bahkan tiba-tiba sudah mengulum bibir basah yang bernafas harum menggairahkan itu. Untuk sesaat Dwi tergagap, kedua tangannya siap mendorong dada Joe. Tetapi dengan tiba-tiba pula tangan itu kehilangan daya, dan berhenti di dada Joe, bukannya mendorong, kedua tangan itu hanya menempel saja. Lalu, ketika Joe terus melumat bibirnya, Dwi tak kuasa mencegah kedua tangannya untuk merengkuh tubuh pemuda itu. Kedua payudaranya terhenyak di dada Joe, membuat Joe semakin bergairah menciumi wanita yang selalu menggairahkan birahinya ini.

Dwi mendesah mendapat perlakuan Joe yang penuh gelora itu. Matanya terpejam penuh penyerahan, juga ketika pelan-pelan mereka bergeser ke arah dipan. Tangan Dwi meremas punggung Joe, dan bahkan lalu menekan tengkuk pemuda itu, mendorong Joe untuk berbuat lebih dan lebih lagi. Dan Joe pun menyambut ajakan seperti itu dengan sepenuh hati. Entah bagaimana awalnya, kedua tangannya kini mulai menari-nari di tumpukan daging kenyal Dwi, menyebabkan wanita itu terengah-engah. Puting-puting susunya terasa menegang mendapat perlakuan Joe yang sebetulnya agak sedikit kasar itu. Terasa gatal pula, karena tergesek-gesek bra nilonnya. Dwi merasakan kehangatan tiba-tiba menjalari seluruh tubuhnya, ke bagian bawah, ke antara dua pahanya yang kini menempel erat di paha Joe.

Keduanya lalu terjerembab di dipan yang berderit menahan beban yang lebih berat dari biasanya. Joe menindih Dwi sambil masih menghujaninya dengan ciuman. Rok Dwi yang pendek kini telah tersingkap dan memperlihatkan seluruh bagian atas pahanya, dan tentu saja celana dalam krem tipis yang berenda-renda disisi-sisinya. Sejenak Joe menikmati pemandangan itu, dan menyebabkan ia semakin bergairah untuk menciumi Mba Dwi-nya.

Tetapi hanya sejauh itulah yang bisa dikerjakan Joe selama ini, meremas payudara (sebagaimana Mba Dwi mengajarinya di pantai) dan menciumi bibirnya (seperti "peristiwa kenari" sore itu). Tidak lebih dari itu. Karena ia memang masih muda dan sama sekali tak ada pengalaman tentang ini!

Adalah Dwi yang kemudian tak merasa cukup diciumi dan diremas-remas seperti itu. Ada bagian dari tubuhnya yang juga minta lebih dari itu, dan Dwi ingin mendapatkannya dari Joe, pemuda yang semakin lama semakin disukainya ini. Ia tahu, ini adalah sebuah permintaan yang berbahaya dan harus diperlakukan dengan hati-hati. Tetapi gelombang birahi dari pemuda yang sekarang mendekapnya ini begitu kuat, menyeret Dwi untuk hanyut lebih jauh lagi, berenang lebih dalam lagi. Sanggupkah ia menolaknya?

Dengan tangan kanannya yang bebas, Dwi tiba-tiba sudah menuntun tangan kanan Joe, membawanya ke bawah. Tangan pemuda itu tampak lemas tak bertenaga, bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, hanya mengikuti saja. Sambil mendesahkan sesuatu yang tak jelas, Dwi menelusupkan tangan Joe dan tangannya ke balik celana dalamnya. Joe merasakan telapak tangannya mengusap rambut-rambut halus dan bukit kecil yang hangat di balik nilon tipis itu. Ah, apa yang harus kulakukan? pikirnya risau. Tetapi Joe diam saja, karena tangan Mba Dwi kini mengajak tangannya berputar-putar mengusap. Hangat sekali di bawah sana, jauh lebih hangat daripada kedua payudaranya, ucap Joe dalam hati. Apalagi kemudian tangannya didorong lebih ke bawah. Tidak hanya ada rasa hangat di sana, tetapi juga terasa agak basah. Gerakannya masih sekedar mengusap-usap, menuruti saja gerakan tangan Mba Dwi yang kini tampak semakin terengah-engah.

Tiba-tiba Mba Dwi melepaskan bibirnya dari pagutan Joe, membuat pemuda ini agak terperanjat. Apalagi kemudian Mba Dwi bangkit, membuat Joe khawatir telah melakukan suatu kesalahan fatal. Tetapi ternyata tidak. Ternyata Mba Dwi bangkit untuk melepas celana dalamnya, dengan sebuah gerakan cepat yang cukup menakjubkan. Joe terkesima melihat Mba Dwi kini menggeletak di sampingnya, dengan rok tersingkap sepenuhnya, dan dengan kewanitaan yang terpampang jelas, menampakkan segitiga hitam rambut-rambut halus yang sedikit membukit, dan sepasang bibir yang mulai membasah. Joe menelan ludah berkali-kali. Pemandangan itu sungguh berada di luar batas khayalnya selama ini. Jauh di luar batas!

Wajah Mba Dwi tampak serius dengan sorot mata yang menggairahkan, pikir Joe sambil mencari jawabannya di mata wanita itu. Ia sungguh bingung, tak tahu harus berbuat apa. Mba Dwi tersenyum, lalu berbisik, "Joe.. Mba ingin kamu melakukan sesuatu malam ini. Mau?"

Joe tak bisa berkata apa-ap, yang bisa ia lakukan hanya mengangguk bisu. Apa lagi yang bisa dilakukannya selain itu? Ia melihat Mba Dwi tersenyum seperti biasanya, penuh dengan bujukan agar ia percaya saja kepadanya. Ia diam saja, ketika tangan Mba Dwi menuntun tangannya kembali ke bawah, ke segitiga yang tampak menggoda dan mengundang itu. Ia diam saja ketika dengan sabar Mba Dwi memintanya menjulurkan jari tengahnya. Ia diam saja ketika Mba Dwi, dengan tangan kirinya, menguak bibir-bibir di bawah sana, memperlihatkan dinding halus yang tampak licin-basah dan agak berdenyut berwarna merah muda itu.

"Oh, Joe... tolong Joe….mainkan jari tengahmu di sana....," tiba-tiba Mba Dwi mendesah penuh dengan permohonan. Joe terenyuh mendengar permohonan Mba Dwi, baru kali ini ia melihat Mba Dwi memohon dengan sangat. Cepat-cepat ia memenuhi permintaannya, dan dengan rasa kagum jari tengahnya mulai menelusuri celah bibir dan dinding halus yang basah itu dengan lembut. Perlahan ia menelusur ke bawah, ujung jarinya terasa menyentuh sebuah liang liat yang agak sempit. Perlahan ia naik kembali, terus ke atas karena tangan Mba Dwi menariknya sampai hampir keluar dari lepitan bibir-bibir yang tampaknya menebal itu. Ujung jari Joe kini merasakan sebuah tonjolan kecil di balik selaput kulit yang agak tebal itu. Mba Dwi nampak memejamkan mata erat-erat sambil giginya menggigit bibir bagian bawah ketika Joe mengurut-urut tonjolan itu sesuai yang diminta Mba Dwi.

"Terus, Joe... teruskan, ohhh..ehhmmff,.." Mba Dwi seperti merengek-rengek dengan wajah yang semakin memerah dan mulut membuka menghembuskan nafas memburu. Joe memenuhi permintaannya, menggosok dan mengurut dengan jari tengahnya lebih cepat lagi. Mudah sekali melakukannya, karena jarinya licin dipenuhi cairan kental bening yang ia tak tahu apa namanya. Mudah sekali jari tangannya melesak ke liang kenyal kecil di bawah sana, karena liang itu seperti membuka dengan sendirinya, dan seperti hendak menyedot masuk jarinya. Gerakan-gerakan tangan Joe semakin teratur; naik..., turun....

berputar,... naik ... turun .... melesak sedikit. Demikan seterusnya, sementara Mba Dwi kini menggelinjang, mengerang-erang seperti orang mengejang, dan melentingkan badannya seakan punggungnya tertusuk duri.

"Oooooh, Joe... lebih cepat lagi .... Joe, ahhhh...," Mba Dwi kini seperti orang mau menangis dan memohon-dengan-sangat kepada Joe. Sungguh membuat iba Joe, tetapi sungguh menggairahkan pula permintaan itu. Maka Joe bergerak secepat mungkin, sekeras mungkin, sekuat mungkin. Tangannya terasa pegal, tetapi ia tak peduli, ia harus lebih cepat lagi dan lebih kuat lagi menggosok. Harus lebih kuat lagi memutar sambil menekan kalau perlu, karena setiap putaran dan tekanan tampaknya membuat Mba Dwi semakin keenakan. Rasanya seperti sedang menimba sumur dengan satu tangan, peluh telah membasahi dahi Joe, tetapi untuk wanita ini rasanya masuk sumur pun rela!

Tiba-tiba Mba Dwi mengejang, dan untuk beberapa detik Joe menyangka perempuan ini sedang menghadapi maut. Kaget, ia tarik tangannya, tetapi Mba Dwi memprotes..."Acchhhh, jangan....jangan berhenti Joe!" sambil menarik tangan Joe untuk kembali ke bawah sana.

Cepat-cepat Joe memenuhi permintaan itu, dan menggosok-mengurut kembali sekuat tenaga. Satu kali, dua kali, tiga kali .... lima kali... akhirnya Mba Dwi seperti berteriak tertahan. Tubuhnya menggeliat lalu melenting seperti busur panah, lalu terjerembab kembali ke kasur dan berguncang-guncang seperti sedang diserang batuk hebat. Tetapi bukan batuk yang keluar dari mulutnya, melainkan erangan-erangan dan rintihan-rintihan. Joe takut sekali melihatnya!

"Ouuugggghhhhhh..., Joe!" ucap Mba Dwi seperti orang menahan tangis, memeluk leher pemuda itu, meraihnya ke pelukan tubuhnya yang masih turun-naik dengan nafas yang telah memburu. Joe terdiam menempelkan kepalanya di dada Mba Dwi, mendengar detak jantung yang terdengar berdentum-dentum, keras sekali.

"Joe .... maafkan Mba Dwi !" tiba-tiba terdengar wanita itu berucap. Joe hendak mengangkat kepalanya, tetapi tertahan oleh tangan yang memeluk erat lehernya.

Lalu ia merasakan air hangat mengalir di dahinya. Mba Dwi menangis!
Ada apa gerangan? Apa yang salah? Cepat-cepat Joe melepaskan diri dari pelukan, dan memandang heran ke wajah yang tetap terlihat manis walau airmata membasahi kedua pipinya. Mba Dwi memang menangis, matanya penuh air mata, tetapi mulutnya tersenyum manis.

"Kenapa?" tanya Joe dengan sejuta keheranan.

Mba Dwi menggelengkan kepalanya pelan-pelan, tangannya lembut mengusap wajah Joe, lalu mengusap rambutnya sendiri yang agak menutupi dahi. Dia berbisik, "Aku telah menguak sebuah rahasia penting untukmu .... ."

Joe diam dan masih mengerenyitkan dahi. Mba Dwi berkata lagi, masih dengan berbisik, "Itu tadi orgasme pertamaku di tangan kamu, Joe..."

Orgasme. Rahasia penting. Joe menghela nafas panjang. Ia menguakkan kepadaku rahasia terpenting seorang wanita. Mba Dwi membawakan kepadaku dunia yang kini justru penuh misteri untuk dikuakkan, pikir Joe dengan dada dipenuhi aneka perasaan: bangga bahwa ia dipilih oleh wanita menggairahkan ini, takjub karena ternyata orgasme itu begitu indah sekaligus menakutkan, terharu karena melihat wanita ini harus berjuang melawan dirinya sendiri sampai menangis!

Dengan cepat dipeluknya Mba Dwi, diciuminya leher wanita yang harum itu. Oh, terimakasih untuk kunci rahasia itu Mba Dwi. Terimakasih banyak!!

~Menutup Layar ~

Joe terus menciumi leher jenjang yang harum dan kini agak basah oleh keringat. Ia mengecup-mengembus, menggigit kecil, menghela nafas menghirup semerbak tubuh wanita yang menggairahkan ini. Rasa terimakasih memicu semangat dan birahinya yang terasa semakin menggelora, ingin rasanya ia mendekap dan melumat tubuh hangat yang ditindihnya ini. Mba Dwi tertawa kecil menerima perlakuan Joe,

"Stop ....," ucapnya, tetapi kata itu bagaikan angin sepoi yang sejenak lewat menghembuskan kesejukan dan menebarkan keharuman syurgawi. Dan Joe tak mau berhenti, malah semakin bersemangat menelusuri urat samar kebiruan di leher yang bak pualam itu. Joe naik menciumi dagu Mba Dwi, menyusuri bawah rahangnya, lalu turun lagi sampai ke pangkal leher. Tangannya dengan cepat menyibak kaos wanita itu, sekaligus membuka beha coklat di bawahnya, menampakkan dada ranum yang bergerak naik-turun dengan cepatnya.

"Ah, Joe .... Ohhh," akhirnya Mba Dwi hanya bisa mendesah, dan perlahan tangannya yang tenggelam di rambut Joe kini justru menekan kepala pemuda itu. Justru mendorongnya agak lebih ke bawah, sehingga bibir Joe kini menelusuri lembah indah di antara kedua payudara yang membusung-mengembung-menggairahkan. Harum sekali lembah itu, lembut dan bergetar menyembunyikan jantung yang berdebar kencang. Joe semakin berani, mengangkat mukanya menggigit daging yang membola halus-licin itu sehingga Mba Dwi menggelinjang dan menjerit kecil, "Oh, .... jangan Joe..." tapi tangannya tak juga sanggup mendorong kepala Joe lepas dari dadanya. Mba Dwi hanya bisa berkata tak bisa berbuat. Sebuah penolakan yang tak punya daya, sebuah penyerahan yang tak terelakkan. Apalagi ketika mulut pemuda yang menghembus-hembuskan nafas panas itu kini tiba di satu puncak payudaranya.

"Oh ... jangan itu,... Joe, jangan itu... ", erang Mba Dwi, tetapi terlambat sudah!

Dengan cepat Joe menyedot puting kenyal yang berdiri menantang itu. Mba Dwi menggeliat, melepaskan tangannya dari kepala Joe, meremas-remas seprai seperti hendak mencari kekuatan dari situ. Dunia nyata seperti menghilang dari pandangan Dwi yang kini terpejam menahan nikmat tak terperi yang menyerbu tubuhnya. Satu tangannya bergerak ke atas, menggenggam tiang ranjang seakan kini seluruh hidupnya bergantung di sana. Tak ada lagi pikiran bimbang, atau takut, atau kuatir di kepalanya. Semuanya hilang bergantikan sensasi kenikmatan, menjalar-jalar seperti api keluar dari mulut Joe yang kini mengemut-emut puting susunya. Joe pun semakin bersemangat, menyedot kuat-kuat dan mengulum-ulum daging kecil kenyal yang terasa aneh di mulutnya itu. Beginikah seorang bayi merasakan susu ibunya? pikir Joe sambil membayangkan betapa rakusnya dulu ketika ia masih bayi!

Dwi merasakan kewanitaannya berdenyut lagi, bagai bangkit dari istirahat, setelah tak lebih dari 10 menit lalu bergeletar terlanda orgasme. Kini kedua kakinya membuka lebih lebar lagi, dan tak sadar ia menarik satu tangan Joe untuk kembali ke bawah sana. Joe pun tak perlu mendapat tuntunan lagi sekarang.

Tiba-tiba saja ia sudah menjadi piawai. Tangannya dengan cepat melakukan lagi apa yang baru saja ia pelajari dalam permainan serba menggairahkan ini. Tangan itu tahu harus berbuat apa di ladang subur yang selalu menjanjikan kehangatan itu. Penuh kepastian, tangan pemuda itu kini mengusap-usap, menerobos-menelusup, meraih-raih. Dwi membuka pahanya semakin lebar, semakin menguak, menyediakan keleluasaan kepada Joe.

"Ohhh, Joe.... Ohhh, aku mau .... Aaah, aku ingin ....," Mba Dwi seperti kehabisan kata-kata, "Joe,... aku,... ahhh.."

Apa yang hendak disampaikannya? tanya Joe dalam hati, tetapi ia tidak berani bertanya. Mulutnya tak hendak lepas dari mainan baru di puncak payudara yang menggelorakan itu! Dengan satu jari tengahnya, Joe membuka-menguak sepasang bibir di bawah sana. Telah menebal, bibir-bibir itu. Basah dan licin pula. Hangat dan berdenyut juga. Jari Joe seperti menari-nari, melenggak-lenggok di taman sutera yang halus menggelincirkan. Terkadang, jari itu menelusup jauh ke bawah dan sampai di sebuah liang sempit yang berdenyut-denyut.

Dwi tersentak ketika disentuh ujung jari Joe di bagian yang sangat peka itu. Tubuh bagian bawahnya tiba-tiba terangkat meninggalkan kasur, dan akibat gerakan itu jari Joe akhirnya melesak masuk, tergelincir cepat sampai tenggelam sepanjang satu buku jari. Ada sedikit lengket dan panas dan basah terasa oleh Joe di ujung jari yang dilingkari sebentuk otot liat-kenyal yang bergerak-gerak seperti mulut kecil.

Dan Dwi pun merintih pelan, ".... teruskan ... masukkan .... Oh, Joe... teruskan...".

Dan Joe mendorong lebih dalam, merasakan jarinya kini menelusuri dinding licin bak sutra yang basah. Dan Dwi semakin keras mengerang lalu memutar pinggulnya dalam gerakan asal-asalan. Joe menarik sedikit jarinya, tapi tangan Mba Dwi mendorongnya kembali. Joe menarik lagi, tetapi didorong lagi. Ditarik-didorong. Ditarik-didorong. Berkali-kali, semakin lama semakin cepat, seperti kereta api sedang mengambil ancang-ancang untuk melaju.

Dwi menutup mulut dengan punggung tangannya, menahan sebuah teriakan-teriakan kecil yang terputus-putus... ah ... ah ... ah. Lalu ia menggelepar kuat sekali, dan tangan Joe lepas dari selangkangannya, seperti dilemparkan oleh kekuatan gaib. Joe sendiri terkejut sekali dibuatnya. Dan Mba Dwi tidak bisa diajak bicara, karena wanita itu menggeliat, mengguling ke samping, lalu tertelungkup dengan tubuh berguncang-guncang. Ranjang berderit-derit. Tanggannya menggenggam kuat.

Joe terpana. Astaga, apa yang telah kulakukan? Joe hendak bangkit meninggalkan tempat tidur, tetapi tiba-tiba Mba Dwi telah berbalik. Wajahnya agak memerah dan bibirnya yang menggairahkan itu seperti tomat matang. Matanya setengah tertutup, memandang sayu, tetapi penuh dengan sinar yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Joe setengah terduduk di pinggir ranjang, tak pasti apa yang harus dilakukannya. Lagipula, kini ia kuatir ada orang yang mendengar kegaduhan di kamar ini, walaupun ia juga tahu paviliun tempat Mba Dwi indekos terpisah oleh halaman cukup luas dari rumah utama.

Mba Dwi tiba-tiba tertawa kecil, "Aduh, Joe... lihat apa yang telah kamu lakukan," ucapnya masih agak terengah. Pakaiannya semrawut, behanya sudah terlepas sama sekali, dan roknya tersingkap lebar.

"Maaf, Mba ...," ucap Joe pelan. Ia sungguh-sungguh bermaksud minta maaf.

"Hei... kenapa harus minta maaf?", ucap Mba Dwi ringan, lalu ia bangkit dan merapikan pakaiannya, tetapi tidak memakai kembali beha maupun celana dalamnya yang kini entah di mana.
"Kamu memberikan lebih dari yang aku minta, dan tak perlu minta maaf untuk itu ..." lanjut Mba Dwi lagi dengan suara lembut, hampir berbisik.

Mereka duduk berdua di pinggir ranjang. Mba Dwi memeluk bahu Joe, lalu mencium leher Joe sedikit di bawah kuping. Joe menggeliat kegelian, lalu balas memeluk pinggang Mba Dwi. Kemudian ia mendengar wanita itu berbisik dengan nafasnya yang hangat menyentuh tengkuk Joe, "..sekarang giliran kamu, yaa..."
Tangan Mba Dwi cepat sekali telah membuka resleting celana Joe yang diam saja tak tahu harus berbuat apa. Lalu dengan lembut tetapi agak memaksa, Mba Dwi mendorong tubuh pemuda itu sehingga telentang di kasur, sementara ia sendiri tetap duduk dan terus membuka resleting sampai lepas sama sekali. Lalu jari-jarinya yang lentik mulai mengelus-elus bagian atas celana dalam Joe yang telah menggembung dan agak basah di sana-sini. Ah, Joe pun hanya bisa memejamkan mata, membiarkan apa pun yang akan terjadi berikutnya. Ia pasrah saja.

Dengan tangan yang lain Mba Dwi membuka kancing baju Joe, satu-persatu dengan ketrampilan dan ketenangannya. Tak lama kemudian, dada Joe yang bidang telah terbuka sama sekali. Sejurus kemudian Mba Dwi sedikit membungkukkan badannya, dan .... Joe menggeliat kegelian ketika bibir basah wanita itu tiba di putingnya yang kecil. Rasanya seperti disengat kenikmatan dan Joe mengerang pelan. Mba Dwi bahkan lalu mengulum dan menyedot, sehingga Joe tak lagi hanya mengerang tetapi juga merintih. Enak sekali, ternyata jika seseorang bermain-main dengan puting susumu! pikirnya dalam hati. Sementara itu jemari-jemari Mba Dwi yang lain telah masuk menyelinap ke balik celana dalam Joe, dan menemukan kejantanan pemuda itu tegak-keras-panas. Jemari itu lalu meremas pelan, mengelus dan menelusur ke atas dan ke bawah. Joe memejamkan matanya erat-erat, seakan memastikan bahwa ini adalah sebuah mimpi yang tak ingin membuatnya terjaga , sebuah kenyataan yang dimimpikannya. Tubuhnya meregang merasakan jemari itu melakukan sesuatu yang menakjubkan, membuat seluruh daerah di bawah perutnya terasa tiga kali lebih besar dari biasanya.
Mulut Dwi terus mengulum puting Joe yang kecil, tangannya terus menggosok-meremas. Dua sumber kenikmatan saling bertumbukan di tubuh Joe, menyebabkan pemuda ini bergetar hebat. Sebuah desakan gairah mulai terkumpul di tubuh bagian bawahnya, membuat kedua pahanya terasa berat. Seluruh otot tubuhnya seperti sedang bersiap-siap meledak, seperti seorang lifter yang bersiap-siap mengangkat barbel, seperti kuda yang berancang-ancang melompat, seperti burung garuda yang bersiap mengudara.

Gerakan Dwi makin cepat, dan sedotan mulutnya makin kuat memilin-milin puting Joe yang tentu saja tak pernah lebih besar dari semula. Tidak seperti puting payudaranya Mba Dwi. Tangan Mba Dwi naik-turun dengan bergairah, begitu cepat sehingga hanya tampak dalam bayang-bayang. Joe mengerang panjang ketika akhirnya ia tak bisa lagi menahan serbuan puncak birahi menerjang mencari jalan keluar. Apalagi kemudian satu tangan Mba Dwi yang masih bebas, ikut bermain di bawah sana, memegangi kantong di bawah kelaki-lakian Joe yang seperti mengeras-membatu. Tangan Mba Dwi meremas pelan kantong kenyal itu. Pelan saja, tetapi sudah cukup membuat Joe menggeramkan penyerahannya, mengerangkan kepasrahannya, ketika dengan deras cairan hangat kental lepas dari tempat persembunyiannya, menghambur keluar. Langit-langit kamar Mba Dwi memudar di mata Joe. Ranjang Mba Dwi terasa seperti awan yang membumbung membawa tubuhnya melayang. Jemari dan tangan Mba Dwi masih meremas menggosok. Mulutnya yang basah masih mengulum-menyedot. Dunia nyata seakan berkeping-keping. Meledak mengamburkan pijar-pijar pelangi di kepala Joe. Sungguh menakjubkan!

Lalu sepi bagai turun dari langit. Joe tergeletak lemas. Mba Dwi tertelungkup di sebelahnya, dengan kepala tersandar ke dadanya. Nafas mereka berdua masih memburu. Samar-samar terdengar detik jam dinding. Malam minggu sedang menuju titik kulminasi.

Setelah segalanya tenang, Joe bangkit dan merapikan pakaiannya. Mba Dwi keluar menuju kamar mandi. Segalanya seperti sediakala, kecuali ranjang yang berantakan tak keruan. Dengan cekatan Joe membereskan seprai dan mengembalikan bantal ke tempatnya. Ia menemukan beha dan celana dalam Mba Dwi, yang segera dilipatnya baik-baik dan diletakkan di kursi meja rias. Setelah menghela nafas dalam-dalam, ia melangkah keluar, ke ruang tamu. Kosong tak ada siapa-siapa. Lalu Mba Dwi muncul dari kamar mandi. Wajahnya penuh senyum seperti biasanya. Lalu mereka duduk berhadap-hadapan. Lama tidak berkata-kata, hanya senyuman yang saling tertukar. Ketika akhirnya Mba Dwi membuka percakapan, bahan pembicaraan terasa hambar, dan wanita yang wajahnya bersinar tetapi kelihatan letih itu pun berkali-kali menguap tak mampu mengusir kantuk.

Pukul 10 lewat seperempat, Joe akhirnya pamit. Mba Dwi berdiri di pintu depan memandangnya pergi. Joe tak bisa melihat wajahnya, karena terlindung bayangan pintu, tetapi ia tahu Mba Dwi tersenyum. Maka ia pun tersenyum sekali lagi, lalu berbalik menuntun sepedanya ke jalan raya. Gelap malam segera menyambutnya, merangkulnya dengan embun basah yang segar. Entah kenapa, Joe merasa seperti seorang ksatria pulang dari medan pertempuran!

*******
Itulah malam paling bergelora yang pernah dijalani Joe bersama Mba Dwi. Seminggu setelah itu, sekolah dimulai dan pertemuan keduanya tak pernah lagi terjadi malam hari. Joe juga tak lagi bisa sering mengantar-jemput Wulan ke tempat latihan menari, karena kini ia punya aktifitas baru: mengantar Yuli pulang. Mengerjakan PR bersama. Latihan vocal group untuk acara-acara sekolah. Kegiatan ekstrakulikuler selepas sekolah. Dan seabreg kegiatan lain yang cukup menyita waktunya.

Mba Dwi masih sering mengajak berenang bersama (tetapi Yuli tidak pernah ikut karena ia tidak bisa berenang), mereka masih dengan riang saling berlomba mencapai batu karang, mengalahkan Prima dan Iwan dan Devi yang selalu terlalu banyak tertawa. Mereka juga masih mencari kenari ke hutan, tetapi anehnya tak lagi ada hujan yang menyebabkan mereka terpaksa berteduh di gua. Tak sekali pun mereka pernah membicarakan adegan-adegan bergelora yang sering diputar-ulang oleh Joe di atas ranjangnya sendirian. Mba Dwi seperti lupa tentang apa pun yang terjadi malam itu, seperti halnya ketika ia melupakan kejadian di pantai dan di gua. Segalanya nampak normal-normal saja.

Dan hari-hari pun berlalu dengan cepat, musim berganti dari hujan ke panas, dari basah ke kering. Ada suatu masa kemarau yang agak panjang, membuat daun-daun menguning dan suasana gerah di mana-mana. Pada masa seperti itu, kota kecil tempat mereka tinggal pun seperti kehilangan energi. Orang-orang jarang mau ke luar rumah, lebih sering duduk-duduk di beranda, atau berteduh di bawah pohon di halaman sendiri. Toko-toko yang jumlahnya memang tidak banyak, juga sepi pengunjung. Babah Ong, pemilik toko kelontong di ujung jalan semakin sering mengomel-mengeluh.

******
Kemarau kali ini membawa cerita lain bagi Joe. Ia semakin dekat berhubungan dengan Yuli dan semakin jarang bertemu dengan Mba Dwi. Bukan apa-apa, tetapi memang suasana panas menghalangi keinginan pergi ke pantai, sementara sungai juga menipis airnya, dan kenari tidak berbuah. Lagipula, setiap kali mengantar Yuli pulang, Joe dipaksa mampir. Ibunda Yuli, Nyonya Tuti, seorang bidan satu-satunya di kota itu, menyukai pemuda ini. Ia selalu mempunyai alasan tepat untuk menyuruh Joe berlama-lama menemani Yuli. Misalnya, hari itu ibu yang bertubuh gemuk bulat itu sudah menyediakan es cendol segar. Siapa bisa menolak itu di siang yang begini terik? Tetapi Joe bersopan-santun, mencoba menolak tawaran menggiurkan itu.

"Ayooo...," sergah Yuli manja, menarik kelingking Joe,

menyeretnya masuk ke beranda seperti menyeret anak kambing,

"Kamu tadi bilang haus..."

"Sudah siang, Yuli," kata Joe mencoba berdalih.

Ibu Tuti tertawa mendengar alasan Joe, "Setiap hari kalian pulang pukul 1, apa bedanya hari ini?"

"Ayooo...," Yuli menarik-narik lagi, kali ini pergelangan Joe yang dicekalnya erat-erat. Terpaksa Joe melangkah masuk, menunduk menghindari tatapan Ibu Tuti yang seperti mau menggodanya sambil berkata, "Joe malu sama Ibu, ya? Baiklah kalau begitu Ibu masuk, kalian berdua saja minum cendol itu."

Begitulah, akhirnya Joe minum cendol yang memang segar. Berdua saja di beranda yang sepi. Ibunda sudah pergi ke paviluan sebelah, tempatnya membuka praktek KB. Rumah besar yang menghadap jalan kecil menuju pasar ini tampak lengang. Berhadapan, diam-diam, Yuli dan Joe menghabiskan minuman mereka. Sejuk sekali rasanya tenggorokan mereka menelan cendol-cendol yang dingin itu.

Joe menyukai suasana seperti ini, di mana ia bisa berlama-lama berhadapan dengan Yuli tanpa siapa-siapa di sekeliling mereka. Wajah Yuli yang selalu tampak segar itu (Joe kadang-kadang membandingkannya dengan buah jeruk manis yang baru dikelupas) selalu sedap dipandang. Apalagi kalau kedua matanya yang bening menatap kepadanya, dengan bulu mata lentik yang jarang berkerejap. Di suasana panas seperti ini, Joe senang sekali berteduh di sinar mata yang lembut itu. Senang sekali mereguk nada rindu yang mengalun pula dari sana.

"Apa, sih, yang kamu lihat?" sergah Yuli sambil menggigit-gigit sendok plastiknya.

"Kamu." jawab Joe pendek, bertopang dagu dengan satu tangan.
"Setiap hari kamu lihat saya. Tidak bosan?"

Joe menggeleng. Pertanyaan kuno, ucapnya dalam hati sambil menahan tawa. Itu pertanyaan yang mengundang tanggapan lebih lanjut, mengundang kata-kata seperti, "tak kan pernah bosan" atau "mana mungkin aku bosan memandangmu" dan yang semacam itu. Joe mengunci mulutnya, tetapi tidak menyembunyikan senyum di matanya.

"Tidak bosan?" tanya Yuli lagi, sudah berhenti menggigit-gigit sendoknya. Bibirnya yang semakin basah oleh minuman terlihat indah agak berkilauan.

Joe menggeleng lagi. Ia tahu Yuli ingin mendengar serentetan kata-kata berbunga tentang ketidak-bosanan, tentang kerinduan yang tiada henti, tentang keinginan untuk selalu berdua. Tetapi Joe menguatkan hati. Kadang-kadang ia ingin menyampaikan segala sesuatu yang indah dalam diam. Tanpa kata-kata.

"Betul?" kali ini Yuli terdengar penasaran, gemas diperlakukan seperti ini oleh pemuda yang tak pernah berhenti membuatnya terpesona.
"Kenapa tidak bosan?" tanya Yuli.

Joe menahan senyum. Mengangkat bahu dan tetap mengunci mulutnya. Yuli semakin gemas, dan karena tidak tahan lagi, ia bangkit berpindah tempat ke sebelah Joe. Jemarinya yang halus tiba-tiba saja sudah hinggap di pangkal lengan Joe, mengancamkan sebuah cubitan.

"Ayo jawab. Atau Yuli cubit!" ucapnya sengit. Joe pura-pura tidak mendengar, memandang ke luar beranda dan melihat sekeliling. Sepi sekali siang ini.Yuli mencubit pelan. Mana tega ia mencubit keras. Joe meringis pura-pura kesakitan, lalu menoleh memandangi wajah Yuli yang kini dekat sekali di sisinya.

Aku ingin mencium bibir ranum yang basah itu, ucap Joe dalam hati. Pasti manis seperti es cendol yang diminumnya.

"Jawab...atau...," bisik Yuli lirih, tak meneruskan kalimatnya melihat kedua mata Joe memandangnya dengan penuh rindu. Dekat sekali.Joe semakin mendekatkan wajahnya sampai bibirnya hampir bersentuhan dengan bibir Yuli. Gadis itu terdiam, jemarinya berhenti mencubit, berubah menjadi cengkraman lemah. Joe menghela nafas menikmati harum nafas Yuli yang hangat menghambur dari mulutnya yang setengah terbuka. Perlahan-lahan wajah mereka semakin mendekat. Joe mencium gadis itu, merasakan manis gula jawa yang tersisa di bibirnya yang basah, mengulum lembut seperti khawatir tindakannya akan menimbulkan gempa bumi.

Yuli menyambut ciuman Joe dengan mata terpejam dan dengan kehangatan yang justru mengusir terik kemarau hari itu.

*******
Suatu Sabtu di penghujung musim panas, Joe menerima sepucuk surat dari Mba Dwi yang disampaikan lewat Wulan. Ketika itu Joe baru saja tiba dari bermain voli di lapangan di depan kantor Pak Camat. Dengan tangan masih berpeluh, buru-buru disobeknya sampul putih yang cuma bertuliskan "untuk Joe di rumah" itu. Di dalamnya, ada sehelai kertas surat biru muda tipis, dan potongan sebuah brosur. Apa ini? tanya Joe dalam hati, lalu ia mulai membaca:

Adikku Joe yang cakep... (Joe tersenyum membaca sapaan ini. Ada rasa rindu menjalar tiba-tiba. Telah lama ia tak berjumpa Mba Dwi). Hari Minggu besok, Mba Dwi akan pergi ke ibukota. Ada seorang sutradara tari menawarkan peran untuk sebuah pertunjukan besar. Mba Dwi tidak tahu berapa lama akan berada di ibukota. Kalau peran itu jadi diberikan kepada Mba Dwi, mungkin Mba Dwi akan berada di sana lebih dari setahun .. (Joe menelan ludah, merasakan mulutnya kering. Lama sekali, setahun itu!) Mba Dwi ingin mengucapkan selamat tinggal. Rajin-rajinlah belajar agar nanti bisa bersekolah ke institut teknologi yang dulu pernah kamu ceritakan itu ... (Jantung Joe berdegup kencang. Mengapa tiba-tiba ia merasa dirinya akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga?).

Mba Dwi tidak akan pernah melupakan kamu. Mba Dwi juga tahu kamu akan tetap mengingat Mba Dwi. Tetapi jangan lupa mengingat hal-hal lain yang penting dalam hidupmu. Terutama, jangan pernah melupakan cita-citamu, keinginan mu yang tertinggi... (Sampai di sini, Joe menghela nafas panjang, merasakan segumpal kesedihan menyumbat kerongkongannya. Apakah ini ucapan perpisahan?). Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi. Sampaikan salam Mba Dwi kepada orang tuamu. Jaga Wulan baik-baik, ia seorang yang berbakat tari.

Peluk-cium, Mba Dwi

NB : Mba Dwi lampirkan potongan brosur pertunjukan tari di ibukota dan alamat sanggarnya. Kalau kamu ada waktu dan berkesempatan, tengoklah Mba Dwi di sana.

Joe melihat jam di dinding. Jarum menunjukkan pukul tiga sore. Masih ada waktu

sebelum bertandang ke rumah Yuli. Cepat-cepat Joe berlari ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang berkeringat dan berdebu. Seperempat jam kemudian ia sudah mengayuh sepedanya dengan kecepatan maksimum menuju rumah kost Mba Dwi. Ia ingin menemui wanita istimewa itu untuk mengucapkan selamat jalan.

********
"Baru saja Mbak Dwi pergi, dijemput oleh kakaknya naik mobil." kata Mbak Laras di depan pintu. Joe lemas mendengar penjelasan itu.

"Tapi, bukankah ia baru akan berangkat ke ibukota hari Minggu besok?" tanya Joe, seperti hendak mempersoalkan benar-tidaknya Mbak Dwi telah pergi.

"Betul," jawab Mbak Laras, "Tetapi kakaknya ingin Mbak Dwi menginap di rumahnya, sebelum berangkat ke ibukota. Di rumah kakaknya itu telah berkumpul kedua orang tua mereka dan anggota keluarga yang lain. Semacam pesta perpisahan."

"Rumah kakaknya tidak jauh, bukan?" tanya Joe, teringat tentang kepergian Mbak Dwi sewaktu masa ujian dulu. Kalau tidak salah, jaraknya hanya 6 kilometer.

"Bukan kakaknya yang di dekat sini," kata Mbak Laras, "Yang menjemputnya tadi adalah kakak yang satu lagi, yang tinggal di kota L."

Joe merasakan bumi tempatnya berpijak bergoyang-goyang. Kota itu jauhnya 100 km dari sini. Ia menunduk lesu, bersandar ke pintu rumah kost, membuat Laras iba. Kasihan pemuda ini, pikir Laras dalam hati, ia pasti sangat kecewa tidak berjumpa "kakak kesayangan"-nya. Laras bisa membaca hubungan istimewa yang terjalin antara teman kostnya dengan pemuda ini, walau tak pernah tahu seberapa jauh mereka berhubungan. Ia hanya tahu, Dwi sangat menyayangi pemuda ini, dan emberlakukannya seperti adik sendiri. Tapi ia tidak pernah tahu bahwa keduanya pernah bergumul di kamar ketika ia pergi menonton beberapa waktu yang silam.

Setelah mengucapkan permisi, Joe meninggalkan rumah kost itu dengan tubuh tanpa daya. Ia tidak menaiki sepedanya, melainkan berjalan saja perlahan-lahan. Hari telah menjelang senja, matahari dipenuhi semburat merah-jingga. Angin semilir seperti mencoba memberikan sedikit saja kesejukan di hari yang panas ini. Baju Joe basah oleh keringat, karena tadi ia mengeluarkan semua tenaganya untuk cepat-cepat sampai ke rumah kost. Kini ia mengutuk-utuk ajakan Prima dan Iwan untuk main voli, dan menyesali diri karena menampik permintaan Wulan untuk menjemputnya di sanggar. Seandainya tadi aku menjemput Wulan, pastilah aku masih sempat bertemu Mbak Dwi! umpatnya dalam hati. Sebuah batu agak besar di pinggir jalan ditendangnya. Tentu saja, jempolnya sakit bukan main, sedangkan batu itu tak bergeming

******
Malamnya, malam minggu yang seharusnya indah, terasa kelabu bagi Joe. Ia berusaha menyembunyikan galau di hatinya sekuat tenaga. Tetapi percuma saja menyembunyikan perasaan di depan Yuli. Gadis itu punya indra kesepuluh, khusus untuk menembus dinding kalbu Joe!

Akhirnya Joe mengaku dan menceritakan kepergian Mbak Dwi. Tidak itu saja, Joe juga menceritakan hubungannya dengan Mbak Dwi, setelah memberlakukan sensor ketat di sana-sini. Yuli terdiam mendengarkan cerita itu. Gadis ini memang telah lama menduga bahwa antara Joe dan wanita itu terjadi sesuatu yang lebih dari sekedar persahabatan. Tetapi ia tidak pernah punya bukti, dan kalau ia bertemu Mbak Dwi (dan ini sering terjadi), ia selalu menaruh hormat kepada wanita yang tampak selalu ceria tetapi juga penuh wibawa itu. Kini, melihat dan mendengar

Joe bercerita tentangnya, Yuli merasa dadanya bergemuruh. Cemburu. Iri. Curiga. "Kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanyanya ketus.

"Karena kamu tidak pernah bertanya," jawab Joe, berusaha menyembunyikan kagetnya mendengar Yuli berucap dengan nada ketus. Baru kali ini ia mendengar nada itu di suara Yuli.
"Kenapa tidak kamu susul ke kota L," ujar Yuli, kini dengan nada sinis.
Joe mengangkat mukanya, memandang Yuli lekat-lekat. Benarkah ia berucap seperti itu, sinis begitu? Joe menemukan sebuah wajah dingin, dengan bibir terkatup rapat membentuk garis tipis yang tegas. Jelas sekali, Yuli yang manis dan lembut itu kini sedang meradang. Marah.

Pukul 8 malam, hanya setengah jam dari waktu kedatangannya, Joe berpamitan. Yuli tidak mengantar ke gerbang seperti biasa. Tidak membiarkan bibirnya dikecup. Tidak melambai. Joe berjalan gontai pulang ke rumah. Ia merasa, sebuah babak dalam kehidupannya usai sudah. Panggung sudah kembali diterangi lampu-lampu. Penonton sudah bertepuk tangan. Pemain telah berganti pakaian dan pulang ke rumah masing-masing.

Di langit banyak sekali ada bintang. Joe menengadah. Ia menyerah pada Sang Sutradara di atas sana. Babak pertama telah selesai.

Musim Berderap Berlalu

Kemarau akhirnya berlalu. Rintik hujan pertama jatuh di senja hari Rabu itu, saat orang-orang pada umumnya berada di rumah. Awan yang menjanjikan hujan sebenarnya telah sering bergantung-gantung di langit selama seminggu terakhir ini. Tetapi baru sekarang hujan benar-benar turun. Mulanya hanya menetes-netes seperti tidak sungguh-sungguh hendak turun ke bumi, tetapi lalu dengan cepat membesar. Tanah yang telah lama kering, segera menghisap air dengan cepat, dan bau bumi yang basah segera memenuhi udara. Pohon-pohon seperti jejingkrakan, selayaknya anak-anak yang ramai mandi hujan di halaman rumah masing-masing.

Joe berada di beranda rumah Yuli ketika hujan turun. Patut kiranya diketahui, hubungan mereka telah membaik kembali, setelah sempat "perang dingin" selama seminggu. Kepergian Mba Dwi dan rasa sedih yang menelungkupi Joe telah menjadi picu dari ketegangan itu (lihat cerita Menutup Layar). Tetapi kemudian segalanya kembali seperti semula, dan Joe kembali mengantar Yuli pulang setiap hari, atau membuat PR bersama seperti hari ini.

"Akhirnya hujan turun juga....," Joe menggumam, berdiri di beranda memandang halaman rumah Yuli dengan cepat tergenang air. Yuli berdiri di sampingnya, menggigit-gigit pensil, merengkuh tangan kekasihnya.

"Seperti dicurahkan dari langit," ucap Yuli perlahan, mendongak memandang garis-garis air turun seperti jarum-jarum raksasa dari langit yang gelap kehitaman.

"Aku suka air hujan," kata Joe, "Aku tidak suka terik yang berkepanjangan. Rasanya badanku mengering di saat kemarau, dan segala sesuatu bisa berubah menjadi bencana."

"Mmm...," Yuli cuma bergumam. Ia juga tidak suka kemarau, terutama kemarau yang baru saja lalu. Ia tidak suka pertengkaran terjadi antara mereka berdua, dan sekarang bersyukur karena hujan telah datang. Mungkin benar kata Joe, kemarau lah yang menyebabkan mereka berdua bertengkar.

Joe memeluk bahu Yuli, dan gadis itu menyandarkan kepalanya manja ke dada kekasihnya. Berdua mereka memandangi hujan, hampir lupa mengerjakan PR matematika yang tertinggal di atas meja. Kalau tidak terdengar Ibunda mendehem dari ruang tamu di dalam, pastilah PR itu tak kan pernah selesai.

Musim hujan juga mengiringi hari-hari akhir dari sekolah Joe dan Yuli. Mereka kini telah duduk di kelas tiga, dan telah memasuki masa akhir. Ujian akan segera tiba, lalu mereka harus menempuh perguruan tinggi. Segalanya berjalan dengan cepat, seakan-akan air hujan ikut memperlancar roda kehidupan di kota kecil itu. Tanpa terasa, Joe dan Yuli kini tenggelam lagi dalam kesibukan mempersiapkan diri menghadapi kertas-kertas ujian.

Mereka belajar dengan intensif, dalam kelompok yang semakin besar, karena melibatkan pula Prima dan Iwan dan dua teman putri yang konon adalah pasangan mereka: Sita (pacar Prima) dan Wiwik (pacar Iwan). Enam orang ini sering berkumpul, terutama di rumah Yuli yang adalah rumah terbesar di antara rumah-rumah mereka, dan karena hanya Yuli yang rumahnya tidak ramai oleh anak-anak kecil. (Yuli adalah putri bungsu. Kedua kakaknya sudah tinggal di luar rumah).

Sesekali, mereka juga belajar di rumah Iwan yang punya kebun jambu di halaman belakangnya. Tetapi belajar di rumah Iwan adalah kesia-siaan belaka. Mereka lebih sering berada di atas pohon jambu, masing-masing berbekal sekantong garam-cabai-terasi. Sedap sekali makan rujak di atas pohon!

Belajar bersama dalam kelompok besar juga sering menimbulkan pertengkaran. Maklumlah, ada enam kepala remaja yang keras, masing-masing tidak mau mengalah kecuali kepada pasangannya. Dan kalau ada tiga pasang remaja bertengkar, pastilah tidak ada penyelesaian. Yuli paling sering mengeluhkan hal ini kepada Joe, dan mengusulkan agar mereka kembali belajar berdua saja. Apa boleh buat, Joe pun setuju, dan Prima maupun Iwan cuma menggerendeng tak berani menyatakan penolakan.

Tetapi belajar berdua --sebagai sepasang kekasih-- juga ada kelemahannya bukan?

Siang itu, ketika Joe dan Yuli tiba dari sekolah, ibu Yuli terlihat sedang berkemas-kemas dibantu asistennya. Sebuah tas hitam besar berisi alat-alat kebidanan tampak telah siap. Sebuah mobil milik BKKBN menunggu di jalan.

"Ibu harus ke kota R, Yuli," ucap Ibunda, tampak terengah-engah karena harus berjalan bulak-balik. Ibu ini terlalu gemuk, pikir Joe dalam hati. Cepat-cepat ia menolongnya membawa tas ke mobil.
"Joe,.. tolong temani Yuli hari ini. Ayahnya juga sedang rapat sampai malam di kantor Bupati," kata Ibunda sambil menutup pintu mobil. Lalu, sebelum mobil berjalan, ia melongokkan kepala dari jendela dan berucap, "Kamu makan siang di sini saja, Joe. Lalu belajarlah,.... jangan nakal!" Kata-kata yang terakhir itu diucapkan sambil melirik ke Yuli, yang masih menggendong tas sekolah dan berdiri mematung di sebelah Joe.

"Baik, tante.." kata Joe.

"Ya, bu..." kata Yuli.

Mobil pun lalu pergi diiringi lambaian tangan kedua remaja itu. Setelah mobil hilang dari pandangan, barulah keduanya berjalan masuk ke dalam rumah yang sepi. Yuli berjalan di depan sambil mengayun-ayunkan tasnya. Joe mengikuti dengan langkah ringan.

"Makan dulu, yuk..." ajak Yuli yang tentu segera di-iya-kan oleh Joe. Perutnya selalu lapar di hari-hari yang penuh hujan seperti ini. Apalagi jam memang telah menunjukkan waktu untuk makan siang, dan Ibunda Yuli telah menyiapkan satu ayam panggang utuh.
Lahap sekali mereka berdua makan hari itu. Walau pada awalnya kikuk juga, makan berduaan di rumah yang sepi. Yuli dengan canggung menyiapkan piring dan menyendoki nasi untuk Joe. Ia tiba-tiba merasa gugup, karena rasanya mereka berdua sudah suami-istri, makan siang bersama seperti ini. Joe juga canggung, karena ia sebenarnya tidak biasa dilayani. Di rumah, ia mengambil nasi sendiri, sesuka hati.

Yuli tertawa kecil pada suapan pertamanya. Joe mengernyitkan dahi, "Kenapa?"

"Ah, tidak... aku cuma merasa lucu saja," jawab Yuli.

"Apanya yang lucu?"

"Kita. Makan berduaan, seperti..." Yuli tidak meneruskan kata-katanya.
"Seperti apa?" desak Joe.

Yuli terus mengunyah, lalu menjawab, "Sudahlah. Tidak boleh terlalu banyak bicara jika sedang makan!"

Joe tersenyum mendengar "perintah" itu. Mereka pun makan diam-diam, dan memang makanannya juga sedap untuk dinikmati tanpa banyak bicara. Tak berapa lama, ayam hanya tersisa sepertiganya. Joe merasa sangat kenyang, dan Yuli pun takjub sendiri. Belum pernah ia makan begitu banyak, padahal ayam panggang sudah sering jadi menu di rumah ini.

Lalu Joe membantu Yuli mencuci piring di dapur, berdiri bersisian di bak cuci piring sambil mengobrol. Sesekali tangan mereka yang dipenuhi sabun bersentuhan, dan Yuli dengan manja minta Joe membersihkan sabun yang menciprat ke ujung hidungnya.

"Tanganku juga penuh sabun, bagaimana bisa membersihkan hidungmu," protes Joe.

"Gunakan pipimu!" sergah Yuli sambil tersenyum manis.

Nakal juga pacarku ini, pikir Joe sambil mulai menyeka sabun dari hidung Yuli dengan pipinya. Tetapi tentu saja Joe tidak cuma menyekakan pipinya ke hidung yang agak berkeringat itu. Dengan cepat ia mengecup hidung itu setelah tak bersabun. Dengan cepat pula ia turun agak ke bawah, mengecup bibir yang masih tersenyum itu. Yuli menarik kepalanya, tapi kurang ke belakang, tak mampu menghindar sepenuhnya.

Lalu tiba-tiba saja mereka lupa piring-piring yang belum dibilas. Lupa tangan mereka yang berleleran sabun. Bibir mereka tiba-tiba saja sudah saling melumat dan tangan Yuli sudah memeluk leher Joe. Kedua kaki Yuli berjinjit, agar ia bisa leluasa mengulum bibir kekasihnya, dan agar Joe leluasa pula melumat bibirnya. Tangan Joe pun kini merangkul pinggang Yuli, menekan tubuhnya agar lebih rapat lagi. Sedap sekali mencium bibir gadis yang kau sayangi, yang wajahnya selalu kau rindukan. Yuli pun terpejam membiarkan tubuhnya terhenyak ke depan. Lembut sekali rasanya dicium pria pujaan mu, pria yang tahu bagaimana memanjakanmu.

Hujan tiba-tiba turun, keras menerpa jendela dapur, menimbulkan suara berisik bertalu-talu. Tetapi Joe dan Yuli tidak mendengar apa-apa. Di telinga mereka cuma ada debur jantung yang semakin mengencang, dan nafas yang mendesah-desah. Cuma ada musik romantis yang mengiringi tarian kerinduan di atas awan-awan cinta. Perlahan-lahan tubuh Joe dan Yuli semakin merapat, dan kedua mulut mereka semakin sibuk mengulum, menghisap dan terkadang menggigit. Yuli mengerang pelan ketika kekasihnya mengulum perlahan bibir bawahnya, membuatnya membuka mulut agak lebih lebar. Lalu terasa lidah Joe menyerbu masuk, menyentuh-nyentuh lidahnya sendiri. Rasanya hangat dan geli, tetapi juga mesra dan memanjakan.

Perasaan nikmat yang lain juga kini muncul di dada Yuli, yang semakin terhenyak rapat di dada Joe. Dengan tangan yang semakin erat merangkul leher pemuda pujaannya, gadis belia itu kini mulai merasakan kegelian memenuhi puncak-puncak payudaranya yang ranum. Apalagi gerakan tubuhnya menyebabkan gesekan-gesekan kecil. Ia menggelinjang dan semakin merapatkan dadanya. Oh, jangan biarkan semua ini berlalu! jeritnya dalam hati. Matanya terpejam rapat, dan nafasnya yang hangat semakin menderu. Yuli terhanyut dalam gelora baru yang telah lama terpendam sejak ia memacari Joe. Ia menggeliat merasakan tubuhnya bagai dipenuhi rasa geli yang aneh, yang menyebar perlahan ke segala penjuru, dan yang menyebabkan jantungnya berpacu. Terengah-engah, Yuli mencoba memahami semua ini, tetapi kepalanya terasa kosong tak bisa berpikir. Segalanya terasa tak masuk akal, karena cuma ada rasa dan emosi. Cuma ada gairah dan birahi.

Joe pun terpejam merasakan hangat menerpa dari tubuh gadis yang dipeluknya. Selama ini, tubuh itu lah yang ia peluk dengan sayang, yang ia terima ketika bersandar. Kini tubuh itu begitu dekat, begitu hangat, dan begitu ranum seperti baru pertama kali disentuhnya. Sambil mengulum bibir Yuli yang semakin terasa panas dan basah, Joe mengusap-usap punggung gadis itu. Ia tak peduli, sabun menodai seragam putihnya. Ia tak bisa berpikir lain, selain ingin mengusap-usap tubuh gadis yang dirindukannya ini. Tangannya lembut menjalar ke sana ke mari. Juga ke bawah pinggang Yuli, ke bagian belakang yang kenyal dan menonjol seksi itu. Joe meremas gemas bagian itu.

Yuli menjerit tertahan, menggeliat kaget merasakan remasan tangan Joe. Sebuah aliran panas yang menggelisahkan menyerbu dari bagian yang diremas itu, menerobos ke mana-mana, mendatangkan sebuah demam tanpa sakit. Ini bukan flu, pikir Yuli, ini bukan demam biasa. Ini demam cinta. Yuli mengerang, melepaskan ciumannya, dan menyembunyikan wajahnya di leher Joe. Tangannya lebih erat merangkul, dan kini tubuh bagian bawahnya ia tempelkan lebih keras lagi ke tubuh Joe. Remasan tangan pemuda itu di bagian belakang telah memicu sebuah gemuruh di dalam tubuh Yuli.

"Jangan di sini, Joe...," desah Yuli, repot sekali berucap di tengah nafas yang memburu. Ia melepaskan diri dari pelukan kekasihnya, lalu mengajak Joe ke ruang tengah. Joe membiarkan tangannya dituntun. Mereka berdua sudah lupa sama sekali, ada beberapa piring dan sendok masih menggeletak di bak cucian. Tangan mereka masih agak basah, walau busa sabun telah lama hilang.
Di ruang tengah, Yuli menarik Joe untuk duduk bersama di sebuah sofa empuk. Dengan segera mereka melanjutkan apa yang tadi terputus di dapur. Joe menindih tubuh kekasihnya, menciumi lehernya yang lembab oleh keringat walaupun udara sebenarnya agak sejuk. Yuli menggeliat kegelian dan merebahkan tubuhnya pasrah. Ia ingin Joe melakukan sesuatu hari ini, tapi ia tak pasti apakah "sesuatu" itu. Ia ingin membiarkannya saja sebagai misteri yang menegangkan. Dan ketegangan adalah bumbu dari percumbuan, bukan?

Dengan satu tangannya, Joe membuka kancing-kancing baju Yuli. Oh, ia dengan mudah bisa melakukannya, teringat pengalamannya dengan Mba Dwi yang kini sedang ia coba lupakan sekuat hati. Satu demi satu kancing itu lolos dari lubangnya, sehingga akhirnya baju Yuli di bagian depan terkuak sudah. Sebuah beha putih membungkus sepasang bukit ranum, jauh lebih kecil daripada payudara Mba Dwi yang padat membusung itu. Tetapi tak kalah menggemaskan pula, dada Yuli yang terlihat turun naik dengan cepat itu. Jemari Joe tak tertahankan, menelusup masuk ke bawah beha, merayapi salah satu bukit ranum itu. Yuli menggeliat-geliat kegelian, merasakan kenikmatan baru yang belum pernah diterimanya dari siapa pun. Ia memang senang menempelkan dadanya di pangkal lengan Joe jika bergandengan, tetapi sungguh-sungguh disentuh langsung seperti ini..... wow, berbeda sekali rasanya!

Joe merasakan puting Yuli langsung mengeras ketika tersentuh ujung jarinya. Ia putar-putarkan ujung jari itu dengan ringan di sana. Ah, puting itu terasa panas seperti menyimpan air mendidih. Kenyal pula, seperti terbuat dari karet berkualitas tinggi. Bukit kecil di bawahnya terasa padat dan halus-licin. Berkali-kali telapak tangan Joe seperti tergelincir di sana, seperti seorang pemain ski yang meluncur gembira di bukit bersalju.

Yuli kini mengerang di sela desahan-desahan nafasnya. Sebuah aliran kehangatan, kecil saja bagai sebuah parit, terasa mulai terbentuk di pangkal pahanya. Dengan gelisah, Yuli merapatkan kedua pahanya, kuatir aliran itu menerobos keluar membasahi celananya, atau bahkan membasahi sofa. Tetapi berbarengan dengan itu, juga ada rasa nikmat yang makin lama makin kuat terasa. Semakin ia merapatkan pahanya, justru semakin nikmat rasanya. Membingungkan sekali, segalanya terasa penuh paradoks. Segalanya terasa janggal sekaligus memikat. Yuli akhirnya menyerah saja, membiarkan apa pun yang terjadi. Ia cuma bisa mengerang ketika sebuah tangan Joe mengelus-elus pahanya, perlahan-lahan mengangkat rok seragamnya semakin tinggi.

Joe mengelus perlahan, menikmati paha yang lembut-hangat-mulus itu. Telapak tangannya seperti sedang menjalani pualam yang hangat, membuat ujung-ujung saraf di sana bergairah. Sesekali ia tak tahan meremas, merasakan tubuh Yuli bereaksi cepat terhadap setiap ramasan itu. Joe merasa seperti seorang konduktor orkestra, yang dengan gerakan tangannya mampu mengatur musik, kapan mengalun perlahan dan kapan menggelora penuh semangat.


Dengan mata terpejam, Yuli mencari-cari mulut Joe. Ketika ditemukannya, ia mengulum bibir pemuda itu, sambil mendesah. Joe pun menyambut pagutan bergairah itu, sementara tangannya kini telah sampai di pinggir celana dalam Yuli, di bagian berkaret yang ketat memagari apa pun yang ada di baliknya. Mulanya, Joe ingin menerobos barikade itu, tetapi sebuah suara kecil di hatinya segera melarang. Jemarinya pun menghindari pinggiran itu, melainkan naik mengusap ke arah atas. Kain nilon terasa halus di telapak tangannya, juga terasa hangat karena tak mampu mencegah panas yang muncul dari tubuh yang diselaputinya. Dengan lembut dan mesra, Joe mengelus-elus kewanitaan Yuli yang masih diselimuti celana dalamnya.

Yuli meregang, diusap-dielus di bagian itu, ia merasa seakan-akan sebuah ledakan sedang bersiap-siap meletus di dalam tubuhnya. Geli sekali rasanya. Nikmat sekali rasanya. Tangan Joe bagai sedang mengirimkan berjuta-juta rasa, dan semua rasa itu berpangkal pada kenikmatan belaka. Yuli tanpa sadar merenggangkan kedua pahanya, membiarkan tangan Joe menjelajah lebih ke bawah lagi, ke bagian yang kini lembab oleh cairan hangat itu. Yuli kini tak lagi kuatir, apakah lembab itu akan berubah menjadi basah, menjadi banjir, menjadi apa pun. Ia sungguh tak peduli.

Dengan jari tengahnya, Joe mulai menelusuri celah yang terbentuk di antara dua punuk kecil di bawah sana yang masih terlindung nilon tipis. Perlahan-lahan jarinnya menelusur ke bawah, lancar karena nilon memang adalah kain yang licin. Terutama juga karena kain itu telah basah. Ujung jari Joe melesak sedikit, menyentuh bagian terbawah yang terhenyak di sofa. Yuli mengerang merasakan kegelian-kenikmatan menyerbu tubuh bagian bawahnya. Ia mengangkat sedikit tubuhnya, sehingga tangan Joe bisa menelusup lebih ke bawah. Lalu, jari itu naik lagi perlahan, menelusuri jalur yang sama yang ditempuhnya ketika turun. Tubuh Yuli pun terhenyak kembali, dan bergeletar pelan ketika ujung jari itu menyentuh sebuah tonjolan kecil di bagian atas. Apalagi kemudian Joe berlama-lama di sana, memutar dan menekan tonjolan itu.

Tanpa dapat ditahan oleh Yuli, tubuhnya meregang. Sebuah gemuruh bagai banjir bandang memenuhi tubuhnya. Banjir itu menerjang segala yang menghalanginya, menyerbu seperti hendak membuat tubuh Yuli meledak. Joe mempercepat usapan dan gosokan jari tangannya; ia tahu sebentar lagi kekasihnya akan tiba di puncak kenikmatan yang telah didakinya dengan sabar ini. Joe tahu, dari pengalamannya dengan Mba Dwi, sebentar lagi tubuh mungil ini akan menggelepar dilanda orgasme. Maka ia mempercepat gerakan tangannya, dan menekan tubuh kekasihnya lebih dalam ke sofa.

Walaupun sudah mengantisipasinya, Joe tak urung terkejut juga ketika akhirnya Yuli mencapai klimaks. Terkejut karena gadis yang lembut dan manja itu berteriak cukup keras, seperti seorang yang disengat listrik. Cepat-cepat Joe membungkamnya dengan mencium mulut Yuli. Agak sulit melakukan hal ini, karena Yuli seperti menghindar, menggelepar dan menggelengkan kepalanya dengan mulut terpejam. Ketika akhirnya Joe berhasil mengulum bibirnya, Yuli pun masih mengerang keras, walau kali ini ia hanya mengeluarkan suara "Ngggghhh....".

Tak kurang dari 3 menit lamanya diperlukan oleh Yuli untuk melepaskan semua desakan birahi yang menggumuruh di tubuhnya. Setelah itu, ia merasa lunglai dan tak bertulang. Ia merengkuh leher Joe, mencoba mencari kekuatan dari kekasihnya. Matanya seakan tak bisa membuka, karena kepalanya masih berenang-renang di danau kenikmatan. Untuk sejenak, Yuli khawatir ia sudah tidak ada di dunia ini lagi. Ia sudah berada di dunia lain, ia sudah tewas! Hanya kemudian sebuah gigitan kecil dari Joe di cuping telinganya yang membuat ia sadar, bahwa tadi itu bukanlah kematian. Tadi itu adalah orgasme pertamanya bersama pemuda yang dicintainya.

Joe menciumi leher Yuli dengan mesra. Ia seakan sedang mensyukuri kejadian barusan. Ia pun merasa bangga telah berhasil membawa Yuli ke puncak birahi. Terlebih-lebih lagi, ia merasakan perbedaan yang besar dengan percumbuan sebelumnya bersama Mba Dwi. Dengan wanita itu, Joe hanya dipenuhi birahi, dan ia hanyalah sebuah perahu yang dinakodai Mba Dwi. Dengan Yuli, Joe dipenuhi rasa sayang, dan ia adalah nakodanya.


Siang itu, Joe berhasil pula memendam keinginannya untuk melanjutkan percumbuan. Yuli sebetulnya menawarkan kelanjutan, dengan caranya yang lugu (dia bilang, "Lagi?" dengan ragu-ragu). Tetapi Joe tersenyum saja, perlahan-lahan melepaskan pelukannya, mencium pipi gadis yang tampak makin cantik dengan muka bersinar. Ia berbisik, "Jangan, Yuli .. kita cuma berdua di sini. Nanti kita terlena terlalu jauh.."

Yuli terharu mendengar ucapan pemuda ini. Dipeluknya leher Joe erat-erat. My hero, you are my hero! jeritnya dalam hati, penuh suka cita.

Masa ujian pun tiba, membuat semua murid di kota kecil itu menghilang dari pantai atau sungai atau danau tempat mereka biasanya bermain. Semua anak-anak usia sekolah tampak berwajah serius, bahkan tak sedikit yang terlalu serius sehingga kehilangan warna kanak-kanaknya. Joe dan Yuli tampak penuh percaya diri, begitu pula Prima, Iwan dan kedua pacar-pacar mereka. Dengan tenang -walaupun kadang-kadang agak gentar- mereka menghadapi setiap kertas ujian, dan selalu menyelesaikan soal-soal sebelum bel akhir berdentang.

Hari-hari yang sibuk selalu terasa lebih pendek dari hari biasa. Secepat datangnya, secepat itu pula masa ujian berlalu. Anak-anak sekolah berhamburan ke luar dari kelas pada hari terakhir, berteriak-teriak seakan perjuangan mereka telah usai dengan kemenangan. Padahal, tentu saja perjuangan itu justru baru dimulai. Jalan masih panjang, walau sekarang mereka tak punya pikiran lain selain liburan sebulan penuh. Anak-anak SMA sudah pula mempersiapkan acara perkemahan, sebelum mereka bersiap-siap ikut testing masuk perguruan tinggi.

Yuli terpilih sebagai ketua regu kelas 3, sementara Joe bertanggung jawab pada keamanan bumi perkemahan bersama beberapa "jagoan" yang selama ini menguasai dunia anak-anak SMA. Joe sendiri bukan termasuk jagoan, ia belum pernah berkelahi sepanjang sekolah menengah atas. Terakhir berkelahi, ia masih kelas dua SMP, dan lawan berkelahinya kini adalah salah satu jagoan itu. Tetapi, walau tak suka berkelahi, Joe dikenal tegas dan dihormati, terutama karena dua sahabatnya, Prima dan Iwan, sering bercerita membual tentang kehebatan Joe bermain pencak-silat. Nah,.. itulah gunanya memiliki dua sahabat tukang bual!

Perkemahan dilaksanakan di kaki sebuah bukit, kira-kira 10 kilometer dari kota. Mereka naik truk pinjaman dari kesatuan zeni Angkatan Darat, yang juga meminjamkan dua tenda raksasa untuk ruang P3K dan dapur umum. Selebihnya, masing-masing regu membawa sendiri atau meminjam tenda-tenda parasut. Ramai sekali bumi perkemahan yang bersebelahan dengan hutan karet itu dihuni anak-anak SMA. Berbagai acara berlangsung semarak, termasuk beramai-ramai mendaki bukit dan berenang-renang di bawah air terjun.

Joe sibuk mengatur keamanan, termasuk membantu beberapa anak-anak kelas dua yang jatuh sakit akibat terlalu bersemangat. Ruang P3K ramai oleh suara batuk dan orang muntah. Para "perawat" amatir tampak sigap melayani si sakit, dan Ibu Murni, ibu guru olahraga dan kesehatan, tampak letih memimpin mereka. Untunglah, beberapa di antara perawat amatir itu sudah terlatih sebagai anggota regu palang merah remaja.

Di tengah kesibukan dan keceriaan bumi perkemahan, tentu saja cinta remaja berkembang tak kalah meriah. Joe dan Yuli mendapat begitu banyak kesempatan untuk berduaan, terutama ketika acara api unggun, di mana semua anak duduk melingkar menyaksikan berbagai pertujukan oleh masing-masing wakil regu. Pada umumnya adalah menyanyi dengan iringan gitar yang tentu saja lebih banyak false-nya.

Percumbuan antar remaja juga tak terelakkan, walaupun para guru sudah memperingatkan anak-anak gadis agar berhati-hati dengan "milik" mereka. Joe adalah anggota keamanan yang juga ditugasi mengawasi kemah-kemah peserta, agar setiap malam tidak ada "pelarian" atau "penyebrangan" dari wilayah anak laki ke wilayah perempuan (atau sebaliknya!). Tetapi, siapa yang mengawasi Joe? ... Ha! .. tidak ada. Bahkan "jagoan-jagoan" pun pura-pura tidak tahu, ketika suatu malam Yuli minta Joe menemaninya ke sungai untuk "sebuah urusan".

"Kamu membuat saya serba-salah...," bisik Joe sambil mengiringi langkah Yuli menuju sungai. Beberapa anggota keamanan tersenyum saja ketika Joe melambai minta ijin.


Yuli menahan tawa, lalu balas berbisik, "Tetapi saya memang perlu ke sungai!"

"Untuk apa?"

"Pipis!"
Joe menggeleng-gelengkan kepalanya. Apakah ia nanti minta diceboki pula? gerutunya dalam hati. Walaupun tentunya menarik, kalau Yuli nanti sungguh-sungguh minta itu!

"Saya juga ingin berdua dengan kamu..." bisik Yuli lagi ketika mereka sudah melewati pintu gerbang bumi perkemahan yang dijaga dua "jagoan" berjaket parasut hijau. Kepada kedua penjaga itu, Joe cuma tersenyum, dan keduanya cuma mengangkat muka sebentar lalu kembali menekuni sebuah majalah. Joe tahu, itu majalah untuk orang dewasa yang diam-diam diselundupkan oleh salah seorang peserta untuk menyogok para penjaga!

Akhirnya mereka tiba di sungai, dan Yuli memang benar ingin buang air. Joe menunggu di pinggir, membelakangi sungai dan Yuli yang sedang berjongkok. Sepi sekali malam itu, hanya terdengar gemercik air dan desiran angin.

Selesai buang air kecil dan membersihkan diri, Yuli merengkuh tangan Joe untuk mengajaknya pulang. Berdua mereka menyusuri sungai kembali ke bumi perkemahan. Tetapi, pada sebuah pohon besar di tikungan pertama, Joe menghentikan langkah mereka. Ditariknya Yuli minggir, ke bawah bayang-bayang gelap pohon, lalu dilumatnya bibir gadis itu dengan gemas. Yuli segera membalas, dan nafasnya segera mendesah-desah cepat, karena ia memang sudah menunggu-nunggu inisiatif kekasihnya ini sejak tadi!

Cepat sekali ciuman mereka berubah menjadi pagutan-kecupan yang menggelora. Yuli merengkuh leher Joe dan menyambut setiap serbuan penuh gairah dari pemuda itu. Gadis ini telah pula membuka resleting depan jaketnya, mengundang Joe untuk melakukan remasan-remasan yang sangat disukainya itu. Joe pun tak hendak mengecewakan Yuli. Cepat-cepat ia menelusupkan tangannya ke balik jaket, lalu ke bawah kaos. Ah, Yuli tidak mengenakan beha! Joe menemukan dua bukit kenyal di dada gadis itu telah siap diremas-remas gemas. Hangat sekali rasanya kedua gumpalan yang hanya sedikit lebih besar dari telapak tangan Joe itu. Kenyal dan lentur dan halus. Kedua tangan Joe meremas-menekan, menyebabkan Yuli mengerang, semakin mempererat rengkuhannya di leher pemuda itu dan semakin bernafsu menciumi bibirnya. Untunglah suara air sungai masih cukup keras, dan gesekan daun-daun yang ditiup angin menyembunyikan desah nafas mereka.

Sejak percumbuan pertama mereka di ruang tengah di rumah Yuli, gadis ini sudah dua kali mencapai orgasme di tangan Joe. Sekali, sewaktu pulang dari rumah Prima dan hari telah malam, Joe mengajak Yuli masuk ke sebuah gang kosong dan gelap di dekat bioskop. Di sana, sambil berdiri seperti malam ini, Joe meremas-mengurut kekasihnya sampai mencapai klimaks. Kedua, di belakang rumah Yuli, ketika untuk kesekian-kalinya ibunda harus keluar kota untuk membantu orang melahirkan, gadis ini juga mengalami orgasme yang melenakan. Bahkan di belakang rumah itu pula Yuli pertama kali membantu Joe mencapai klimaks dengan tangannya.

Kini, di bawah pohon yang gelap, di malam yang dingin, Yuli dengan cepat terbakar birahi. Tubuhnya sangat sensitif terhadap setiap sentuhan Joe. Sepertinya, apa pun yang dilakukan Joe dengan tangannya, pasti menyebabkan getaran-getaran nikmat yang menjalar ke seluruh tubuh. Tak bedanya kali ini, walau sambil berdiri di bawah pohon yang sebenarnya berkesan angker, Yuli dengan mudah merasakan orgasmenya terpicu oleh usapan dan remasan jari Joe di payudaranya. Apalagi Joe melepaskan ciumannya, kemudian agak menurunkan tubuhnya, menunduk dan membenamkan kepalanya di balik jaket Yuli. Oh, nafas Joe yang hangat segera mengalahkan dingin malam, menyerbu dada Yuli yang kini terbuka karena kaosnya telah terangkat setengahnya. Kedua payudaranya yang putih mulus tampak tegak-terpampang-menantang, dengan dua puting hitam yang terasa berdenyut bergairah. Yuli menjerit tertahan ketika salah satu putingnya tertangkap mulut Joe. Tak kuasa ia mencegah suara erangan parau keluar dari kerongkongannya ketika Joe mulai menghisap sambil menjilati putingnya dengan ujung lidah. Sementara telapak tangan Joe telah pula menutupi dan meremas payudara yang satu lagi, membuat Yuli menggelinjang kekiri-kekanan dengan gelisah.

Inilah kali pertama Yuli merasakan perlakuan seperti itu dari seorang pemuda terhadap dadanya yang ranum dan yang rasanya semakin membesar saja. Kenikmatan tiada tara segera memenuhi dadanya, dan sebentuk orgasme segera meletup menggetarkan badannya. Yuli mengerang-erang merasakan kewanitaannya tiba-tiba sangat basah dan berdenyut liar disertai geli dan nikmat yang berkepanjangan. Ia melingkarkan satu kakinya ke kaki Joe, menambah rapat menempelkan bagian bawah tubuhnya ke tubuh pemuda itu. Ia juga tak sadar menggerak - gerakan pinggulnya, menggesek - gesekkan selangkangannya yang terlindung jeans ke paha Joe. Bahkan gesekan itu semakin lama semakin cepat dan liar, sejalan dengan semakin gemas dan bernafsunya Joe mengulum puting payudara Yuli. Di tengah angin yang mendesir dan suara air sungai yang begemercik keras, gadis ini menikmati kilmaksnya yang sangat kuat mendera tubuh. Joe terpaksa melepaskan pagutannya pada dada Yuli, kembali menegakkan tubuh dan merengkuh gadis itu erat dalam dekapan, karena tubuh gadis itu berguncang hebat sambil merapat sangat erat di pahanya. Joe juga harus membungkam mulut Yuli yang mengerang semakin kencang, karena ia khawatir ada orang yang mendengarnya.

Insting Joe ternyata juga benar. Ketika Yuli tengah menikmati klimaksnya, terdengar suara langkah-langkah orang di kejauhan, dari arah bumi perkemahan. Cepat-cepat Joe mendorong Yuli yang masih menggeliatt-geliat itu, menyenderkan tubuhnya ke pohon, sehingga mereka berdua semakin terlindung gelap malam. "Sst.. ada orang..." bisik Joe ke telinga gadis itu, lalu ia melumat bibirnya yang hangat dan basah, membungkam erangannya. Yuli berdiri tegang, menahan geli-nikmat yang memenuhi pangkal pahanya, memeluk leher Joe erat-erat. Berdua mereka berdiri saling merapat, menunggu siapa yang akan lewat.

Suara orang berbincang sambil berjalan terdengar semakin mendekat. Lalu lampu senter tampak diarahkan ke tanah, dan sebentar kemudian tampak dua orang "jagoan" berjalan ke arah Joe dan Yuli bersembunyi. Tetapi, karena mereka mengarahkan senter ke bawah, kedua pasangan itu tak terlihat. Ah, ternyata mereka adalah "patroli" malam yang tampaknya sedang mengecek wilayah sungai, atau mungkin juga sambil mengambil air, karena salah seorang dari mereka tampak menenteng jerigen (tempat air).

Setelah patroli berlalu, sambil menahan tawa, Yuli dan Joe keluar dari persembunyian dan setengah berlari kembali ke bumi perkemahan. Tak lupa Yuli mengancingkan kembali jaketnya dan merapikan rambutnya yang berantakan. Ia sebenarnya menyesal harus berhenti "di tengah jalan" seperti ini, tetapi ia tahu Joe tak akan mengambil risiko lebih jauh. Berdua mereka masuk ke bumi perkemahan dengan wajah tak bersalah. Joe melambai ke para penjaga gerbang, yang masih asik dengan majalah mereka. Yuli kembali ke kemahnya, sementara Joe menuju posko keamanan.

Saatnya Untuk Berpisah

Kota M terletak sekitar 100-an kilometer dari kota kelahiran Joe. Ke sanalah kini pemuda itu menuju, naik kendaraan umum bersama teman ayahnya, Paman Tingga namanya, yang bersedia menampung Joe selama ia mempersiapkan diri untuk seleksi perguruan tinggi. Pagi masih basah dan agak berembun ketika keduanya berangkat ke terminal berjalan kaki.

Sambil melangkah, Joe mengenang perpisahannya tadi malam dengan Yuli. Ada kesenduan di raut muka gadis manis itu, walaupun Joe berusaha menghiburnya dengan bercanda. Lagipula, apa yang dirisaukannya? Toh, mereka hanya akan berpisah dua bulan. Bagi Joe, tak apa lah berpisah dari Yuli, karena ia merasa memerlukan konsentrasi penuh untuk persiapan masa depannya. Tetapi bagi Yuli rupanya agak lain. Gadis itu merasa inilah awal dari sebuah perpisahan panjang yang tak terelakkan.

Malam itu mereka meminta ijin untuk menonton. Kedua orangtua Yuli mengijinkan, dengan perjanjian agar mereka pulang sebelum pukul 11. Tetapi, mereka membatalkan acara menonton, karena ternyata film yang tadinya mereka akan tonton telah diganti dengan sebuah film silat. Akhirnya mereka duduk saja di pinggir alun-alun dekat pantai. Ada sebuah tembok pendek pembatas alun-alun dengan jalan. Di sana lah keduanya duduk berayun-ayun kaki, menghadap ke selatan ke arah laut yang menghitam nun di sana. Awan hujan tak tampak di langit, tetapi angin terasa mulai dingin. Joe memeluk pundak kekasihnya.

"Apa rencana kamu setelah kursus?" tanya Yuli sambil memainkan kancing bawah jaketnya.

"Mmmm ..., belum tahu. Mungkin langsung ikut test seleksi,"

jawab Joe. Ia memang membicarakan kemungkinan ini dengan ayahnya beberapa waktu yang lalu. Ayah dan ibu juga setuju jika Joe ingin ikut test langsung di lokasi perguruan tinggi yang ditujunya, di kota B. Tetapi, menurut kedua orangtuanya, keputusan ada di tangan Joe setelah ikut kursus.

"Berarti kamu langsung ke B...," ucap Yuli sambil mengibaskan rambut yang menutupi mukanya.

"Ya,.. senang sekali kalau bisa ikut test di sana. Aku ingin sekali melihat kampusnya. Kata orang, kampus itu besar sekali, berkali-kali lebih besar dari alun-alun ini!" jawab Joe bersemangat. Ia merasa, ikut ujian seleksi di kampus itu akan menambah motivasi dan kemungkinan lulus.

"Tetapi, itu berarti kita tak akan bertemu lagi," bisik Yuli.

Joe menoleh. Memandang kekasihnya yang kini menunduk. Rambutnya yang legam tergerai menutup wajahnya. Dengan lembut, Joe mencoba menyibak rambut itu. Yuli mengelak. Joe mencoba lagi, Yuli tetap mengelak, bahkan melepaskan diri dari pelukan kekasihnya.

"Apa maksudmu?" tanya Joe.

Yuli menggeser duduknya menjauh, lalu menghadapkan tubuhnya ke Joe. Wajahnya serius, "Maksudku,... kita akan berpisah semakin lama. Lalu, kalau diterima di perguruan tinggi,... kamu dan aku akan sama-sama sibuk kuliah. Kemungkinan, kita tak akan bertemu lagi dalam waktu satu atau dua tahun. Atau mungkin lebih."

"Ya,... agaknya begitu," ucap Joe pelan. Ia memang juga punya dugaan yang sama, tetapi apa yang bisa dilakukannya? Bukankah sekolah tinggi-tinggi adalah keinginan mereka berdua? Kalau mereka terpaksa berpisah karena keinginan itu, apa yang bisa mereka lakukan?

"Lalu kita akan saling melupakan...," bisik Yuli, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa saling melupakan?" sergah Joe.

"Karena kita akan sama-sama sibuk kuliah..."

"Tetapi kita bisa saling menyurati. Kita bisa ... "

"Tetap saja....," Yuli memotong dengan cepat, "Kita tetap akan saling menjauh tanpa kita sengaja."

"Kita masih bisa bertemu lagi, Yuli. Aku pasti itu!" ucap Joe mencoba tegas, walau ia sendiri tak tahu apakah suaranya betul-betul kedengaran tegas. Ia sendiri ragu, apakah memang ada kepastian di masa depan? Bukankah masa depan selalu samar-samar?
Yuli menghela nafas panjang, lalu menghempaskannya dalam desah yang keras. "Yah .. pasti kita bertemu lagi, tetapi mungkin sebagai dua orang yang berbeda..." ucapnya pelan.

Joe terdiam. Tiba-tiba ia sadar, betapa ia tak kuasa mengatur aliran kehidupan. Betapa kecilnya ia menghadapi dunia yang begitu luas, yang berada di luar batas kendalinya. Ia ingin sekolah dan menjadi arsitek ulung, tetapi untuk itu ia harus meninggalkan banyak sekali kenangan manis. Tidak hanya Yuli, tetapi juga Wulan adik satu-satunya, ayah dan ibunya, teman-temannya, sungai tempatnya berenang, pantai yang menyimpan jutaan memori, hutan kenari, kota kecil yang damai ..... banyak sekali!

"Melamun apa?" teguran Paman Tingga di sampingnya membuat Joe tersentak. Tak terasa, mereka sudah sampai di terminal. Joe tersipu sambil berbohong, mengatakan bahwa ia sedang membayangkan kota M.


Paman Tingga tersenyum, lalu menepuk pundaknya. "Jangan bohong. Kamu pasti sedang melamunkan pacarmu," ucapnya sambil tertawa pelan.

"Yah,.. yang itu juga kulamunkan, sambil membayangkan kota M," jawab Joe tak mau kalah. Paman Tingga tertawa lebih keras.

Mereka naik ke kendaraan umum yang sudah menunggu. Joe duduk dekat jendela, sementara teman ayahnya turun lagi untuk membeli makanan kecil dan minuman. Joe tinggal di atas mobil, melanjutkan lamunannya.

Setelah bosan duduk di alun-alun, Yuli dan Joe berjalan-jalan menyusur pantai. Pada malam hari, terutama di saat libur sekolah seperti ini, dan jika hujan tidak turun, pantai selalu ramai oleh warung-warung dan orang yang berjalan-jalan. Anak-anak tampak berlarian main kejar-kejaran. Sekelompok orang tampak duduk mengelilingi sepasang lelaki bermain catur diterangi lampu petromaks. Di tempat lain, sekelompok remaja bernyanyi-nyanyi diiringi gitar. Berpasang-pasang kekasih tampak juga berjalan-jalan seperti halnya Joe dan Yuli. Sekali-kali mereka berpapasan dengan orang yang dikenal, saling bertegur sapa, atau sejenak berhenti untuk bercakap berbasa-basi.

Yuli dan Joe lebih banyak diam sambil berjalan. Masing-masing tenggelam dalam lamunan, terutama tentang telah tibanya saat perpisahan. Masing-masing mencoba mencari apa sajakah makna perpisahan itu? Tetapi mereka berdua hanya menemukan satu makna: perpisahan itu menyakitkan. Memedihkan. Membuatmu tak berdaya.
Yuli menggamit tangan kekasihnya, meremas pelan, lalu bertanya memecah keheningan, "Apakah kamu mencintai ku?"


"Ya," jawab Joe pendek. Sial! Mengapa pendek sekali jawaban itu? umpat Joe dalam hati. Tetapi, lalu seberapa panjangkah jawaban seharusnya? Satu kalimat? Dua kalimat? Satu halaman surat? Seberapakah?

"Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya?" tanya Yuli lagi.
"Kenapa?" malah Joe balik bertanya.

"Aku yang bertanya duluan. Kamu, koq, malah bertanya kembali," sergah Yuli.

"Ya. Aku sendiri bertanya, kenapa aku tak pernah mengatakannya,"
"Lalu, apa jawabnya?" desak Yuli.

"Aku tak tahu. Tetapi kenapa itu jadi persoalan, Yuli? Aku memang tak pernah mengucapkannya. Aku tak bisa. Tak pandai," jawab Joe agak kesal.

Yuli menghentikan langkah. Joe terpaksa juga ikut berhenti. Mereka telah berada agak jauh dari keramaian. Suara ombak berdebur keras. Semakin terdengar keras di tengah keheningan.

Yuli memegang kedua tangan Joe, menghadapnya dengan muka tengadah, memandang dengan mata beningnya. Sebagian rambut menutupi mukanya, melintang di hidungnya yang bangir, di bibirnya yang ranum, di pipi berlesung-pipitnya. Ah, Joe melihat kecantikan semata di tengah samar-samar malam. Melihat sinar kerinduan di mata itu, bagai bintang-bintang berpijar lembut. Melihat seraut wajah tempat ia melabuhkan impian-impiannya. Mengapa semuanya tampak begitu mengesankan saat engkau harus berpisah?

Yuli terpejam merasakan nafas kekasihnya dekat sekali menerpa wajahnya. Bibir Joe perlahan menyentuh bibirnya. Kedua tangan mereka saling meremas. Angin keras mengibarkan jaket-jaket mereka. Ciuman kali ini terasa sangat lembut, selembut awan putih di langit biru. Sangat hangat, sehangat mentari di pagi yang cerah. Mesra dan manja mengalunkan kerinduan. Yuli membuka mulutnya, mengundang kekasihnya datang merasuki seluruh jiwa-raganya. Datanglah kekasih, reguk habis rinduku, bawa daku terbang setinggi mungkin.

Keduanya berdiri rapat. Joe mengulum mesra bibir kekasihnya, menghirup harum-sedap nafasnya, menggigit manja lidahnya yang nakal. Yuli membuka sedikit matanya, memandang wajah Joe yang dekat sekali di depannya. Sebentar lagi ia akan pergi jauh, gumam Yuli dalam hati. Sebentar lagi wajah itu hanya akan ada di dompet ku, menjadi sebuah potret kekasih yang mungkin juga akan segera lusuh karena terlalu sering disentuh. Sambil membalas ciuman kekasihnya, diam-diam Yuli merekam wajah itu sedetil mungkin. Mematrinya di benak. Ah, Joe ..... dahinya yang selalu serius. Matanya yang tajam-tegas. Tulang pipinya yang mengguratkan ketakmenyerahan. Hidungnya yang menggemaskan (aku senang sekali mencubit hidung itu!). Bibirnya yang selalu bergairah. Selalu!

Joe melepaskan ciumannya, membuka mata dan menemukan sepasang mata kekasihnya memandang mesra. Ia berbisik, "Yuli, aku ingin bercumbu malam ini. Mari kita pergi dari sini..."

Yuli tertawa pelan, "Ke mana kamu hendak membawa ku?" tanyanya sambil memeluk leher Joe.

Joe melihat sekeliling. Pantai tampak sepi, tetapi juga terlalu menakutkan di tengah malam seperti ini. Tidak di sini. Joe memutuskan untuk mengajak Yuli ke sebuah tempat yang selama ini menjadi "persembunyian" mereka: sebuah pondok di tengah kebun kopi. Tetapi lokasinya ada di sisi lain dari kota, sehingga untuk ke sana mereka perlu berjalan cepat.


"Ke sana?" Yuli bertanya ketika melihat Joe diam saja. Ah, gadis ini memang bisa membaca pikiran ku, ucap Joe dalam hati.

"Ayo, kita ke sana...," kata Joe bergairah, menggulung kaki celananya dan menarik tangan Yuli untuk meninggalkan pantai. Yuli tertawa kecil, mengikuti tarikan tangan ke kasihnya. Sebentar kemudian mereka telah berlari-lari menyebrang jalan, menelusuri alun-alun menuju tengah kota. Lalu, di depan kantor camat mereka berbelok, melintasi persawahan, berjalan beriringan sambil sekali-sekali bercanda. Malam semakin larut....

"Waahhh... melamun lagi!" Paman Tingga telah naik kembali ke mobil. Joe terperanjat dan tersipu lagi. Sialan! Lamunannya terpotong di tengah jalan.

"Nih,... makan kacang goreng supaya tidak terlalu banyak melamun," ujar Paman Tingga sambil menyodorkan sebungkus kacang. Joe mengucapkan terimakasih dan mulai memasukkan beberapa butir ke mulutnya.

Paman Tingga lalu mengajak mengobrol, bertanya-tanya tentang sekolah Joe. Terpaksalah Joe menimpalinya, menjawab semua pertanyaannya dengan lengkap. Paman Tingga lalu juga bercerita tentang dirinya dan anak-anaknya yang masih kecil. Tentang kota M yang katanya tumbuh pesat karena menjadi pusat perdagangan bagi kota-kota kecil sekitarnya. Paman Tingga ini seorang pedagang yang konon sedang naik daun. Ia sering mundar-mandir ke ibukota mengurus bisnisnya. Joe senang juga mendengar ulasannya tentang lika-liku bisnis, walaupun dunia itu sangat asing baginya.

Tetapi ketika mobil mulai bergerak, Paman Tingga berhenti bercerita. Bahkan tak lama kemudian ia terlihat terkantuk-kantuk. Baru 10 menit mobil melaju, Paman Tingga telah menyandarkan kepalanya di jok dan tertidur nyenyak. Joe masih mengunyah kacang, memandang ke luar jendela, melihat betapa kotanya dengan cepat tertinggal di belakang.

Tanpa sadar, ia melamunkan lagi peristiwa semalam .....

Pondok itu tetap sepi dan tetap bagai magnit, menarik kedua remaja itu untuk datang berkunjung, walau setiap kali pula mereka ingin menghindar. Mungkin juga bagai lampu yang menarik laron-laron terbang mendekat. Kalau terlalu dekat, pastilah mereka akan hangus terbakar, bukan? Tetapi bagaimana jika laron-laron itu sudah terbakar api asmara sebelum menghampiri sang lampu? Yuli dan Joe mengendap-endap mendekat, sambil melihat sekeliling, kalau-kalau ada orang melintas. Tampaknya tidak ada seorang pun di sekitar. Joe menggenggam erat tangan kekasihnya, perlahan-lahan mendekati pondok. Serangga malam menghentikan musik mereka setiap kali sepasang remaja ini melangkah. Tetapi setelah mereka berlalu, serangga itu kembali ramai memperdengarkan musik mereka.

Joe langsung mengajak Yuli masuk. Pondok itu tentu saja gelap gulita. Setelah beberapa saat, barulah mata mereka bisa menyesuaikan diri, bisa melihat ruang kosong dengan dipan kayu itu. Joe segera duduk, dan Yuli segera naik ke pangkuannya. Mereka langsung berciuman, tanpa bertukar kata lagi. Nafas Yuli sudah memburu sejak tadi, bukan hanya karena harus berjalan cepat dan setengah berlari, tetapi juga karena ia memang selalu bergairah jika berduaan dengan Joe.

Ciuman mereka tak lagi lembut-mesra seperti ketika di pantai tadi, melainkan bergelora, saling pagut dan saling mengulum. Nafas mereka berdua berdesahan, saling menyerobot seperti hendak saling mengalahkan. Kedua pasang bibir mereka saling menekan memilin, bergantian menghisap-hisap. Kedua lidah mereka bergelut bergelung seperti dua naga kecil yang bermain-main di taman basah dan hangat yang adalah mulut mereka. Berkali-kali Yuli seperti tersedak, tak tahan diperlakukan begitu bergairah oleh kekasihnya. Tetapi berkali-kali pula ia kembali mengulum bibir pemuda itu, membiarkan lidahnya bermain semakin jauh ke dalam mulutnya, menyentuh langit-langitnya, menimbulkan rasa geli dan hangat.

Seperti biasanya, Yuli hanya memakai kaos tebal dan jaket, tanpa beha. Dengan leluasa, tangan Joe segera menelusup menelusuri bukit-bukit indah di balik kaos itu. Bukit-bukit yang naik turun, membusung penuh, kenyal-padat, hangat. Tangan Joe langsung gemas meremas, memijat, menekan. Jari-jarinya bermain ringan di atas kedua puting yang telah menegang tegak. Yuli pun mengerang merintih merasakan kedua buah dadanya bagai dipenuhi uap panas, bergulung-gulung seakan badai yang sedang melanda bumi. Sambil memeluk leher Joe, gadis itu membusungkan dadanya, memajukan seluruh tubuhnya, menghenyakkan kedua payudaranya di tangan kekasihnya. Ia ingin diremas lebih keras lagi, lebih bergairah lagi.

Mulut Joe meninggalkan mulut Yuli, kini menciumi lehernya yang jenjang. Menciumi kulit mulus-lembut nan harum di bawah telinganya. Menggigit cuping telinga itu, membuat Yuli terkejut, tetapi juga sangat senang. Apalagi kemudian Joe menggigit pula lehernya, pelan-pelan saja. Oh, geli sekaligus nikmat rasanya diperlakukan seperti itu. Seperti disengat-sengat bara kenikmatan yang membangkitkan api birahi semakin besar.

Yuli memajukan duduknya, mengangkat sedikit tubuhnya, sehingga mulut Joe kini semakin turun. Cepat-cepat Yuli mengangkat kedua tangannya, membiarkan Joe menaikkan kaosnya. Segera dua payudara gadis yang kenyal-padat itu terpampang, indah sekali dalam keremangan malam, putih bersih bagai bersinar. Hmmm,... Joe menenggelamkan wajahnya di lembah harum di antara dua bukit indah itu. Hmmm ..., tubuh Yuli selalu penuh keharuman sabun wangi, dan juga bedak yang biasa dipakai bayi. Hmmm ...., sungguh menggairahkan rasanya menciumi dada ranum yang agak basah oleh keringat itu. Dengan gemas, digigitnya sedikit daging di pangkal salah satu payudara itu. Yuli mengerang. Yuli merintih.

"Uuuh ....," Yuli merintih ketika mulut Joe naik dan mengulum puting sebelah kiri. Tubuh gadis itu menggelinjang ke kiri.

aaah ....," Yuli mengerang ketika Joe meremas payudara sebelah kanan. Tubuh gadis itu bergeser ke kanan.

Begitulah terus. Ke kiri. Ke kanan. Ke kiri ke kanan. Gerakan-gerakan Yuli menimbulkan gesekan nikmat di bawah sana, di tempat selangkangannya yang terhenyak rapat di pangkuan Joe. Ada cairan bening tipis mengalir pelan dari dalam tubuhnya, membasahi celana dalamnya. Ada rasa hangat turun bersama aliran itu. Ada rasa geli-nikmat yang merayap perlahan ke seluruh penjuru tubuh.

Dengan satu tangannya yang masih bebas, Joe menyingkap rok Yuli lebih ke atas, sehingga antara dia dan gadis itu kini hanya ada seutas kain nilon tipis yang telah basah di sana-sini. Setelah itu, tangan Joe masuk menelusup dari belakang. Yuli mengerang merasakan tangan itu membawa kehangatan ke bagian belakang tubuhnya yang penuh-padat itu. Yuli merintih ketika Joe meremas-remas bagian itu, seakan-akan sedang memeras buah hendak mengambil airnya. Gadis itu semakin memajukan duduknya, semakin rapat menempelkan bagian bawah tubuhnya ke pangkuan Joe. Malam terasa semakin panas. Keringat muncul di beberapa bagian tubuh keduanya; di ketiak, di punggung, di tengkuk.

Lalu celana dalam Yuli terlepas sudah, entah oleh tangan Joe atau oleh tangannya sendiri. Tidak jelas lagi, siapa melakukan apa dalam pergumulan bergairah yang tak terkendal ini. Kedua tangan Joe kini ada di bawah. Yang satu meremas-remas di belakang, yang lain menelusup ke depan. Yuli mengangkat tubuhnya, tidak lagi duduk di pangkuan Joe, memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kedua tangan pemuda itu. Joe pun segera memanfaatkan keleluasaan itu. Jari-jarinya mengusap-menelusupi kewanitaan Yuli yang terasa panas membara. Gadis itu menggelinjang hebat ketika merasakan ujung jari Joe menyentuh-nyentuh bagian-bagian yang sangat sensitif di bawah sana. Rasanya, bagian-bagian itu telah berubah seluruhnya menjadi ujung saraf belaka, tidak dilapisi apa-apa. Sehingga setiap sentuhan, seberapa pun ringannya, sanggup mengirimkan sentakan-sentakan kenikmatan ke seluruh tubuh.

Lalu celana panjang Joe juga telah terbuka. Sekali lagi, entah siapa yang melakukannya. Mungkin Joe, mungkin Yuli, mungkin keduanya. Kejantanan Joe tahu-tahu juga sudah di luar, tegak berdenyut. Yuli meraihnya dengan gemas, tersentak merasakan betapa panasnya otot-kenyal yang menggairahkan itu. Joe mengerang ketika merasakan tangan halus lembut meremasnya di bagian yang sangat sensitif, di ujung yang telah sedikit basah pula. Lalu tangan Yuli menuntun kejantanan Joe ke depan kewanitaannya. Oh, Yuli menggosok-gosok kewanitaannya dengan otot-kenyal padat panas itu. Oh, rasanya nikmat sekali bagi keduanya. Menggelitik-gelitik, menimbulkan geli nikmat di mana-mana.

Dengan kedua tangannya yang kokoh, Joe kini menopang tubuh Yuli. Kedua telapak tangannya menjadi tumpuan dari pantat gadis itu, sementara dengan tangannya Yuli terus menggosok-gosokkan kejantanan Joe. Pelan-pelan, kewanitaannya terasa semakin menguak, semakin membuka. Apalagi cengkraman tangan Joe juga ikut merentangkan bagian bawah itu, membuatnya semakin terbuka. Kejantanan yang kenyal-tegang itu kini menelusuri permukaan kewanitaan Yuli, menimbulkan rasa geli yang sangat nikmat. Membuat liangnya semakin basah dan licin. Berdenyut-denyut pula.

Sesekali, ujung kejantanan Joe menelusup sedikit ke dalam. Oh,... Yuli terpejam merasakan tusukan-tusukan kecil menyeruak ke dalam tubuhnya. Ahhh ..., Joe juga terpejam merasakan ujung-ujung sarafnya seperti dibelai-belai mesra. Betapa hangat, basah dan licin permukaan liang kewanitaan itu. Betapa halus, bagai sutra. Yuli mengerang-merintih, terus memainkan otot-kenyal di tangannya, menggosok ke depan ke belakang, memutar-mutar.

Lalu pelan-pelan Joe menurunkan tubuh Yuli, ..... cuma sedikit saja, mungkin cuma tiga senti. Tetapi itu sudah cukup membuat Yuli tersentak, mengerang "Aaah...", merasakan sebuah benda tumpul hangat menyeruak ke dalam tubuhnya. Rasanya sedikit pedih, tetapi juga geli dan nikmat. Bercampur baur. Mengejutkan.

"Jangan, Joe....," desah Yuli sambil berusaha mengangkat tubuhnya. Tetapi entah kenapa, ia tak sanggup melakukan hal itu. Rasa nikmat di bawah sana menahannya untuk bergerak. Maka akhirnya ia cuma menggeliat-geliat.

Joe mengerang pelan. Oh,.. hangat sekali di dalam sana. Ia merasakan ujung kejantanannya dibalut entah oleh apa. Terasa sempit tetapi juga licin, mencekal erat tetapi juga berdenyut-denyut. Dengan kedua tangannya, Joe mempertahankan posisi tubuh Yuli yang kini bagai mengambang: antara atas dan bawah, antara kenikmatan dan kekhawatiran.

Yuli merasakan nikmat luar biasa datang dari liang kewanitaannya yang kini bagai tersumbat sebentuk otot-kenyal. Tak sadar, ia menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan, menyebabkan si sumbat menyeruak dinding-dinding bagian dalam kewanitaannya, menimbulkan kenikmatan tambahan. Joe tetap menahan tubuh Yuli agar tidak melesak lebih ke bawah. Diam-diam ia khawatir akan apa yang mereka lakukan. Ia takut jika seluruh kejantanannya masuk dan merusak sesuatu di dalam sana, walau ia sendiri tak tahu, ada apa di dalam sana.

"Aaaaaah!", tiba-tiba Yuli mengerang. Orgasmenya datang bagai banjir bandang. Kedua kakinya mengejang, dan ia ingin merapatkan pahanya, menjepit kejantanan Joe untuk menimbulkan kenikmatan yang lebih lagi. Tetapi tangan pemuda itu sangat kokoh mencengkram tubuhnya, sehingga akhirnya Yuli hanya menyerah saja. Membiarkan tubuhnya berguncang-guncang ketika ia mencapai klimaks yang sedap itu. Kedua tangan Yuli mencengkram bahu Joe. Tubuhnya meregang. Matanya terpejam erat, mulutnya setengah terbuka, mengeluarkan keluh berkepanjangan, "Nggggggg....".

Bersamaan dengan itu, Joe merasakan ujung kejantanannya bagai dipilin-diremas oleh daging kenyal hangat yang bergerak-gerak liar. Sekuat tenaga ditopangnya tubuh Yuli yang sedang bergetar hebat. Keringat Joe membasahi badannya, karena tubuh gadis itu tidaklah ringan. Apalagi kalau sedang meregang-mengejang seperti ini.

Lalu, Joe merasakan klimaksnya datang, ketika Yuli masih mengerang-merintih dengan kedua tangan mencengkram bahunya. Cepat-cepat Joe mengangkat tubuh gadis itu, walaupun Yuli terdengar memprotes. Ia masih cukup waras untuk tidak menumpahkan cairan cintanya di dalam tubuh gadisnya itu. Dengan satu gerakan, ia menggeser duduknya. Kejantanannya lepas dari cengkraman permukaan liang yang sebetulnya sangat menjanjikan kenikmatan itu.

Yuli pun akhirnya sadar apa yang dihindari Joe. Gadis itu cepat-cepat menggeser ke arah berlawanan. Ia melihat ke bawah, ke arah otot-kenyal yang masih tegak dan seperti bergerak-gerak menggeliat. Oh,.. cepat-cepat diraihnya bagian tubuh Joe yang tadi memberikan kenikmatan di tubuhnya itu. Cepat-cepat ia meremas, ingin berpartisipasi dalam pencapaian klimaksnya.

"Aaaaah!" Joe mengerang panjang, merasakan tubuhnya bagai disentak-sentak ketika cairan-cairan cinta memancar kuat dari kejantanannya. Tangan Yuli yang halus terasa menambah nikmat pancaran itu, sekaligus menampung cairan-cairan kental panas yang berebut keluar. Yuli terduduk di samping Joe, dengan tangan tetap mencengkram, merasakan getaran-gejolak klimaks kekasihnya. Joe berkali-kali mengerang, dengan tubuh meregang dan kedua tangan bertelektekan di dipan. Yuli merasakan otot-kenyal berdenyut-denyut dalam genggamannya. Menakjubkan sekali!

Betapa kuatnya klimaks Joe kali ini, menyebabkan tubuhnya seperti dioyak-oyak, tulang-tulangnya seperti lepas, ototnya seperti meledak. Ia menghempaskan tubuhnya di dipan, diikuti Yuli yang berbaring di sebelahnya. Keduanya masih telanjang di bagian bawah, terengah-engah seperti habis berlari sepanjang hari. Tangan Yuli tetap menggenggam di bawah sana, senang bisa menampung tumpahan cinta kekasihnya. Hangat dan licin rasanya.

Lamunan Joe buyar ketika mobil yang ditumpanginya membelok tajam, menyebabkan tubuh Paman Tingga membentur tubuhnya. Lelaki setengah baya itu tetap tertidur, cuma menggumam tak jelas, lalu kembali menegakkan tubuhnya di sandaran kursi. Joe menghela nafas panjang. Kota kelahirannya semakin jauh tertinggal. Mobil melesat laju di jalan raya antarkota. Di kiri-kanan jalan, sawah luas terbentang, menghijau bagai hamparan karpet . Langit tampak biru dibercaki awan putih. Puluhan burung bangau tampak terbang ke arah selatan.

Joe tiba di kota M menjelang sore. Rumah Paman Tingga cukup besar dan Joe mendapat kamar di belakang, dekat dapur dan gudang. Setelah beristirahat sebentar, Paman Tingga mengajak Joe membicarakan agenda mereka untuk dua bulan mendatang. Mendengar kata dua bulan, Joe mengeluh dalam hati. Lama sekali rasanya dua bulan itu.

Lalu, keesokan harinya Joe diantar Paman Tingga ke tempat kursus yang telah ramai oleh pemuda sebayanya. Ruang belajar tampak jauh lebih besar dari kelas di sekolah di kota kelahirannya. Teman-teman barunya juga jauh lebih banyak, dan jauh lebih banyak tingkah. Sebagian dari mereka bahkan sudah bertingkah seperti layaknya remaja kota besar, memakai kaca mata hitam segala. Joe tersenyum simpul melihat salah seorang dari mereka memakai kacamata secara terbalik. Pastilah itu kacamata pinjaman!

Demikianlah, hari-hari berikutnya Joe sibuk mengikuti kursus di kota M dan mulai bisa melupakan hal-hal lain. Konsentrasinya penuh ke pelajaran, dan hanya sekali-sekali ia teringat akan Yuli dan kota kelahirannya. Hari-hari pun terasa semakin cepat berlalu.

Selamat Tinggal, Yuli!

Waktu dan hari berlalu begitu cepatnya. Kalender di dinding kamar Joe, di rumah Paman Tingga, begitu cepat dipenuhi tanda silang yang menandai bergulirnya hari ke minggu, minggu ke bulan. Dua bulan terasa seperti dua minggu.

Ayah dan ibunya datang ke M minggu lalu bersama Wulan yang sudah kangen kepada kakaknya. Ketiganya merasa bersyukur melihat Joe dalam keadaan sehat, dan bahkan bertambah gemuk. Berkali-kali Ayahanda mengucapkan terimakasih kepada suami-istri Tingga yang sangat baik itu. Ibunda menyerahkan oleh-oleh hasil bumi (setandan pisang mas, sebutir besar nangka setengah matang, sekarung jagung) sambil memuji-muji Bibi Tingga yang pandai menjaga kesehatan Joe. Wulan memeluk kaki abangnya penuh kerinduan. Suasana menjadi semarak sekali.

Mereka berbicara panjang lebar sepanjang siang: ayah-ibu, suami-istri Tingga, dan Joe. Hanya Wulan yang kelihatannya tidak menikmati hari itu, karena sebenarnya ia ingin segera bermain-main dengan abangnya. Lalu, mereka makan siang bersama, menikmati ikan gurame dari empang sendiri yang sudah digoreng Ibunda. Sedap sekali, apalagi dengan saMbal terasi buatan Bibi Tingga yang terkenal lezat itu.

Seusai makan, sementara ayah-ibu terus berbincang dengan suami-istri Tingga, Joe membawa adiknya berjalan-jalan. Senang sekali Wulan menggandeng kembali tangan abangnya. Mulutnya ramai berceloteh tentang betapa sepinya rumah tanpa Joe. Juga tentang dua ekor ayamnya yang mati dimakan musang. Juga tentang sungai yang tidak lagi ramai oleh anak-anak dan remaja: mereka semua sedang sibuk menyiapkan diri menempuh seleksi perguruan tinggi. Ah, begitu bersemangatnya penduduk kota ku untuk menjadi lebih berpendidikan, ucap Joe dalam hati. Semua keluarga berbicara tentang bagaimana mengirim anak-anak mereka ke kota besar untuk bersekolah. Joe tahu, pada umumnya penduduk kota kelahirannya itu adalah petani yang cukup berhasil, dan sebagian besar tak ingin anaknya terus tinggal di kota kecil. Bagus sekali pandangan seperti itu, bukan? Tetapi kadang-kadang Joe juga berpikir: kalau semua orang pergi ke kota besar, siapa yang akan tinggal menjadi petani?


"Oh, ya!!" tiba-tiba Wulan berseru sambil merogoh kantong bajunya, lalu menyerahkan sebuah amplop merah-muda, "Hampir Wulan lupa,... ini ada surat dari Mba Yuli!"

Sejenak jantung Joe berdegup lebih kencang ketika menerima amplop itu. Sejak tiba di M, hampir tak pernah sempat ia menulis surat. Setiap hari ia belajar dan belajar saja. Pagi hari ke tempat kursus sampai tengah hari, lalu pulang untuk makan siang. Setelah itu pergi lagi ke tempat kursus untuk duduk di ruang baca, membaca apa saja yang ada di sana. Tempat kursus itu sangat modern dibandingkan sekolah Joe, memakai kipas angin segala. Joe betah berlama-lama di sana, dan selalu pulang ketika hari menjelang senja.

Lain halnya dengan Yuli. Setiap minggu pasti menulis surat, bahkan pernah dua kali dalam seminggu. Di laci meja Joe kini ada sepuluh suratnya, panjang lebar dan selalu penuh kerinduan. Joe baru sempat menulis balasan dua kali. Yang terakhir baru saja dikirimnya seminggu yang lalu.

Joe mengajak Wulan mampir di sebuah restoran untuk membeli es-krim. Gadis kecil itu melonjak-lonjak gembira. Di kotanya, tidak ada es-krim seperti di M. Kalau pun ada, harganya jarang terjangkau uang sakunya. Di kota M ini, es-krim nya lezat dan lembut. Porsinya pun besar. Wulan memilih rasa coklat dan pisang. Joe memesan minuman ringan, lalu mulai membaca surat Yuli.

Tidak seperti biasanya, surat Yuli kali ini cukup pendek (walaupun masih lebih dari dua halaman). Dibuka dengan kata-kata penuh kerinduan (yang sebagiannya sudah dihapal Joe!), surat itu menceritakan rencana Yuli pergi ke ibukota untuk ikut seleksi masuk perguruan tinggi. Orangtua Yuli sangat mengharapkan gadis itu masuk ke jurusan kedokteran dan mendesaknya agar segera pergi ke ibukota agar persiapannya lebih matang. Menjelang akhir dari suratnya, cukup jelas terbaca betapa Yuli gundah membayangkan perpisahan dengan Joe. Bagaimana kita bisa bertemu lagi sebelum aku ke ibukota? Begitu Yuli bertanya berkali-kali. Apakah Joe akan pulang dalam waktu dekat ini? Kapan? Bisakah Joe memberi kabar secepatnya, barangkali dengan telepon interlokal? (dan itu berarti harus pergi ke kantor telepon).

Joe menghela nafas panjang. Wulan melirik sambil terus menyantap es-krimnya. Gadis kecil ini tahu, abangnya sedang risau. Ia juga tahu, abangnya tidak ingin diganggu. Ketika akhirnya Joe mengajak Wulan kembali ke rumah Paman Tingga, gadis kecil ini mengurangi celotehnya. Tetapi tangannya menggandeng tangan Joe lebih erat. Ia merasa, abangnya memerlukan bantuan walaupun cuma dari anak kecil. Tetapi, tentu saja Wulan tak pernah tahu, bantuan seperti apakah yang dibutuhkan Joe saat itu. Cuma naluri persaudaraannya saja yang bicara, sementara akalnya belum lagi bisa sampai ke persoalan-persoalan remaja yang amat pelik itu.

Sebelum kembali ke kotanya, kedua orang tua Joe sepakat dengan Paman Tingga untuk mengirim pemuda itu langsung ke kota B, tempat institut teknologi yang dicita-citakan. Mereka setuju, kalau Joe bisa tiba di B jauh-jauh hari sebelum masa ujian seleksi, tentu akan lebih baik bagi persiapan mental.

"Bolehkah saya pulang dulu, Ayah?"tanya Joe ketika berkesempatan berbicara berdua.

Ayahnya tersenyum. Lelaki setengah baya ini tahu, kenapa anaknya ingin pulang dahulu. Ia sudah mendengar dari Wulan dan dari istrinya, ada seorang gadis yang menjadi pacar Joe. Ia sendiri tak keberatan, karena ia mengenal keluarga gadis itu.

"Boleh. Tetapi selesaikan dahulu kursusmu. Masih dua minggu lagi. bukan?" kata Ayahnda.

Joe berpikir cepat. Kalau ia harus pulang dua minggu lagi, mungkin Yuli sudah pergi ke ibukota. Maka segera ia berujar, "Bolehkah pulang Sabtu depan?"

"Kenapa harus Sabtu depan?" tanya Ayah.

"Aku...," Joe menelan ludah, "Aku ingin bertemu Yuli sebelum ke B.."
"Ayah tahu," ucap Ayah tertawa kecil, "Tetapi, kenapa harus Sabtu depan?"

"Yuli akan pergi ke ibukota...., aku ingin bertemu sebelum ia pergi," kata Joe sambil berdoa dalam hati agar ayahnya tidak bertanya lebih lanjut.

"Ooo... begitu," ucap Ayah sambil mengangguk-angguk

"Jadi? Bolehkah aku pulang Sabtu depan?" sergah Joe, tidak sabar melihat ayahnya cuma mengangguk-angguk.

Ayah tertawa kecil lagi, lalu menepuk kepala Joe dengan sayang sambil berkata, "Tanyakan ke ibumu. Kalau dia setuju, ayah juga setuju."
Joe bersorak dalam hati. Mana mungkin ibu tidak setuju! Wanita bermata lembut itu tidak akan pernah menolak permintaan Joe untuk pulang!

Sabtu pagi itu langit cerah, tetapi angin bertiup agak kencang dan basah menjanjikan hujan. Pohon-pohon bagai para penari, meliuk-liuk. Seakan mereka sedang menyiapkan tarian penyambutan bagi sang hujan. Joe tiba di kota kelahirannya pukul delapan pagi, saat pasar sayur masih sibuk menerima pasokan barang dagangan. Beberapa truk pengangkut sayur-mayur masih parkir di halaman pasar, di seberang terminal antar kota tempat Joe turun. Buruh-buruh masih sibuk menurunkan karung dan keranjang besar yang tampak sangat berat itu. Bau sayur dan buah segar bercampur sampah basah memenuhi udara.

Joe bergegas turun dari bis yang ditumpanginya. Kepalanya penuh rencana, yang semuanya berpusat pada perjumpaan dengan Yuli. Ia akan segera menuju rumah gadis itu setelah menemui kedua orangtuanya. Ia sudah menelpon Yuli dari kantor telepon di kota M, mengabarkan kedatangannya hari ini. Yuli terdengar gugup di telepon. Ah, tak sabar rasanya Joe ingin bertemu gadis itu! Cepat-cepat ia melangkah keluar dari terminal, setengah berlari, membelok menuju pusat kota.

Tetapi baru saja Joe membelok, ia tersentak. Langkahnya terhenti. Di depannya, Yuli berdiri dengan rambut berkibaran. Sebuah tas kecil tergantung ringan di bahunya. Kedua tangan bersidekap memeluk dadanya.

"Yuli! Sedang apa kau di sini?"

"Menunggu kamu," sahut gadis itu. Mukanya cerah, senyumnya lebar, sebagian rambut menutupi muka.

Dengan kedua tangan, Joe memegang bahu gadis itu. Tuk kemudian mencengkramnya agak keras, membuat Yuli meringis. Joe tidak berani memeluknya di tengah keramaian terminal, walaupun ia ingin sekali. Sangat ingin!

"Hari masih pagi sekali! Apakah kamu di sini sejak fajar?" tanya Joe sambil menyingkirkan sedikit rambut dari kening Yuli. Gadis itu tertawa kecil sambil menggeleng, tentu saja ia di sini sejak tadi. Tetapi tidak sejak fajar yang sudah berlalu 4 jam silam!

"Hayo, kita pulang dulu. Aku perlu menaruh tas dan bertemu orangtuaku. Kau juga bisa ikut!" seru Joe sambil merengkuh tangan Yuli dan menariknya pergi meninggalkan terminal. Yuli membiarkan dirinya ditarik, tetapi ia lalu berkata,

"Kenapa harus langsung ke rumah?"

Langkah Joe terhenti lagi. Ia memutar tubuh, menghadap Yuli. "Apa maksudmu?" tanyanya.

Yuli melirik ke arah tas Joe, berucap, "Tas mu tidak terlalu besar. Kenapa harus ditaruh di rumah?"

Joe memandang tangan yang memegang tas. "Ya, memang tidak besar...", ucapannya tak selesai. Ia merasa Yuli hendak mengatakan sesuatu.

"Aku harus berangkat sore ini," ucap Yuli pelan.

"Hah? Berangkat ke mana?" sergah Joe, sungguh kaget karena gadis itu tak pernah bicara tentang hari keberangkatan. Mengapa begitu tiba-tiba?

Yuli tersenyum melihat kekasihnya terperanjat dengan wajah bagai orang bego. Tetapi senyum itu sungguhlah sendu, karena kedua matanya agak basah, menerawangkan sinar kesedihan. Joe tiba-tiba sadar, Yuli akan berangkat dengan bis malam ke kota S, lalu dari sana akan naik kereta api ke ibukota. Tentu saja, bis malam itu akan berangkat pukul 5 dari terminal ini!

"Kalau begitu, kita cuma punya waktu setengah hari ini untuk berjumpa....," bisik Joe, nyaris tak terdengar ditelan hiruk pikuk pasar di seberang.

Yuli mengangguk, masih memandang lekat kekasihnya dengan matanya yang lembut-sendu. Ia sungguh ingin memeluk pemuda itu, membenamkan muka ke dadanya yang bidang. Menangis di sana sepuasnya.

"Kau bilang apa kepada orangtuamu pagi ini?" tanya Joe. Ia kini punya rencana baru.

"Aku bilang ingin pergi berjalan-jalan dengan kamu, dan semua pakaian sudah kumasukkan ke tas. Tinggal berangkat saja, nanti sore. Mereka pun sudah tahu aku ke terminal menunggumu," jawab Yuli.

"Kalau begitu, ayolah berjalan-jalan!" ucap Joe cepat. Ia tidak ingin pulang dan menghabiskan waktu. Semua rencananya harus segera diganti.

"Kemana?" tanya Yuli, walaupun ia tak peduli ke mana. Ke bulan pun ia akan ikut.

Joe menyebut sebuah kota tempat peristirahatan, tak begitu jauh ke arah selatan. Direngkuhnya tangan Yuli, berbelok kembali ke terminal. Mereka harus naik mini bus ke kota itu. Beriringan mereka masuk ke terminal, lalu naik mini bus yang masih menunggu penumpang. Kursi di depan, di sebelah supir, masih kosong. Di situ mereka duduk berdampingan dengan kedua tangan saling menggenggam.

Ketika bus akhirnya berjalan, Yuli menceritakan alasan kenapa ia harus segera berangkat sore ini. Ayahnya tiba-tiba harus bertugas ke S, sehingga ia memutuskan untuk mengajak serta Yuli, sekalian mengantarnya ke ibukota setelah urusan di S selesai.

Kota peristirahatan itu terletak dekat puncak sebuah gunung, terkenal karena pemandangannya yang indah dan pemandian air panasnya yang mengandung belerang. Konon bagus untuk menyembuhkan sakit kulit. Ke kota ini banyak berkunjung turis domestik maupun internasional. Sebuah taman alamiah terdapat di sana, dilengkapi air terjun cukup tinggi dan sebuah danau bening yang cukup luas.

Joe dan Yuli pernah mendaki gunung ini, maka setelah menitipkan tas di tempat penitipan barang dan membekali diri dengan sedikit makanan-minuman, mereka menuju puncak yang bisa dicapai kurang dari setengah jam berjalan kaki. Untunglah keduanya memakai sepatu olahraga dan membawa jaket hangat yang waterproof.

Puncak gunung sangat sepi ketika mereka tiba. Matahari belum lagi tinggi, udara masih sangat dingin. Mereka duduk di dekat sebuah batu besar dan langsung bercumbu. Keduanya telah dilanda kerinduan sejak pertemuan di terminal. Yuli sudah tak sabar ingin dipeluk-dilumat-diremas. Sebuah gelegak yang amat kuat telah terhimpun di tubuh kedua remaja ini, sama seperti gelora kawah gunung yang masih aktif di hadapan mereka.

Percumbuan kali ini agak berbeda. Ciuman-pagutan terasa bagai sebuah campuran antara kerinduan birahi dan kesenduan perpisahan. Yuli terpejam, merasakan air hangat hampir tumpah dari kelopak matanya, sementara bibirnya sibuk mengulum bibir Joe, bagai tak ingin melepaskannya. Joe pun merasakan getar yang berlainan, tidak melulu birahi melainkan juga kehangatan kasih. Jauh di dalam lubuk hati keduanya juga timbul sebentuk kekhawatiran terhadap perpisahan yang kini telah di ambang mata.

Kedua tangan Joe memang meremas-gemas payudara Yuli yang langsung mengeras itu. Tetapi kini tidak hanya kenikmatan yang datang dari remasan itu, melainkan juga kecemasan akan masa panjang yang memisahkan mereka. Mereka berdua akan segera kehilangan kontak badan yang selama ini menjadi bumbu bagi jalinan batin dan cinta. Apakah ketiadaan-kontak itu akan melunturkan kasih? Apakah birahi fisik demikian mereka perlukan untuk melanjutkan percintaan? Sungguh pertanyaan yang sulit!

Yuli, seperti biasa, menikmati duduk di pangkuan Joe, membiarkan kedua payudaranya dipermainkan. Rasa nikmat, seperti biasa, telah menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang. Tetapi, tidak itu saja yang ia rasakan. Ia juga merasakan betapa tangan-tangan kekasihnya memancarkan getar yang berbeda. Ada kegetiran di setiap remasannya, semacam pernyataan tak rela. Seakan Joe tak ingin melepaskan tangan dari tubuhnya. Apakah pemuda ini akan melupakannya, jika ia tidak lagi bisa meremas-remas dadaku? pikir Yuli di tengah gelimang nikmat yang memenuhi benaknya. Apakah aku akan kehilangan tangan-tangan yang bergelora itu, dan lalu akan melupakannya?
Bibir Joe menjalari leher kekasihnya. Harum khas Yuli memenuhi rongga hidung Joe. Ah, senang sekali menghirup aroma tubuh gadis yang segar itu! Betapa Joe akan kehilangan keharuman-kesedapan wangi Yuli yang alamiah. Betapa ia akan merindukan harum lembut pengikat jiwa itu. Bagaimanakah nanti rasanya, tidak bisa lagi mencium leher jenjang yang halus ini? tanya Joe dalam hati. Rasa kehilangan seperti apakah yang akan dialaminya?

Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kedua kepala dan hati remaja itu, sehingga perlahan percumbuan mereka menghambar. Perlahan-lahan birahi mereka padam, seperti perapian yang kehabisan bahan bakar. Yuli bahkan perlahan-lahan tersedu, membiarkan air mata tumpah menerobos lentik bulu matanya yang berkerejap. Joe melepaskan remasannya, dan kini memeluk tubuh Yuli erat-erat, mendekapkan kepala gadis itu ke dadanya.

Suara tangis Yuli menyelinap ke luar dari dekapan Joe, mengusik keheningan puncak gunung. Tangan pemuda itu mengusap-mengelus rambutnya yang hitam. Sesekali Joe mengecup pula rambut yang harum itu, mencoba menghibur kekasihnya.

Lama mereka berpelukan, Yuli masih di pangkuan Joe, sesenggukan menumpahkan semua kesedihannya. Dada Joe kini mulai basah oleh airmata Yuli, terasa hangat dan menyakitkan. Pada saat-saat seperti ini, Joe menyesal mengapa harus mencintai seseorang yang toh juga akan pergi jauh. Mengapa selalu ada saat di mana engkau harus meninggalkan atau ditinggalkan oleh seseorang yang kau sukai?

Tak lama kemudian mereka turun dari puncak gunung, lalu duduk-duduk saja di taman dekat air terjun. Ketika siang tiba, mereka makan di sebuah warung murah-meriah. Lalu, tepat pukul 1 siang mereka kembali ke kota. Dalam perjalanan, mereka lebih banyak diam, masing-masing terbenam dalam kerisauan dan kepasrahan. Risau karena banyak sekali pertanyaan yang belum mereka jawab. Pasrah karena mereka tak punya pilihan lain, selain harus berpisah.

Dan ketika akhirnya Joe mengantar Yuli ke terminal sore itu, seluruh hari terasa kelabu belaka. Tubuhnya terasa letih. Kepalanya terasa pening. Ia juga merasa sangat kesepian, walaupun bus malam belum lagi berangkat dan Yuli masih berdiri di sampingnya di pelataran terminal. Orang-orang ramai bercakap, tetapi bagi kedua remaja ini, dunia terasa sungguh sunyi. Kedua orangtua Yuli mencoba menghibur, mengajak Joe berdiskusi tentang masa depan, mencoba meyakinkan pemuda itu bahwa kesedihan perpisahan tidaklah seberapa dibandingkan kecerahan masa depan. Dengan sopan, Joe menyetujui semua wejangan orangtua Yuli. Ia tidak punya pilihan lain, bukan?

Lalu bis malam itu berangkat. Yuli duduk di dekat jendela, melambaikan tangan dan tersenyum kepada Joe yang terpaku di pelataran. Selamat tinggal, bisik pemuda itu di dalam hati. Dibalasnya lambaian tangan gadis itu. Dibalasnya pula senyum sendu itu. Selamat tinggal kekasih. Mari kita tutup babak berikutnya dari kehidupan yang masih terasa panjang ini. Mari terus berharap akan ada babak-babak selanjutnya.

inilah detik saat kepergian mu kasih..

tak ada hal yang paling menyedihkan selain saat ini..

saat kepergian mu..

pergi untuk cita - cita mu..


pertengahan malam hingga mentari terbit..

menjadi saksi, bahwa air mata ku memang tak bisa terbendung lagi..
begitu memilukan, menangis.. menangis.. dan menangis..

semalaman meraungi nasib sebelum kepergian mu..


tak ada satupun suasana yang bisa menenangkan ku..

hanya segudang penantian yang aku pun tak tahu bila akan berakhir..
dan seribu bayangan rindu untuk mu..

Seorang Bidadari & Sebuah Mimpi

Seorang gadis kecil berambut ikal dengan pita merah dan gelang gemerincing berlari-larian di taman mengejar seekor kucing. Di tangan gadis kecil itu ada sepotong biskuit. Mulut kecilnya ramai berteriak-teriak memanggil sang kucing. Pastilah ia bermaksud baik, memberi makanan yang ia anggap enak. Tetapi pastilah pula sang kucing berpikiran lain, karena binatang lincah itu sangat cepat memutuskan untuk naik ke atas pohon. Si gadis kecil bertolak-pinggang di bawah pohon dengan gayanya yang lucu. Memanggil-manggil sang kucing yang mengawasinya dari atas dengan pandangan curiga. Lalu, gadis kecil itu tampak semakin sewot, dan akhirnya melemparkan biskuit ke arah sang kucing. Lemparannya luput karena terlalu lemah. Biskuit malah kembali ke bawah dan jatuh di atas kepala pelemparnya. Gadis itu menjerit berang. Kucing terkejut dan lompat lebih tinggi lagi.

Joe tersenyum memandang semua kejadian itu. Ia sedang duduk di taman di seberang kampus, menikmati roti yang menjadi bekal untuk makan siangnya. Gadis kecil di tengah taman itu mengingatkannya pada Wulan, adiknya yang telah lama sekali ia tinggalkan. Berapa tinggikah sekarang ia? pikir Joe sambil mengunyah perlahan. Ada rasa sendu menyergap setiap kali ia mengenang adiknya. Pastilah Wulan kehilangan kakak yang selalu bersedia memboncenginya berjalan-jalan ke pantai, atau membantu mengumpulkan biji kenari di hutan dekat danau, atau mengantarnya ke tempat latihan menari.

Joe bangkit, mendekati pohon tempat si kucing bersembunyi. Diulurkannya sepotong roti yang berisi telur dadar. Nah, ... rupanya si kucing lebih tertarik pada roti dan telur katiMbang biskuit manis. Binatang itu cepat sekali turun, secepatnya naik,.. dan tiba-tiba saja sudah mencaplok roti dari tangan Joe, lalu turun ke tanah untuk menikmatinya.

Si gadis kecil memandang ke Joe sambil mengernyitkan dahinya. Tampangnya lucu sekaligus manis. Joe membalas senyumnya. Si gadis membuka mulutnya, tetapi lalu menutupnya kembali. Joe menegur dengan bersahabat,

"Halo ... apakah itu kucingmu?"

Gadis itu mengangguk-angguk. Rambutnya bergerak-gerak ramai. Pita merahnya berterbangan di tiup angin yang agak kencang siang ini.

"Kenapa dia lari?" tanya Joe sambil berjongkok dekat si kucing yang kini asyik melahap makanannya. Gadis itu ikut jongkok dan berkata dengan gayanya yang cadel, "Ci pus nakal, Oom ... ngga cuka mamam"

"Oh, mungkin dia tidak suka biskuit," ucap Joe.
"Tapi ... tapi," gadis itu berceloteh, "Tapi .. Lia cuka cekali biskuit ... manisssss cekali."

Joe tersenyum. Pantas gigimu habis, pikirnya dalam hati melihat

gadis itu ompong. Pasti terlalu banyak makan makanan bergula.
"Siapa nama kucingmu?" tanya Joe.

"Unyil!" jawab Ria, gadis kecil itu, dengan cepat dan keras. Senang sekali rupanya ia dengan nama itu. Tiba-tiba terdengar dehem seorang wanita di belakang Joe. Cepat-cepat Joe memutar tubuhnya, lalu bangkit.

Ah! Di depannya berdiri seorang bidadari. Betul-betul seorang bidadari, dengan rok terusan panjang berwarna putih bersih tanpa pola. Dengan rambut sebahu tergerai lepas, dan sepasang anting mutiara yang juga menegaskan dominasi warna putih. Di lehernya yang jenjang ada seuntai kalung perak dengan bandulan burung dara kecil berwarna putih. Bahkan sepatu sandalnya juga berwarna putih, terbuat dari kain jeans. Tas kecil yang tersampir di bahunya juga putih, terayun-ayun perlahan.

Joe terpana sejenak. Bidadari itu tersenyum. Giginya juga putih sekali! "Maaf. Apakah Ria telah berbuat nakal?" ucap bidadari itu.

"Oh, tidak. Tidak," jawab Joe gelagapan.

Kaget juga ia mengetahui bahwa bidadari itu bisa berbahasa Indonesia. Sejak kapan ada kursus bahasa Indonesia di surga?

"Dari tadi ia mengejar-ngejar kucing itu," ucap bidadari itu lagi.

"Oh, begitu ... " ucap Joe, tak tahu harus berkata apa lagi.

Ia sungguh-sungguh masih menyangka berhadapan dengan bidadari. Tidak saja wanita di hadapannya ini serba putih, tetapi juga serba menarik dan cemerlang. Matanya yang dihiasi bulu panjang lentik seringkali tampak berkerejap bercahaya. Bibirnya yang tersenyum seringkali seperti menyemburatkan sinar terang.

"Mama ... mama..., Oom ini baik cekali, Mama!" teriak Ria masih berjongkok dekat si kucing.

Ah! Joe bergumam dalam hati. Bidadari itu punya anak yang menyukai kucing!

"Hayo, kita pulang Ria. Kamu sudah hampir dua jam main di sini. Nanti nenek dan kakek mencari-cari!" ucap sang bidadari sambil mendekati Ria.

Joe melangkah mundur perlahan. Menjauhi kedua mahluk yang mempesonanya itu. Ia melihat si gadis kecil meronta, memprotes keputusan ibunya untuk pulang. Lalu ibunya -sang bidadari itu- mengucapkan sesuatu yang tak jelas. Lalu, si gadis kecil bangkit sambil tetap menggerutu. Si kucing, yang ternyata bukan kucingnya, masih asyik mengunyah roti yang diberikan Joe. Akhirnya, mereka bergandengan tangan menjauhi taman. Joe masih berdiri menatap mereka.

Menjelang keluar dari gerbang taman, tiba-tiba si bidadari menengok ke arah Joe lalu melambaikan tangan. Dengan kikuk, Joe membalas lambaian itu. Samar-samar ia melihat si bidadari tersenyum dan rasanya langit tambah terang. Joe menggeleng-gelengkan kepalanya, heran sendiri, mengapa ada wanita bisa seperti bidadari begitu.

*****
Perlu kiranya diketahui, Joe kini telah memasuki semester keempat di sebuah institut teknologi di kota B yang sejuk. Begitu cepat waktu berlalu sejak ia meninggalkan kota kelahirannya yang kecil dan jauh sekali dari B. Hari, minggu dan bulan melaju dengan cepat, berlarian, seperti kereta api ekspres yang membawanya ke mari satu setengah tahun yang lalu. Kesibukan kuliah membuat segalanya bertambah cepat saja berlalu. Rasanya, baru kemarin ia mengucap selamat tinggal kepada Yuli yang kini ada di ibukota. Yuli, yang kini semakin jarang ia dengar kabarnya, karena konon gadis itu sibuk sekali dengan kuliah-kuliahnya di kedokteran.

Sepanjang hampir dua tahun telah banyak sekali yang terjadi pada Joe. Ia berubah dari seorang pemuda kota kecil menjadi seorang mahasiswa kota besar. Ia melanjutkan hobinya berenang dan mendaki gunung dengan bergabung ke klub di kampusnya. Sama halnya ketika ia masih di kota kelahirannya, Joe juga cepat populer di kalangan teman-teman sekampus. Ia dikenal ramah, cekatan, dan pintar berorganisasi. Wajahnya termasuk cakep, walau kalah ganteng oleh Ridwan, teman sekelasnya, menambah popularitas Joe di kalangan gadis-gadis. Antara Joe dan Ridwan tercipta hubungan aneh: keduanya merasa saling bersaing, tetapi keduanya juga saling bersahabat. Tak jarang Joe bertandang ke rumahnya yang besar di pinggiran kota dan menginap di sana. Ayah Ridwan seorang berpangkat tinggi di militer, dan ibunya punya usaha perhotelan.
Selain Ridwan, Joe juga punya seorang teman dekat bernama Rima, seorang gadis dari ibukota yang tidak pernah memakai rok. Seorang yang agak tomboy, yang sebetulnya berwajah manis kalau saja ia rajin menyisir rambutnya. Rima menyukai Joe, bahkan mungkin juga sangat menyukainya dalam arti Rima ingin Joe menjadi pacarnya. Tomboy bukan berarti anti pria, bukan?

Tetapi Joe menganggap Rima biasa-biasa saja. Ia suka berteman dengan Rima, tetapi tak punya maksud apa-apa selain itu. Ia senang bepergian dengan Rima, naik gunung atau hiking menyusuri sungai-sungai besar di sekitar kota B. Gadis itu pintar main gitar, dan Joe suka sekali kalau ia menyanyikan lagu-lagu dari Iwan Fals. Tetapi, selain dari itu, Rima adalah teman semata. Maka, Rima pun kecewa berat, walau tetap saja mereka sering mendaki gunung bersama dan berhubungan sangat akrab.

Lalu ada seorang gadis lain, bukan teman sekampus, melainkan tetangga di sebelah tempat kost Joe. Namanya Indi, dan centilnya melebihi gadis manapun yang pernah dikenal Joe. Jelas sekali, Indi juga menyukai Joe karena gadis itu selalu punya alasan untuk mampir ke tempat kost Joe. Entah meminjam penggaris, atau jangka. Entah meminta sebotol air es, atau meminjam selang untuk menyemprot halaman. Entah mengantarkan kue untuk tuan rumah, atau menumpang cuci kaki. Pokoknya, hampir setiap hari Joe bertemu Indi.

Indi juga merupakan gadis yang menurut ukuran Joe sangat bebas. Memang, Joe punya cukup banyak "pengalaman" dengan wanita, tetapi semuanya dalam konteks kota kecil. Mba Dwi dan Yuli adalah wanita-wanita "biasa" dalam perjalanan hidup Joe. Pengalaman Joe dengan mereka terasa begitu alamiah dan sederhana. Sedangkan Indi kelihatan lebih "canggih", lebih lepas-terbuka dalam hal sensualitas, dan lebih penuh gaya. Indi memakai rok mini yang kadang-kadang tersingkap menampakkan celana dalamnya. Indi memakai eye shadow berwarna ungu yang kadang-kadang membuat Joe terkejut jika berjumpa di malam hari. Indi juga sering tidak berbeha, dengan t-shirt tipis yang tidak mampu menyembunyikan kedua putingnya.

Pernah Indi masuk ke kamar Joe tanpa diundang, lalu pura-pura bertanya tentang soal matematika (gadis itu masih duduk di kelas 3 SMA). Joe pun tak curiga, menjawab semua pertanyaannya yang sebetulnya amat-sangat mudah itu. Indi berdiri di sebelah meja belajar Joe, membungkuk dan menopang dagunya dengan tangan. Kedua sikunya diletakkan di meja. Gayanya, seperti biasa, selalu manja dan centil. Joe menjelaskan semua jawabannya, dan tampaknya Indi memperhatikannya. Tetapi, ketika Joe mengangkat muka, ia menemukan kedua pasang mata Indi tidak melihat ke buku, melainkan menatap wajahnya. Selain itu, gadis itu memakai kaos berleher rendah, dan tidak memakai beha. Posisinya yang membungkuk menyebabkan seluruh payudaranya yang indah itu terpampang di depan mata Joe. Sejenak Joe menelan ludah, tetapi lalu ia berhasil menguasai diri.

Sambil tersenyum, Joe menutup buku matematika Indi, dan berucap, "Kamu mau belajar atau menantang berkelahi?"

"Berkelahi!" jawab Indi cepat-cepat.

O-o.., gumam Joe dalam hati, gadis ini nakal sekali.

"Baiklah. Mari di luar berkelahi. Aku pakai satu tangan saja, lah!"

jawab Joe sambil bangkit. Indi menggerutu tak jelas, lalu menarik tangan Joe, mencegahnya keluar.

"Di sini saja. Indi mau berkelahi di kamar Kak Joe saja!" sergahnya.
Joe menghindari tangan Indi dan tetap melangkah keluar. Indi meraih baju Joe, mencoba menahannya, tetapi ia malah ikut terseret keluar. Terpaksalah Indi mengurangi kecentilannya di luar. Ia juga masih punya rasa sungkan kepada tuan rumah. Ibu kost Joe adalah seorang bekas guru SD yang galak. Indi takut kepadanya. Maka ketika mereka sudah berada di luar, Indi tak bisa leluasa lagi.

Ia pun lalu pamit pulang sambil tak lupa mencibirkan bibirnya yang ranum itu ke arah Joe.

Itu bukan kali pertama Indi "menjebak" Joe. Berkali-kali Indi berusaha memancing Joe untuk berbuat sesuatu kepadanya. Berkali-kali pula Joe berhasil menghindar. Hanya satu kali ia nyaris tak berdaya...

*****
Waktu itu, hari Minggu siang, Joe mampir ke sebelah karena ia perlu meminta kembali selang yang dipinjam Indi kemarin. Ibu kost meminta tolong kepada Joe untuk membantunya membersihkan kamar mandi, dan Joe memang selalu bersedia membantu ibu tua yang sudah seperti ibunya sendiri itu. Dengan hanya bercelana pendek, Joe masuk ke rumah sebelah dan memanggil Indi. Tak ada jawaban. Rumah Indi tampak sepi sekali, tetapi pintu belakang terbuka lebar. Maka, karena sudah terbiasa dan sudah mengenal keluarga Indi, Joe pun melakang masuk. Tetap memanggil-manggil Indi.

Akhirnya terdengar Indi berteriak menjawab, tetapi orangnya tidak kelihatan, "Di sini, Kak Joe. Perlu apa, sih?"

"Selang yang kamu pinjam kemarin di mana In?" sahut Joe sambil mencari-cari di sekitar dapur.

"Di sini!" teriak Indi dari arah dalam.

"Di mana kamu?"

"Di sini. Di dalam!" sahut Indi lagi. Memang suaranya terdengar dari dalam rumah. Maka Joe pun melenggang masuk lebih ke dalam.
"Di sini Kak. Di kamar mandi!" teriak Indi.

Oh, pikir Joe, pasti gadis itu sedang mencuci atau membersihkan kamar mandi juga. Ia pun melangkah ke arah suara Indi.

Pintu kamar mandi tampak agak tertutup, tetapi tidak terkunci sama sekali. Dengan santai Joe mendorong pintu itu dan melangkah masuk. Dan ...

"Hey!" Joe berteriak kaget.

Indi memang ada di dalam kamar mandi, tapi tidak sedang mencuci atau membersihkan kamar mandi. Ia berdiri di tengah kamar mandi dengan tubuh nyaris bugil. Gadis itu memakai handuk di sekeliling pinggulnya, tetapi cuma itulah pembalut tubuhnya. Badannya masih agak basah, dan kedua payudaranya yang sedang tumbuh pesat itu tampak segar menantang. Kedua putingnya yang coklat kemerahan tampak sangat sensual di puncak bukit-bukit kenyal yang membulat sempurna.
Rambutnya juga masih basah kuyup, mungkin habis keramas. Ia berdiri di dekat bak mandi. Di tangannya ada selang yang dicari-cari Joe. Bibirnya tersenyum .... Senyumnya nakal!

"Apa-apaan kamu Indi!" seru Joe sambil menatap tubuh gadis itu dari atas ke bawah. Sesungguhnyalah tubuh itu indah sekali di mata Joe yang biar bagaimana pun adalah seorang pria normal. Tetapi ia sama sekali tidak tertarik, karena perbuatan Indi ini menurutnya tidak normal.

"Katanya Kak Joe mencari selang!" sahut Indi sambil menyodorkan selang yang bergulung-gulung tidak karuan. Bibirnya yang basah masih tersenyum nakal.

"Ya. Tapi kenapa tidak pakai baju dulu!" sergah Joe sambil menerima selang. Sukar sekali bagi Joe untuk melepaskan tatapannya dari tubuh Indi yang tampak segar-basah. Apalagi harum sabun mandi juga datang dari tubuh itu!

"Aku baru selesai mandi waktu Kak Joe teriak-teriak di belakang. Belum sempat handukan!" ujar Indi sengit, membela diri mati-matian. Bukan Indi namanya kalau tidak membantah.

"Ya, sudah!" sergah Joe tak kalah sengit, "Lepaskan selang itu."

"Kenapa sih, Kok Kak Joe marah?" ucap Indi sambil menghentakkan tangan melepas selang yang digenggamnya, tiba-tiba suaranya berubah seperti mau menangis.

"Kalau orang tuamu tahu, apa kata mereka melihat aku masuk seperti ini?" ucap Joe masih sengit, sambil mulai melangkah mundur untuk keluar.

"Orang tuaku tidak di rumah. Memang kenapa kalau Kak Joe masuk?" kata Indi, kali ini jelas nampak matanya mulai basah oleh airmata.
"Aku ...," Joe menghentikan kalimatnya. Ditatapnya gadis setengah bugil di hadapannya. Hatinya langsung luluh melihat Indi mulai menangis. Joe selalu lemah jika berhadapan dengan airmata wanita.

"Kak Joe jahat!" sergah Indi lalu menutup mukanya dengan kedua tangan dan mulai sesenggukan.

"Bukan begitu, In ...," ucap Joe lemah. Tak sadar, ia melangkah masuk kembali ke kamar mandi, meletakkan selang di lantai dan memegang kedua pundak gadis itu. Dingin sekali badannya, pikir Joe.
Tiba-tiba Indi menubruk Joe, memeluk pria muda itu, dan menangis di dadanya. Joe limbung sejenak, bingung menerima serbuan yang sangat mendadak itu. Apalagi dirasakannya kedua payudara Indi menempel langsung ke dadanya yang juga telanjang. Segera badan Joe ikut basah.... dan sebuah serbuan birahi tiba-tiba muncul. Betapa tidak! Tubuh gadis itu erat sekali memeluk tubuh Joe. Lagipula, Indi sesenggukan menahan tangis, sehingga gerakan badannya menyebabkan kedua payudaranya bergesekan dengan dada Joe.

Untung Joe cepat sadar. Dengan sekuat tenaga, didorongnya tubuh Indi menjauh. Lalu dengan agak keras ia berucap, "Stop! Indi. Aku tidak mau main ke sini lagi, atau berteman denganmu, kalau kamu tidak berhenti menangis!"

Nah, berhasil. Mendengar ucapan yang bernada ancaman itu, Indi akhirnya menahan tangisnya. Menunduk, gadis itu mundur dan mendekapkan kedua tangan di dadanya, menutupi bagian tubuhnya yang telanjang. Joe menghembuskan nafas lega kuat-kuat, lalu mengambil lagi selang yang tadi diletakkan di lantai. Cepat-cepat ia membalikkan badan, sambil berkata, "Aku pulang dulu. Kalau masih perlu selang, kamu bisa pinjam lagi."

"Oke .. ," terdengar Indi menyahut pelan.

Diam-diam Joe tersenyum mendengar jawaban itu, sambil terus melangkah keluar. Gadis itu memang nakal sekali! sergahnya dalam hati.

******
Begitulah antara lain kisah hidup Joe di rantau. Masih banyak yang menarik yang bisa diceritakan, mungkin tak cukup 1000 halaman buku untuk menuliskannya. Pada umumnya, kisah hidup pemuda ini menyenangkan walau seringkali pula diganggu kerinduan pada kampung halamannya. Semenjak tiba di kota B satu setengah tahun yang lalu, ia belum pernah pulang ke kota kelahirannya. Belum pernah berjumpa ayah, ibu, dan adiknya. Juga tak lagi pernah berjumpa sahabat-sahabat lamanya. Tidak pula pernah menatap lagi mata Yuli, atau mendengar lembut suara Mba Dwi. Masa lalu Joe seperti sebuah lembaran yang sulit dibuka kembali. Seperti buku yang membatu. Kadang-kadang, Joe sedih sekali mengenang semua itu. Tetapi, karena kesibukan kuliahnya, kesedihan itu cepat terhapus. Sehingga akhirnya Joe kini bisa menerima kenyataan bahwa kehidupan adalah sebuah perjalanan yang selalu maju, tak pernah bisa mundur kembali.

Satu hal yang sempat merisaukan Joe adalah keterikatan perasaannya kepada kedua wanita yang telah mematri kisah kasih di hatinya: Mba Dwi dan Yuli. Sejak berpisah dengan mereka, Joe belum pernah terpikat oleh gadis lain. Apakah itu normal? Apakah itu namanya kesetiaan? Apakah itu namanya cinta yang sesungguhnya?

Tetapi apakah sebenarnya kesetiaan itu? Apakah sesungguhnya cinta itu? Joe selalu menyimpan pertanyaan-pertanyaan berat itu di hatinya. Dalam hal ini, tak ada teman diskusi untuk diajak berbincang. Dalam hal ini, Joe pun bergulat sendiri, mencari jawabnya sendiri.

Sampai suatu hari ia bertemu bidadari itu. Malamnya, Joe tiba-tiba terbangun dan merasakan keringat memenuhi tubuhnya, walau sebetulnya udara kota B sangat dingin untuk ukuran tropis. Joe terbangun oleh sebuah mimpi yang misterius. Ia bangkit dan duduk di ranjang, mengatur nafasnya yang agak menderu.

Joe bertemu lagi dengan Ria -si gadis kecil- dan sang bidadari yang adalah ibunya. Joe melihat gadis kecil itu berlari-larian di tengah lapangan yang sangat luas tak berbatas. Bukan hanya berlarian. Gadis kecil itu juga tampak seperti terbang melayang-layang, diselimuti kabut putih tipis. Ibunya - sang bidadari yang jelita itu - ikut berlarian, melayang-layang sambil menebarkan bunga-bunga putih. Indah sekali pemandangan mereka berdua berlarian-berterbangan seperti dua kupu-kupu putih. Seperti menari balet di sebuah panggung yang dipenuhi dry ice. Ada suara musik samar-samar, mungkin dari harpa dan seruling bambu. Betul-betul indah. Joe sangat menikmatinya.

Lalu, entah dari mana, muncul seekor binatang aneh. Besar sekali binatang itu, menyerupai T-rex (sejenis dinosaurus) di film Jurassic Park. Seram sekali binatang itu, dengan mulut yang terbuka lebar dan gigi-gigi besar dan tajam. Joe terpana, melihat binatang itu mengejar Ria dan ibunya, yang juga terperanjat dan tampak berusaha lari menghindar. Tetapi binatang ganas itu jauh lebih cepat larinya, dan sebentar kemudian ia sudah dekat sekali dengan kedua anak beranak itu.

Joe berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Lalu dengan ngeri ia melihat binatang itu menangkap Ria dan ibunya dengan mulutnya. Darah muncrat. Joe berteriak lagi keras-keras. Suaranya tercekat lagi di tenggorokan. Joe berusaha sekuat tenaga untuk mendekat, untuk memukul binatang jahat itu agar melepaskan buruannya. Tetapi kakinya terpaku di tanah. Joe frustrasi, terasa ingin menangis.

Lalu ia terbangun ... Entah apa makna mimpi itu, Joe tak tahu. Lama ia terpekur di ranjangnya. Malam masih jauh dari pagi. Suara jangkerik terdengar ramai di luar. Ketika jarum jam menunjukkan angka 1, barulah Joe bisa memejamkan mata kembali.

Bayang-bayang Sang Bidadari

Pagi belum lagi terik. Matahari masih bersembunyi di balik pucuk-pucuk pohon. Udara masih segar. Joe sudah duduk di angkot reyot yang akan membawanya ke kampus. Mobil buatan Jepang itu pasti berumur sekitar 3 tahun. Catnya sudah dekil, suara mesinnya seperti kakek-kakek yang sedang sakit TBC. Penumpangnya belum banyak; hanya Joe dan seorang laki-laki yang tampaknya pegawai kelurahan, lengkap dengan map-map bututnya. Sang kondektur masih berteriak-teriak mengundang penumpang. Suaranya lantang sekali sepagi ini. Joe menatap arlojinya. Mudah-mudahan tidak terlambat, gumamnya dalam hati.

Lima menit kemudian, datang tiga penumpang lagi. Lalu menyusul dua orang anak SD dengan tas di punggung mereka. Angkot sudah hampir penuh, tetapi sang kondektur tetap berteriak, "Kosong! .. Kosong!", sementara para penumpang mulai menggerutu. Joe melirik lagi arlojinya. Ah, masih ada waktu. Tetapi, kalau angkot ini harus penuh dulu baru berjalan, tentu waktu akan habis juga akhirnya.

Seorang ibu gemuk dengan tas belanja yang tak kalah gemuknya tergopoh-gopoh mendekat. Sang kondektur yang ceking menyambutnya dengan penuh semangat, mencoba membantu memegangi tas si ibu, tetapi ia tampaknya terlalu kurus untuk tas itu.

Si ibu berhasil naik dengan susah payah, selain karena berat tubuhnya, juga karena angkot hanya menyisakan satu ruang saja. Itu pun untuk penumpang berbadan sedang. Akibatnya, penumpang yang lain terhimpit satu sama lain. Persis ikan asin yang ditumpuk dalam satu kotak kaleng rombeng. Sial..., keluh Joe dalam hati.

Akhirnya sang supir muncul, entah dari mana. Angkot pun bersiap meninggalkan tempatnya. Sang kondektur sudah bergantungan di pintu keluar. Mobil tua itu terbatuk-batuk lagi, lalu mulai bergerak seperti orang malas. Gerakannya tersendat-sendat, membuat para penumpang terhenyak-henyak saling berbenturan.

Lalu, kesialan Joe pagi ini memuncak: angkot itu mogok setelah berjalan tak lebih dari 3 meter! Penumpang berhamburan keluar. Joe mencoba membantu mendorong. Ibu gemuk belum lagi turun, sehingga angkot jadi terasa sangat berat. Untung jalan agak menurun.

Tetapi, walau dicoba berkali-kali, dan walau Joe sudah berpeluh, angkot itu tetap ngadat. Akhirnya sang supir menyerah. Angkot tidak jadi mengangkut penumpang, yang kini kembali bergerombol menunggu angkot berikutnya.

Tetapi Joe memang sial. Tiga angkot berikutnya selalu penuh, dan hanya mampu menampung satu orang setiap kalinya. Joe terpaksa mengalah kepada dua anak SD dan si ibu gemuk. Sementara waktu cepat berlalu, dan Joe kini tahu bahwa ia pasti akan terlambat untuk kuliah pertamanya. Padahal, itu kuliah paling penting di semester ini, dan dosennya paling galak. Joe menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Ia berdiri di pinggir jalan, berharap agar angkot yang berikutnya kosong. Ada satu angkot tampak di kejauhan menuju ke arahnya. Angkot itu berhenti dan menurunkan beberapa penumpang, sehingga Joe yakin ia akan bisa naik kali ini. Ia pun bersiap maju agak ke tengah jalan untuk mencegat angkot itu.

Tiba-tiba sebuah Honda Civic putih berhenti tepat di depannya. Joe menepi kembali, menyangka mobil itu akan parkir. Tetapi ternyata tidak, mobil itu tetap di depannya, dan kaca jendela depan kirinya terbuka perlahan dengan suara mendesing. Joe mengernyitkan dahi, mencoba mengintip ke ruang dalam yang agak gelap. Apakah salah seorang temanku? ucap Joe penuh harap. Kalau ya, tentu ia bisa menumpang ke kampus.

"Halo Oom!" sebuah kepala kecil dengan rambut ikal dan pita merah menyembul. Tentu saja itu kepala si gadis kecil yang mengejar-ngejar kucing di taman. Ria!

"Hai!" sahut Joe terkejut dan terheran, sekaligus kagum atas ingatan gadis kecil yang baru dijumpainya satu kali beberapa minggu yang lalu.

"Mau kuliah, ya!?" terdengar suara lain dari arah pengendara mobil.
Joe maju mendekat dan membungkukkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas. Astaga! ..., yang bicara itu tadi adalah si bidadari!
"Eh.., ya... mau kuliah, ya... ya!" jawab Joe gelagapan.

Sungguh kaget ia ditegur oleh sang bidadari yang pagi ini tidak memakai setelan serba putih, tetapi tetap dengan dua anting mutiaranya yang berbinar. Cantik sekali bidadari itu!
Bidadari itu lalu menyebut nama kampus Joe, dan katanya mereka akan menuju ke arah sana. "Mau ikut sampai kampus?" tanya bidadari itu ramah. Dan Ria juga ikut mendesak "Oom"-nya berkali-kali sambil membuka pintu belakang. Joe menggaruk-garuk kepalanya lagi. Ah, bagaimana aku bisa menolak, pikirnya.
Akhirnya Joe menghenyakkan tubuhnya di jok belakang Honda Civic yang ruang interiornya menyebarkan harum semerbak itu. Mobil pun segera melaju dan Joe merasa seperti sedang naik kereta kencana yang ditarik kuda-kuda terbang!

"Kuliah di jurusan apa?" tanya si bidadari sambil melirik dari kaca spion.
"Arsitektur," jawab Joe pendek.

Bidadari itu tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Joe bisa melihat dari kaca spion, betapa manisnya senyum itu. Betapa cepatnya kesialan pagi ini berubah menjadi keberuntungan!
"Oom mau cekolah juga ya!" celoteh si kecil Ria dengan cadelnya, sambil membalikkan tubuhnya menghadap Joe.

"Iya," jawab Joe, "Ria sekolah di mana?"

"Lia cekolah taman kanak-kanak. Tapi...tapi.... tapi, Lia ngga cuka cekolah!"
"Lho, kenapa?" ucap Joe pura-pura kaget, "Apakah di sekolah Ria tidak ada kucing?"

Gadis kecil itu mengangguk-angguk cepat. Rambutnya bertebaran menutup keningnya.

Joe senang sekali melihat gadis kecil ini. Cantik dan lucu dan tampak cerdas.

"Kenapa tidak minta kepada bu guru untuk membeli kucing?"

"Bu gulu ngga cuka kucing..., Bu gulu cuka cama donal bebek!"

Joe tertawa mendengar jawaban Ria, dan si bidadari juga ikut tertawa kecil. Oh, merdu sekali tawa itu, pikir Joe, ....sebuah campuran yang pas antara tertawa manja dan tertawa geli.
Lalu Ria berceloteh terus sepanjang perjalanan, dan Joe dengan senang hati menimpalinya. Si bidadari sendiri tidak begitu banyak berbicara, tetapi selalu tertawa dengan tawanya yang memikat itu. Sesekali Joe melirik ke kaca spion, diam-diam memandangi wajahnya yang menatap lurus ke depan mengawasi lalu-lintas. Wajah itu manis sekaligus anggun, juga tampak bersinar riang.

Barangkali ia memang bidadari, pikir Joe. Akhirnya, setelah sepuluh menit lebih sedikit, Honda Civic itu menepi di depan kampus Joe. Cepat-cepat Joe mengucapkan terimakasih, berkali-kali sampai ia merasa malu sendiri. Lalu ia turun dan berdiri di tepi jalan menunggu mobil itu pergi. Ria menyembulkan kepalanya, berteriak, "Daah.... Oom Kucing!" .. sialan, sejak kapan aku jadi kucing? Sergah Joe. Dilambaikannya tangan ke arah Ria. Sang bidadari juga mengeluarkan tangannya ke atas dan melambai. Lalu, mobil itu menghilang di tengah keramaian.

Joe masih tertegun beberapa jenak. Sepanjang perjalanan tadi ia tak sempat bertukar nama dengan sang bidadari. Tololnya aku! Joe berseru dalam hati. Kenapa tadi tidak memperkenalkan diri? Mana mungkin wanita yang lebih dulu memperkenalkan diri? Bego sekali kamu, Joe. Dasar orang desa! Kata-kata hatinya bersusulan menyalahkan dirinya sendiri. Sambil melangkah gontai menuju gerbang kampus, Joe menggaruk-garuk lagi kepalanya yang tidak gatal. Rambutnya yang agak gondrong itu kini sudah acak-acakan.
Di gerbang kampus ia bertemu Rima yang rupanya juga baru tiba dan tadi melihat Joe turun dari Honda Civic yang ditumpanginya. Gadis itu, seperti biasanya, tersenyum manis menyambutnya. Joe suka sekali senyuman itu, yang selalu bisa menambah cerah hari-hari kuliahnya. Seringkali Joe heran sendiri, kenapa ia tidak bisa memacari gadis itu, padahal ia suka kepadanya.

"Aku tidak tahu kamu punya mobil," ucap Rima sambil menggamit lengan Joe.

"Aku memang tidak punya mobil. Itu tadi tetanggaku, kebetulan lewat sini," jawab Joe berbohong. Tetapi, mungkin juga ia berkata benar. Mungkin juga bidadari itu tetangganya. Sebenarnya, Joe betul-betul berharap bahwa ia memang tetangganya!

"Cantik, ya!?" ucap Rima. Joe mendeteksi nada lain di ucapan itu.
"Hmm," jawab Joe pendek sambil mengangguk. Mereka berjalan beriringan sepanjang koridor yang diteduhi tanaman merambat.
"Beruntung sekali kamu punya tetangga cantik yang lewat di depan kampus setiap pagi," ucap Rima lagi, kali ini dengan nada agak menggoda. Gadis itu selalu, ..se-la-lu ... menggodanya.

tetapi Joe sudah kenal taktiknya. Joe sudah "kebal".

"Hmm," gumam Joe lagi sambil mengangguk lagi.

"Daripada naik angkot, lebih enak naik Honda Civic, ya?!"

"Hmm.."
"Pasti ruangan dalam mobil itu harum semerbak. Tidak seperti angkot yang bau keringat penumpang,"

"Hmmm.."
"Pasti kamu belum sarapan pagi ini?" ucap Rima tiba-tiba mengubah topik.

"Hmmm.."
Rima mencubit pinggang Joe gemas. Dari tadi pria ini cuma "hmmm" saja, mengindari ajakannya untuk mendiskusikan wanita bermobil Honda Civic itu. Joe tertawa gelak dan berlari menghindar. Rima mengambil sebutir kerikil sebesar kuku jarinya, melempar ke arah Joe. Luput. Kerikil itu justru mengenai punggung seorang mahasiswa lain, yang segera menoleh ke arah Rima.

"Maaf, Mas! ... Tidak sengaja!" ucap Rima buru-buru sambil mendekat ke mahasiswa yang tampaknya senior itu. Joe tertawa di kejauhan.

"Lain kali tanya dulu sebelum melempar," ucap mahasiswa senior itu.
"Oh, ya?!... Apa yang musti kutanyakan?" ucap Rima merasa aneh mendengar perkataan "korban" lemparannya.

"Tanya dulu, apakah saya mau dilempar atau tidak!" sergah si korban sambil berlalu dengan muka penuh kemenangan.

Rima membanting kakinya dengan gemas. Lalu berlari mengejar Joe yang sudah jauh sekali.

*******
Setelah menumpang "kereta kencana" itu, Joe tak pernah bertemu lagi dengan sang bidadari. Setiap pagi, Joe berharap Honda Civic itu lewat, tetapi ternyata harapannya sia-sia belaka. Sia-sia ia menunggu setiap pagi selama sepuluh menit, dan setelah seminggu, Joe pun menyerah. Ia berkeputusan dalam hati si bidadari pasti telah kembali ke khayangan. Atau semua yang dialaminya hanyalah khayalan belaka. Tetapi, bagaimana sebuah khayalan bisa disaksikan orang lain seperti Rima?

"Kenapa tidak pernah numpang tetanggamu lagi?" goda Rima pada suatu pagi.

"Mobilnya masuk bengkel," ucap Joe berbohong, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Tetapi, Rima bersikeras menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi. Heran, gadis itu besar sekali rasa ingin tahunya, keluh Joe dalam hati.

"Wah.., pasti rusak berat. Seminggu masuk bengkel. Pasti tabrakan beruntun.

Apakah ada yang luka-luka?" tanya Rima seperti senapan mesin memberondong musuh.

"Ah, tidak. Cuma mau ganti warna cat. Pemiliknya bosan dengan warna putih!" jawab Joe sekenanya. Untuk melawan celoteh Rima memang sebaiknya tidak memakai akal sehat, begitu Joe berpikir.
"Wow! Padahal mobil itu kelihatan masih baru. Pasti pemiliknya kaya sekali, berganti cat mobil seperti berganti baju!" ucap Rima.
"Memang dia kaya. Dia bahkan punya pabrik pesawat terbang tak jauh dari kota ini!" ucap Joe tak mau kalah dengan akal-akalan Rima.
Tentu saja gadis ini tertawa terbahak mendengar jawaban Joe, dan ia senang sekali melihat Joe tersipu-sipu. Ia merasa memenangkan "pertempuran" yang menyenangkan ini. Ach!... bersama Joe semua rasanya menyenangkan belaka! Ucap Rima dalam hati.

Percakapan ini terjadi hari Sabtu, di kampus, sebelum kuliah pengganti yang diadakan seorang dosen karena ia pernah tidak masuk minggu lalu. Joe membiarkan Rima mengganggunya sepanjang hari, karena pemuda ini juga senang diganggu dan dibercandai. Ia merasa, Sabtu ini agak kelabu, entah kenapa. Mungkin karena harapannya bertemu sang bidadari tak kesampaian. Mungkin juga karena ia rindu kampung halaman (akhir-akhir ini Joe sering terkenang orangtua dan adiknya). Mungkin juga karena sebentar lagi malam minggu, dan Joe tidak punya pacar untuk dikunjungi.

Maka ketika Rima mengajaknya mendaki gunung sepulang kuliah, Joe menyambutnya dengan antusias. Ia segera pulang setelah kuliah bubar dan segera kembali menjemput Rima di tempat kostnya, lengkap dengan ransel dan perbekalan dan perlengkapan kemah. Sedangkan Rima telah pula siap dengan tenda dan gitarnya. Ranselnya kecil saja, dan tenda dititipkannya pada Joe.
"Berdua saja?" tanya Joe ketika sadar bahwa Rima tidak bersama siapa-siapa. Biasanya, gadis ini membawa serta seorang gadis sahabatnya. Biasanya pula Joe mengajak Tigor, temannya dari Jurusan Mesin yang punya hobi serupa. Sewaktu Rima mengusulkan mendaki di kampus tadi, Joe tak sempat bertanya tentang peserta.

"Iya. Berdua saja!" jawab Rima sambil memanggul gitarnya. "Kenapa? Takut?"

Joe mendengus pura-pura kesal. "Siapa yang tidak takut pergi berdua dengan tukang cubit!" sergahnya sambil memasukkan tenda ke ransel.

Rima tertawa. Rima mencubit lengan Joe... Rima memukul sayang kepala pemuda itu... Rima bernyanyi dalam hati!

******
Gunung yang mereka daki adalah gunung yang sangat populer di kalangan anak-anak muda. Jadi, tidaklah tepat kalau Joe berkata bahwa mereka mendaki "hanya berdua". Sebab, setelah sampai di puncak, mereka bergabung dengan puluhan anak-anak muda. Keduanya telah pula dikenal oleh beberapa "veteran" pendaki yang berkumpul di kaki gunung. Rima bahkan sudah didaulat untuk bernyanyi sejak di tempat peristirahatan pertama di lereng gunung. Seperti biasanya, Rima memenuhi permintaan para kawula muda pencinta alam itu dengan senang hati. Kadang-kadang Joe berpikir, Rima memang suka menampilkan diri di muka umum. Ia berbakat menjadi artis, barangkali!

Tetapi ketika malam menjelang pagi di puncak gunung, ketika keletihan memaksa para pendaki masuk ke tenda masing-masing untuk beristirahat setelah mengobrol sepanjang malam, ...mereka pun akhirnya memang tinggal berdua. Tenda yang mereka tempati tidaklah terlalu luas. Untuk bisa tidur, Joe harus merelakan lengannya menjadi bantal Rima. Kalau tidak begitu, ruangan akan tersita dan tenda mungkin sudah rubuh. Bagi Rima, inilah enaknya pergi berdua. Ia bisa punya seribu alasan untuk memeluk pria yang sangat-sangat-sangat disukainya itu.

Angin berhembus keras sekali malam itu. Dingin menusuk tulang, dan bunga-bunga es berterbangan seperti pasir putih di sekitar tenda. Joe membiarkan Rima memeluk tubuhnya erat-erat. Kadang-kadang, ia merasa Rima adalah seorang gadis lemah yang perlu dilindungi. Apalagi, sebelum masuk tenda tadi Rima mengaku agak ngeri

melihat cuaca malam ini. Di puncak gunung, cuaca seperti ini memang menambah suasana semakin mencekam. Suara angin seperti raungan raksasa yang sedang marah.

Gelap-gulita di sekeliling tenda, tak terdengar suara apa-apa selain badai yang mengamuk

Joe mendengar gigi Rima bergemeletuk menahan dingin. Tidak tega, Joe melepas jaketnya, membungkus tubuh temannya. Ia sendiri kini hanya berkaus , tetapi kaos itu cukup tebal untuk menahan dingin. Apalagi di bawah kaos itu, Joe juga memakai kaos lain yang terbuat dari wol.

Desah nafas Rima dekat sekali di pipi Joe. Harum mulut gadis itu juga sampai samar-sama di hidung Joe. Entah sengaja atau tidak, bibir Rima yang agak basah itu sesekali menyentuh pipi Joe.
"Takut, Rim?" bisik Joe.

Joe merasakan gadis itu mengangguk. Juga merasakan nafasnya agak cepat. Jangan-jangan ...

"Cium aku, Joe...," gadis itu berbisik, hampir tak terdengar.

Joe tersenyum dalam gelap. Ada-ada saja permintaan Rima. Tetapi, ... why not? pikirnya. Mungkin perlu juga berciuman di tengah badai di puncak gunung.

Perlahan Joe menyentuh bibir Rima dengan bibirnya. Nafas gadis itu menyerbu mukanya, terasa semakin panas. Lalu, bibir gadis itu terbuka sedikit. Joe mengecupnya ringan, menjaga untuk tetap ada jarak di antara kedua mulut mereka.

Rima terdengar mendesah. Gelisah. Terasa gadis itu menggeser tubuhnya semakin rapat ke tubuh Joe. Dibandingkan Indi yang seksi dan sintal, atau Yuli yang berdada ranum, Rima pastilah kalah. Dadanya tidak membusung, hanya membukit seadanya saja. Walau begitu, jatung Joe bergetar juga merasakan lengannya menekan dada Rima yang turun naik dengan cepat.

Rima kini merangkul leher Joe, dan sepertinya ia sudah tak sabar lagi, ia menarik pemuda itu sehingga bisa sepenuhnya berciuman. Joe membiarkan gadis itu mengulum bibirnya dengan desah yang semakin gelisah. Diam-diam Joe khawatir juga, kemana arah percumbuan ini?

Lidah keduanya secara otomatis saling memagut, seperti dua ekor ular yang sedang bercengkrama. Joe sebenarnya hanya ingin berciuman di bibir, tetapi tampaknya Rima menginginkan lebih dari itu. Apalagi kini satu kakinya sudah naik, menumpang di paha Joe. Tangannya semakin kuat merengkuh leher pemuda itu. Nafasnya juga sudah semakin memburu.

Lalu, entah bagaimana mulanya, tangan Joe telah menelusup ke balik dua jaket yang membungkus tubuh Rima. Kini telapak tangan pemuda itu mengusap-usap bukit kecil yang tergantung di dada Rima. Gadis itu mengerang pelan, mulutnya semakin bersemangat menciumi Joe. Nafasnya mulai tersengal-sengal, dan badannya gelisah bergerak kesana-kemari.

Joe membalas pagutan Rima. Dihisapnya kedua bibir gadis yang punya lesung pipit itu. Diemut-emutnya lidah gadis itu yang sejak tadi menerobos masuk ke mulutnya. Kadang-kadang digigitnya perlahan salah satu bibir Rima, membuat gadis itu mengerang manja.
Rima merasakan tubuhnya dibungkus kenikmatan birahi. Apalagi kini kedua pahanya menjepit erat salah satu paha Joe. Di balik jeans yang dikenakannya, celana dalam Rima mulai terasa lembab. Cairan hangat terasa mengalir perlahan di dalam pinggulnya.

Selangkangannya terasa dipenuhi geli-gatal yang menggelisahkan. Dengan gerakan tak karuan, Rima menggosok-gosokan bagian depan kewanitaannya ke paha Joe. Oh,,,..., seandainya saja pria ini mau memasukkan tangannya ke sana! ... jerit Rima dalam hati.

Tetapi rupanya Joe cepat sadar. Tiba-tiba teringat olehnya, sesama pendaki sebaiknya tidak menjalin hubungan seksual. Konon, hubungan itu hanya akan membawa sial. Walaupun tidak sepenuhnya percaya, Joe takut juga kalau-kalau petuah itu benar. Maka cepat-cepat ia menghentikan usapan tangannya di dada Rima, lalu menjauhkan mukanya dari muka gadis itu.

Namun Rima rupanya sedang berpacu menuju klimaks pertamanya. Tubuh gadis itu sedang meregang ketika Joe melepaskan ciumannya. Kedua pahanya erat mencengkram paha Joe, membuat pemuda itu meringis karena merasa agak pegal. Lalu, terdengar Rima mengerang pelan dan panjang "Oooouugh...!... Aaaaaah"... dan kedua kakinya kaku mengejang, dan kemudian disusul guncangan seluruh tubuhnya.

"Joe,... jangan berhenti,... Joe," gadis itu mengerang di tengah guncangan tubuhnya.

Dengan susah payah, Joe berhasil mengendalikan dirinya, menghindari tarikan tangan Rima yang seperti orang kalap.
"Tidak, Rima. Kita sedang di puncak gunung!" sergah Joe sambil memegangi lengan Rima yang terus berontak. Setelah berusaha berkali-kali melepaskan tangannya, akhirnya gadis itu menyerah, gerakannya semakin lama semakin melemah. Lalu gadis itu lunglai memeluk Joe.

"Maafkan aku, Rima...," bisik Joe sambil memeluk pundak gadis itu.
Tiba-tiba Rima tersedu. Air matanya yang hangat membasahi leher Joe, dan pemuda itu diam saja, membiarkan emosi Rima keluar bebas. Ia tahu, gadis itu mengerti benar apa maksudnya menolak bercumbu di puncak gunung.

"Sudahlah,... sebentar lagi pagi. Kita perlu tenaga untuk pulang," bisik Joe lembut. Terasa kepala Rima bergerak mengangguk. Joe tersenyum, mengecup dahi gadis itu dengan sayang. Rima terdengar menghela nafas panjang, dan menghembuskannya keras-keras. Joe tersenyum lagi dalam gelap. Bersyukur bahwa segalanya bisa berlalu.

Tak lama kemudian, terdengar nafas keduanya semakin teratur. Sementara badai di luar ternyata juga telah mereda. Puncak gunung menjulang menghitam di malam yang semakin pekat. Joe dan Rima akhirnya mendengkur perlahan, dengan damai menyambut datangnya alam mimpi, bersamaan dengan tibanya kabut tebal yang menyelimuti seluruh lapangan kecil di puncak itu.

******
Di hari-hari berikutnya, hubungan Rima dan Joe kembali normal. Perlahan-lahan mereka bisa melupakan peristiwa di puncak gunung yang mencekam dan nyaris berakhir di luar kendali itu. Memang, Rima sempat menjadi agak kikuk akibat terpengaruh peristiwa itu. Ia sempat sering tersipu kalau bertemu Joe, padahal pemuda itu sudah berusaha keras bersikap seperti biasa. Tentu saja, Joe juga tak akan lupa peristiwa itu. Tetapi ia tak ingin kehilangan persahabatan, dan sebab itu berusaha keras membantu Rima melupakannya. Untung saja, masa ujian segera tiba, dan kesibukan belajar akhirnya membuat gadis itu kembali seperti semula: suka menggoda Joe dan selalu mengajaknya bercanda. Yang justru agak mengganggu pikiran Joe adalah si bidadari itu! Pada suatu malam minggu, sepulang dari rumah Ridwan, ia bertemu lagi dengan bidadari itu. Sebenarnya tidak "bertemu" dalam arti sebenarnya, karena Joe hanya sekelebat melihatnya. Ia sedang berada di boncengan motor Tigor yang akan mengantarnya pulang di tengah malam itu. Mereka sedang melintas di depan sebuah mall kecil yang masih ramai. Jalan yang mereka lalui agak macet, karena bioskop rupanya baru bubar, dan mobil para penonton sedang antri ke luar.
Waktu itulah, Joe melihat Honda Civic yang pernah ditumpanginya. Tentu saja, catnya masih putih. Di dalamnya ada sang bidadari, tetapi ia tidak duduk di belakang stir. Yang duduk di belakang stir adalah seorang pria. Dengan cepat Joe menyimpulkan, pria itu pastilah suaminya. Ada sedikit rasa pedih menerima kesimpulannya sendiri itu. Joe diam-diam memperhatikan, seperti apa suami sang bidadari itu. Tetapi karena motor yang ditumpanginya tertahan agak jauh, Joe tak bisa melihat jelas. Apalagi kemudian mobil itu lolos terlebih dulu dari kemacetan, dan segera menjauh di kegelapan malam.
Ketika akhirnya Tigor berhasil lolos dari kemacetan, mobil itu sudah menghilang entah ke mana. Lalu, Tigor tancap gas dan mereka sampai di tempat tujuan hanya dalam waktu 5 menit karena jalanan lengang. Joe turun di depan gang menuju tempat kost, mengucapkan terimakasih kepada sahabatnya yang segera melesat kembali menembus gelap malam. Suara motornya yang meraung-raung semakin lama lenyap ditelan sunyi malam. Joe menunggu sampai motor itu tak terlihat lagi, baru membalikkan badan ke arah rumah kost-nya.

Pemuda itu berjalan gontai sambil terus memikirkan sang bidadari. Ah, ternyata ia telah bersuami. Tentu saja! Bukankah Ria memanggilnya "mama". Tentu saja Ria punya ayah, dan pria yang tadi di belakang stir pastilah ayah Ria. Suami sang bidadari.
Lalu, kini apa? Kau tertarik pada seorang wanita yang sudah bersuami! Suara hati Joe terdengar nyaring di telinganya. Kau terpesona pada istri orang! Duh...

Joe menggeleng-geleng sendirian sambil melangkah pelan.
Ia baru saja hendak membuka gerbang halaman rumah kost-nya, ketika didengarnya seseorang berbisik, "Sssst... Kak Joe!"
Terkejut, Joe menoleh ke arah sumber suara. Indi sedang duduk di bawah pohon mangga yang membatasi rumah kost dengan rumah gadis itu. Di sana ada bangku kayu yang jika hari siang biasa dipakai duduk-duduk. Bayangan pohon agak menyembunyikan gadis itu dari sorot lampu di ujung gang. Apa yang dikerjakan si centil itu? Pikir Joe sambil melangkah mendekat.

"Aku ngga bisa tidur!" bisik Indi sebelum Joe sempat bertanya.
"Sedang apa di sini? Nanti ayahmu marah....," sergah Joe berbisik, takut terdengar orang lain. Diliriknya arloji, ... hmmm, sudah hampir pukul satu.

"Ayah sedang main catur di beranda. Ibu menginap di rumah kakak. Sini... Kak Joe, temani aku," ucap Indi sambil meraih tangan Joe, menariknya ke bawah bayang-bayang pohon.

Joe membiarkan tubuhnya ditarik. Entah kenapa, tiba-tiba Joe ingin melayani tingkah Indi malam ini. Mungkin karena rasa kesepiannya di malam minggu ini? Mungkin karena kekecewaannya setelah tahu sang bidadari bersuami?

Mungkin .... Mungkin.... Mungkin. Semua serba memungkinkan.
Tiba-tiba saja Joe telah mencium Indi, menyenderkan tubuh gadis itu ke batang pohon mangga, dan melumat bibirnya dengan gemas. Indi sempat terkaget, tetapi lalu membalas ciuman Joe dengan tak kalah bersemangat.


Interlude Indi dan Perjumpaan Itu

Joe sebetulnya agak terperanjat juga merasakan betapa Indi bukan gadis ingusan lagi dalam soal berciuman. Bibirnya yang lembut basah itu ternyata pandai sekali bermain-main, mengulum bibir Joe dengan lahap. Gadis itu juga dengan leluasa membuka mulutnya, membiarkan lidah Joe menelusup masuk, menjilati langit-langitnya. Harum lembut nafas Indi, membuat pemuda ini betah berlama-lama mengulum bibir yang ranum itu.

"Mmfffhhh ...," terdengar Indi mengerang, hendak mengatakan sesuatu, tetapi tak jelas karena mulutnya dipenuhi lidah Joe yang menjalar-jalar menimbulkan kenikmatan.

"Mmmhhhh...," desah Indi semakin gelisah.

Joe mengurangi cumbuannya, melepas pagutannya. Muka keduanya sangat dekat, dan pemuda itu bisa melihat dengan jelas mata Indi berbinar seperti bintang kejora. Nafasnya deras menyerbu muka Joe.

"Jangan di sini, Kak Joe..," bisik Indi, "Sebentar lagi ronda akan lewat..."
"Ke kamarku?" bisik Joe, memandang lekat kedua mata Indi.
Letak kamar Joe di sisi jalan. Jadi, kalau mereka mengendap diam-diam, dan masuk lewat jendela di sebelah tembok yang membatasi rumah dengan jalan,....

"Aku ingin sekali, Kak .... Tapi ...." Indi tampak ragu.

"Tidak usah lama-lama ..." ucap Joe, agak terdengar mendesak, karena entah kenapa malam ini tubuh Joe terasa begitu membara dan sangat ingin melampiaskan birahi.

Indi membalas pandangan Joe, mencari-cari kepastian dari kedua matanya. Gadis ini memang suka menggoda Joe, karena sesungguhnyalah ia yang menyukai pemuda itu. Tetapi, dihadapkan pada pilihan menarik yang penuh risiko ini, hatinya bimbang juga.

"Kak Joe yakin tidak akan apa-apa?" bisik Indi, sementara tangannya yang masih memeluk leher Joe terasa agak bergetar.
Joe mengangguk. "Asal kita berdua hati-hati .... Oke?" ucapnya dengan suara serak. Degup jantung pemuda ini sangat kencang, karena ia pun sebenarnya kuatir.

Akhirnya Indi mengangguk, lalu membiarkan tangannya dituntun Joe. Berdua mereka mengendap masuk ke halaman rumah kost. Pintu gerbang dibuka Joe dengan hati-hati, agar deritnya tidak terlalu keras. Setelah mengintip ke arah rumah Indi, dan melihat ayahnya masih asyik menekuni papan catur, Joe menarik gadis itu menyelinap ke balik tembok. Lalu mereka berjalan menyusur dalam gelap, sampai di bawah jendela kamar Joe yang terletak dekat dapur.

"Tunggu di sini, ya... Aku buka jendela dari dalam" bisik Joe sambil mengecup pipi Indi. Gadis itu mengangguk dan memepetkan tubuhnya ke tembok rumah.Joe bergegas masuk ke dalam rumah lewat dapur. Dilihatnya ruang tengah sudah gelap. Ibu kos mungkin sudah tidur. Joe merasa agak lega. Dengan berjingkat, buru-buru ia masuk ke kamarnya, lalu mengunci pintu. Kemudian, tanpa menyalakan lampu, dengan sigap ia membuka jendela, yang letaknya kira-kira satu setengah meter di atas permukaan tanah.
Indi menjulurkan tangannya ke atas. Joe menggenggam erat pergelangan tangan gadis itu, lalu ..... hup .... Sekuat tenaga ia menarik Indi ke atas. Gadis itu pun dengan cekatan meringankan beban Joe; kedua kakinya sigap mendaki tembok. Tanpa susah payah, ia akhirnya berhasil masuk ke kamar Joe.

Cepat-cepat Joe menutup jendela, sementara Indi duduk di dipan sambil melepas sepatu dan kaos kakinya. Diam-diam pula, tanpa sepengetahuan Joe yang sedang sibuk mengunci jendela, gadis ini meloloskan celana dalamnya dan meletakkannya di bawah bantal. Joe langsung duduk di samping Indi setelah selesai mengunci jendela. Lampu kamar tetap dimatikan, dan radio dinyalakan untuk menyembunyikan suara percumbuan mereka. Lalu, Joe memeluk gadis itu dan menciuminya lagi. Indi pun menyambutnya dengan sukacita, kembali menikmati kecupan, kuluman, dan jilatan lidah pemuda pujaannya.

Joe mendorong tubuh Indi perlahan sehingga rebah di kasur, sementara kedua kaki gadis itu tetap menjuntai di pinggir dipan. Sambil mencium dan mengulum bibirnya yang ranum itu, tangan Joe mulai membuka baju Indi. Dalam hati Joe heran sendiri, mengapa permainan cinta ini lancar sekali. Padahal baru kali ini ia berbuat begitu jauh dengan Indi. Mungkin memang naluri keduanya sudah sejalan, dan selama ini dipendam, kini keluar tak terbendung. Indi bahkan membantu Joe, dengan tangan bergetar ia membuka sendiri kancing-kancing baju yang belum terbuka. Lalu, ia membuka sendiri behanya dengan melepas kait yang terletak di depan. Kedua dadanya yang ranum menantang itu segera terpampang bebas. Tangan Joe yang hangat dan agak berkeringat itu segera pula meremas gemas.

"Aaaaaah ...!" Indi menjerit manja.

Joe sempat terkaget mendengar jeritnya, lalu segera membungkam mulut gadis itu dengan mulutnya, sehingga akhirnya Indi cuma mengeluarkan suara "mmmmmmm..." yang tidak jelas.

Dengan jempol dan telunjuknya, Joe meraba-raba puting Indi. Oh, cepat sekali tonjolan kenyal yang panas itu menjadi tegak dan keras. Indi menggelinjang, merasakan sergapan rasa geli yang sangat nikmat memenuhi dadanya. Mulutnya yang dibungkam mulut Joe mengerang pelan. Satu tangannya memeluk leher Joe erat-erat, sementara satu tangan yang lain memegangi tangan Joe yang ada di dadanya. Indi ingin tahu apa yang dikerjakan tangan itu di dadanya,... ingin tahu mengapa tangan itu bisa menciptakan sebuah rasa nikmat luar biasa di tubuhnya.

Dengan telapak tangannya, Joe menekan puting Indi hingga melesak. Lalu, ia memutar-mutar tangan itu, sehingga payudara Indi seperti dipilin-pilin. Gadis itu menggelinjang kuat-kuat, merasakan betapa tekanan dan putaran tangan Joe seperti menimbulkan percikan-percikan listrik di seluruh tubuhnya. Gadis itu mengerang lagi, menggelinjang lagi, gelisah sekali.

Lalu Joe melepaskan ciumannya, dan dengan cepat menurunkan mukanya. Indi mendesah, menunggu dengan cemas, apa gerangan yang akan dilakukan pemuda itu. Jangan dikira gadis ini tidak pernah bercumbu, karena ia pernah punya pacar yang diputuskannya setahun lalu. Tetapi pacarnya itu cuma bisa mencium dan meraba-raba dadanya dengan kasar. Lain sekali dengan Joe yang lembut walau tak kalah liarnya. Pacarnya dulu ingin segera meraba-raba selangkangan, dan ingin agar Indi meremas-remas kejantanannya. Egois sekali.

Joe sepertinya tak begitu, pikir Indi, sambil menunggu perjalanan bibir pemuda itu. Mula-mula dirasakannya Joe menciumi lehernya. Hmm,... geli dan gatal sekali rasanya. Indi menggelinjang dan mengerang lagi. Ia merasakan tubuhnya seperti mau meledak oleh rasa geli yang nikmat. Seluruh dadanya terasa menggelembung dan penuh oleh getaran-getaran kecil yang pelan-pelan merambat ke seluruh permukaan badannya. Bersamaan dengan itu, ia merasakan temperatur tubuhnya naik dengan cepat, seperti sehabis dipanggang di terik matahari.

Lalu,... Ooooooh! .... Indi mengerang dengan suara tertahan ketika bibir Joe akhirnya tiba di puncak salah satu payudaranya. Punggung Indi terangkat dengan sendirinya, lalu tubuhnya miring ke arah mulut Joe yang kini sudah sepenuhnya berisi puting Indi. Akibat gerakan ini, hampir setengah dari payudara Indi menerobos masuk ke mulut Joe, membuat pemuda itu sejenak gelagapan. Cepat-cepat Joe menarik tubuhnya, mengendorkan pelukannya. Tetapi secepat itu pula tangan Indi meraih leher pemuda itu, menekan kepalanya kembali ke payudaranya!

"Aaaah,... Uuuuuh!" Indi mengerang-erang tidak karuan, merasakan untuk pertama kalinya betapa nikmat jika seorang pemuda menghisap-hisap ujung payudaranya.

Dari ujung yang sensitif itu datang serbuan-serbuan rasa geli-gatal yang sangat kuat. Apalagi kemudian Joe memainkan lidahnya sambil menyedot-nyedot puting itu. Wow! ... Indi bagai tersengat listrik yang menimbulkan gelombang-gelombang besar di tubuhnya. Membuat Indi tiba-tiba menggelepar seperti ikan terlempar ke atas pasir. Tubuhnya melenting, ... lalu bergetar hebat, .... terhempas lagi ke kasur, ...... miring ke kiri, lalu ke kanan, ..... lalu terlonjak, lalu terhempas lagi ...

"Nnggghhh...," Indi mengerang.

Joe kelabakan berusaha menekan tubuh gadis itu agar tetap terlentang di kasur. Tetapi tenaga Indi tiba-tiba menjadi berlipat ganda, dan akhirnya Joe terlempar ke luar ranjang!
"Aduh!" jerit Joe karena kepalanya terbentur kaki meja di sebelah ranjang.
"Oh! ... Maaf, Kak!" jerit Indi terkejut.

Tiba-tiba ia sadar dari buaian birahi, dan terduduk di pinggir ranjang, melihat Joe terjerembab di lantai. Kedua tangannya mendekap dadanya yang tampak turun naik dengan cepatnya. Masih ada rasa geli-gatal di sekujur payudaranya.
Joe bangkit sambil mengusap-usap kepalanya. Indi tiba-tiba tertawa tertahan, merasa geli melihat samar-samar dalam gelap pemuda itu menggerutu dengan muka lucu. "Hi.. hi..hi.., maaf Kak ... Indi ngga sengaja, lho!" katanya sambil menutup mulut dengan punggung tangan.

"Ssst.. jangan terlalu berisik!" bisik Joe sambil kembali ke ranjang.
Indi segera menahan tawanya. Ia lalu memeluk leher Joe manja, sambil berbisik "Habis, ... enak, sih!".

"Belum pernah, ya?" ucap Joe perlahan sambil menatap kedua mata gadis itu lekat-lekat.

Indi menggeleng. Lalu menyembunyikan kepalanya di leher Joe. Nafasnya masih agak menderu. Kedua tangannya merengkuh leher pemuda itu erat-erat, seperti tak hendak melepaskannya lagi.
Joe mengusap-usap punggung gadis itu, yang kini sudah telanjang separuh badan. Ia berbisik, "Kamu suka?"

"Suka sekali ....," desah Indi sambil mengangkat mukanya,

mencari-cari bibir Joe dengan bibirnya. Pemuda itu membiarkan bibirnya dikulum dengan gemas. Harum sekali nafas Indi, ucap Joe dalam hati. Odol apa yang dipakainya?

Indi melepaskan ciumannya, lalu berbisik, "Aku mau lagi, Kak..."

Lalu ia merebahkan diri pelan-pelan, menarik tubuh pemuda itu bersamanya. Joe membiarkan dirinya terbawa turun. Lalu ia menciumi lagi leher jenjang Indi, menghirup wangi sabun mandinya yang segar seperti harum bayi. Lalu ia mengecup-ngecup pangkal leher itu, menggigit-gigit kecil bahunya yang halus mulus. Indi mengerang lagi. Indi menggeliat lagi.

Lalu Joe menciumi seluruh permukaan dada gadis itu. Membenamkan mukanya di antara kedua payudaranya yang membukit indah itu. Sebentar kemudian mulutnya sudah kembali ke salah satu puncak payudara yang menantang itu....

Dan Indi pun langsung terbuai ke alam penuh nikmat yang seperti angin kencang membawanya terbang. Dirasakannya mulut Joe yang hangat mengurung putingnya, membuatnya menjadi tegang dan tegak. Ujung puting itu seperti menjadi sumber bagi sebuah sungai surgawi yang mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Indi mengerang ketika ujung lidah Joe bermain-main di ujung putingnya. Oh..., rasanya seperti ditarik-tarik ke sebuah pusaran birahi yang siap menelan seluruh tubuhnya.

Apalagi kemudian Joe menelusuri pangkal puting itu dengan lidahnya,... berputar ... berputar ... pelan dan penuh perasaan. Aaaah..., Indi menggeliat-geliat seperti ulat hendak berubah menjadi kupu-kupu. Nafasnya memburu sangat keras. Tangannya meremas punggung Joe. Kedua kakinya mengejang. Punggungnya mulai melenting lagi.

Lalu tangan Joe sudah merayap ke bawah, menyingkap rok Indi yang sebenarnya sudah tersingkap setengahnya. Telapak tangan Joe mengusap-usap paha gadis itu, merasakan betapa lembut dan licin kulit di bagian sana. Indi mengerang dan mendesah, dan tanpa sadar memperlebar jarak kedua kakinya, mengundang tangan Joe untuk naik lebih ke atas lagi. Dan tangan Joe pun perlahan merambat ke atas .... membuat darah Indi berdesir berpuluh-puluh kali lebih cepat. Membuatnya merinding, membangkitkan seluruh bulu di tubuhnya yang sudah mulai berkeringat. Oh ... lama sekali rasanya tangan itu merayap ke atas. Lama sekali .....

"Hei!" tiba-tiba Joe terperanjat. Menghentikan perabaannya. Pemuda itu menegakkan tubuhnya. Indi tersentak bagai terbangun dari mimpi panjang.

"Ah... ada... apa?" Indi ikut terperanjat dan tergagap. Ikut bangkit dari kasur.

"Kamu tidak memakai celana dalam?" desis Joe, antara kaget dan marah.

Ia merasa Indi terlalu berani dan perasaan itu mengganggu pikirannya. Ia tidak menyangka gadis itu begitu cepat mau melepas celana dalamnya, dan sebetulnya ia tidak ingin lebih jauh dari meraba-raba di luar saja.

"Kenapa?" bisik Indi bergetar. Ia sendiri juga kaget mendengar nada marah di suara Joe.

"Kenapa kamu melepaskannya?" sergah Joe, menahan suaranya agar tidak terlalu keras.

"Supaya ...., mmm .... Supaya lebih mudah," bisik Indi semakin bergetar.
Tiba-tiba ia ingin menangis. Apa salahku, bukankah biasanya pemuda ingin meraba-raba di daerah sana, bukankah ....

"Tapi itu berbahaya, Indi!" sergah Joe lagi.

Tiba-tiba saja pemuda ini sadar bahwa yang dihadapinya adalah anak SMA, dan situasinya kini berbeda dengan saat Joe berpacaran dengan Yuli. Saat itu keduanya sama-sama "buta". Kini, Joe merasa seharusnya lebih tahu daripada Indi, dan perasaan itu membuat pemuda ini diterkam rasa bersalah.

Lalu Indi menangis, menyembunyikan mukanya di kedua telapak tangannya. Di antara sedu-sedan yang tertahan, ia berbisik nyaris tak terdengar, "Kak Joe jahat!"

Joe menghela nafas panjang dan melepaskannya dalam desah yang keras. Bubar sudah percumbuan mereka yang hangat itu. Joe kini merasa sangat-sangat-sangat bersalah. Ia yang lebih dulu mengajak gadis ini masuk ke kamar. Kini ia menyalahkan gadis itu, hanya karena ia tidak menyangka bahwa gadis itu sangat berani mengambil risiko. Joe mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

"Maafkan aku, Indi. ...Sudahlah, hentikan tangismu!" ucap Joe pelan sambil meraih beha dan baju Indi, mencoba mengenakannya ke tubuhnya yang telanjang. Indi menolak dengan kasar, lalu memakai sendiri pakaiannya sambil menahan sedu-sedan. Joe mencoba memeluk bahu gadis itu, tetapi Indi terus menghindar sampai ke pojok ranjang. "Aku mau pulang!" bisiknya keras-keras.
"Baiklah. Tetapi jangan marah, dong. Aku minta maaf, Indi." Ujar Joe sungguh-sungguh.

Tetapi Indi seperti tak mau mendengar kata-katanya. Berkali-kali ia mengatakan "Kak Joe jahat.."

Indi baru mau dibimbing Joe ketika pemuda itu membuka pintu kamar. Ia memutuskan untuk mengeluarkan Indi lewat jalan "normal", tidak lewat jendela. Toh, ibu kost sudah tidur dan takkan melihat mereka berdua keluar sambil berjingkat-jingkat. Indi berusaha keras menahan sedu-sedannya yang masih tersisa. Joe memeluk bahu gadis itu, merasa sangat bersalah dan sangat bertanggung jawab.

Indi akhirnya bisa pulang dengan selamat, karena ayahnya ternyata sudah tidur dan menyangka gadis itu masih di kamarnya. Untung pula Indi sudah membawa kunci cadangan. Ia bisa masuk dengan leluasa, tanpa menengok kembali ke Joe yang terpaku di pintu pagar dengan mata penuh penyesalan.

********
Affair pendek dengan Indi itu adalah sebuah bencana bagi Joe. Cukup lama pemuda ini tenggelam dalam penyesalan, dan cukup lama Indi menghindar darinya secara terang-terangan. Bahkan dengan tingkahnya yang centil, Indi membawa seorang teman prianya, sengaja menunjukkan ke Joe betapa ia sudah punya pengganti.
Walaupun terlihat jelas pula oleh Joe, semua itu adalah sandiwara belaka. Tak urung, terpukul juga pemuda ini diberlakukan begitu oleh gadis yang dulunya seperti tak pernah berhenti menggodanya.

Lebih menambah sengsara lagi adalah reaksi Tigor, sahabatnya sesama pendaki. Pemuda yang hobinya ngebut itu tertawa terbahak-bahak ketika Joe menceritakan "kecelakaan"-nya dengan Indi. Kata Tigor, tolol sekali Joe sampai membiarkan peluang bercinta seperti itu berlalu tanpa ejakulasi. Agak kasar, memang, cara teman yang satu ini berbicara. Tetapi Tigor selalu terus terang, dan walaupun kadang-kadang Joe ingin meninjunya, pada akhirnya ia selalu merasa bersyukur punya teman seperti itu.

"Kamu sok suci, Joe. Kenapa harus kaget melihat gadis itu tak bercelana dalam. Itu, kan, sudah biasa di jaman sekarang!" ujar Tigor dengan suaranya yang keras dan bernada bariton. Untung mereka berada di pinggir tanah lapang yang agak sepi.
"Tapi, dia seperti mau menjebakku. Bagaimana kalau aku terjebak melakukan yang ..... ," ucapan Joe tak berlanjut.

"Melakukan apa? Hayo, melakukan apa, Joe?" potong Tigor tak sabar.
"Melakukan itu .....," ucap Joe terbata, "... Melakukan hubungan suami istri!"

Tigor tertawa terbahak-bahak. Joe melongo, heran mengapa pemuda itu tertawa.

Apa yang lucu?

"Bagaimana kau bisa begitu naif, Joe!" sergah Tigor, "Kau sendiri rupanya yang berpikiran terlalu jauh. Darimana kau bisa tahu bahwa Indi menginginkan hubungan suami istri? Darimana kau tahu bahwa kalau buka celana itu artinya kau harus menyetubuhinya?"
Joe melihat ke sekeliling. Suara temannya ini sangat keras, dan pasti akan terdengar dari jarak 10 meter. Untung tidak ada orang di sekitar mereka, dan suara kendaraan di jalan raya di depan tanah lapang terdengar lebih keras dari suara mereka berdua.
"Tetapi, bukankah gadis itu ingin aku melakukannya? Kalau tidak, buat apa dia buka celana dalamnya?" Joe mencoba membela diri.
Tigor menepuk-nepuk bahu Joe, seperti layaknya seorang ayah. Joe tidak suka diperlakukan seperti anak kecil, tetapi kali ini ia menyerah saja. Ia berharap Tigor punya solusi untuk problemnya.
"Kau tidak harus menyetubuhinya, kawan. Dia pun tak selalu perlu 'anu'-mu untuk bisa mendapat kepuasan. Kenapa kau selalu mengarah ke persetubuhan? Kenapa tidak saling mengelus dan meremas saja?" ucap Tigor serius, lalu disambung derai tawanya melihat Joe melongo.

Lalu Joe teringat semua pengalaman seksualnya selama ini. Memang, ia tidak pernah benar-benar 'melakukannya'. Ia hanya punya pengalaman saling meremas dan mengelus, walau dengan Yuli ia nyaris masuk ke persetubuhan yang sesungguhnya. Betul juga Tigor, pikir Joe, kenapa ia harus selalu berpikir tentang persetubuhan setiap kali terlibat dengan seorang gadis? Apakah aku terlalu berorientasi ke sana? Apakah aku maniak? ... aneka pertanyaan itu berkecamuk di kepala Joe.

Tigor akhirnya iba juga melihat sahabatnya agak tertunduk dan terdiam. Pemuda ini mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkan sebatang, yang disambut Joe dengan agak enggan. Ia sebetulnya tak suka merokok, tetapi kali ini ia rasanya perlu juga memenuhi paru-parunya dengan nikotin. Mereka berdua pun lalu diam menikmati asap rokok masing-masing, duduk berdampingan di akar sebuah pohon besar yang rindang.

"Apakah kamu pernah melakukannya, Tigor?" tanya Joe

"Pernah!" jawab Tigor pendek.

"Dengan pacarmu?" tanya Joe lagi.

Tigor menggeleng, lalu berkata, "Dengan kakak seorang temanku,

ketika aku masih SMA di kota M.."

"Bagaimana rasanya?" desak Joe.

Tigor tertawa pelan, "Tidak enak! Aku waktu itu mabuk minum bir, dan dia tidak punya pengalaman sama sekali. Kami berdua serba tergesa. Cuma 2 atau 3 menit aku sudah keluar...," katanya.
"Lalu ....," desak Joe lagi.

"Kami mencoba lagi yang kedua kali, tetapi malah gagal total." jawab Tigor, "Sejak itu hubungan kami memburuk, dan aku tak pernah berjumpa lagi dengannya."

Joe terdiam. Teringat pengalaman pertamanya dengan Mba Dwi. Mungkin Tigor juga merasakan hal yang sama; mereka berdua tak kan pernah bisa melupakan pengalaman-pengalaman pertama itu. Walaupun pengalaman itu jauh dari indah, jauh dari kehebatan cerita-cerita sensual yang biasa dipertukarkan antar anak laki-laki di kampus.

Keduanya lalu terdiam, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Angin senja mulai bertiup, membawa kesejukan. Matahari mulai condong ke barat, cahayanya mulai memerah, semburat di langit yang mulai menggelap. Lama kemudian, keduanya bangkit menuju motor Tigor yang disandarkan di sebuah pohon. Lalu, dengan suara berisik, Tigor memacu kendaraan kesayangannya. Joe berpegangan erat di pinggang sahabatnya. Rambut keduanya berkibaran diterpa angin.

********
Pada suatu pagi, ketika Joe sedang menuju tempat menunggu angkot, ia bertemu Indi. Gadis itu menunduk, dan mencoba menghindar. Tetapi Joe terlalu cepat mendekat, sehingga akhirnya mereka berdiri berhadapan. Indi tetap menunduk, memainkan sebuah batu kecil dengan ujung sepatunya.

"Masih marah?" tanya Joe pelan.

Indi menggeleng. Tetap menunduk dan memainkan batu dengan ujung sepatunya.

"Maaf," kata Joe, lalu disentuhnya bahu Indi dengan ringan. Sebetulnya ia ingin meremas bahu itu, ingin menegaskan kesungguhan permintaan maafnya. Tetapi banyak orang lain di sekeliling mereka, dan Joe takut Indi malah menjerit membuat onar.
"OK," ucap Indi pelan sekali, nyaris tak terdengar.

Lalu Joe menjauh, sambil membisikkan, "OK, .. sampai ketemu lagi."
Indi mengangkat muka sebentar. Tersenyum tipis sekali. Lalu menunduk lagi dan berjalan ke arah yang berlawanan. Dengan cepat jarak antara keduanya melebar, ... terus melebar ... ,

sampai akhirnya Indi hilang di tikungan. Joe berdiri termangu di dekat sebuah warung rokok, menunggu angkot berikutnya. Angannya melayang. Hatinya gundah. Ia merasa segala sesuatunya serba salah. Ia merasa Indi justru lebih dewasa darinya. Ia merasa terlalu cepat menuduh Indi yang bukan-bukan, padahal mungkin dirinya lah yang terlalu bukan-bukan; terlalu cepat mengambil kesimpulan; terlalu cepat menuduh; terlalu ....

Sebuah klakson mobil membuat Joe tersentak dari lamunannya. Terlebih-lebih lagi, suara seorang anak kecil yang menyusul klakson itu! Suara Ria!

"Oom Kucing!" jerit Ria dengan suaranya yang renyai. Joe tiba-tiba merasakan pagi ini berubah indah sekali.

"Hai, Ria!" sahut Joe sambil bergegas mendekati mobil Honda Civic yang menepi itu.

"Ayo masuk!" suara lain terdengar dari dalam mobil. Suara bidadari itu! Jantung Joe seperti melonjak hendak keluar dari dadanya. Buru-buru pemuda itu membuka pintu belakang, tanpa pura-pura tidak mau lagi. Buru-buru ia masuk ke dalam, lupa mengucap salam. Lupa mengatakan apa-apa. Jantungnya terlalu cepat berdebur, sehingga ia susah berbicara.

"Apa kabar?" si bidadari bertanya sambil menebar senyumnya yang mempesona.

Duh, Joe mau pingsan rasanya. Dengan gugup ia berucap, "B..b..baik."
"Oom! Lia cekalang punya kucing benelan ... Kucing benelan, lho!", celoteh Ria ramai, langsung menengok ke belakang dari tempat duduknya di depan.

Lalu mobil melaju. Joe kembali merasa duduk di kereta kencana yang ditarik kuda-kuda terbang. Harum interior mobil kembali menyergap hidungnya, membuat perasaannya tambah tinggi terbang. Segalanya tiba-tiba menjadi begitu indah belaka. Hilang sudah gundah. Hilang sudah risau. Selamat tinggal gelisah.

"Lama tidak berjumpa, ya?!" tegur sang bidadari memotong celoteh Ria yang ramai. Matanya yang berbinar indah itu melirik ke arah Joe lewat kaca spion.

"Ya..ya.. lama juga, ya!" sahut Joe masih gugup.

Si bidadari tersenyum simpul, tetap melirik dari kaca spion karena mobil sedang tertahan di sebuah lampu merah.

"Bagaimana kuliahnya?" si bidadari bertanya lagi. Menatap lagi dengan sinar mata yang bak pelangi bertaburan bunga-bunga. Tersenyum lagi dengan kejelitaan dewi yang baru turun mandi dari khayangan. Uh! Joe sungguh terpesona dibuatnya.

"Baru selesai ujian," jawab Joe, lalu dia teringat kesalahannya di masa lampau, dan sebelum lupa, ia segera bertanya,

"Maaf ... nama saya Joe, ... nama bida ... maksud saya nama Mbak siapa?" Uh! hampir saja ia mengatakan "nama bidadari"!
"Panggil saya Tris," ucap sang bidadari sambil mengalihkan pandangan ke jalan. Mobil melaju lagi karena lampu telah hijau.
Lalu percakapan mulai lancar, diselingi celoteh Ria yang ramai tentang kucingnya yang kini bernama si Empus. Joe merasa lega bahwa kini ia tahu nama bidadari itu, dan tahu bahwa wanita itu bukan bidadari!

Tris ... Tris ... Tris ..., nama itu terus terngiang di kepala Joe sampai ia turun di depan kampus. Kependekan dari Tristantia .... oh, nama yang indah sekali. Seindah lentik bulu matanya. Seindah senyum simpulnya. Seindah gemulai rambutnya. Seindah ....

"Hmmm ... mobilnya sudah keluar dari bengkel, ya!" sebuah suara yang sangat dikenal Joe tiba-tiba mengagetkan pemuda itu. Rima sudah berdiri di belakangnya, ikut memandang mobil Tris menghilang di kejauhan.Joe tidak memperdulikan godaan Rima. Ia membalik, memeluk bahu sahabat tomboy-nya itu, dan merengkuhnya untuk bersama masuk ke kampus. Rima dengan senang hati mengikuti ayunan langkah Joe. Berdua mereka masuk seperti sepasang sahabat sejati. Ah, tapi mereka memang sahabat sejati, bukan?

"Tris ..," bisik Joe sambil berjalan.

"Heh?! ... kamu bilang apa?" sergah Rima sambil menoleh.

"Tidak apa-apa. Aku cuma mendesis!" sahut Joe berbohong.
Rima mengernyitkan kening. Aneh sekali pemuda ini, pikirnya. Apalagi kemudian Joe tampak menepuk dahinya sendiri. Pemuda itu masih lupa satu hal: di mana Tris tinggal?

Pertemuan Tak Terduga dan Kembalinya Indi

Sore itu cerah dan sejuk sekali di kota B; langit tampak terang tetapi angin dingin berhembus membelai pucuk-pucuk pohon besar yang memenuhi kampus. Sambil bersiul-siul sembarangan, Joe meninggalkan ruang kelas, menuju gerbang utama untuk pulang. Tigor dan Ridwan punya acara tersendiri, sementara Rima tidak masuk hari ini karena flu. Joe pun malas pulang ke tempat kostnya, dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pertokoan pusat kota sendirian, sekedar melihat-lihat pajangan di toko, atau mungkin membeli kaset kalau ada yang bagus. Senang juga rasanya sesekali berjalan sendirian, tidak terikat teman dan tidak punya tujuan jelas. Joe seakan-akan membiarkan kakinya melangkah tanpa perintah otaknya. Mulanya ia menyusuri toko-toko di pinggir jalan yang berjualan kain, pakaian dan perlengkapan rumah tangga. Sesekali ia berhenti, melihat ada obral jeans, tetapi tidak membeli karena toh masih juga mahal. Kemudian ia masuk ke sebuah mall, membiarkan tubuhnya dibawa lift ke lantai 5, tempat kebanyakan toko musik berada. Di sini dia berlama-lama, melihat-lihat kaset terbaru, tetapi memutuskan untuk tidak membeli.

Lalu ia turun ke lantai dua, tempat sebuah pasar swalayan menggelar barang dagangan mereka seantero lantai. Joe sendiri tidak tahu, untuk apa ia ke sini, karena ia memang tidak bermaksud membeli apa-apa. Atau mungkin membeli minuman ringan, pikir Joe sambil berjalan menuju rak minuman.

Seketika itulah, saat Joe membelok ke gang nomor 5 yang penuh berisi jejeran minuman, dia baru tahu kenapa kakinya melangkah ke swalayan ini. Kakinya ternyata lebih punya insting dibandingkan otaknya. Kakinya ternyata lebih cerdas daripada kepalanya, dan tidak pelu malu kalau ada yang mengatakan "otakmu di dengkul", bukan? Karena kini di depannya, tidak lebih dari 5 langkah darinya, berdiri Tris, sang bidadari itu! Joe sejenak menghentikan langkah, merasakan jantungnya berdegup keras sekali.

Tris yang sedang memilih-milih minuman sendirian (mungkin Ria menunggu di rumah) segera menengok karena merasa ada orang yang memandangnya.

"Hai!" sapa sang bidadari itu ringan sambil melepas senyumnya yang mempesona, sambil menembakkan sinar matanya yang melebihi tajam sinar laser dalam robot-robot di film Spielberg, sambil mengibas rambutnya dalam gerakan indah seperti penari khayangan itu, sambil...

"Kenapa bengong seperti itu?" ucap Tris sambil memutar tubuh menghadap Joe. Senyumnya masih berkembang seakan-akan tersenyum adalah bagian dari gaya hidupnya. Joe gelagapan, menyahut sekenanya. Entah apa yang diucapkan, dia sendiri tidak tahu. Kata-kata keluar begitu saja dari mulutnya, dan Joe mengeluh dalam hati, mengapa sekarang semua anggota badanku bergerak sendiri-sendiri. Kakiku melangkah sendiri, kini mulutku juga bertindak serupa. Jantungku apalagi, berdegup cepat tak terkendali.

"Oh, begitu!" sahut Tris sambil tertawa kecil. Ah, Joe mengeluh lagi dalam hati. Apa yang tadi kuucapkan sehingga ia tertawa. Pastilah sesuatu yang konyol!

"Sedang apa?" akhirnya Joe berhasil mengeluarkan kata-kata yang dia kenali artinya.

"Mencari minuman untuk pesta ulang tahun Ria," kata Tris sambil mulai kembali mengamati jajaran rak di depannya. Joe melangkah mendekat, berdiri di samping kereta belanjaan yang tampak penuh oleh makanan kecil dan permen coklat.

"Ulang tahun ke berapa?" tanya Joe, tak tahu musti bertanya apa lagi.

"Lima," jawab Tris, membuat otak Joe tiba-tiba berhitung cepat. Kalau Ria berusia lima, berapa usia bidadari ini sebagai ibunya? Mungkin 25, mungkin 30, mungkin 40 ... ah, tak mungkin 40. Tak mungkin juga 30.

"Mau beli apa?" tanya Tris.

"Tigapuluh ..," jawab Joe kembali gelagapan. Tris menoleh dengan tolehannya yang mempesona itu, memandang Joe dengan matanya yang indah itu, dengan dahi berkerenyit. Joe tiba-tiba sadar akan kelancangan mulutnya yang kembali memberontak dari otaknya itu.

Tris tertawa renyai, "Apa yang tigapuluh?" tanyanya masih dengan dahi berkerenyit. "Tigapuluh botol minuman," ucap Joe sekenanya, "Maksudku, aku sedang berpikir untuk membeli tigapuluh botol minuman..."

Tris menghentikan tawanya, Joe mengeluh dalam hati duh, janganlah berhenti tertawa!

"Buat apa minuman sebanyak itu?" tanya Tris.

"Aku ...," Joe gelagapan lagi, "Aku tidak bermaksud membeli... Aku baru berpikir untuk membeli."

Dan Tris tertawa kecil lagi, dan Joe bersukacita lagi mendengar tawa kecil yang merdu itu, "Kamu terlalu banyak berpikir," kata Tris sambil mengambil beberapa botol minuman beraroma jeruk.
"Bisa aku bantu?" cepat-cepat Joe mengalihkan topik. Dia malu sekali.
Tris tersenyum. Dalam hati, ia berpikir pemuda di sampingnya ini sungguh lucu. Tetapi ia menarik juga. Wajahnya cakep dan air mukanya polos seperti bayi. Apalagi kalau sedang memerah karena malu. Terlebih lagi, pemuda ini kelihatannya baik, terutama karena berhasil menarik simpati Ria. Menurut pengalaman Tris, jarang pemuda bisa menarik simpati Ria yang bandel itu. Entah kenapa, pemuda ini lain.

"Boleh," jawab Tris, "Tolong ambilkan minuman yang di atas itu.

Aku tidak bisa menjangkaunya."

Dengan sigap Joe memenuhi permintaan bidadarinya. Ia lebih jangkung dari Tris, yang cuma setinggi kupingnya. Hm,.. entah kenapa Joe langsung berpikir tentang bagaimana harus berjalan di sampingnya, dan bagaimana cara terbaik untuk memeluk bahunya. Astaga, memeluk bahunya? Sergah Joe dalam hati, darimana pikiran itu datang. Duh, kini otakku juga memberontak!

Begitulah akhirnya, Joe mengiringi Tris berbelanja memenuhi kereta dorongnya dengan berbagai keperluan pesta. Pemuda ini bersyukur dalam hati. Bersyukur bahwa Ridwan dan Tigor punya kegiatan lain. Bahkan bersyukur Rima sakit flu... jahat sekali kamu Joe, sergah hati kecilnya. Terlebih-lebih, ia bersyukur pada kedua kakinya, yang dengan tanpa perintah telah membawanya ke pertemuan ini. Sebuah pertemuan ringan yang sangat berarti bagi Joe. Mengapa? Karena tiba-tiba Tris merasa haus.

"Aku mau minum es kelapa muda," ucap Tris ketika mereka sedang menunggu giliran membayar di kasir. Joe berdiri di belakang Tris, berdoa agar kasir bekerja selambat mungkin.

"Boleh aku ikut?" ucap Joe dengan keberanian yang menyebabkan lututnya agak sedikit lemas dan jantungnya berdegup keras. Bagaimana kalau ia menjawab "tidak"?

Tris tersenyum tanpa terlihat Joe. Dalam hati, ia mengagumi juga keberanian dan ketegasan pemuda yang tampaknya pemalu ini. Dalam hati pula ia bergumam, mungkin ada baiknya aku mengenal dia. Entah apa perlunya mengenal dia, tetapi entah apa perlunya pula menolak tawaran berteman. Pemuda ini tampaknya baik, pikir Tris, dan tentunya enak juga minum ditemani seseorang. Minimal ada yang mengangkat tas-tas plastik belanjaanku!

"Kamu suka kelapa muda?" jawab Tris tidak langsung meng-iya-kan permintaan Joe.

"Suka. Aku juga suka Jus alpokat. Atau es campur. Atau es dawet," sahut Joe dengan lancar. Apa pula maksudnya membuat daftar kesukaan seperti itu.

Tris tertawa kecil lagi dengan langgam dan lagu yang selalu mempesona Joe itu. Ah, hari terasa lebih indah dari biasanya. Tetapi rasanya cepat sekali giliran membayar tiba, dan cepat sekali kasir itu bekerja menghitung belanjaan Tris, lalu belanjaan Joe. Mengapa mereka harus cepat-cepat seperti itu, sergah Joe dalam hati. Pemuda ini masih ingin berdiri lama-lama di belakang Tris, dekat sekali sampai ia bisa mencium keharuman parfumnya yang lembut. Dekat sekali sampai ia bisa melihat samar-samar tengkuknya yang putih mulus dan bahunya yang tak tertutup, melengkung indah bagai patung marmer hasil pahatan maestro Italia.

*****
Warung tempat mereka minum tidaklah terlalu besar dan terletak di lantai dasar mall. Ada sebuah meja dengan dua kursi di dekat jendela kaca besar lewat mana Joe bisa memandangi keramaian di luar. Tris meneguk es kelapa muda dalam gelas besar, dan Joe memilih minuman ringan dingin tanpa es karena alpukat tidak ada dan dawet terlalu mengenyangkan.

"Bagaimana kabarnya Ria?" tanya Joe dengan kesungguhan ingin mendengar cerita tentang anak kecil yang lucu itu. Ini memang bukan basa-basi. Joe memang menyukai anak perempuan itu, seperti ia juga menyukai ibunya. Ah, betapa ganjil rasanya seorang mahasiswa menyukai seorang ibu beranak satu!

"Baik-baik saja," jawab Tris sambil memainkan sendok, "Tetapi tambah nakal dan tambah banyak permintaanya. Kemarin dia minta dibelikan bebek, katanya untuk ditaruh di bak mandi."

Joe tertawa, membayangkan betapa nakal dan cerdasnya permintaan itu. Ketika anak-anak lain meminta mainan atau permen, Ria justru meminta bebek. Sebentar lagi anak itu pasti akan meminta kuda poni atau beruang.

Lalu Tris bercerita panjang lebar tentang anak itu, dan Joe dengan senang hati mendengarkannya. Mulai dari kebiasaan buruk Ria menggigit ujung bajunya, sampai kesukaan Ria pada telur mata sapi yang disiram kecap manis, sampai ke kamarnya yang tidak pernah rapi. Joe terpesona, menopang dagu di tangannya, memandang bidadari di hadapannya berkicau ramai dengan penuh semangat. Terutama, Joe terpesona melihat muka Tris yang selalu tampak bercahaya-cahaya. Lebih dari sekali pemuda ini tidak menyimak satu pun kalimat Tris karena terpaku pada wajahnya.

Setelah beberapa lama bercerita, Tris pun sadar bahwa Joe tidak terlalu menyimak. Ia juga tiba-tiba malu sendiri karena memborong pembicaraan. Tetapi yang lebih membuatnya berkesan adalah cara pemuda di hadapannya ini memandang dirinya. Tris tahu, dirinya adalah seorang wanita yang menarik. Hidup telah mengajarinya, sejak kecil, bahwa ia lahir dengan kecantikan yang mempesona. Orang-orang di sekelilingnya telah menunjukkan padanya kekaguman yang terkadang berlebihan. Maka kalau Joe terpesona, Tris tak terlalu heran. Yang membuatnya berkesan justru adalah cara pemuda ini menyatakan kekagumannya. Pemuda ini mengungkapkannya dengan halus, menyembunyikannya di balik kegugupan dan kecanggungannya, membuat Tris merasa lebih dihargai.
"Kenapa kamu memandang seperti itu?" ucap Tris tiba-tiba di tengah ceritanya. Ia sengaja ingin "menembak" pemuda ini, ingin melihat reaksinya. Joe pun memperlihatkan reaksi alamiahnya.
"Eh ... ya.., aku," jawab Joe tergagap, "Apa?"

Tris tertawa lepas, tidak saja dengan mengeluarkan suaranya yang renyai merdu itu, tetapi juga dengan matanya yang berbinar, dengan bibirnya yang basah, dengan rambutnya yang tergerai lepas, dengan bahunya yang berguncang-guncang mempesona. Joe benar-benar tak sanggup berkata-kata berhadapan dengan mahluk yang sejak lama memenuhi mimpinya ini.

"Kamu terlalu sering bengong. Apakah di kampus mu ada mata kuliah bengongnya?" ucap Tris setelah berhasil menghentikan tawanya. Joe menunduk, merasakan mukanya terbakar. Sialan, sergahnya dalam hati, bidadari ini ternyata nakal juga.

"Dan kamu juga memandang saya seperti memandang mahluk angkasa luar," sambung Tris lagi sambil menahan tawa melihat Joe mati kutu seperti itu. Senang juga rasa hatinya menggoda pemuda cakep yang pemalu ini. Lagipula, ia diam-diam ingin menguji mental pemuda ini. Entah kenapa, banyak sekali yang ingin dilakukannya terhadap pemuda ini. Tris, bisik hati kecilnya, hati-hati lah dengan kesenanganmu. Tetapi kenapa musti hati-hati?

Joe akhirnya memberanikan diri memandang lurus ke mata Tris. Dia menghela nafas dalam-dalam, berharap agar jantungnya bisa berdetak lebih perlahan. Lalu ia menyusun kekuatan hati, sebelum akhirnya berucap pelan tetapi cukup jelas, "Kamu memang seperti bidadari."

"Apa?" kini giliran Tris yang terkejut. Pemuda ini punya keberanian juga rupanya!

Joe mengumpulkan lagi kekuatan hatinya, lalu berucap lebih keras, "Kamu seperti bidadari."

Tris menghentikan tawa dan senyumnya. Oh, bisiknya dalam hati, pemuda ini mengucapkan kalimat itu seperti sedang mengucapkan sumpah perkawinan. Pelan tetapi tegas. Lembut tetapi penuh kesungguhan. Nah, apa yang akan kau lakukan dengan pemuda ini, Tris! Sergah hati kecilnya. Kini sudah kau terima jawabannya, apa yang akan kau lakukan? Joe kuatir melihat Tris tiba-tiba diam dan mengubah tidak saja sinar mukanya tetapi juga duduknya. Kini bidadari itu tidak lagi duduk santai, melainkan menegakkan tubuhnya dan mencurahkan perhatian ke minumannya.

"Maaf," buru-buru Joe berucap hampir tak terdengar. Ia kuatir bahwa ucapannya terlalu lancang. Ya, memang tidak lumrah mengucapkan kata-kata seperti itu kepada seorang wanita yang sudah bersuami dan beranak satu, bukan?

Tris berdehem membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu ia tersenyum, merasa agak menyesal harus memulai permainan yang kini ternyata tidak begitu lucu itu. Ucapannya juga pelan nyaris tak terdengar, "Tidak apa-apa."
Lalu kecanggungan memenuhi mereka, dan Joe menyesal bersikap terlalu terus terang. Lihatlah apa yang kau lakukan Joe, kau merusak suasana dengan ucapan lancangmu itu. Hatinya penuh dengan makian-makian. Oh, pikir Joe risau, kini hatiku pun ikut berontak terhadap diriku.

Lalu minuman Tris habis tandas dan ia mengatakan sebaiknya ia pulang karena hari sudah mulai gelap. Joe tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk memperbaiki suasana. Dengan enggan ia bangkit, memaksa untuk membayar minuman tetapi gagal, karena Tris menolak dan menganjurkan untuk membayar sendiri-sendiri. Joe semakin risau dan menyimpulkan tindakan Tris itu sebagai reaksi atas kelancangannya.

Lalu mereka pun berpisah. Tris naik taksi dan bahkan tidak menawarkan kepada Joe untuk ikut serta. Pemuda ini semakin terpukul walaupun ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya dengan terus menerus tersenyum. Pastilah senyuman itu tidak bagus sama sekali. Tris melambai dari dalam taksinya. Dilihatnya Joe berdiri di trotoar memandang terus ke taksinya sampai taksi itu hilang di tikungan. Hmm, pikir Tris dalam hati, pemuda itu pasti menyangka aku marah. Sebuah senyum manis terkembang di bibirnya. Mungkin ada baiknya ia membiarkan pemuda itu berpikiran bahwa dirinya marah. Tris ingin tahu, apa yang akan dikerjakannya. Ah, kadang-kadang ia merasa dirinya terlalu sadis, suka mempermainkan perasaan orang.

"Mau kemana, non?" tiba-tiba ucapan supir taksi membuyarkan lamunan Tris. Astaga, taksi ini berjalan keluar dari pelataran parkir mall, tetapi tidak tahu hendak kemana. Tentu saja, Tris belum menyebutkan alamatnya. Maka buru-buru ia mengucapkan tujuan dan berbisik dalam hati, hei ... ternyata kamu sendiri juga terpikat pada pemuda itu. Sialan, sergah Tris dalam hati, kesimpulan itu terlalu cepat. Tetapi, hmmm .. bagaimana kalau kesimpulan itu benar?

**********
Malam itu Joe tidak bisa tidur sampai menjelang fajar. Ketika akhirnya ia tertidur, mimpinya pun menggelisahkan. Ia bermimpi didatangi seorang lelaki yang mengaku adalah suami Tris. Lelaki itu memperingatkan Joe agar jangan sekali lagi mendekati istrinya. Lebih celaka lagi, lelaki itu datang bersama Ria yang ikut-ikutan memarahinya. Anak kecil itu mengatakan bahwa ibunya tidak suka kepada Joe.

Joe terbangun dengan tubuh penuh keringat. Kepalanya juga terasa sangat berat karena tidurnya tidak cukup. Ia bangkit hendak menuju kamar mandi karena harus kuliah. Tetapi keinginan tersebut dibatalkannya. Ia kembali ke dipan dan meringkuk meneruskan tidurnya. Biarlah ia membolos sekali ini, besok akan meminjam saja catatan Tigor atau Ridwan.

Tengah hari baru ia terbangun dengan perut lapar. Ibu kost tampak kuatir melihat Joe keluar dari kamarnya dengan wajah kusut masai. Ibu itu bertanya apakah Joe sakit, dan pemuda itu menjawab bahwa ia cuma kurang tidur.

"Tetapi wajahmu seperti mayat hidup," ucap ibu kost yang baik hati itu.

"Mungkin karena saya lapar saja, bu," jawab Joe, membuat wanita tua itu langsung sibuk menyiapkan meja dan menuju dapur. Joe merasa tidak enak dibuatnya. Ibu ini terlalu baik. "Biarlah, bu. Saya bisa mengambil sendiri," ucapnya sambil menyusul ke dapur.

********
Sehabis makan siang, Joe memutuskan untuk membaca saja di kamar. Tetapi ketika ia sedang membersihkan dan membereskan tempat tidurnya, terdengar ketukan pelan di pintu. Joe yang sedang membelakangi pintu menyangka itu ibu kost, maka ia berucap tanpa menoleh, "Sayur lodehnya enak sekali, bu."

"Ini Indi, kak!" suara gadis itu terdengar nyaring bagai petir di siang bolong.

Joe hampir terlompat, membalikkan tubuhnya. Indi berdiri di ambang pintu, membentuk siluet berlatar belakang terik siang di luar sana. Joe memicingkan matanya, seakan ingin memastikan bahwa itu memang Indi.

"Kata Ibu kost, Kak Joe tidak kuliah dan ada di kamar," ucap Indi masih berdiri di ambang pintu, "Maaf kalau Indi mengganggu.." (tentu saja, ini bukan Indi yang biasanya. Sejak "peristiwa lompat jendela" beberapa waktu yang lalu, Indi tidak lagi centil dan bahkan terlalu sopan).

"Eh, Indi!" ucap Joe dengan rasa kaget yang orisinal, tidak dibuat-buat, "Tumben ke sini. Ayo masuk."

Dengan canggung Indi melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah buku dan sebuah pena. Pasti PR matematika, pikir Joe. Dan betul saja.

"Boleh tanya soal matematik, Kak?" ucap Indi dengan suara sedikit ragu-ragu, tidak seperti biasanya yang selalu manja. Ah, Joe sebenarnya ingin Indi kembali seperti semula. Tidak wajar rasanya mendengar suara Indi yang serba formal itu.

Joe tersenyum semanis mungkin dengan harap dapat mencairkan suasana. Lalu ia melangkah mendekat, meraih tangan Indi dan menuntunnya ke meja belajar dekat jendela. Indi menurut saja dan duduk sopan di bangku yang tersedia. Joe permisi sebentar keluar untuk mengambil kursi lain. Ketika pemuda ini kembali, Indi masih duduk diam-diam. Biasanya, gadis ini sudah bergulingan di dipannya!

Lalu Joe dengan sabar menuntun Indi menjawab 20 soal matematika di buku PR-nya. Tidak seperti biasanya, soal-soal ini memang benar-benar sulit. Artinya, Indi memang benar-benar memerlukan bantuan, bukan sekedar mengganggunya. Dalam hati Joe tersenyum, merasa senang bahwa akhirnya hubungan mereka membaik kembali.

"Boleh Indi tanya sesuatu, kak?" kata Indi ketika soal terakhir sudah selesai. Buku PR sudah ditutup.

"Boleh," jawab Joe pendek sambil membersihkan bekas-bekas rautan pensil yang tadi dipakainya untuk mencoret-coret jawaban.
"Kenapa waktu itu Kak Joe marah?" tanya Indi dengan suara pelan. Terlalu pelan untuk gadis yang biasanya centil itu.
Joe terdiam. Sungguh ia tidak berharap Indi bertanya tentang soal yang satu itu. Ia sendiri sampai sekarang belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi malam itu. Tetapi Joe juga lega karena akhirnya ia punya kesempatan untuk mendiskusikan hal ini dengan Indi.

"Aku juga tidak tahu, Indi," jawab Joe akhirnya, terus terang dan apa adanya.

Indi mengangkat mukanya, menggigit bibirnya yang ranum seperti sedang berusaha menahan sesuatu. Matanya yang sebenarnya memang indah itu tampak agak basah. Ah, jangan itu lagi Indi. Jangan menangis lagi. Sergah Joe dalam hati.

"Aku sudah minta maaf, bukan?" ucap Joe buru-buru.

"Indi juga minta maaf," ucap gadis itu pelan, lalu menunduk memainkan ujung baju seragamnya. Joe tak tega juga rasanya melihat Indi menjadi murung begitu. Maka dengan lembut disentuhnya bahu Indi.

"Sudahlah, Indi. Kita lupakan saja peristiwa itu. Sekarang Indi bisa ke sini lagi seperti biasanya, dan kita bisa berteman lagi" kata Joe.

"Tetapi Indi tidak bisa melupakan peristiwa itu," jawab gadis itu.
Joe menghela nafas panjang, "Baiklah. Tetapi jangan sampai membuat kamu berubah seperti ini"

"Seperti apa?" tanya Indi, matanya masih berkaca-kaca.
"Seperti ini," ucap Joe sambil mengembangkan tangannya,

"Terlalu dibuat-buat, terlalu formal. Tidak seperti biasanya."

"Kak Joe ingin Indi seperti apa?"

Ups! Joe tiba-tiba sadar bahwa gadis ini sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius. Terlebih lagi, pertanyaan terakhir ini ternyata sulit, seperti apa Joe ingin Indi bersikap?

"Kembali seperti biasa, lah," jawab Joe sekenanya sambil berpikir keras untuk menyiapkan jawaban berikut, karena ia tahu Indi bukan gadis yang gampang menyerah.

"Seperti dulu lagi?" tanya Indi.

"Iya. Seperti dulu lagi ...," ucapan Joe tak selesai, mengambang di tengah-tengah.
"Manja dan nakal?" tanya Indi. Wajah gadis ini menunjukkan kesungguhan. Mati aku, sergah Joe dalam hati. Gadis ini ternyata sama seriusnya dengan hakim di pengadilan yang sedang menanyai terdakwa.

"Iya... ya. Begitulah," kata Joe cepat-cepat. Ia bangkit hendak membuang bekas rautan pensil, dan melakukannya dengan seperlahan mungkin agar bisa selama mungkin menjauh dari Indi yang masih duduk tegak di kursi.

"Tetapi Indi dulu suka sekali kepada Kak Joe. Apakah masih boleh begitu?" tanya Indi lagi. Ah, ini pertanyaan yang amat sulit buat Joe.
"Boleh saja," sahut Joe sambil pura-pura membereskan buku-buku di rak dinding dekat pintu keluar.

"Boleh minta dicium lagi, misalnya?" tanya Indi pelan, tetapi benar-benar terasa seperti dinamit meledak dekat telinga Joe.

Joe terpaku di tempatnya berdiri. Keduanya saling memunggungi. Joe berpikir keras untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi ia tidak bisa melihat Indi tersenyum kecil walau matanya masih basah. Gadis ini merasa "menang angin".

Setelah sekitar dua menit, akhirnya Joe berbalik, berjalan mendekat ke meja dan menghenyakkan tubuhnya di kursi. Indi mengangkat muka, memandang dengan matanya yang menusuk tajam ke hati Joe. Nah, begitulah akibatnya kalau menganggap enteng anak SMA, pikir Joe penuh penyesalan.

"Kak Joe tidak ingin Indi seperti dulu lagi, bukan? Tidak ingin Indi menyukai Kak Joe dan minta dicium. Tak ingin Indi masuk kamar seenaknya lalu tidur di kasur Kak Joe," ucap gadis itu dengan lancar.
Joe terpana. Ya. Memang itulah yang diinginkannya. Kenapa ia tidak berani mengucapkannya. Karena kau tak ingin Indi berhenti manja kepadamu! Sergah hati kecilnya.

"Kak Joe tidak suka sama Indi, bukan?" tanya gadis itu lagi melihat Joe diam saja.

Joe menghela nafas panjang, menghembuskannya keras-keras, lalu ia menggeleng-geleng dengan kuat. "Tidak," katanya, "Kakak suka sama Indi, tetapi juga takut kalau rasa suka itu berubah menjadi peristiwa seperti malam itu."

"Kenapa takut?" tanya Indi.

"Karena kamu bisa hamil!" sergah Joe, lega bisa berucap terus terang.
"Tetapi kita tidak melakukan hubungan kelamin," Indi bersikeras.
"Tetapi kamu membuka celana," sahut Joe cepat.

"Tetapi semua anak laki selalu ingin membuka celana Indi," sahut Indi tak kalah cepat.

"Ya ampun, Indi!" Joe menepuk dahinya sendiri, "Berapa, sih, anak laki-laki yang pernah ingin membuka celanamu?"

"Hmmm ...," Indi memejamkan matanya seperti berpikir keras, tiba-tiba ia sudah berubah menjadi centil lagi. Astaga, gadis ini cepat sekali berubah, sergah Joe dalam hati. Dan kemana sebetulnya arah pembicaraan ini?

"Delapan!" ucap Indi sambil membuka matanya. Joe tersentak. Gila, dia sudah punya delapan mantan pacar!

"Kenapa kamu ungkapkan semua ini, Indi," ucap Joe lirih, "Apa yang ingin kamu diskusikan? Seks?"

Indi mengangguk. Joe terpana lagi. Celaka, kenapa aku harus punya tetangga centil dan cerdas seperti ini, keluhnya dalam hati.
"Indi ingin tahu, kenapa Kak Joe tidak meneruskan tindakan malam itu setelah tahu Indi sudah tidak bercelana dalam," ujar gadis itu lancar, seakan-akan sedang bertanya tentang kenapa rumput warnanya hijau, atau kenapa ular tidak berkaki.

"Karena ...," Joe berhenti berucap. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Kenapa Kak Joe tidak meraba-raba Indi di bagian itu, padahal Indi tak keberatan," potong Indi melihat Joe tak melanjutkan ucapannya.
"Karena ...," Joe berhenti lagi. Ia betul-betul kehabisan kata-kata. Indi membawa persoalan yang jauh lebih sulit dari matematika tersulit yang pernah dipecahkannya.

"Apakah karena Kak Joe tidak pernah melakukannya? Maksud Indi, tidak pernah meraba-raba di bagian sana?"

"Aku pernah!" sergah Joe. Tetapi cuma itu yang bisa dikatakannya.
"Dengan siapa?" Indi mendesak dan tampak tenang-tenang saja.

Bahkan kini duduknya pun tidak lagi tegak, melainkan sudah lebih santai.
"Dengan pacarku, tentunya!" sergah Joe lagi, "Tetapi sekarang sudah putus ...," sambungnya cepat. Ah, betulkah ia sudah putus dengan Yuli ..

"Pacar Kak Joe senang diraba-raba di bagian itu?"

Joe bangkit tergesa-gesa, kursinya sampai terguling berkelontangan. Indi tersenyum melihat pemuda ini gelisah oleh pertanyaan-pertanyaannya. Dan Joe pun sadar Indi sedang menghukumnya, Gadis itu sedang membalas perlakuannya pada malam itu. Kini Joe sadar, apa yang dimaksud dengan "tak bisa melupakan" di kalimat Indi sebelumnya.

"Aku tak mau menjawab pertanyaanmu lagi!" sergah Joe akhirnya sambil mengembalikan kursi ke posisi semula. Dari nada suaranya, Indi tahu Joe tidak marah. Ucapan itu lebih berupa pernyataan menyerah daripada marah.

"Jadi, Kak Joe tidak mau lagi mencium Indi, atau meraba-raba Indi, bukan?" ucap gadis itu sambil bangkit perlahan dan mendorong kursinya dengan rapi. Didekapnya buku PR matematika di dadanya, lalu ia memutar tubuh menuju pintu keluar.

Joe terpaku di tempatnya berdiri, memandang Indi perlahan-lahan meninggalkan kamar. Ah, rasanya ada yang belum selesai dalam diskusi ini, tetapi apa? Ucap Joe dalam hati. Terburu-buru, ia menahan Indi pergi,

"Jangan pulang dulu," katanya.

Indi berbalik di ambang pintu, kembali membentuk siluet dengan latar belakang terik siang di luar sana. Joe mendekat, meraih tangan gadis itu, dan menariknya kembali ke dalam. Lalu, dengan tanpa rencana sama sekali, gadis itu sudah ada dalam pelukannya. Tanpa rencana pula, bibir gadis itu telah diciumnya.

Dilumatnya dengan gemas. Tanpa rencana sama sekali, pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan suara berdebam.

"Kak Joe..," desah Indi ketika pemuda itu merenggangkan ciumannya, tetapi segera gadis itu terdiam lagi karena Joe kembali melumat bibirnya yang ranum membasah.

Tangan gadis itu tahu-tahu sudah memeluk leher Joe. Buku dan bolpennya jatuh berserakan di lantai. Matanya yang tadi basah kini terpejam. Indi merasa tubuhnya seperti segumpal kapas ringan yang terbawa angin terbang tinggi. Sebersit rasa nikmat yang telah lama dikenalnya, yang dulu sempat tertunda kini muncul lagi di dalam tubuhnya. Ia membuka mulutnya, membiarkan lidah Joe dengan liar bermain-main di dalamnya. Ia membalas setiap pagutan pemuda itu, membiarkan tubuh keduanya pelan-pelan terbakar birahi.

Joe pun tak tahu apa yang terjadi dengannya. Begitu cepat segalanya berlangsung. Tahu-tahu tangannya sudah berada di balik beha Indi, di balik baju seragamnya yang kini sudah terbuka setengahnya. Nikmat sekali rasanya memegang daging kenyal yang membukit itu. Telapak tangannya terasa geli menyentuh puting Indi yang segera tegak tegang. Dengan gemas Joe meremas, membuat Indi mengerang pelan. Joe meremas lagi lebih keras. Indi mengerang lagi, kini disertai desah gelisah dan nafas yang semakin memburu.

Perlahan-lahan, dengan terhuyung-huyung, keduanya bagai sepakat melangkah ke arah ranjang. Tak lama kemudian, keduanya sudah bergulingan di dipan yang belum lagi sempat dirapikan itu. Joe menindih tubuh Indi sambil terus melumat bibirnya. Terus terang, bibir Indi sangat menggairahkan untuk dilumat dan dikulum. Ranum dan basah bagai mangga muda yang siap dirujak. Nafasnya harum memenuhi hidung Joe, membuat pemuda ini semakin mabuk kepayang. Tangannya masih pula bermain-main di dada Indi yang kini sudah terpampang terbuka, menjulang indah bergerak turun naik seirama nafasnya yang memburu. Dengan telunjuk dan jempolnya, Joe menjepit puting Indi, memilin-milinnya perlahan tetapi juga penuh rasa gemas.

Indi melepaskan mulutnya dari pagutan Joe karena ia ingin mengerang melampiaskankan rasa geli yang nikmat bercampur sedikit perih datang dari puncak payudaranya,

"Ngggg ... aaah!"

Joe menciumi leher gadis itu, yang selalu harum sabun wangi bercampur kelembutan bayi. Perlahan digigitnya sedikit leher jenjang itu. Indi menggelinjang. Joe menggigit lagi lebih keras. Indi mengerang, berusaha menjauhi lehernya dari gigitan Joe, tetapi tidak sungguh-sungguh berusaha. Gadis itu menggelinjang lagi, merasakan dadanya diremas-remas oleh tangan Joe yang kini seperti menyebarkan bara hangat ke seluruh tubuhnya.Tangan Indi kini merasuki rambut Joe yang mulai gondrong, lalu pelan-pelan dara itu mendorong kepala Joe ke bawah. Setengah memaksa, setengah meminta, Indi

terus mendorong hingga akhirnya mulut Joe tiba di lembah payudaranya. Oh, terasa hangat nafas Joe memenuhi dada Indi. Oh, terasa semakin geli gatal puncak-puncak payudaranya, menunggu mulut yang nakal dan basah itu. Indi pun mengerang lagi, bahkan kemudian berbisik, "Ayo, Kak ... gigit lagi...."

Dan Joe pun menggigit, menyebabkan Indi menggeliat sambil mendesis menyatakan rasa nikmatnya. Lalu Joe mengangkat kepalanya, menciumi puncak payudara Indi, terutama di pangkal putingnya. Indi menggeliat lebih hebat lagi, merasakan betapa kegelian itu bagai berpusing-pusing di puncak payudaranya. Bagai angin puting beliung yang menderu-deru memenuhi dadanya. Apalagi kemudian Joe mengeluarkan lidahnya, menjilati pangkal puting dan daerah lingkaran berwarna coklat tua itu. Oh, Indi merasa dirinya dibumbungkan ke langit luas. Apalagi lalu lidah itu naik ke puncak putingnya, ....

Oh! ... Indi menggeliat kuat, menyorongkan dadanya, sehingga mau tak mau Joe menerima puting itu di dalam mulutnya. Joe langsung menyedot kuat .... Dan Indi merasa tubuhnya seperti meledak oleh kegelian dan kegatalan yang menyenangkan.

"Oooooooh! ... terus Kak," Indi mengerang mendesah, "Terus, Kak.... Ooooh!"

Lalu Indi merasakan kenikmatan yang amat kuat seperti mendesak keluar dari dadanya, turun ke bawah menuju perutnya, terus ke bawah memenuhi pinggulnya, sebelum akhirnya bermuara di antara kedua pahanya yang kini bergetar. Dengan tak sadar, Indi merenggangkan kakinya, lalu memeluk pinggang Joe dengan kakinya, menarik bagian bawah tubuh pemuda itu semakin rapat ke tubuhnya. Roknya sudah tersingkap tak karuan, menampakkan kedua pahanya yang mulus dan ditumbuhi rambut-rambut halus yang nyaris tak terlihat.

Joe merasakan pinggulnya bagai dijepit kepiting raksasa. Perutnya terasa hangat menempel di perut Indi yang terbuka. Celana jeans-nya terasa sangat sempit, terutama di bagian depan. Sejak mencium tadi, kejantanan Joe telah tegak-tegang dengan sendirinya. Kini kejantanan itu terjepit di antara lembah hangat yang tertutup nilon tipis. Nyaman sekali rasanya. Geli dan gatal pula. Joe pun mengerang.

Sambil terus menghisap-hisap tonjolan kenyal di dada Indi, pemuda ini pun menggerakkan pinggulnya berputar-putar. Bagi Joe rasanya memang tidak begitu leluasa, mengingat jeans yang dikenakannya terlalu tebal. Tetapi bagi Indi, gesekan jeans yang menyembunyikan tonjolan keras hangat itu sangatlah menimbulkan gairah. Indi merasakan selangkangannya mulai basah dan ada rasa gatal yang minta digaruk di bawah sana. Ia pun mengeratkan jepitan kedua pahanya, menekan Joe lebih lekat lagi terhenyak ketubuhnya.

Indi merasakan geli-gatal itu kini bercampur rasa ingin buang air kecil, penuh desakan-desakan yang menggelisahkan. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, tersengal-sengal bernafas karena dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup makin kencang. Seluruh tubuhnya meregang setiap kali Joe menggerakkan pinggulnya dan rasa geli-gatal itu kini menyebar ke seluruh tubuhnya. Sebentuk desakan amat kuat terasa di bagian dalam kewanitaannya, yang kini seperti diremas-remas oleh tonjolan di celana jeans Joe itu. Indi mengerang keras sambil meregangkan kedua pahanya lebar-lebar, menyebabkan pemuda itu lebih leluasa bergerak.

Joe bergerak makin keras dan kasar. Tidak saja berputar-putar, tetapi juga mendorong mendesak ke depan, menyebabkan pantat Indi semakin terbenam di kasur. Gadis ini meregangkan kedua kakinya selebar mungkin. Satu tangannya mengait lututnya sendiri, sementara tangan yang lain mencengkram rambut Joe. Tubuhnya melenting ketika ia tak kuasa lagi menahan desakan yang tampak bagai ingin menjebol pinggulnya itu. Ia menyerah, membiarkan sebuah aliran hangat seperti menyebar cepat di dalam kewanitaannya, dibarengi rasa nikmat yang luar biasa.

"Aaaaah...... Kak Joe....... Ooooooooh!" Indi mengerang keras, "Aaaaaah!"
Tubuh gadis ini lalu berguncang hebat, mula-mula hanya di pinggulnya, tetapi lalu juga di seluruh tubuhnya. Joe ikut terguncang tetapi ia tetap berusaha berada di atas tubuh gadis itu. Indi mengerang, mengeluh, mendesah, mendesis panjang. Tubuhnya bagai dipenuhi per yang membuatnya melenting melambung di atas kasur. Dipan pun berderit ramai membuat Joe kuatir terdengar ibu kost.

Lalu gadis itu terkulai lemas, seakan kehilangan seluruh tulang di tubuhnya. Matanya masih terpejam dan seluruh wajahnya merona merah seperti kepiting rebus. Mulutnya sedikit terbuka, menghamburkan nafas yang masih memburu. Dadanya yang telanjang tampak agak berkeringat, turun naik dengan cepatnya. Sungguh seksi pemandangan ini bagi Joe, yang masih menempel erat di tubuh dara itu, dengan kedua tangan mencekal serta menekan pergelangan Indi di kasur. Seperti seorang polisi yang menerkam dan menahan penjahat agar tidak berontak kabur.

Lalu nafas Indi mereda, dan ia membuka matanya, memandang Joe yang sedang termangu memandang wajah gadis itu. Manis sekali Indi dalam keadaan seperti ini. Rambutnya yang legam bagai membingkai wajahnya yang oval. Bulu matanya lentik, dan ada lesung pipit kecil di pipinya. Pelan-pelan senyum Indi mengembang.

"Berisik sekali kamu," kata Joe sambil tersenyum pula.

"Sorry! Indi lupa diri..." bisik Indi manja. Ia sudah kembali seperti semula, centil dan penuh senyum manja menggoda. Joe pun sadar, gadis ini punya daya tarik yang tak bisa dianggap remeh.
Entah kenapa, birahi Joe sirna secepat datangnya. Melihat wajah manis manja di depannya, melihat tingkahnya yang terbuka dan tulus, Joe tiba-tiba merasa tak patut melanjutkan permainan berbahaya ini. Tetapi setidaknya ia berhenti pada saat yang tepat, tidak seperti sebelumnya saat Indi justru sedang mendaki puncak asmara.

Indi melepaskan diri dari cengkraman tangan Joe yang memang juga membiarkannya lepas. Lalu gadis itu mengembangkan tangannya, mengundang Joe ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan erat, Indi memejamkan mata sambil tersenyum puas. Joe merasakan kedua bukit kenyal Indi terhenyak di dadanya, menimbulkan kesan indah tersendiri yang tidak cuma berisi birahi tetapi juga kelembutan.

"Indi suka sekali sama Kak Joe," bisik gadis itu.

"Tetapi kita tak bisa begini terus, Indi," jawab Joe pelan sambil mengusap sayang rambut gadis di pelukannya itu. Terasa oleh Joe gadis itu mengangguk.

"Kamu mengerti, bukan?" ucap Joe

"Mengerti boss!" kata Indi jenaka. Ah, ia telah kembali ke formatnya semula, pikir Joe gembira. Indi yang dulu telah kembali seperti sediakala. Kini persoalannya ada pada Joe kembali: apakah ia sanggup bersikap tegas terhadap gadis ini. Apakah aku bisa dengan tegas menyatakan pendirianku di depannya, tanya Joe gelisah dalam hati.

"Sebaiknya sekarang kamu pulang," ucap Joe sambil melepaskan pelukannya. Indi pun melepaskan diri dan dengan tenang mengenakan kembali beha dan mengancing baju seragamnya.

"Apakah Indi masih boleh ke mari lagi?" tanya gadis itu sambil merapikan rambut dengan jemarinya.

Joe tersenyum lalu mencubit pipi Indi yang masih agak merona merah. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi mengangguk pelan dan samar.

"Indi mendapat PR matematika setiap hari, lho!" ucap gadis itu dengan mata yang dilebarkan.

"Boleh. Tetapi kita kerjakan di meja makan, di ruang tengah," jawab Joe kalem.

"Bagaimana kalau PR itu harus dikerjakan hari Sabtu?" kata Indi sambil bangkit dan merapikan roknya.

"Kenapa memangnya?"

"Boleh mengerjakannya malam-malam di kamar Kak Joe?"

Sialan, sergah Joe dalam hati. Tentu saja, itu adalah malam minggu! Joe bangkit dan mendorong bahu gadis Indi, menyuruhnya keluar sambil tersenyum menyadari betapa ia kalah cerdik oleh gadis itu dalam soal-soal yang seperti ini.

"Boleh atau tidak?" desak gadis itu di ambang pintu yang sudah dibuka Joe lebar-lebar.

"Tidak," jawab Joe pendek sambil menatap kedua mata Indi yang juga sedang lekat memandangnya.

"Benar-benar tidak boleh?"

Joe menggeleng. "Benar-benar tidak boleh," katanya sambil mendorong lagi Indi agar melangkah keluar. Mereka lalu berjalan beriringan keluar. Joe mengantar sampai pagar lalu berbalik tanpa menjawab lambaian tangan Indi, tanpa mempedulikan pula cibiran gadis itu. Tiba-tiba ia merasa mengantuk sekali. Merasa letih sekali. Kejadian-kejadian dua hari ini membuat Joe merasa tak berdaya. Ia ingin segera tidur kembali.


Rahasia Ridwan dan Petualangan pun Dimulai

Suatu siang di kantin kampus yang ramai oleh celoteh mahasiswa, Ridwan mengajak Joe duduk berdua di sebuah pojok. Heran juga Joe dibuatnya, persoalan penting apa yang hendak disampaikan karib sekaligus "saingan"-nya ini?

"Kalau mau ngomong soal ujian jangan di sini, lah!" protes Joe tetapi membiarkan tangannya diseret Ridwan.

"Bukan soal ujian, tetapi soal yang lebih penting lagi," kata Ridwan dengan muka serius.

Pemuda ini jarang serius, dan kalaupun serius pasti ada maunya. Misalnya, pemuda ini sering meminta pendapat tentang gadis yang ditemuinya di jurusan lain, atau di kampus lain. Ridwan terkenal sebagai play boy kampus yang berganti pacar hampir sama seringnya dengan ia berganti baju. Maklum, wajahnya ganteng dan mobil VW kodok mulus berwarna merah darahnya sangat memikat mata. Tetapi Ridwan selalu bertanya kepada Joe, bukan hanya untuk meminta pendapat, tetapi juga untuk menyampaikan semacam claim agar Joe tak berpikir untuk bersaing dengannya. Maklum, Joe termasuk urutan kedua dalam soal kegantengan, walau nomor terakhir dalam soal mobil.

"Soal si Anggi dari fakultas ekonomi di Universitas P itu, kan?" tebak Joe, karena seingatnya Ridwan terakhir kali tampak berjalan dengan dara tinggi berambut sebahu itu kira-kira 5 hari yang lalu. Dalam hemat Joe, pastilah Ridwan sudah menemukan penggantinya. Jarang ada gadis berada di samping Ridwan lebih dari 5 hari!

"Bukan!" sergah Ridwan sambil terus menarik Joe ke pojok yang agak sepi.

"Permisi!" kata Ridwan lagi kepada dua mahasiswa yang dari tampang dan tingkahnya jelas beberapa tingkat di bawah mereka. Dan kalau Ridwan bilang "permisi" seperti itu (suaranya keras dan lantang), maka artinya "minggir kalian". Kedua mahasiswa yang tadinya duduk itu pun tampaknya mengerti bahasa sang senior. Mereka ngeloyor pergi tanpa basa-basi.

Joe duduk menghadap tembok. Ridwan duduk di sisi kiri, meletakkan kedua tangannya di meja dengan posisi sangat serius.

"Ada apa, Rid. Kamu tidak mau mengajak bertanding panco, kan?" tanya Joe tak sabar.

"Aku mau bicara soal Tris!" ucap Ridwan.

Suaranya tenang, pelan, tetapi juga tegas. Joe langsung terperangah. Mulutnya terbuka tetapi kerongkongannya tersekat. Dari mana pemuda ini tahu tentang Tris? Ia bahkan belum pernah menyebut nama bidadari itu di kampus atau di manapun. Nama Indi sering ia sebut; tetapi Tris? .. belum pernah sekali pun. Bahkan Rima yang sering melihat Joe turun dari mobil Tris pun tidak pernah tahu nama bidadari itu.

"Dengan mulut terbuka seperti itu, kau persis keledai bego!"sergah Ridwan, dan Joe buru-buru menutup mulutnya.

Tetapi sesungguhnyalah ia merasa amat bego. Jadi, pikir Joe, kini Ridwan adalah sainganku!

"Aku kenal Tris, walaupun ia tidak begitu mengenalku, dan tidak tahu aku satu kelas dengan mu," ucap Ridwan.

Joe terdiam. Pantas, belum sekali pun Tris menyebut nama seseorang yang dikenalnya di kampus, walau bidadari itu telah tahu di mana Joe kuliah. Kalau ia kenal Ridwan, pastilah namanya sudah disebut sejak awal. Hal ini sedikit melegakan Joe. Ternyata Ridwan, bukan saingannya. Lalu...

"Aku kenal suaminya, karena lelaki itu masih ada hubungan keluarga denganku," kata Ridwan lagi. Pemuda ini tahu, Joe sedang terkejut dan tak bisa berkata apa-apa. Pemuda ini juga sebetulnya iba karena sahabatnya terlibat dengan sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.

"Darimana kau tahu aku kenal Tris?" akhirnya Joe bisa bertanya.
"Aku melihat kalian berdua minum dan bercengkrama," jawab Ridwan sambil menatap Joe tajam, lalu ia melanjutkan, "Dari tingkahmu, aku tahu kau tertarik kepadanya. Jangan coba membantah."
Joe menunduk. Percuma menyembunyikan yang sebenarnya di hadapan Ridwan atau Tigor. Kedua sahabatnya ini menganggap Joe adalah an open book: sebuah buku yang terbuka lebar dan mudah dibaca!

"Seberapa jauh kau tahu tentang dia, Joe?" tanya Ridwan sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api, lalu menyalakan sebatang tanpa menawarkan temannya.

"Dia punya anak bernama Ria,.. dia punya Honda Civic,... dia tinggal di sekitar tempat kost-ku, atau setidaknya searah dengan tempat kostku," jawab Joe terus terang. Memang sedikit sekali yang ia ketahui. Buru-buru pula ia menyambung, "Dan dia cantik sekali!"

Ridwan tersenyum mendengar kalimat yang terakhir. Sambil menghembuskan asap rokoknya, ia berucap pelan, "Tris memang cantik. Tetapi Ria itu bukan anaknya..."

Kembali Joe terperangah. Tetapi, anak itu memanggilnya "mama". Bukankah "mama" itu berarti ibu, atau apakah sudah ada arti baru dari mama?

"Ria adalah anak dari kakak Tris yang meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu," kata Ridwan, membuat Joe semakin terperangah. Ah, pantas saja Tris terlihat begitu muda untuk punya anak sebesar Ria. Ternyata ia adalah ibu angkat. Bagaimana bisa begitu?

"Tris terpaksa menerima usul keluarganya dan keluarga suami kakaknya agar menerima iparnya itu sebagai suami. Istilahnya, Tris menerima proses "turun ranjang" karena kedua keluarga tak ingin memutus hubungan," Ridwan menjelaskan dengan suara pelan.
"Pasti Tris sangat mencintai kakaknya ...," ucap Joe.

"Mereka berdua seperti kembar walau usianya berbeda cukup jauh. Lima tahun, kalau aku tidak salah," kata Ridwan sambil kembali membuat lingkaran-lingkaran dengan asap rokoknya. Sejenak keheningan menyelimuti kedua pemuda itu. Kantin yang sangat ramai pun seakan-akan sirna menjadi latarbelakang yang samar-samar saja terdengar di kuping Joe.

"Aku tidak begitu dekat dengan suaminya," kata Ridwan, "Tetapi menurutku, sebaiknya kau tak usah lah berpikir mendekati Tris. Nanti akan menimbulkan persoalan."

Joe menunduk, memainkan pinggiran meja. Apa yang diucapkan Ridwan tentunya benar belaka. Kalau pun Ridwan tak punya hubungan apa-apa dengan suami Tris, tetap saja tidak baik untuk mendekati istri orang. Kalau pun Tris seorang bidadari yang cantik dan memukau, tetaplah tidak wajar bagi seorang mahasiswa untuk bermimpi memacarinya; kecuali mahasiswa itu juga dari khayangan. Bukankah begitu?

Ridwan menepuk bahu Joe secara bersahabat. Mereka berdua segera bangkit karena sebentar lagi harus masuk kelas kembali. Joe berjalan gontai di samping Ridwan yang juga terdiam, bersimpati kepada perasaan gundah sahabatnya.

Sebagai teman, bagi Ridwan tentu lebih baik jika Joe tetap bisa mendekati Tris. Tetapi karena ia punya hubungan keluarga dengan suaminya, Ridwan merasa perlu memperingatkan sahabatnya ini agar menjauh. Walau diam-diam ia pun tak yakin, apakah Joe benar-benar bisa menjauhinya. Atau, tiba-tiba Ridwan berpikir, bagaimana kalau Tris yang mendekati Joe?

*******
Sejak penjelasan Ridwan di kantin itu, Joe memang belum pernah berjumpa lagi dengan Tris. Sebenarnya, sejak minum bersama di kantin pun, yakni dua minggu yang silam, Joe belum pernah bertemu lagi dengannya. Kecuali, tentu saja, dalam mimpi! Joe sering sekali mengimpikan bidadari itu. Tidak saja bermimpi berjumpa dengannya, tetapi juga bermimpi bercumbu dengannya. Sungguh memalukan rasanya bagi Joe kalau pagi-pagi ia harus segera berganti celana dalam karena mimpi yang erotik itu. Tetapi apalah daya pemuda ini, bayangan bidadari itu selalu muncul setiap kali ia mulai memejamkan matanya di tempat tidur.

Kini, setelah Ridwan menjelaskan siapa Tris, Joe tetap saja mengimpikannya. Tetap saja berharap berjumpa dengan perempuan yang senyumnya seperti menyebarkan keindahan di hari terburuk sekali pun. Tetap saja Joe susah membuang bayangan keindahan matanya yang selalu membuat tulang di tubuhnya bagai terbuat dari agar-agar.

Kata orang, kalau kau berharap sangat kuat, maka mungkin harapan itu akan terwujud. Joe berharap dan berharap terus. Setiap hari, saat menunggu angkot, ia sengaja berdiri sangat dekat dengan jalan. Ia sengaja pula menunda naik angkot sampai sering hampir terlambat dibuatnya. Ia selalu melihat ke kejauhan, kalau-kalau mobil yang kini sangat dikenalnya itu muncul. Demikianlah ia terus berharap, sampai suatu hari di awal musim hujan, bidadari itu muncul lagi dalam kehidupannya. Ini adalah hari ke 30 dari bulan yang sama dengan saat mereka minum di kantin dan saat Ridwan memberinya peringatan.

Mobil Honda Civic itu menepi dekat emperan toko tempat Joe berteduh menunggu angkot menuju kampus. Tidak ada suara Ria yang menegurnya. Joe mendekat dengan ragu-ragu, kaca mobil terlalu gelap untuk melihat siapa yang ada di dalam. Ketika akhirnya jendela depan sebelah kiri terbuka, Joe mendengar sebuah suara yang selalu dirindukannya, "Ayo ikut.."Joe ragu-ragu lagi. Tetapi pintu depan kiri telah terbuka, dan dengan jantung berdegup keras akhirnya Joe masuk.

"Hai!...Apa kabar?" sapa Tris ringan sambil melemparkan senyumnya yang mempesona itu. Ia ternyata sendirian. Kemana Ria?
"Kabar baik," jawab Joe agak canggung, "Terimakasih atas tawaran tumpangannya."

"Aku harus ke sebuah tempat dekat kampusmu. Ria sedang ada di rumah neneknya, tidak sekolah hari ini," jelas Tris sambil mulai menjalankan mobilnya.

Joe duduk canggung tak tahu harus berkata apa untuk membuka percakapan. Tris tampaknya juga tidak punya sesuatu yang akan dibicarakan, karena ia juga diam saja, serius memandang ke depan. Mungkin juga hujan yang mulai melebat menyebabkan ia harus berkonsentrasi. Mobil meluncur menembus tirai air rintik-rintik. Di luar, suara desir angin bercampur derum mesin bercampur berisiknya air yang tercercah oleh ban mobil. Tetapi di dalam mobil, suasana hening mencekam seperti kuburan di malam Jumat kliwon. Joe sungguh tersiksa oleh keadaan seperti ini.

Setelah hampir 10 menit membisu, Joe pun tak tahan lagi. Ia berucap pelan, menyembunyikan getar suaranya, "Maaf aku membuat kamu tersinggung waktu itu."

Terdengar Tris menghela nafas, lalu menjawab dengan suara pelan pula, "Aku juga minta maaf karena bertanya yang tidak-tidak."

"Jadi, kita sama-sama bersalah," ucap Joe lagi.

Tris tersenyum mendengar pernyataan yang polos ini. Sebenarnya, tadi ia ingin lebih dulu membuka percakapan, tetapi entah kenapa ia ingin pemuda di sampingnya itu yang memulai.

"Sudah lama aku berharap kita bertemu lagi," ucap Joe terus terang. Getar di tubuhnya kini sudah agak berkurang.
"Untuk minta maaf?" tanya Tris.

"Ya. Untuk minta maaf, dan ...," Joe tidak meneruskan kata-katanya. Patutkah ia melanjutkannya?

"...dan untuk bertemu Ria?" sambung Tris.

Joe tertawa pelan, "Ya.. untuk bertemu Ria," katanya, lalu disambung dengan suara lebih perlahan, ".. dan ibunya."
Tris tertawa riang mendengar kalimat terakhir. Sebetulnya ia sudah bisa menebak kalimat itu, tetapi sekali lagi ia ingin mendengar langsung dari pemuda yang perlahan-lahan mulai kelihatan menarik baginya.

"Tetapi sekarang musim hujan, tak baik minum es terlalu banyak," kata Tris sambil tersenyum. Lagi-lagi timbul keinginannya untuk menggoda Joe.

"Tetapi aku masih bisa mengangkat tas-tas belanjaanmu," jawab Joe, meladeni permainan kecil yang dimulai oleh bidadari ini. Sesungguhnyalah, Joe ingin melayani permainan apa pun yang ditawari perempuan cantik di sebelahnya ini. Permainan yang berbahaya sekalipun!

Tris tertawa lebih keras. Ia benar-benar terhibur dengan jawaban itu. Ternyata pemuda ini cukup berani mengutarakan pendapatnya, pikir Tris. Sebuah permulaan yang bagus. Tetapi untuk sebuah akhir yang bagaimana?

"Aku belanja ke sana setiap Rabu," kata Tris sambil membelokkan mobilnya menuju arah kampus Joe.

"Aku pulang kuliah pukul empat setiap Rabu," kata Joe sambil tersenyum. Ia merasa seperti seorang pemancing yang sedang berspekulasi dengan umpannya, apakah ikan akan mencaplok umpan itu, ataukah ia harus terjun ke empang menangkapnya dengan tangan?

Tris tertawa lagi. Joe senang sekali mendengar tawa itu, serba lepas tetapi juga merdu. Tidak terlalu keras, tidak terlalu nyaring, tidak terlalu terbahak. Pokoknya, serba pas di telinga Joe.
"Kamu bisa bolos, karena pukul empat aku sudah harus pulang,"

ucap Tris sambil menginjak rem. Mereka sudah tiba di depan kampus. Joe mengeluh dalam hati, kenapa cepat sekali ia menjalankan mobilnya?

"Atau kamu bisa menunda belanjamu sampai pukul empat," ucap Joe tak mau kalah. Ia memberanikan diri menatap wajah Tris sebelum beranjak untuk turun.

Tris tersenyum manis sekali. Mungkin yang paling manis di antara senyum-senyum manisnya selama ini. Joe seperti disiram air sejuk surgawi rasanya melihat senyum itu. Duh, teruslah tersenyum bidadariku, bisik Joe dalam hati.

"Kenapa aku yang harus menunda?" tanya Tris dengan mata tajam memandang tepat ke mata Joe. Sejenak degup jantung pemuda ini kembali bertambah cepat.

"Karena hari Rabu itu ada dua dosen killer..," Joe menjawab sekenanya. Tetapi memang begitulah kenyataannya. Ia tak mungkin membolos hari Rabu.

Senyum Tris berkembang lagi. Joe terpesona lagi. Satu kakinya sudah berada di luar, tetapi rasanya enggan sekali ia turun dari mobil itu. Hujan yang kini mereda menjadi gerimis membuat sepatunya basah, tetapi Joe tak peduli.

"Kamu benar-benar ingin bertemu lagi rupanya," ucap Tris, kali ini dengan nada serius.

Suaranya berubah formal dan lebih perlahan. Joe sejenak kuatir menyinggung perasaannya lagi. Tetapi ia hendak berspekulasi hari ini. Ia hendak berterus terang saja. Apapun yang terjadi, terjadilah!
"Ya," jawab Joe mantap, "Aku ingin bertemu lagi, tetapi tak mungkin di rumahmu, bukan?"

Tiba-tiba air muka Tris berubah. Joe terkesiap dan berpikir, tamatlah sudah riwayatku. Hancurlah sudah spekulasiku. Bidadari ini pasti marah besar karena aku menyinggung sesuatu yang sensitif. Joe bersiap-siap keluar dari mobil secepat mungkin. Tetapi...

"Memang tidak mungkin, Joe," ucap Tris dengan suara pelan. Baru kali ini ia menyebut nama Joe!

"Itu sebabnya hari Rabu adalah yang paling tepat," kata Joe cepat-cepat. Ia tak jadi turun.

Tris tersenyum, tetapi kali ini ada kesenduan di senyum itu. Mungkin kesedihan, mungkin keterenyuhan. Entah apalah, .. tetapi Joe bisa merasakannya. Seandainya saja aku bisa mengusap wajah itu, keluh Joe dalam hati, aku mau menghapus kesenduan itu dari sana!

"Baiklah.., kita lihat saja nanti," kata Tris setelah menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, "Sekarang, turun dari mobilku kalau tidak ingin terlambat."

Joe tersenyum lega mendengar jawaban itu. Ia segera keluar dari mobil, lalu berdiri di bawah hujan rintik (ia tak peduli!) memandang Honda Civic itu lenyap dari pandangannya. Di dalam mobil, Tris melirik ke kaca spion, melihat pemuda itu masih berdiri diterpa gerimis pagi. Sebersit perasaan aneh memenuhi dadanya, dan tiba-tiba saja ia sudah menyusun alasan untuk tidak mengajak Ria jalan-jalan Rabu depan, dan datang ke swalayan setelah pukul empat. Apa yang terjadi pada diriku? Keluh Tris dalam hati.

*******
Rabu berikutnya, Joe tak mempedulikan teriakan Tigor yang mengajaknya jalan-jalan keliling naik motor. Tak menghiraukan pula bujukan Ridwan dan Rima yang mengajaknya makan bakso di seberang kampus. Ia mengarang alasan yang kurang akurat. Teman-temannya tentu saja heran, sejak kapan si Joe punya tugas berbelanja keperluan dapur untuk ibu kost?

Tentu saja teman-temannya tidak tahu, bahwa Joe sedang berusaha secepatnya tiba di pasar swalayan tempat Tris biasa berbelanja. Ia sebenarnya juga tidak berbohong kepada teman-temannya, sebab ibu kost memang kebetulan memintanya membeli selusin mie instant dan sebotol kecap asin. Ia juga dengan seksama telah menyembunyikan semua hal yang berhubungan dengan Tris dari telinga Ridwan maupun Tigor dan Rima. Untung pula, Ridwan bukan seorang teman yang nyinyir, sehingga kedua sahabat lainnya tidak pernah tahu persoalan Tris.

Dengan menumpang angkot, Joe tiba di swalayan itu sepuluh menit kemudian. Sebetulnya ia bisa berjalan dari kampus, tetapi tentu akan memakan waktu lebih lama. Setibanya di mall tempat swalayan itu berlokasi, Joe terlebih dulu masuk ke tempat parkir di lantai dasar. Dengan sekilas ia mencoba melihat kalau-kalau Honda Civic putih yang sudah sangat dikenalinya itu ada di pelataran parkir. Ternyata ada! Itu berarti, Tris memang ada dan ia tidak datang dengan taksi. Itu pula artinya, Joe bisa memohon untuk ikut menumpang!

Dengan langkah panjang setengah berlari, dan dengan melompati dua anak tangga sekaligus, Joe akhirnya tiba di swalayan yang tidak begitu ramai itu. Sore-sore seperti ini, belum banyak yang berbelanja. Joe bersyukur dalam hati, dan segera mencari-cari ke seluruh pelosok swalayan. Satu kali ia memutari seluruh swalayan, belum juga Tris tampak. Dua kali, Joe belum juga menemukannya. Tiga kali, Joe sudah mulai kuatir ia berpapasan di tengah jalan. Mungkin Tris turun lewat lift..... Empat kali, Joe menyerah ... menghembuskan nafasnya kuat-kuat, lalu mulai menuju rak tempat mie.

Baru saja ia berjongkok untuk mengambil beberapa bungkus mie di barisan bawah, suara yang dirindukannya itu terngiang jelas di telinganya. Cepat-cepat Joe bangkit dan berbalik ke arah suara. Wow! Bidadari itu berdiri dengan tangan bersidekap, berbaju kuning terang dan bercelana panjang coklat gelap, menambah kuat keputih-mulusannya yang cemerlang. Untuk sejenak, Joe yakin kembali bahwa di depannya ini adalah bidadari yang sedang menyamar dan sedang menyimpan sayap-sayapnya.

"Mau membeli tigapuluh bungkus mie?" tanya Tris dengan senyum menggoda dan dengan sinar mata yang cerlang cemerlang itu.

"Aku mencarimu sejak tadi," kata Joe tak mempedulikan godaan Tris. Ia ingin sekali menegaskan bahwa pertemuan ini memang betul-betul diinginkannya. Mengertikah bidadari ini? keluh Joe dalam hati.

"Aku tahu...," jawab Tris sambil tetap tersenyum, berdiri santai di hadapan Joe yang tegak canggung dan kini melongo mendengar jawabannya itu.

Tris tertawa kecil, "Kamu selalu begitu, Joe. Melongo setiap aku mengatakan sesuatu," ucapnya.

"Dari mana kamu tahu aku sudah lama mencarimu?" sergah Joe penasaran.
"Aku duduk di sana sejak tadi," kata Tris sambil menunjuk dengan dagunya ke arah sebuah kantin di seberang swalayan.

"Dan kamu diam saja melihat aku berputar-putar?" sergah Joe lagi. Bidadari ini pandai sekali mempermainkan orang, keluhnya dalam hati.

"Aku pikir kamu sedang mengukur luas lantai swalayan," kata Tris sambil tertawa.

Gila! sergah Joe dalam hati (tentu saja). Bidadari ini betul-betul sedang mempermainkan aku. Mempermainkan seorang mahasiswa jurusan arsitektur dari sebuah institut teknologi yang terkenal, dan yang oleh banyak orang diakui sebagai paling pandai dalam matematika. Sungguh beraninya dia!

"Mana belanjaanmu?" cepat-cepat Joe mengalihkan pembicaraan. Dia merasa tidak akan sanggup meladeni godaan Tris, tetapi tak pula hendak segera berpisah.

"Di mobil," kata Tris pendek.

"Oh!.. Jadi kamu sudah selesai berbelanja, tetapi....," Joe tidak meneruskan kata-katanya.

Hatinya tiba-tiba berbunga. Bidadari ini sudah selesai berbelanja, tetapi kembali lagi ke sini untuk bertemu dengan aku. Betapa indahnya dunia!

"Tetapi aku haus," kata Tris cepat-cepat mengisi kalimat Joe yang terputus.

Pemuda itu pun langsung kecewa.... bidadari itu tidak sedang menunggunya. Betapa GR-nya dia! Bahu Joe langsung terhenyak lunglai, seperti mendengar kabar bahwa ia tak lulus ujian. Bunga-bunga di hatinya seperti layu tersiram air panas mendidih. Hampir saja ia terhuyung karena kecewa, tetapi...

"Sambil menunggu kamu...," sambung Tris.

Senyumnya tipis mengembang. Joe pun terperangah. Apalagi kedua mata bidadari di hadapannya penuh dengan sinar gemilang yang membuat Joe seperti hidup di alam maya yang serba indah belaka. Bunga yang layu di hatinya mekar kembali. Semangatnya muncul kembali. Bidadari ini benar-benar membuat Joe seperti sedang menaiki roller coaster emosi!

"Sambil menunggu aku..," Joe mengulangi kalimat Tris, seperti sedang memastikan bahwa kalimat itu nyata dan benar adanya.
"Cepatlah berbelanja!" sergah Tris menahan senyum, "Aku mau mencari ulekan batu di daerah selatan."

"Oh,... ya..ya!" jawab Joe gelagapan.

Kalimat terakhir itu bagai titah sang maharatu kepada haMbanya. Joe menerjemahkannya sebagai berikut: aku mau kau ikut ke selatan mencari ulekan batu. Joe pun menjerit dalam hati: cihui!.. aku mau ikut kau ke ujung dunia sekalipun.

Tak sampai 10 menit kemudian, keduanya telah melesat ke arah selatan. Hujan mulai turun lagi. Bumi kota B kembali basah. Pohon-pohon kembali mandi air segar dingin; dedaunannya pun semakin tampak hijau segar. Angin sejuk melanda kota. Joe bernyanyi-nyanyi dalam hati.

*******
Pertemuan dan belanja bersama itu segera diikuti pertemuan-pertemuan berikutnya. Segalanya lancar sekali berlangsung, selancar air jernih di selokan besar di depan rumah kost Joe di kala hujan lebat. Pemuda ini menikmati kelancaran itu, seperti seorang nelayan menikmat angin kencang yang membawa perahunya meluncur cepat, meniti ombak membelah lautan. Tak sedikit pun terpikir oleh Joe apa yang akan terjadi akibat pertemuan-pertemuannya dengan Tris. Tak sekalipun ia pernah mau berpikir bahwa perempuan cantik itu adalah seorang ibu bersuami resmi. Seluruh akal sehatnya tertutup kabut tebal setiap kali ia bertemu Tris.

Pada pertemuan kelima, Joe sudah menggandeng tangan Tris ketika mereka menuruni tangga swalayan (mereka selalu menghindari tangga berjalan atau lift, agar bisa lebih lama berdua!). Mereka pun sudah duduk berdampingan ketika minum di kantin (mereka selalu haus sehabis berbelanja!). Pandangan mereka lebih lama berkait erat seakan-akan tak mau lepas (mereka selalu punya alasan untuk bercakap-cakap sambil saling menatap!).

Pada pertemuan ke tujuh, Joe mencium pipi Tris di mobil.
Sejenak Tris terperangah, dan Joe mempersiapkan pipinya untuk ditampar melihat bidadarinya mengangkat tangan. Tetapi tangan Tris terangkat bukan untuk menampar, melainkan memegang pipinya sendiri yang tadi dicium Joe sekilas. Muka Tris semburat merah, bagai langit sore yang kebetulan saat itu tak tertutup awan.
"Kenapa kau cium aku?" bisik Tris dengan suara bergetar. Pandangannya tajam menembus kalbu Joe.

"Karena aku ingin menciummu," kata Joe dengan kekuatan yang entah datang dari mana. Ia sudah bertekad untuk menunjukkan segala perasaannya. Whatever will be, will be. Que sera sera!.
"Tetapi aku tidak ingin...," ucapan Tris terputus, masih bergetar walau agak samar.

Joe tersenyum lembut, "Tidak ingin dicium?" tanyanya pelan sambil melawan pandangan Tris dengan sekuat hati.

Tris mengalihkan pandangannya ke depan. Air mukanya tiba-tiba mengeruh, seperti sungai besar yang penuh lumpur akibat hujan berkepanjangan. Joe diam, menguatkan hati, merasa tidak punya pilihan lain.

"Aku sudah bersuami, Joe," bisik Tris sambil tetap memandang ke depan.

Hujan telah reda. Langit senja mulai menggelap.

"Itu suami Almarhumah kakakmu," kata Joe pelan tetapi jelas.
"Tetapi ia suamiku kini," desis Tris. Wajahnya semakin keruh dan pertahanan hati Joe perlahan-lahan runtuh.

"Maaf..," bisik Joe. Ia bersiap turun, membuka pintu mobil dan melangkahkan satu kakinya untuk turun.

Tiba-tiba tangan Tris telah tiba di atas tangan Joe yang sedang bersiap turun. Pemuda ini menghentikan gerakannya, memandangi tangan Tris yang menumpang ringan di buku-buku jarinya.
"Kamu tidak perlu minta maaf," kata Tris pelan tanpa mengalihkan pandangan, "Aku yang bersalah. Tetapi kamu membuat aku terkejut. Aku belum siap untuk itu."

"Siap untuk apa?" tanya Joe dengan keberanian baru.

"Kamu tahu jawabnya," sergah Tris, dan sebelum Joe sempat berkata apa-apa, perempuan cantik itu berucap, "Turunlah. Kita jumpa lagi Rabu depan."

Dan Joe pun turun. Dan mobil Tris pun bergerak, lalu semakin cepat meluncur, dan akhirnya hilang dari pandangan. Dan Joe termangu di pinggir jalan dengan rambut tergerai ditiup angin sejuk. Di telinganya, terngiang ucapan terakhir Tris tadi, .. kamu tahu jawabnya. Betulkah aku tahu jawabnya? keluh Joe dalam hati sambil melangkah gontai ke rumah kostnya.

Sementara itu, sambil menyetir Tris menghapus air mata yang merebak di matanya dengan tisu. Sampai sebelum dicium Joe tadi, hatinya selalu berbunga-bunga setiap kali ia berjumpa pemuda itu. Ia sendiri heran, dalam kehidupan yang serba nyaman dengan seorang suami dan anak yang lucu, pemuda itu tiba-tiba mempunya tempat khusus. Pemuda itu seperti tiba-tiba muncul entah dari mana dalam kehidupannya. Padahal, sebagai seorang cantik, Tris dikerumuni banyak pria. Sebelum maupun sesudah pernikahannya dengan iparnya. Tak satupun yang menimbulkan kesan, karena ketika kakaknya meninggal ia bertekad menutup pintu hatinya, dan mengabdi total kepada iparnya.

Kini pemuda itu menciumku, bisik Tris dalam hati, dan aku gundah karena ia menggugah sesuatu yang selama ini aku hindari. Pemuda itu membawa kelembutan pada keriangan dan keteraturan hidupku. Pemuda itu melengkapi kebahagiaan perkawinan dan pengorbananku untuk kakak. Apa yang harus kulakukan?

"Maafkan aku, Kak..," bisik Tris tak sadar. Air mata menggenang kembali, dan kali ini tak bisa dicegah meluncur deras di pipinya.
*******
Ridwan kembali mengingatkannya pada suatu sore sepulang kuliah. Joe menahan amarahnya, walaupun ingin sekali ia menjerit mengingatkan Ridwan bahwa itu bukan urusannya. Biar bagaimana pun, Ridwan berada dalam posisi yang benar. Sahabatnya itu semata-mata kuatir Joe terlibat dalam urusan yang tidak gampang.

"Kamu bermain api, Joe," desis Ridwan sambil mengiringi langkah Joe. Mereka berjalan terpisah dari yang lain, sengaja mempertahankan rahasia ini di antara mereka berdua. Joe sungguh menghargai sikap Ridwan itu.

"Tetapi aku sendiri tidak berdaya, Rid. Dia juga suka padaku!"

sergah Joe menahan diri agar suaranya tak terlalu keras.

"Risikonya terlalu besar, Joe!" jawab Ridwan sambil menahan geram.

"Entahlah. Aku sangat menyukainya. Mungkin juga mencintainya!" ucap Joe.

"Bullshit, Joe! Kau mencintai istri orang. Itu tidak bagus!" sergah Ridwan.
Joe berhenti melangkah, "Apa yang kamu tahu tentang cinta, Rid!? Kau tak tahu apa-apa. Kau hanya tahu "menyukai" dan "disukai"...," ucapnya agak keras.

Ridwan sampai kuatir pertengkaran mereka terdengar orang lain. Untunglah mereka terpisah agak jauh dari Rima dan Tigor. Ridwan menghela nafas panjang, ucapan Joe memang benar. Tetapi ia merasa Joe sudah terlalu jauh melangkah, tak melihat jurang besar di hadapannya. Ia berucap pelan tetapi tegas,

"Aku sudah memperingatkanmu, Joe. Jangan salahkan aku kalau nanti terjadi apa-apa!"

Joe terdiam, dan mereka menghentikan percakapan, lalu berpisah. Sepanjang malam itu Joe pun risau mengenang peringatan-peringatan Ridwan. Ia tidak bisa tidur, dan baru terlelap setelah lewat tengah malam.

Tetapi risau dan gundahnya segera hilang, karena pagi keesokan harinya ia menumpang mobil Tris lagi. Hari menjadi indah lagi. Kemurungan sirna secepat embun yang menguap disinari mentari pagi. Pertemuan demi pertemuan berlangsung lancar dan seperti telah menjadi kewajaran. Baik Joe dan Tris luruh dalam ketidaksadaran yang sebetulnya adalah ketidakwajaran, terhanyut dalam musik asmara yang memang selalu membuai itu.
Apalagi kemudian Tris menjemput Joe sepulang kuliah di satu sore yang cerah, mengajaknya pergi ke sebuah tempat peristirahatan di daerah utara yang berlembah. Ini adalah ide Tris, walau adalah Joe yang membujuknya secara halus.

Mereka minum kopi susu di sebuah restoran yang menghadap kebun teh luas menghijau. Percakapan mereka berlangsung lancar dan ceria selalu adanya. Tiada sedikit pun kata-kata risau terucapkan. Segalanya cuma berisi kerinduan, kegemasan, impian, kenangan manis, keindahan .... ketakjuban ...Terlebih lagi, ketika malam tiba mereka tidak langsung pulang karena menurut Tris ia sudah minta ijin pulang terlambat. Joe tak peduli mendengar alasannya ("ada kursus tambahan malam hari"). Segalanya terjadi begitu saja.

Tris setuju memarkir mobil sebentar di pinggir jalan kecil menuju kebun teh.

Tris diam saja ketika Joe dengan penuh kerinduan melumat bibir Tris di dalam mobil. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan lamanya Joe menunggu saat yang mendebarkan ini. Dengan segala perasaan, ia kecup bibir yang merah ranum dan basah itu. Ia hisap lembut dan sayang, ia tumpahkan seluruh kerinduannya di rongga mulut yang harum semerbak mempesona itu.

Tris memejamkan matanya, mendesah dan mengerang, membiarkan dirinya hanyut dibawa larut oleh gejolak perasaan pemuda itu. Ia menyerah. Tak ada lagi yang mampu menahan dirinya malam itu, karena sejak seminggu ini hatinya gundah jika tak bertemu Joe. Sejak dicium di pipi beberapa waktu yang lalu, hidupnya berubah total bagai sebuah desa kecil yang lenyap terhapus badai taifun. Tanpa sepenuhnya sadar, Tris merangkul leher Joe, menariknya lebih dekat lagi ke dadanya.

Kondisi mobil menyebabkan posisi keduanya agak kikuk. Tetapi lalu Tris meraih tombol di samping kursinya, dan tak berapa lama kemudian ia sudah terbaring di sandaran yang tertidur. Joe dengan leluasa bisa melumat bibir yang menggemaskan itu. Nafas keduanya pun dengan cepat berubah memburu menderu.

"Oooh.. Joe," desah Tris ketika pemuda itu mengangkat mukanya untuk mengambil nafas, "Aku rindu sekali..."

Joe tak membalas ucapan itu. Ia langsung menciumi lagi bibir yang selalu ada dalam mimpinya itu. Tidak hanya bibir itu yang diciuminya. Juga ujung hidung Tris ia ciumi, kelopak matanya ia ciumi, dahinya ia ciumi, kedua pipinya ia ciumi... seluruh muka bidadari yang mempesona itu tak hentinya ia ciumi. Tris pun tertawa manja diperlakukan seperti itu. Belum pernah ia diperlakukan seperti itu oleh suaminya!

Bahkan Tris kemudian membiarkan tangan Joe meraba dadanya yang membusung indah. Ia bahkan membantu pemuda itu membuka kancing-kancing bajunya, menggeliat kegelian ketika jemari pemuda itu meremas lembut buah dadanya. Tris mengerang sambil memejamkan mata, seakan ingin tidur dengan mimpi sensual yang melenakan, yang juga sudah sering diimpikannya di ranjang di samping suaminya. Betapa nikmat rasanya diraba dan diremas oleh pemuda ini ... betapa melenakannya ... betapa membirahikannya.

Tetapi tiba-tiba semuanya buyar. Tak sengaja, akibat gairah yang menggebu, siku Joe menyentuh tuter mobil. Suara klakson yang nyaring di tengah malam yang sepi membuat keduanya tersentak kaget.

Tris tertawa tertahan. Joe juga ikut tersadar dan melepaskan pelukannya. Tris pun menegakkan tubuhnya, cepat-cepat mengancingkan baju dan menegakkan sandaran kursi. Joe menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat, mengusir nafsu birahi yang tadi telah memenuhi seluruh kepalanya.

"Kita harus pulang, Joe," ucap Tris menahan senyum dan mulai menstarter mobilnya.

"Ya,... harus segera pulang," sahut Joe bagai baru bangun dari mimpi.
Mereka meninggalkan tempat sepi itu, beberapa saat saja sebelum sebuah mobil milik perkebunan lewat berpatroli. Sepanjang jalan menuju kota, mereka tenggelam dalam lamunan. Sesekali mereka berpandangan dan tertawa berdua. Indah sekali malam itu!

Sama sekali mereka tidak menduga, bahwa malam-malam seperti itu akan terus berulang. Lagi dan lagi. Semakin lama semakin panas membara .......

Di Villa Asmara

Keesokan paginya, ketika Joe tiba di tempat biasanya ia menunggu angkot, mobil Honda Civic itu telah lebih dulu berada di sana. Di bawah pohon, agak lebih ke utara dari tempat pemberhentian angkot, mobil itu tidak bergerak tetapi mesinnya masih menyala. Hati Joe berbunga-bunga, dan dengan setengah berlari dia menuju mobil itu.

Kali ini tanpa ditawari, pemuda itu langsung membuka pintu depan. Suara musik segera terdengar ketika pintu dibuka dan harum interior menyerbu keluar. Joe menundukkan badan sebelum masuk. Tris tersenyum di belakan stir. Ia sendirian saja, memakai setelan putih seperti ketika Joe pertama berjumpa dengannya di taman. Jantung Joe berdegup kencang lagi, seperti biasanya jika ia bertemu bidadari ini. "Cuma mau lihat-lihat, atau mau ikut?" goda Tris melihat pemuda itu belum juga masuk. "Aku ingin memastikan..," ucap Joe pelan.

Tris tertawa kecil dengan tawanya yang mempesona itu.
Joe cepat-cepat masuk, menutup pintu, dan dengan keberanian luar biasa ia mencium pipi bidadarinya. Tris tidak menghindar. Tidak bergeming sama sekali, bahkan. Joe mencium harum lembut melati di pipi Tris. Cepat-cepat ia kecup permukaan kulit yang halus bagai pualam itu. Cepat-cepat pula ia mengalihkan ciumannya, ke sudut bibir yang ranum itu. Tris diam saja. Tetap tidak bergeming.

"Selamat pagi, bidadariku...," bisik Joe dekat sekali di muka Tris.
Dari jarak seperti ini, pemuda itu bisa memandang lekat ke mata perempuan yang selalu memenuhi mimpi-mimpinya itu. Mata yang baginya adalah sumber pancaran kehangatan dan keceriaan, sekaligus jendela bagi sebuah hati yang lembut walau tersaput sendu.

"Nakal..," jawab Tris dengan berbisik pula. Dibalasnya tatapan pemuda itu, dan sejenak keduanya membiarkan jiwa mereka tertaut di jembatan pelangi yang tercipta dari dua pasang mata itu.
"Kangen..," bisik Joe lagi sambil menghela nafas dalam-dalam menikmati harum segar nafas Tris. Ia seperti sedang menghirup aroma mistis yang membuat dadanya seperti dipenuhi perasaan bahagia semata.

"Sama-sama..," jawab Tris pelan sekali, nyaris tak terdengar. Lalu bibirnya menempel sekilas di bibir Joe, sebelum ia memalingkan muka, menarik nafas panjang dan mulai memasukkan persneling ke gigi satu. Mobil pun bergerak, lalu dengan cepat melaju menuju arah kampus.

"Aku tidak ingin kuliah hari ini," ucap Joe.

"Betul-betul nakal!" sergah Tris sambil menahan senyum yang entah kenapa terus mengembang di bibirnya. Sulit sekali tidak tersenyum di dekat pemuda ini, keluh Tris dalam hati.

"Kamu harus kursus?" tanya Joe.

Tris menggeleng. Ia bahkan tidak mengantarkan Ria ke sekolah hari ini, karena Neneknya bersedia mengantar dan menunggu. Ketika ibu mertuanya menawarkan jasa seperti itu, tidak seperti biasanya Tris tidak menolak. Adik suaminya yang kemudian mengantar mereka sambil pergi ke kantor, dan lagi-lagi Tris tidak menolak. Lalu Tris mengatakan kepada orang-orang di rumah, bahwa ia perlu belanja dan mungkin akan pulang sore. Nah, siapa yang nakal, sebetulnya?

"Bawa aku ke mana saja, Tris ... asal jangan ke kampus," kata Joe.
"Aku tak tahu musti ke mana," jawab Tris walau hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali ke sebuah tempat di mana mereka bisa berdua saja. Dan sebetulnya ia sudah punya rencana ... Tetapi ... Ah, akankah aku mengajaknya ke sana? desah Tris dalam hati. Gelisah dan tak pasti.
"Berapa jauh mobilmu bisa pergi?" tanya Joe.

"Ke ujung dunia pun bisa, asal jalannya beraspal," jawab Tris sambil tertawa.

"Kalau begitu, aku tahu musti ke mana," kata Joe sambil tersenyum.
"Kemana?"
"Nanti aku beri tahu. Sekarang, ambil saja jalan ke arah selatan."
Tris tersenyum sambil tetap menatap ke jalan di depannya. Joe memandangnya terus sejak mereka meninggalkan tempat pemberhentian angkot tadi. Cantik sekali ia pagi ini, ucapnya dalam hati. Ah, tetapi kapan ia tidak cantik? sergah suara lain di benaknya. Bahkan ketika sedang bersedih pun ia tampak cantik. Bagaimana kalau sedang marah? Tetapi kapan ia marah?

"Jangan pandangi aku seperti itu, Joe," kata Tris sambil membelokkan mobil ke arah selatan. Di depan mereka kini terbentang jalan raya ke luar kota.

"Kenapa?"
"Nanti matamu sakit"

"Justru saat ini mataku terasa letih karena kurang tidur," jawab Joe, teringat akan peristiwa semalam.

Mendengar ucapan ini, jantung Tris tiba-tiba berdegup lebih kencang. Tidak itu saja. Sebuah aliran hangat tiba-tiba merayapi leher dan mukanya. Oh, apakah ia juga mengalami hal yang sama semalam? ucapnya dalam hati. Apakah ia juga melakukannya?
"Kenapa?" tanyanya asal-asalan, walau akhirnya ia menyesal harus bertanya. Bagaimana kalau pemuda ini memberikan jawaban seperti yang diharapkannya?

"Banyak nyamuk," kata Joe berbohong. Ia belum pasti apakah harus berterus terang dalam soal yang satu ini.

Tris tertawa lega, sekaligus juga kecewa. Tadinya ia berharap pemuda itu akan mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur karena memikirkan dirinya. Tetapi ia sebenarnya juga takut, kalau-kalau pembicaraan mereka harus membuat dirinya sendiri mengakui apa yang dilakukannya tadi malam.

"Tidur mu nyenyak?" tanya Joe, juga dengan jantung berdegup. Bagaimana kalau ternyata dia juga tidak bisa tidur dan melakukan apa yang kulakukan malam itu? gumamnya dalam hati. Tris menggeleng. Jantungnya berdegup kencang lagi. Kalau pemuda ini mendesak terus, apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya?
"Kenapa?" tanya Joe.

"Terlalu banyak minum kopi," kata Tris sambil berharap cemas menunggu pertanyaan selanjutnya. Tetapi rupanya Joe tak ingin melanjutkan percakapan. Sejenak keheningan melingkupi keduanya. Mobil meluncur cepat meninggalkan kota B.

Matahari mulai meninggi. Beberapa kali mereka berpapasan dengan gerobak-gerobak yang ditarik kerbau, membawa hasil bumi yang menggunung. Sawah luas mulai sering tampak di pinggir jalan. Di kejauhan, sebuah gunung tampak kelabu-biru. Puncaknya tertutup awan tipis berarak.

****
Joe mengajak Tris ke sebuah tempat yang ia sangat kenal, di pinggir sebuah danau kecil di kaki gunung. Tempat ini biasanya digunakan untuk perkemahan pramuka, atau untuk piknik keluarga di hari libur. Saat ini, tidak ada yang berkemah dan berpiknik. Hanya ada beberapa pemancing yang sedang bersiap-siap dengan perahu mereka hendak ke tengah danau mencari ikan. Mobil diparkir di depan sebuah warung yang tutup. Kalau musim libur, warung ini buka 24 jam, menyediakan segala macam keperluan orang-orang kota yang tidak selalu bisa back to nature walaupun maunya begitu. Joe mengenal baik pemilik warung itu karena sering hiking (berjalan lintas alam) ke daerah ini, membawa anggota junior dari kelompok pencinta alam di kampusnya. Bagi Joe, daerah yang masih asri ini mengingatkannya pada kampung halaman, tempat ia bersekolah dan bercengkrama dulu (Bagi Pembaca yang belum tahu awal cerita, bisa lihat Babak I serial Joe).

Dari tempat parkir itu, Joe mengandeng tangan Tris menuju danau, melintasi tanah lapang kecil yang biasa dipakai sebagai arena perkemahan. Di pinggir danau ada sebuah dangau (gubuk sederhana tanpa dinding) yang biasa dipakai berteduh kalau hari terik. Pelataran depan dangau ini berupa sebuah dermaga kayu yang sangat rendah sehingga hampir menyentuh permukaan air. Di dermaga itulah, tanpa alas kaki, Joe dan Tris duduk menghadap kaki gunung di seberang danau, mencelupkan kaki dan menendang-nendang air sejuk segar.

"Suasananya seperti di kampung halamanku," kata Joe dengan mata menerawang ke kejauhan.

"Ceritakan tentang kampungmu, Joe..," ujar Tris sambil merangkul lengan pemuda itu.

"Mungkin tak ada yang menarik buatmu," jawab Joe karena menduga pastilah "anak kota" seperti Tris (yang seperti kata Ridwan, "dibesarkan dan bersekolah di ibu kota") tidak akan tertarik kepada "kampung".
"Ayolah!" sergah Tris merajuk, "Kalau kamu yang menceritakan, pasti menarik!"

"Ceritanya panjang. Dari mana aku harus mulai?"

"Ceritakan tentang rumahmu, orangtuamu, saudara-saudaramu..,"

kata Tris, mempererat pelukannya di lengan Joe. Pemuda itu menunduk, memandang riak air dan seekor capung yang dengan gagah berani terbang mengapung di dekat dua pasang kaki manusia. Sebuah perasaan rindu yang amat kuat tiba-tiba menyergap dadanya. Ah! Lama sekali aku tak pulang dan tak berkabar! desahnya dalam hati.

"Ayooo, dong!" sergah Tris lagi, kali ini sambil menyandarkan kepalanya di lengan pemuda itu. Entah kenapa, bagi perempuan ini dunia sekarang jadi luas sekali, dan ia merasa sendirian sehingga perlu memeluk erat pemuda di sebelahnya. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa hanya pemuda ini yang ada di tengah jagat semesta tak berbatas. Kalau ia tak memeluk erat lengan itu, kemana angin akan membawanya terbang?

Joe pun bercerita dengan suara pelan, tentang sebuah rumah tua yang turun temurun ditempati keluarganya, dengan langit-langit kusam yang sudah berusia puluhan tahun, dan dengan beranda yang berlantai ubin kuning; lantai yang selalu mengkilap, karena setiap akhir pekan Ibu menggosoknya dengan sekaleng ampas kelapa. Rumah yang selalu teduh, dengan tembok yang agak lembab sehingga sebulan sekali perlu diamplas agar lumut tidak merajalela. Rumah yang menyimpan teriakan-teriakan ceria gadis kecil kepada kakaknya, juga ucapan lembut Ibunya, dan suara berwibawa Ayahnya. Betapa jauhnya rumah itu saat ini, .... beratus-ratus kilometer di seberang tanah, lembah, sungai, dan lautan.
"Berapa usia adikmu?" tanya Tris ketika Joe sejenak terdiam di tengah ceritanya.

"Sekarang sudah 11 tahun," jawab Joe, lalu ia melanjutkan dengan suara lirih, "Aku rindu sekali kepadanya."

Tris mengangkat kepalanya dari lengan Joe, menoleh memandang muka pemuda itu. Kasihan, gumamnya dalam hati, pemuda ini punya perasaan begitu halus. Pastilah ia sangat mencintai adiknya. Pantas ia mudah sekali dekat dengan Ria.

"Kapan terakhir kau pulang, Joe?" tanya Tris lembut sambil mengusap anak-anak rambut dari kening pemuda itu. Angin berhembus agak kencang, membawa sedikit embun yang membuat muka mereka lembab seperti habis bercuci muka.

Joe menunduk lagi. Ia katakan bahwa sejak tiba di kota B, belum sekali pun ia sempat pulang ke kampung halamannya. Tris terenyuh merasakan nada getir dalam ucapan Joe. Betapa berbedanya nasib pemuda ini denganku, bisiknya dalam hati. Aku hidup dikelilingi orang-orang terdekat. Tris memanjangkan lehernya, meraih leher Joe agar mendekat, lalu mencium pipi pemuda itu dengan sepenuh perasaan. Ingin rasanya ia menjadi bidadari yang sesungguhnya, agar bisa terbang membawa Joe ke kampung halamannya. Sayang sekali, aku cuma bidadari baginya, desah Tris dalam hati.
Lalu Joe bercerita tentang sekolahnya. Tentang teman-temannya. Juga tentang Yuli, walau tanpa menyatakan terus-terang bahwa gadis itu adalah pacar pertamanya. Joe bercerita pula tentang Mba Dwi, tetapi tidak tentang pengalaman-pengalaman mendebarkan yang diberikan wanita lajang itu. Lancar sekali Joe bercerita, seperti sedang mengulang kembali tahun-tahun yang sampai sekarang masih seperti terang terpampang di benaknya. Baru kali ini ia bisa bercerita begitu terbuka kepada seseorang yang praktis bukan siapa-siapa; bukan kakaknya, bukan saudaranya. Tetapi barangkali itulah sebabnya perempuan ini adalah bidadariku, ucap Joe dalam hati.

"Yuli itu pacarmu?" Tris memotong sambil menendang air danau, menimbulkan riak-riak besar. Joe tersenyum, mendeteksi ada sedikit nada lain di suara Tris. Apakah perempuan ini cemburu?
"Ya," jawab Joe, "Pacar pertamaku."

"Sampai sekarang?"

"Entahlah," jawab Joe sambil menghempaskan nafas kuat-kuat, "Aku tak pernah berjumpa atau mendengar kabarnya lagi."

"Kamu mencintainya?"

Joe menoleh, memandang Tris yang kali ini menunduk memandang air danau, seperti sedang mencoba menembus tirai air untuk melihat dasar danau yang gelap.

"Aku tidak tahu," katanya terus terang. Joe memang tidak pernah tahu, apakah ia mencintai gadis itu. Kalaupun "ya", ia tak pernah bisa menjawab apakah perasaan itu masih ada sampai sekarang.
Tris tersenyum dalam hati mendengar jawaban Joe. Dasar nakal! sergahnya dalam hati, tentu saja ia tak mau mengakui di depanku. Tris tahu persis, pemuda di sampingnya ini tertarik padanya. Mungkin juga jatuh cinta kepadanya. Mana mungkin ia mau mengatakan bahwa ia masih mencintai gadis itu.

"Aku sungguh-sungguh tidak tahu, Tris..," ucap Joe ketika melihat Tris diam saja.

Tadinya ia berharap Tris mendesak terus dengan pertanyaan-pertanyaan, sehingga ia bisa mengetahui lebih jauh apakah perempuan ini memang berminat mengetahui keadaan sesungguhnya.Tris menoleh, membalas tatapan Joe, dan tersenyum sambil berkata, "Lalu, siapa pacarmu sekarang?"

Joe terdiam sejenak. Bagi pemuda itu, kedua mata Tris tampak bagai pedang baja tajam berkilauan, siap menembus jantungnya yang berdegup kencang. Dihelanya nafas panjang-panjang, dikumpulkannya semua kekuatan yang ada padanya. Lalu ia berucap pelan dan tegas, "Kamu."

Tris tertawa keras, membuat capung-capung yang mulai berkumpul di dekat kaki mereka terbang berhamburan. Joe pun ikut terkejut, dan sempat kecut hatinya mendengar Tris tertawa. Apakah ia menertawaiku? pikirnya dengan panik.

"Kamu seperti botol bening, Joe. Gampang ditebak isinya!" ucap Tris sambil menahan tawa melihat Joe terkejut. Sesungguhnyalah pemuda ini begitu polos bagi Tris.

Joe ikut tertawa, tetapi dengan canggung, "Kamu benar," katanya, "Teman-temanku juga bilang, aku seperti buku yang terbuka. Mudah dibaca isinya."

Tris meraih pinggang Joe, memeluk pemuda itu dengan sayang, menengadahkan mukanya menawarkan bibir yang merekah basah. Ayo, ciumlah aku kalau kamu memang mencintaiku, bisiknya dalam hati. Mungkin dengan begitu aku bisa memutuskan sikapku sendiri.
Joe membiarkan tubuhnya sedikit terhuyung dipeluk oleh Tris. Muka bidadarinya itu dekat sekali dengan mukanya. Nafasnya yang harum menerpa bersama aroma alam segar yang amat disukainya. Tanpa ragu, Joe mencium bibirnya yang mempesona, mengulumnya dengan sepenuh hati, menumpahkan segala perasaannya ke mulut perempuan yang sudah menyita hidupnya belakangan ini.

Tris memejamkan matanya erat-erat, menutup pandangannya dari dunia nyata, membiarkan jiwanya terbang ke alam maya yang penuh ketakjuban. Bibir pemuda itu terasa hangat di bibirnya, membiaskan cinta kasih yang merayapi leher, turun ke dadanya, membuatnya melayang seakan berenang-renang di lautan perasaan yang amat dalam. Tris membiarkan dirinya terlena karena ia ingin pula segera menemukan, ada apa di dasar perasaannya. Apakah ia telah jatuh cinta, ataukah ini semacam episode saja dalam hidup yang tak pernah bisa diduga sepenuhnya itu?

Perlahan tapi pasti, keduanya saling mengulum dan saling melumat. Perlahan tapi pasti pula, kemesraan mereka berkembang berbuah menjadi kehangatan birahi badani. Tris semakin jauh terlena, merasakan desir darahnya bertambah cepat, dan daerah-daerah sensitif di tubuhnya seperti terbangkit oleh sebuah kekuatan gaib. Kedua tangannya merangkul leher Joe, merengkuh tubuh pemuda itu agar lebih erat terhenyak ketubuhnya. Nafasnya mulai memburu, dan desah gelisahnya mulai terdengar nyata.

Joe pun merasakan kelembutan kehangatan tubuh dalam pelukannya bagai segumpal awan yang dapat membawanya terbang. Nikmat sekali rasanya memeluk orang yang kau rindukan setiap hari, bisik hatinya. Harum tubuh perempuan ini pun sangat memabukkan, membuat Joe terasa berada di salah satu sudut di khayangan, di mana segalanya cuma keindahan dan kenikmatan belaka. Ingin sekali rasanya ia merebahkan tubuh itu di lantai dermaga, menindihnya dengan sepenuh nafsu, memberikannya kenikmatan yang kini dirasakan sudah penuh terkumpul di dalam tubuhnya.

"Jangan di sini, Joe..," desah Tris sambil melepaskan pelukannya. Ia sempat merasakan tangan Joe meremas pinggulnya, dan merayap turun ke pahanya. Pemuda itu tersentak tersadar.

"Maaf, Tris, aku terburu nafsu..," ucapnya dengan gugup.

"Ssst.. jangan minta maaf terus!" sergah Tris sambil menempelkan telunjuknya di bibir Joe, "Aku tahu tempatnya..."

Joe mengernyitkan keningnya, keheranan mendengar kalimat terakhir itu. Apa maksudnya dengan "tempat"? Ke mana bidadari ini akan mengajakku; pasti bukan kekhayangan! bisik Joe dalam hati. Ia membiarkan dirinya ditarik bangun. Lalu ia melihat Tris menjinjing kedua sepatunya, dan tahu-tahu sudah berlari ke arah mobil sambil berteriak riang, "Ayo, Joe. Kalau terlambat, aku tinggal kamu di sini!"
Terburu-buru Joe meraih sepatunya lalu mengikuti jejak Tris, berlari tanpa alas kaki. Hampir saja ia tersandung batu besar di pintu keluar dangau.

******
Rumah kecil dan asri itu terletak jauh di tengah kebun karet yang tampaknya sudah tak berfungsi lagi. Jalan menuju rumah itu berliku-liku, tidak beraspal tetapi berbatu-batu kerikil dan tampaknya terawat baik karena mobil Tris bisa melaju cukup cepat. Di depan rumah itu ada sebuah taman yang luasnya dua kali lipat dari bangunan rumah, tampaknya juga terawat baik dengan bunga-bunga aneka warna. Sebuah pintu gerbang besar terbuat dari kayu kokoh tampak tertutup ketika mereka tiba, tetapi lalu Tris menekan sebuah alat di mobilnya, dan pintu itu terbuka sendiri. Joe takjub memandang teknologi yang sering didengarnya, tetapi yang baru kali ini dilihatnya itu.

Tris tertawa kecil melihat Joe terpana, lalu berucap, "Belum pernah ke villa?"

Joe menggeleng. Ia sering mendengar orang-orang kota yang punya villa di tempat-tempat peristirahatan seperti ini. Tetapi baru kali ini ia masuk ke dalam salah satunya. Dulu Rima pernah bilang ayahnya punya villa di daerah P, tetapi mereka belum pernah ke sana. Ridwan juga katanya punya dua villa entah di mana, tetapi pemuda itu tak pernah mengajaknya ke sana. Kini, bidadari yang mempesonanya itu membawanya ke sebuah villa!

Dengan cekatan Tris memasukkan mobilnya ke sebuah garasi yang juga terbuka dengan sentuhan tombol remote control. Tak ada sebatang hidung manusia pun yang tampak di villa itu. Mungkinkah mereka cuma berdua di sini? Joe bertanya-tanya dalam hati. Seandainya "ya", mungkinkah .....?

Lamunan Joe buyar karena Tris mencubit tangannya, "Kita sudah sampai. Ayo turun..," ucap Tris lembut sambil memandangnya dengan tatapan yang membuat Joe gelisah.

"Katakan dulu, di mana kita," jawab Joe membalas tatapan Tris dengan tak kalah tajam.

"Ini tempatku bertapa," kata Tris sambil tersenyum; ada sekilas sinar nakal di matanya, membuat Joe ingin menggigit gemas bidadari ini.
"Kenapa kita ke sini?" desak Joe.

"Karena aku mau ke sini," jawab Tris sambil mulai melangkah keluar. Joe menelan ludah, merasa tiba-tiba gugup dan canggung. Dengan ragu ia ikut melangkah keluar, menyusul Tris yang cepat sekali menghilang ke balik sebuah pintu di belakang garasi. Pintu itu menghubungkan garasi dengan ruang tengah yang luas, berisi dua buah sofa panjang di atas hamparan karpet tebal bermotif modern. Di depan sofa tampak sebuah perapian yang tampaknya memakai energi listrik. Juga ada sebuah televisi ukuran besar dan sebuah stereo-set dengan empat speaker yang menjulang tinggi.
Tris bediri dekat sofa ketika Joe masuk dengan langkah ragu-ragu. Pemuda ini betul-betul terpana melihat isi villa. Apalagi ada sebuah jendela besar yang menghadap ke sebuah sungai di bawah sana. Airnya tampak berkilauan, menyelinap berliku di batu-batu besar berwarna hitam legam.

"Kesini..," Tris berbisik sambil mengembangkan kedua tangannya, mengundang Joe ke pelukannya.

Joe melangkah mendekat, lalu membiarkan pinggangnya dipeluk Trista, membiarkan tubuh bagian bawah mereka menyatu. Jantungnya berdegup sangat kencang, menimbulkan suara ramai di telinganya.
"Kamu takut?" bisik Tris dekat sekali di mukanya. Joe memandang lekat kedua mata bidadarinya. Ia menemukan kehangatan yang membara di sana. Menemukan percik-percik bara yang siap yang membakar jiwanya, menimbulkan gairah yang perlahan-lahan menghapus keraguannya.

"Sekarang tidak lagi," ucap Joe sambil menahan getar di bibirnya.
Tris tersenyum lembut sekali, lalu mendekatkan mukanya ke muka pemuda itu, membuka bibirnya bagai sekuntum bunga yang merekah menyambut matahari pagi. Kedua kelopak matanya menutup perlahan, sebelum bibir mereka beradu lembut. Joe merasakan betapa sebuah aliran hangat seperti merayap keluar dari bibir yang menggairahkan itu, menelusup ke bibirnya sendiri lalu memenuhi dadanya.
Tiba-tiba keragu-raguannya sirna. Rasa takutnya lenyap, seperti embun diterpa panas mentari. Dan kini panas mentari terbit di tubuhnya, membuat darahnya menggelegak seperti mendidih.
Tris berjingkat, memeluk leher pemuda itu, mengulum bibirnya, membuka mulutnya mengundang lidah Joe untuk mulai menjelajah. Ayolah, desahnya dalam hati, lakukan lagi apa yang selama ini kau lakukan. Lakukan pula apa yang selama ini aku impikan. Lakukan dan lakukan lagi. Ayolah...

Joe menghisap kedua bibir yang menggairahkan itu, membuka mulutnya sendiri untuk menyambut sergapan nafas hangat yang menghabus keluar dari mulut Tris. Lalu ia menjilati lidah Tris yang muncul di permukaan mulutnya. Lalu ia mendesak lidah itu kembali ke mulutnya, dan menjelajahi rongga yang menggairahkan dan penuh kehangatan itu. Tris mendesah perlahan. Tris mengerang perlahan.Cukup lama keduanya saling memagut dan melumat sambil tetap berdiri. Tris merasakan tubuhnya melayang-layang lagi. Kali ini disertai rasa geli gatal yang sangat dikenalnya; yang perlahan-lahan mulai memenuhi tubuhnya. Payudaranya yang kenyal terhenyak di dada bidang pemuda itu, menimbulkan rasa nyaman sekaligus nikmat. Apalagi Tris kemudian menggerak-gerakkan dadanya perlahan, menggesek kekiri dan kekanan, menambah tekanan di puncak-puncaknya.
Perlahan-lahan tangan Joe merayap turun dari punggung Tris, menyusuri lekuk-liku tubuh yang seksi itu. Setiap mili perjalanan tangan itu menimbulkan gairah kelaki-lakiannya. Apalagi kemudian ia menemukan resleting di punggung Tris begitu mudah terbuka,... perlahan-lahan menguakkan gaun putih yang dikenakannya. Tangan Joe menelusup masuk, menemukan kulit halus mulus menggairahkan yang seperti bergetar lembut setiap kali tersentuh telapaknya.

"Hmmmmm...," Tris mendesah manja sambil melangkah mundur perlahan-lahan ke arah sofa. Joe mengikutinya sambil terus mengusap-usap punggung Tris yang telanjang. Sebelum sampai di sofa, Tris menggerak-gerakan bahunya, dan gaun tipis yang resletingnya sudah terbuka itu kini meluncur turun. Sekejap kemudian, Tris tinggal berpakaian dalam..... Joe melepaskan ciumannya, memandang takjub tubuh molek di hadapannya. Tubuh inilah yang selalu ada di mimpinya, dan ... memang, tak ada yang berbeda dari selama ini dirindukannya! Semuanya tampak indah belaka!
"Buka bajumu, Joe..," bisik Tris dengan suara bergetar sambil mulai membuka sendiri behanya. Dalam sekejap kedua payudaranya yang membulat menjulang itu terpampang seksi di hadapan Joe. Pemuda ini menelan ludah berkali-kali sambil dengan gugup membuka bajunya. Tris tersenyum melihat Joe baru bisa membuka satu kancing dan sedang repot membuka yang kedua.

"Sini aku bantu," bisiknya sambil mendekat dan dengan cepat membuka kancing baju pemuda itu. Joe meraih tubuh Tris lebih dekat lagi, memegang mukanya dengan dua tangan, dan memagut bibirnya yang menggemaskan itu. Tris mengerang pelan sambil memejamkan kedua matanya lagi.

Sambil mengulum bibir Tris, tangan Joe dengan cepat meluncur ke dadanya, meremas dua bukit indah yang menggairahkan itu, membuat Tris mengerang lebih keras lagi. Sebuah sergapan kenikmatan memenuhi tubuh wanita ini, yang kini sibuk membuka celana jeans Joe. Dengan satu tangan lain, Joe membuka celana dalam nilon Tris, memerosotkannya sampai ke paha, lalu meremas bagian belakang yang membukit mulus itu. Tris mengaduh manja.
Sebentar kemudian pakaian keduanya telah berserakan tak beraturan di kaki sofa, dan keduanya telah terhenyak di badan sofa dengan tubuh Joe menindih tubuh Tris yang putih mulus. Kedua kaki Tris yang indah itu melingkar memeluk pinggang Joe yang kini sibuk menciumi dada bidadari pujaannya. Kedua tangan Tris mencengkram sandaran sofa karena sebuah rasa geli yang amat sangat menyerbu tubuhnya, datang dari mulut Joe yang tahu-tahu sudah mengulum salah satu putingnya.

"Oooh!" Tris menjerit sambil mendesis ketika merasakan ujung kejantanan Joe yang sudah tegang keras itu menyentuh permukaan kewanitaannya. Ia menurunkan kakinya dari pinggang pemuda itu agar bisa mengangkat bagian bawah tubuhnya ... agar bisa segera dimasuki oleh bagian yang kini sering diimpakannya itu.
Joe menggeliat kegelian merasakan kejantanannya tergesek-gesek di sebuah lepitan yang agak basah dan hangat. Terus terang, ia belum pernah melakukan percumbuan dengan tubuh sepenuhnya telanjang seperti ini. Ada semacam rasa aneh yang memenuhi dirinya; semacam perasaan tidak berada di dunia yang sesungguhnya. Seperti dalam dunia khayal yang sewaktu-waktu bisa berubah atau lenyap. Seperti menjadi bagian dari sebuah mimpi erotik yang sewaktu-waktu bisa membuatnya terjaga.
Lalu Joe merasakan dirinya pelan-pelan tenggelam ...

Masuk ke sebuah liang sempit yang licin dan berdenyut ...

Ini belum pernah dialaminya ...

Sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya ..

Sesuatu yang menakjubkan mempesona melenakan.


"Joe...," Tris mendesah sambil merangkul leher pemuda itu.
Ia merasakan sentuhan kejantanan Joe berubah menjadi desakan lembut yang menyebabkan sesuatu di bawah sana terkuak perlahan...

Lalu ia merasakan sebuah kehangatan menyerbu masuk .. Mula-mula perlahan, tetapi kemudian cepat melesak ... Tris mendesis merasakan tusukan kenikmatan menikam ke pusat kewanitaannya. Joe terhenyak dalam sekali di tubuh bidadari pujaannya. Ia mengerang ketika merasakan dirinya seperti diselimuti oleh gumpalan daging lembut hangat dan licin. Rasanya seperti terhenyak di kelembutan alami yang tak berujung tak berpangkal. Rasanya juga seperti diremas-remas dengan perlahan di sepanjang tubuhnya.
Lalu entah bagaimana keduanya mulai bergerak-gerak. Mula-mula gerakan itu tak beraturan. Tetapi kemudian mereka menemukan irama sendiri. Joe bergerak turun naik makin lama makin cepat. Tris bergerak berputar-putar, juga semain cepat. Joe kini bertumpuan di kedua sikunya sambil membenamkan mukanya di pangkal leher Tris yang sudah mulai berkeringat. Tris merangkulkan kedua kakinya yang indah di pinggang pemuda itu, sementara kedua tangannya merangkul erat leher Joe. Suara desah dan erangan bercampur derit sofa dan kecipak-kecipuk seksi yang keluar dari tempat berpadunya tubuh mereka. Ramai sekali. Bergairah sekali.
Entah kebetulan atau tidak, alam seperti sedang menyaksikan pecumbuan dua anak manusia ini. Sebuah guntur menggelegar di kejauhan, gemanya dipantulkan dinding-dinding gunung, menimbulkan geluduk berkepanjangan seperti ada kereta api raksasa melintas di langit. Lalu rintik hujan mulai turun diiringi angin yang berkesiut di puncak-puncak pohon. Suasana cepat sekali berubah menjadi seperti senja hari, padahal ini belum pukul 12.00.

Joe bergerak makin cepat dengan nafas semakin berburu. Tris berkali-kali mengerang mendesah dengan kaki yang semakin tinggi terangkat, hampir mencapai punggung Joe. Ia kini tak lagi bergerak, melainkan terkangkang lebar dan pasrah menunggu datangnya badai klimaks yang sudah di ambang pintu. Ketika Joe untuk kesekian kalinya menghujam dengan kuat dan bergairah, Tris mengerang panjang sambil menyebut nama Joe. Tangannya mencengkram sofa kuat-kuat, kepalanya tersentak ke belakang menekan sandaran, seluruh tubuhnya menggeliat menggelinjang. Kakinya menjepit pinggang Joe semakin erat. Klimaksnya datang bagai hendak menyita seluruh jiwanya.

Joe merasakan pula sebuah desakan yang tak mampu dikendalikannya, membuat tubuhnya bergetar hebat. Air bah birahi menyembur keluar deras sekali, membuatnya meregangkan seluruh otot di tubuhnya. Tubuh bagian bawahnya dihenyakkannya dalam-dalam, menekan tubuh Tris ke sofa di bawahnya. Lalu ......

"Oooh..," Tris menjerit pelan merasakan cairan panas menyeruak tumpah ruah di dalam tubuhnya.

"Aaah!" Joe menjerit pula, tidak hanya sekali, tetapi setiap kali ia merasakan muncratan cairan cintanya berhamburan keluar tak tertahankan.
Air hujan bagai ditumpahkan dari langit. Suaranya ramai sekali mencercah bumi, menghantam genteng villa menimbulkan suara gemuruh, menenggelamkan jeritan-jeritan Joe dan Tris yang sedang menikmati klimaks mereka yang panjang.

Hari itu, di suatu siang yang basah oleh hujan, Joe menyerahkan keperjakaannya kepada seorang wanita yang dianggapnya bidadari. Ia tak menyadari hal ini, karena berkali-kali kemudian mereka bercumbu dan bercumbu lagi. Tak pula sempat menimbang, betapa semakin lama mereka melangkah semakin jauh. Bahkan mungkin terlalu jauh.....

Para Sahabat Datang dan Pulang

Tris dan Joe bagai dua burung yang lepas dari kukungan sangkarnya, terbang lincah dan liar di angkasa terbuka. Juga bagai dua pengelana dahaga yang menemukan oasis sejuk berlimpah air di tengah padang pasir gersang. Mereka reguk segala kebebasan bagai tiada lagi hari esok. Hampir setiap waktu luang mereka gunakan untuk bercengkrama atau bercumbu, tak peduli pagi, atau siang, atau malam. Badai gairah cinta-birahi menerbangkan mereka tinggi sekali, menebus mega kesadaran menuju puncak-puncak kenikmatan yang seringkali beriringan dengan kealpaan.

Ridwan menahan geram ketika ia mengetahui hubungan dua anak manusia itu sudah sangat jauh. Selain dia, Rima juga mulai mengenali keganjilan Joe. Sudah tiga kali dalam seminggu yang lalu Joe membolos kuliah. Belum pernah sepanjang persahabatannya dengan pemuda itu, Rima melihat Joe begitu mudah meninggalkan studi.
Di bawah pohon asam dekat gerbang utama kampus, Rima mendesak Ridwan agar menceritakan apa yang terjadi dengan sahabat mereka. Geram sekali gadis ini menyadari bahwa sahabat yang diam-diam dipujanya itu ternyata terpikat oleh wanita lain. Lebih geram lagi ketika ia kemudian tahu bahwa wanita itu sudah bersuami!
"Kamu selama ini rupanya sudah tahu banyak tentang mereka!" sergah Rima gemas, karena merasa disingkirkan dari jaringan persahabatan mereka.

"Siapa yang kau maksud dengan 'mereka'?" jawab Ridwan pura-pura tidak tahu.

"Jangan pura-pura bloon!" sergah Rima lagi sambil menatap tajam. Ridwan menghindari tatapan itu, mendongak menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi.

"Mengapa Joe sampai begitu, Rid?" desak Rima. Ridwan menunduk, memainkan kerikil dengan ujung sepatunya. Itu pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Ia sendiri tidak tahu jawabnya. Kata orang, begitulah kalau cinta telah melanda kalbu. Tetapi, apa itu cinta, Ridwan tak pernah bisa memahaminya lebih jauh. Terlebih lagi, mengapa orang bisa begitu mencintai seseorang, sampai berani mengambil risiko besar? Ah, itulah justru misteri yang selama ini tak pernah ia bisa pecahkan.

Terdengar langkah orang mendekat. Mereka berdua menengok; rupanya Tigor yang datang dengan dahi berkerenyit serius.
"Gila betul si Joe itu!" ucap pemuda itu dengan logat daerahnya yang kental.
"Ada apa?" tanya Rima dan Ridwan berbarengan.
"Aku lihat tadi dia bersama perempuan itu lagi, naik mobil ke arah selatan," kata Tigor sambil menghenyakkan pantatnya, duduk di sebelah Ridwan.

"Kenapa kau bisa bertemu mereka?" tanya Rima, sementara Ridwan membisu. Pikiran pemuda ini berkecamuk hebat, karena sebetulnya ia sudah mendengar selentingan kabar bahwa salah seorang penjaga dan perawat villa milik Tris sudah tahu tingkah tuan putrinya itu.
"Aku iseng ingin ke tempat kostnya, pagi-pagi sekali," kata Tigor, "Tapi, baru aku sampai di tikungan menjelang jalan ke sana, aku lihat di kejauhan si Joe naik ke mobil putih itu. Aku kebut lah, motorku. Kukejar mereka, tapi tak aku salip.."

"Apakah Joe melihatmu?" Ridwan membuka mulut juga akhirnya. Tigor menggeleng.

Rima menghembuskan nafas kuat-kuat. Lalu ketiganya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Baiklah aku ceritakan saja siapa perempuan itu..," kata Ridwan akhirnya sambil memperbaiki letak duduk. Segera saja Rima dan Tigor menengok dan menatap pemuda itu dengan seksama. Rima duduk di sebelah kiri, sehingga kini Ridwan terapit oleh dua sahabatnya. Kalau ada orang melihat dari kejauhan, niscaya mereka melihat pemandangan indah: tiga sahabat muda bercakap-cakap serius seksama, di bawah teduhnya pohon asam yang rindang, di tengah siang yang terik.

Tentu orang lain tak tahu, bahwa yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang sangat menggelisahkan. Berkali-kali terlihat Rima menghela dan menghembuskan nafas panjang. Tigor juga kelihatan gelisah, mengusap-usap rambutnya yang keriting berkali-kali; seakan-akan dirambutnya itu ada sesuatu yang harus disingkirkan jauh-jauh. Apa yang diceritakan oleh Ridwan membuat Rima dan Tigor terkesima. Terutama ketika akhirnya Ridwan menceritakan pula gosip yang kini sudah tersebar di keluarga Tris, akibat cerita mulut ke mulut di kalangan penjaga dan perawat villa.

*******
Sementara itu, di saat yang sama, tetapi puluhan kilometer jauhnya dari tempat ketiga sahabat itu berbincang-bincang, Joe sedang tenggelam dalam lautan birahi. Tubuhnya yang penuh vitalitas muda itu berkeringat, bergerak naik turun dengan ganas di atas tubuh putih mulus yang menggelinjang-gelinjang penuh gairah. Suara desah bercampur erangan dan rintihan memenuhi kamar yang luas di villa asmara itu. Derit dan derik ranjang ikut meningkahi, menambah semarak dan seronok suasana. Dua buah bantal tampak berserakan di lantai, di atas beberapa helai pakaian yang tampaknya dibuka tergesa-gesa dan dilemparkan begitu saja oleh pemiliknya.

"Oooh, Joe... lebih cepat lagi... ooooh...," Trista terdengar mendesah merintih, sambil melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu, menarik kepala Joe lebih tenggelam lagi di lekuk-liku pangkal lehernya. Wanita yang bertubuh padat dan seksi ini terlihat memejamkan matanya menikmati persetubuhan yang menggelora itu. Keringat telah tampak pula di tubuhnya yang mulus, terutama di lehernya yang jenjang itu,.. di dadanya yang terhenyak oleh dada Joe.., di bahunya yang melengkung indah itu,.. di punggungnya yang melenting menggeliat tinggi di atas kasur,.. di bokongnya yang padat dan tak hentinya bergerak-bergetar gelisah ..

"Mmmh... yaaa...mmmh..," Joe cuma bisa mengerang sambil terus menciumi leher Tris yang sudah basah oleh keringat. Otot-otot di tubuh pemuda ini sedang berjuang keras memenuhi tuntutan birahi pemiliknya dan perempuan yang sedang disetubuhinya. Ia seperti berenang-renang di lautan liat kenyal yang hangat dan berdegup-berdenyut. Seperti tenggelam dalam sponge dan jelly raksasa yang selalu bergerak-gerak liar. Seperti terperangkap oleh otot halus tapi kuat yang erat mencekal sepanjang batang tegang tegak kelaki-lakiannya.
"Aaaah... ," Trista mengerang, mengangkat tinggi-tinggi kedua kakinya, memeluk tubuh pemuda itu. Wanita itu merasakan hujaman tikaman kejantanan Joe semakin lama semakin terasa nikmat, memenuhi seluruh rongga kewanitaannya yang berdenyut-denyut liar di bawah sana. Hujaman itu juga semakin dalam, mendesak jauh sampai ke langit-langit paling belakang dari liang licin yang bagai berdecap-decap ikut menikmati perjalanan asmara yang membara Ini adalah untuk kesekian kalinya ia mendaki puncak asmara. Sudah tiga kali tadi ia menggelepar-gelepar menikmati orgasmenya....

Betul-betul hebat percumbuan mereka. Belum pernah sepanjang masa perkawinannya Trista mengalami kenikmatan hubungan badan yang begini memabukkan. Joe tadi menyetubuhinya di lantai, memberikan dua orgasme yang datang cepat bagai angin taifun. Lalu pemuda itu mengangkatnya ke ranjang, dan memberikan satu lagi orgasme susulan yang bagai merupakan penjumlahan dari dua orgasme sebelumnya.

Joe menghujam-hujamkan kejantanannya dengan bergairah. Oh, sudah beberapa kali ini mereka bercumbu, dan Joe benar-benar ketagihan dibuatnya. Tidak saja ia menikmati birahi badani, tetapi ia juga merasa sangat berbahagia bisa membuat bidadari pujaannya mengerang-erang nikmat. Bagi Joe, baru kali inilah hubungan
seksual mempunyai makna yang lebih daripada sekedar ejakulasi. Setiap kali mereka berhubungan, Joe merasa mempunyai kesempatan untuk memberikan kebahagian sebesar-besarnya kepada wanita yang telah menyita seluruh perhatiannya ini. Sebagai pemuda desa yang tak berpenghasilan, hanya itulah yang bisa ia berikan kepada Trista.

Joe juga tiba-tiba menjadi semakin ahli dalam bercumbu, padahal tidak ada yang mengajarinya, kecuali dulu Mba Dwi yang memperkenalkannya pada misteri seksual wanita. Dengan hanya mengikuti instingnya, Joe melayani gairah birahi Tris yang ternyata juga sangat berkobar-kobar itu. Setiap permintaan Tris dipenuhinya, bahkan kalaupun ia tidak mengerti apa permintaan itu pada mulanya.

Seperti tadi, ketika mereka baru memulai percumbuan di sofa di kamar tengah, Tris meminta Joe menciumi perutnya. Sambil tertawa manja, perempuan itu menuntun kepala Joe ke tempat-tempat yang disukainya. Mula-mula Joe menciumi belahan atas perut itu, sedikit di bawah dua bukit payudaranya yang menjulang indah. Hmmm... harum dan halus mulus kulit perut Trista, membuat pemuda ini bersenang hati berlama-lama menciumnya. Entah kenapa ia sejenak berkhayal bisa masuk ke dalam perut yang tampak lembut bergetar itu.., mungkinkah ia bisa mencelup kedalam rahim wanita yang selalu menggugah kalbunya itu.., bisakah ia bernafas di dalam rongga hangat di sana?

Lalu Trista mengerang pelan, berbisik, "..agak ke bawah lagi, Joe...", dan pemuda itu pun menurutinya, menciumi pusar-nya yang bagai sebuah noktah malu-malu bersembunyi di cekungan perut Trista. Secara instingtif, Joe mengeluarkan lidahnya, menjilati liang pusar itu ..... membuat pemiliknya menggelinjang sambil menjerit kecil, "

aww.. geli, Joe..".

Tentu saja Joe tak peduli pada protes tak bermakna itu. Ia terus menjilat. Trista terus mengerang dan memprotes. Permukaan perutnya naik dan turun semakin kuat, seperti lautan yang bergelombang oleh gempa tektonis di dasarnya. Dan Joe seperti perahu nelayan yang sukarela diayun-ayun gelombang itu. Naik, turun.., naik, turun,.. naik, turun.. Lama sekali rasanya, membuai-buai, berulang-ulang.
Lalu Joe semakin turun lagi, bagai ditarik sebuah kekuatan magnit. Mulut dan hidungnya menyusur ke bawah, bagai dituntun sebuah tali ajaib yang tak terlihat mata. Trista mendesah, memejamkan matanya kuat-kuat bagai sedang menunggu sebuah kejadian yang tak terduga. Bagai seorang pesakitan yang sedang menanti keputusan hukuman. Bagai seorang mahasiswa yang berdebar menunggu ganjaran. Kedua tangannya tak lagi berada di kepala Joe, melainkan mencengkram kain sofa kuat-kuat. Oh,... akankah ia melakukannya? Hatinya bertanya, sekaligus berharap. Seperti apakah nanti rasanya.., Trista belum pernah merasa setegang dan seberdebar ini sepanjang hidupnya.

Lalu Joe sampai di daerah itu .... sebuah segitiga kehitaman yang memagari sebuah wilayah hangat yang merekah bagai bunga di musim semi. Aroma birahi memenuhi penciumannya, dan Joe bagai takjub memandang milik paling pribadi dari bidadari pujaannya. Dekat sekali ia bisa memandang lembah basah yang terlihat membuka bagai mengundangnya untuk datang lebih dekat. Ada lepitan dan bukit-bukit kecil yang tampak empuk menyembunyikan sebuah tonjolan memerah-muda yang bagai mengintip dari tempat persemaiannya. Segalanya yang terlihat Joe dari dekat itu seperti memiliki kekuatan magis, menarik mukanya untuk lebih mendekat lagi .... Lebih dekat lagi.... Dan lagi.

"Aaah!" terdengar Tris mendesah pendek dan keras.
Sebuah serbuan kenikmatan yang tiada tara menyengat kesadarannya, membuatnya seperti dilemparkan tinggi-tinggi ke angkasa kenikmatan. Lidah Joe menyentuh titik tersembunyi yang selama ini menjadi sumber birahinya!

Lalu Joe semakin bergairah, menggunakan lidah, bibir, hidung, mulut dan seluruh mukanya untuk menjelajahi lembah asmara yang kini terbuka lebar itu. Tris mengangkangkan pahanya, memberikan keleluasaan kepada pemuda itu. Tubuhnya menggeletar hebat, tetapi ia berusaha keras agar tetap berada di atas sofa, mencengkram pinggiran sofa kuat-kuat dengan kedua tangannya. Selama tak kurang dari 15 menit Joe memberinya kenikmatan luar biasa dengan permainan yang sangat pribadi dan sangat alami itu. Betapa panjangnya tali kenikmatan yang teruntai darinya!
Lalu Tris tak tahan lagi. Ia menarik tubuh Joe sekuat tenaga agar pemuda itu menindihnya di atas sofa. Tetapi lalu mereka malah jatuh berdua ke lantai yang tertutup karpet tebal. Dan tanpa basa-basi, keduanya langsung memulai hubungan badan dan berderap bersama menuju puncak asmara. Trista langsung memperoleh hadiah orgasmenya yang pertama dari percumbuan itu.

Kini, perempuan itu kembali menuju puncak asmara di atas ranjang yang sudah tak karuan bentuknya. Joe menegakkan tubuhnya, bertelektekan dengan kedua tangannya yang kokoh bagai sedang bersiap untuk push-up. Trista mengangkat kedua kakinya lebih tinggi lagi, menyangkutkannya di bahu pemuda itu, sehingga pantatnya terangkat dari permukaan kasur dan kewanitaannya semakin terkuak siap menerima serbuan batang keras pejal kenyal yang terus-menerus keluar-masuk tak kenal lelah.

"Joe... ooooh... aku.... ooooh," Trista mengerang tidak karuan, " tak tahan... oooh.. lagi... ooooh..."

Pemuda itu tak menjawab. Ia sendiri sedang sibuk mengendalikan dirinya, berusaha agar serbuan kenikmatan yang kini memenuhi tubuhnya tidak tumpah ruah tak terkendali. Ia mengatupkan kedua rahangnya erat-erat, berkonsentrasi penuh menggenjot tubuh bagian bawahnya. Sesekali ia mendesis merasakan kegelian-kenikmatan meluncur menuju ujung kejantanannya, dan ia pun berhenti sejenak kalau sudah demikian, agar tak terlanjur lepas dalam pancuran ejakulasi.

Tetapi, tentu saja ia tak bisa terus menerus bertahan. Apalagi kemudian Trista mengalami orgasme ketiganya yang sangat intens. Ia menggeliat dan mengerang panjang, sementara liang kewanitaannya berkontraksi dalam denyut yang kuat dan liar.
Joe merasakan kejantanannya bagai diremas-remas sebuah otot halus liat dan hangat. Ia tak tahan lagi. Cepat-cepat ia mengeluar-masukkan batang pejal kenyal itu sekuat tenaga. Menghujam-menikam sedalam mungkin. Mendorong-mendesak sekeras mungkin. Semakin lama semakin cepat... semakin cepat.... semakin cepat... semakin cepat ....

"Oooooh... ohhhh.... ohhhh', jeritan-jeritan Trista semakin lama semakin keras dalam interval yang semakin pendek.

"Aaaaah!" Joe mengerang keras tak sanggup lagi menahan jebolnya tanggul pertahanan, .... membiarkan cairan cintanya yang hangat dan kental menyerbu keluar, .... meluncur pesat di sepanjang buluh daging yang sudah menegang maksimal itu, .... memuncrat dengan kuat memenuhi kewanitaan Tris.

"Oooooooooh!' Tris menjerit panjang dan lepas, melentingkan tubuhnya bagai sedang menerima tikaman panjang yang mematikan. Seluruh tubuhnya bergetar berguncang hebat, membuat tubuh Joe yang berada di atasnya ikut terlonjak-lonjak.

******
"Kita harus memberinya peringatan!" sergah Tigor sambil mengepalkan tinju.

"Aku sudah melakukannya berkali-kali!" sergah Ridwan sambil menahan geram.

"Kita coba lagi!" seru Rima sambil bangkit dan mengguncang lengan Ridwan.
"Kita cari dia sekarang!" seru Tigor sambil bangkit pula dan ikut-ikutan mengguncang lengan Ridwan. Pemuda itu bagai sebuah pohon lunglai diguncang kekiri dan kekanan oleh dua sahabatnya. Rambutnya yang agak gondrong jadi terurai-urai menutupi sebagian mukanya.
"Sudah... sudah... kenapa aku yang kalian guncang-guncang!" sergah pemuda itu sambil menepis tangan Rima dan Tigor.

"Ayo kita ke villa itu. Mereka pasti di sana!" seru Tigor sambil melepaskan cengkramannya dari lengan Ridwan.

"Untuk apa kita ke sana?" tanya Ridwan sengit. Ia masih merasa tidak wajar jika harus ikut campur sejauh itu. Walau bagaimana pun, diam-diam Ridwan mengakui bahwa Joe punya segala hak untuk jatuh cinta, terlepas dari kenyataan bahwa wanita yang dicintainya adalah istri orang lain.

"Kita bisa mengajaknya bercakap-cakap. Menyadarkan risikonya, Rid!" ucap Rima dengan suara tinggi. Gadis ini sungguh kuatir mendengar cerita Ridwan tentang gosip hubungan Joe ke telinga keluarga Tris. Bagaimana kalau suaminya marah dan kalap?
"Dia sudah tahu risiko itu!" sahut Ridwan dengan suara yang juga meninggi.
"Goblok sekali dia!" sergah Tigor sambil menendang sebuah batu kecil. Batu itu terlontar cukup tinggi, jatuh bergelindingan di trotoar dan membentur kaki seorang mahasiswa. Sesaat mahasiswa itu mengangkat kepalanya, mencari sumber gangguan. Tetapi ketika pandangannya bertumbuk dengan sepasang mata Tigor yang garang, mahasiswa itu cepat-cepat berlalu tanpa basa-basi.

"Memang!" sahut Ridwan dengan tak kalah geram, "Goblok dan nekad!"
"Ayolah kita ke sana," Rima merajuk sambil menarik tangan Ridwan.

"Ayolah!" ucap Tigor memberi dukungan.

Ridwan menatap kedua sahabatnya. Ia melihat bayang-bayang kesungguhan di muka mereka. Terlebih lagi di muka Rima, yang juga dipenuhi warna kekuatiran. Ridwan menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Ia tidak punya alasan lagi untuk menolak ajakan mereka.

"Ayolah...," ucapnya lemah, lalu mulai melangkah gontai menuju tempat parkir.

Tak lama kemudian, VW merah berisi tiga sahabat itu terlihat meluncur meninggalkan kampus menuju selatan.

******
Suara burung berkicau terdengar jelas dari dalam kamar tempat Joe dan Tris tergeletak lunglai. Hari sudah menjelang sore, dan burung-burung tampaknya baru tiba kembali setelah seharian tadi berkelana mencari makan. Alam tampak ramah, menyembunyikan sinar terik mentari di balik awan tebal, tetapi tidak memberikan hujan. Angin berhembus sejuk sepoi-sepoi membelai dedaunan yang tampak bergerak pelan seperti orang-orang yang sedang bermalasan.
Tris merebahkan kepalanya dengan manja di dada Joe yang masih lembab oleh keringat. Ia memejamkan mata, menikmati sisa-sisa amukan badai birahi yang berputar-berkecamuk di seluruh tubuhnya. Sendi-sendinya terasa pegal tetapi juga nikmat. Pinggangnya terasa sakit tetapi juga nikmat. Kewanitaannya terasa sedikit perih tetapi juga nikmat. Ah, betapa banyak ironi di tubuhnya, betapa banyak ketidak-setaraan di badannya.
Joe sejenak terlena, membiarkan kantuk memenuhi kepalanya. Tubuhnya terasa letih seperti seorang petani yang mencangkul seharian. Badannya terasa ringan melayang-layang. Seluruh isi tubuhnya seakan keluar tumpah ruah bersama puncak asmaranya. Kini ia bagai wadah kosong yang terapung dalam lautan luas tak berbatas. Sebagai ganti isi tubuhnya, sebuah perasaan hangat dan indah kini bermunculan. Mungkin inilah pengejawantahan kebahagiaan badaniah yang berjalinan dengan ketulusan cinta.

"Capek?" bisik Tris melihat kedua kelopak mata pemuda itu perlahan membuka.
"Hmm..," Joe menggumam, meraih rambut bidadarinya yang tergerai menutupi sebagian mukanya. Rasa sayang memenuhi dada pemuda ini. Perlahan dan lembut ia membelai kepala yang tergeletak lunglai di dadanya itu.

Trista memejamkan matanya, membiarkan usapan pemuda itu membiaskan kelembutan keseluruh tubuhnya. Semakin lama semakin jelas bagi wanita ini, betapa berbedanya sebuah persetubuhan yang disertai rasa sayang. Betapa dingin dan hambarnya persebadanan yang selama ini ia alami bersama suaminya. Tak ada pembukaan yang bergelora, karena lelaki itu serba tergesa. Tak ada penutup yang penuh kemanjaan seperti ini, karena lelaki itu segera meringkuk tidur meninggalkan dirinya terlentang dengan tubuh bagai sehabis dirajam. Dengan Joe, segalanya serba nikmat dan berkepanjangan. Pemuda ini benar-benar maestro cinta baginya.

Tiba-tiba mereka tertawa berdua, karena perut Joe berkeriuk keras tanda lapar. Sejak tiba siang tadi, mereka tak ingat makan. Sejak dalam perjalanan mereka sudah dipenuhi hasrat untuk bersebadan. Tak sempat lagi mereka memikirkan makanan atau minuman.
"Aku bikin spaghetti, ya!?" ucap Tris sambil bangkit dalam keadaan tetap telanjang.

Joe tetap berbaring, memandang kagum ke tubuh bidadari di hadapannya. Sempurna dan tanpa cela. Cantik molek dan mengagumkan sekali wanita ini, pikir Joe sambil menjelajahi seluruh lekuk liku tubuh Tris yang sengaja berlambat-lambat mengenakan rok dan bajunya. Wanita ini tahu Joe sedang memandanginya. Ia suka sekali dipandangi seperti itu, seperti dipuja-puji lewat sorot matanya yang hangat bergairah dan tulus terbuka itu. Ia suka sekali!

"Perlu bantuan?" tanya Joe sambil mulai bangkit.

"Nggak!" sergah Tris, "Kamu nanti malah bikin kacau.."

Joe tersenyum. Pasti ia akan membikin kacau. Ia tak pernah bisa menahan diri untuk tidak menciumi wanita pujaannya itu kalau mereka sedang berduaan. Maka ia kembali berbaring, memandang bidadarinya menghilang dari pandangan.

Baru saja Tris lenyap di balik pintu, sebuah tuter mobil yang sangat dikenal Joe membuat pemuda ini terlonjak bagai tersengat kala jengking. Astaga, apakah itu temanku? Ujarnya gelisah sambil bangkit menuju jendela yang menghadap halaman depan. Posisi rumah yang agak tinggi dari halaman menyebabkan Joe leluasa melihat siapa saja yang mendekati villa ini dari jalan raya. Dan apa yang dilihat Joe membuat pemuda ini terkesiap.

"Siapa itu, Joe?" seru Tris dari arah dapur karena ia juga mendengar suara tuter mobil berkali-kali.

Joe tidak menjawab. Ia bergegas mengenakan celana dalam dan jeans-nya. Terburu-buru memakai t-shirt dan berlari keluar tanpa alas kaki. Jantungnya berdegup kencang. Benaknya dipenuhi pertanyaan.
"Joe?" teriak Tris lagi dari dapur, kini dengan nada heran karena ia dengar pemuda itu tergesa-gesa menuju ruang tamu.

Setelah dua kali memanggil tanpa mendapat jawaban, wanita itu pun keluar dari dapur setelah memastikan oven menyala memanasi spaghetti yang sudah siap sejak pagi tadi.

Tris mengintip dari balik gorden ruang tamu. Di halaman villa ia melihat Joe bertolak pinggang. Di depan pemuda ini ada tiga remaja yang tak dikenalnya. Siapa mereka? Tanya Tris dalam hati. Dan mengapa suasananya begitu tegang.

Salah seorang dari remaja pria itu tampak menunjuk-nunjuk muka Joe dan berbicara seperti orang marah, tetapi dengan suara tertahan. Dari tempatnya berdiri, Trista tidak bisa mendengar percakapan mereka. Tetapi dari wajah-wajah mereka, wanita ini bisa menduga bahwa ada ketidak-beresan di luar sana. Maka setelah merapikan rambut dan bajunya, Trista membuka pintu dan melangkah keluar.

Tigor yang pertama kali melihat wanita itu melangkah keluar seperti seekor burung merak keluar dari sarangnya. Ia menyikut Rima yang berdiri di sebelahnya, dan gadis itu menoleh ke arah pintu ruang tamu. Mulut Rima segera membuka, sedikit menganga melihat seorang wanita dengan muka seperti bersinar cerah dan senyum ramah yang seakan-akan diciptakan oleh mentari pagi. Gadis itu tidak sanggup berkata apa-apa.

Ridwan mengalihkan pandangannya dari Joe, seperti Rima ia juga terdiam melihat Trista melangkah mendekat. Dalam hati ia mengutuk-ngutuk, kenapa mau dibujuk datang kemari. Sekarang, dekat sekali di hadapannya wanita kontroversial itu menunjukkan kecemerlangan dan keindahan sejati. Bagaimana tiga cecunguk ingusan yang tak punya alasan jelas bisa berhadapan dengan dewi khayangan yang turun ke bumi lengkap dengan segala asesorisnya ini? Ridwan mengeluh dalam hati berkali-kali, mengapa tiba-tiba hidupnya jadi rumit begini.

Tigor hendak membuka mulutnya, tetapi tidak jadi. Ia tidak tahu harus berkata apa. Beberapa kali pemuda yang lebih menggemari motor daripada wanita ini melihat Trista dari kejauhan. Belum pernah ia melihat dari sedekat ini, dan ... wah-wah-wah, belum pernah ia melihat wanita sedemikian menggairahkannya. Senyumnya memikat, dengan lesung pipit samar-samar di pipi kanannya. Tetapi yang lebih mematikan kalbu adalah sorot matanya yang mungkin terbuat dari intan 24 karat: bening dan tajam. Lalu, sinar mukanya begitu kentara memancar dari wajah yang sebetulnya terlihat agak memerah seperti seseorang yang habis berolahraga pagi. Olahraga apa gerangan di sore ini? Tanya Tigor dalam hati, dan segera menemukan sebuah jawaban sendiri yang membuatnya gelisah sendiri pula!

Joe menunduk, membiarkan Tris memeluk lengannya. Kini dua pasang manusia berhadapan dengan tiga remaja yang diam terpaku. Aneh sekali pemandangan di sore yang cerah itu, sementara langit mulai menata diri untuk menyambut lembayung senja. Halaman villa tampak seperti sebuah panggung berwarna hijau berpagar tanaman bunga yang semarak. Lima aktor dan artis berdiri di tengah panggung itu, seperti sedang canggung memulai sebuah babak sandiwara kehidupan.

"Halo..," akhirnya Tris membuka suara, perlahan tetapi jelas terdengar oleh semua yang hadir. Tigor pertama kali bereaksi dengan bergumam lalu tersenyum kaku sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Ridwan tidak menyahut, tetapi berdehem karena tiba-tiba merasa ada segumpal dahak menyedak di tenggorokannya.
"Selamat sore..," Rima berucap pelan, merasa tidak enak kalau tidak berkata apa-apa dan mengutuk-ngutuk di dalam hati mengapa dua remaja pria di sampingnya tiba-tiba berubah menjadi kerupuk gosong!
"Teman-teman mu?" tanya Tris sambil menggoyang pelan lengan Joe dan menatap muka pemuda itu. Rima menelan ludah. Duh, mesra sekali cara wanita itu memeluk lengan Joe dan memandangnya.
Joe menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya keras-keras sambil berkata pendek, "Ya! Teman-temanku..,"

"Kenapa tidak diajak masuk?" ucap Tris ramah sambil mengalihkan pandangan kepada ketiga tamu yang tak diundang itu satu persatu. Tigor melengos, pura-pura memandang kupu-kupu yang banyak sekali berkeliaran di halaman villa. Ridwan tersenyum kikuk dan mengubah-ubah letak berdirinya dengan gelisah.

"Uh.., eh..kami cuma kebetulan lewat..," ucap Rima, lagi-lagi merasa sial ditemani bujangan-bujangan yang seperti anak ayam berhadapan dengan elang.

"Oh, ya?!" ucap Tris sambil membelalakan matanya, mengungkapkan keterkejutan yang sesungguhnya (kalau teman-teman Joe punya villa di dekat sini..., wah!).

"Umm.. ya, kami... umm.. sedang berjalan-jalan," kata Rima sambil menyikut Tigor, sementara yang disikut malah berdiri menjauh.
Trista tersenyum. Dalam hati wanita ini sebenarnya gelisah. Ia tidak tahu apa yang terjadi di antara empat remaja ini. Tetapi nalurinya mengatakan bahwa teman-teman Joe ini datang kemari untuk berurusan dengan pemuda kesayangannya itu. Dan instingnya tidak pernah salah, kalau sudah tentang Joe ia pasti benar!

"Ayolah mampir sebentar..," bujuk Trista, lalu kepada Joe, "Ayo, Joe.. ajak teman-temanmu masuk. Ada cukup banyak spaghetti untuk kita semua!"

"Tidak!" akhirnya Ridwan berucap. Semua orang menengok kepadanya, seakan-akan baru sadar bahwa pemuda itu bukan patung melainkan mahluk hidup.

Joe menghembuskan nafas lega. Ia tidak ingin teman-temannya tinggal lebih lama. Ia masih diam saja, tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak Trista hadir di antara mereka. Ia juga marah sekali, mengapa teman-temannya datang kemari dan ikut campur urusan pribadinya. Terlebih-lebih lagi, Joe juga malu karena dalam hati kecilnya ia tahu bahwa ketiga sahabat di depannya ini bermaksud baik.
Tetapi kenapa musti ke sini? Kenapa seperti sedang mengintai dan berusaha memergokinya?

"Kami segera pulang..," ucap Rima kikuk, melangkah mundur perlahan menjauhi Joe dan Trista.

"Ya. Selamat sore..," kata Tigor sambil langsung berbalik mengikuti langkah Rima.

"Sampai jumpa..," kata Ridwan sambil melambai dan berbalik mengikuti langkah Tigor.

Joe diam saja, memandang tiga temannya beriringan seperti serdadu pulang dari medan perang. Trista ikut diam, memeluk erat lengan pemuda itu, merasakan ketegangan menyelimuti mereka berdua. Langit sudah mulai menampakkan semburat merah. Sebentar lagi senja tiba. Angin berhembus semakin dingin. Trista bergidik, merasakan tiba-tiba kulitnya meremang.


Musim Badai Tiba

Peristiwa kunjungan pendadakan para sahabat ke villa tempat Joe memadu kasih dengan Tris ternyata berbuntut panjang. Pertengkaran pun meruncing, karena ini adalah pertengkaran antar hati: antara tiga orang yang peduli dan seorang yang sedang mabuk cinta. Sebenarnya pula, ini adalah perbenturan antara dua bentuk cinta; antara kesetiaan teman dengan ketotal-kepenyerahan kasih dua sejoli. Manakah yang menang ... manakah yang patut menang?

"Kamu benar-benar telah buta! Telah tuli!" jerit Rima di depan Joe yang berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal dan muka merah padam. Mereka saling berhadapan bagai dua banteng yang siap beradu tanduk. Suara Rima melengking mengalahkan gemerisik daun pepohonan yang sedang dilanda badai siang itu. Alam memang seperti menjadi musik latarbelakang, menambah drama ke tengah pertengkaran mereka di pinggir lapangan basket yang sedang sepi. Mahasiswa lain masih berada di kelas. Mereka berdua sengaja meninggalkan kelas untuk urusan genting ini. Sudah hampir 10 menit keduanya bersitegang.

"Kamu tak berhak ikut campur!" sentak Joe tak kalah keras.
Rambutnya yang gondrong sebagian menutupi mukanya, sedikit menyembunyikan kedua matanya yang bersinar galak. Rima sebenarnya sempat bergidik melihat sinar itu, yang bagai sorot seekor naga yang luka. Begitu galak!

"Aku tak ikut campur!" sergah Rima yang rambutnya juga berkibaran, "Aku hanya ingin mengingatkanmu, Joe... kamu bermain api dengan istri orang!"

"Ia tidak pernah benar-benar menjadi istri!" sahut Joe dengan nafas terengah-engah menahan amarah yang meledak-ledak.

"Itu cuma interpretasimu. Cuma pembelaan, ... Cuma pembenaran atas kesalahan! Kamu sudah terlalu jauh melangkah!" jerit Rima sambil menyibak rambut dari depan matanya. Tetapi angin kembali menerpa dan membuat separuh matanya tertutup lagi. Repot sekali gadis itu merapikan rambut sambil beradu argumentasi dengan seorang yang hatinya sedang mengeras seperti batu....

"Tidak!... Itu kenyataan!" sahut Joe sengit membela diri, "Dan adalah kenyataan pula bahwa aku mencintainya. Kamu tidak berhak mengatakan apa-apa tentang yang satu ini!"

"Tetapi cinta mu itu membuat aku muak!" jerit Rima, dan sesungguhnyalah gadis itu merasakan sedikit mual sejak pertengkaran dengan Joe ini dimulai.

Joe menahan nafas karena sangat marah. Bukan main marahnya ia mendengar kata "memuakkan" itu. Tidak pernah ia merasa begitu terhina karena seorang mengatakan cintanya sebagai yang memuakkan. Begitu rendahkah nilai cintaku sehingga gadis di depanku ini merasa muak? teriak hatinya dengan geram ... dan entah bagaimana mulainya, tangan kanan Joe tahu-tahu sudah melayang.
Plak!... kepala Rima bagai disentak ke kanan oleh sebuah tali yang tak kasat mata. Pipinya langsung memerah, dan gadis tomboy yang pernah menaklukkan dua puncak gunung ini pun terluka di hatinya.
Dengan mata basah oleh air mata, Rima mendesis, "Jahat!.... Kamu jahat!"
Joe terdiam dengan badan bergetar keras. Gerahamnya beradu kuat menimbulkan suara berkeriut. Otot-otot di seluruh tubuhnya menegang dan berguncang. Jantungnya berpacu keras. Kepalanya terasa hendak meledak.

"Teganya kamu...!" jerit Rima langsung disusul tangisnya.
Lalu gadis itu berbalik dan lari menjauhi Joe yang cuma bisa berdiri mematung dan menunduk memandang bumi. Rasanya bumi berputar lebih cepat, dan bukan dengan arah yang teratur. Rasanya bumi melonjak-lonjak, berpusing-pusing ke segala arah. Joe limbung, lalu jatuh berlutut sambil menjaMbak rambutnya sendiri. Apa yang telah kulakukan? jeritnya dalam hati dengan kegalauan yang memuncak.
Suara motor meraung mendekat dengan cepat. Tigor tiba sangat terlambat. Pemuda itu kebingungan melihat Rima lari ke arah kampus dan Joe berlutut di tanah sambil menjaMbak rambutnya sendiri seperti seorang pesakitan yang menunggu hukuman pancung. Sejenak Tigor bimbang, ke mana harus menuju. Tetapi lalu ia mengambil keputusan, memacu motornya menyebrangi lapangan basket mengejar Rima.Rima mendengar suara motor yang mengejarnya, dan ia tahu siapa yang di atas sadel. Gadis itu berhenti berlari, mendekap mukanya, dan melanjutkan tangisnya. Tigor menghentikan motornya. Mematikan mesin dan melepaskannya begitu saja sehingga barang besi itu tergeletak di rumput dengan suara berdebum.

"Ada apa Rima?" tanya Tigor sambil mendekap bahu sahabatnya.
"Dia .... dia ...," Rima tak sanggup berkata-kata di tengah sedu sedan yang membuat seluruh tubuhnya berguncang.

"Apa yang dilakukannya?" sergah Tigor, mempererat pelukan di bahu sahabatnya. Gadis di pelukannya terus menangis tersedu.

"Dia menamparku," ucap Rima akhirnya sambil balas memeluk sahabatnya dan meneruskan tangis di dada pemuda itu.

"Kurang ajar!" desis Tigor dengan geram.

Ia menoleh ke arah Joe, melihat pemuda itu masih dalam posisi semula. Hatinya mendidih, dan sambil melepaskan pelukan Rima, ia mengepalkan tinjunya. Kalau Joe mau bertinju, seharusnya ia memilih lawan yang sesuai, sergah hati Tigor. Dengan cepat ia melangkah ke arah Joe, tetapi tangan Rima lebih cepat lagi meraih lengannya ... menahan langkahnya.

"Jangan..," desah Rima dengan suara lirih. Gadis itu tak ingin ada pertengkaran lebih lanjut.

"Tetapi dia menamparmu, Rima..," ucap Tigor keras. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah. Pemuda ini paling tidak suka melihat seorang wanita ditampar. Itu perbuatan sangat pengecut baginya.
"Dia sudah gila..," desah Rima lagi sambil sekuat tenaga menahan Tigor.
Pemuda itu akhirnya mengalah. Ia berhenti melangkah setelah sempat menyeret Rima dua langkah. Benar-benar gila! ucapnya dalam hati. Joe sudah gila!

*****
Brak! ... meja kantin terjungkal ditendang oleh Ridwan. Mangkok bakso yang ada di atasnya bergelimpangan, ... untung tidak pecah karena sempat membentur kursi sehingga laju jatuhnya agak berkurang. Kuah dan baksonya tumpah ruah, sebagian membasahi celana seorang pemuda yang tadinya sedang menikmati bakso itu.
Mahasiswa yang lain tersentak kaget. Ibu gemuk penjual bakso menjerit kaget dan mengeluarkan kata-kata aneh akibat latahnya. Beberapa mahasiswa bangkit karena merasa terganggu, tetapi ketika mereka tahu bahwa yang sedang berang itu adalah seorang pelatih karate bersabuk hitam, mereka pun duduk kembali. Urusan si Ridwan adalah bukan urusan mereka...

"Bangun!" teriak Ridwan sambil menunjuk ke seorang pemuda yang duduk terdiam. Semua orang di kantin tahu, pemuda itu bernama Joe. Mereka juga tahu, walau tidak melatih karate, berurusan dengan pemuda itu juga bukanlah sesuatu yang dianjurkan.
Semua orang di kantin menunggu dengan tegang, apa yang akan terjadi. Ibu gemuk tergopoh-gopoh ke luar kantin hendak mengadu ke Pak Kholil, kepala satpam kampus. Suasana tegang memenuhi udara, seperti dalam film-film koboy, ketika dua jagoan berhadapan dengan pistol terhunus.

Joe mengangkat mukanya, menemukan sorot tajam dua mata Ridwan yang agak memerah. Sejenak pemuda ini terkesima dengan hati bergetar. Sorot itu penuh amarah. Tetapi keterkesimaan itu cuma sebentar. Tak lebih dari 5 detik. Perasaan lain segera menggantikan; perasaan marah dan tersinggung karena makan siang yang terganggu. Terlebih-lebih lagi, harga dirinya ikut terluka...

Joe bangkit perlahan. Ridwan memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mengepal di depan dada. Kaki kanannya kokoh di depan. Kaki kirinya sigap menyangga. Joe melangkah meninggalkan tempat duduknya. Ridwan berputar mengikuti langkah itu. Matanya seperti mata elang mengawasi buruannya. Keduanya berhadapan di tengah kantin yang agak lapang. Seorang mahasiswa buru-buru menarik sebuah kursi panjang untuk menambah lapang ruangan laga. Beberapa mahasiswa berdatangan dan menonton dari luar. Ada bisik-bisik bertanya apa gerangan yang terjadi. Lalu pertarungan pun di mulai....

Joe secepat kilat menendang ke arah pinggang Ridwan dengan gerakan tiba-tiba yang membuat beberapa mahasiswa terkesiap. Tetapi Ridwan tidak ikut terkesiap. Ia tidak mendapat sabuk hitam dengan membaca buku; ia sambut tendangan itu dengan kibasan tangan kirinya yang kokoh. Suara dua tulang beradu membuat beberapa penonton meringis. Belum sempat kaki Joe turun, Ridwan menyodokkan lututnya ke arah perut pemuda itu. Cepat-cepat Joe menggeser posisi, tetapi tidak cukup cepat sehingga pinggangnya terserempet lutut yang meluncur seperti peluru itu. Kekuatan tendangan Ridwan menyebabkan Joe terhuyung, walau cuma terserempet. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh lawannya, dan ... bugk! .. tinju Ridwan mendarat di rahang kiri Joe. Untung bagi Joe ia sempat mengantisipasi pukulan itu dengan memiringkan kepalanya, sehingga walau pukulan itu tepat di sasaran, dampaknya tidak terlalu kuat.
Cepat-cepat Joe mundur mengatur posisinya yang terdesak. Ridwan mengejar, berusaha memanfaatkan kelemahan lawannya. Tangan kirinya melayang ke arah dada musuh. Joe menepis dengan tangan kanan, tetapi ia lupa bahwa dalam karate sebuah pukulan belum tentu bermaksud mendarat di tubuh lawan. Tepisan tangan Joe membuat pertahanannya agak terbuka, sehingga .... duk! ... tendangan kaki kanan lawannya mendarat telak di perut. Joe pun terjengkang menerjang kursi-kursi yang sudah ditinggalkan penghuninya. Kalau bukan Joe yang kena tendang, mungkin berakhir sudah perkelahian ini. Perut pemuda itu cukup keras karena pemiliknya berlatih sit up 50 kali setiap pagi.

Ridwan menyerbu ke depan, menyergap Joe yang masih bergelimpangan di lantai. Tetapi Joe sangat gesit, berguling ke kiri. Sergapan Ridwan agak luput, namun tak urung bahu Joe dapat diraih oleh tangan lawannya yang kokoh. Segera keduanya bergumul dan sekali lagi Ridwan lebih gesit, melayangkan tinjunya ke arah muka Joe .... plak! ... kena tepat di hidung pemuda itu, membuat pemiliknya meringis kesakitan.

Terdengar langkah sepasang mahasiswa tergopoh-gopoh. Tigor dan Rima datang karena mendengar kabar tentang perkelahian itu. Segera Tigor memegangi kaki Ridwan, menariknya agar melepaskan pergumulan. Sementara itu Rima berhasil meraih tangan Joe. Dengan sekuat tenaga gadis tomboy itu menarik-narik.
Beberapa mahasiswa timbul keberaniannya melihat pasangan itu berjibaku memisahkan pertarungan dua banteng ketaton. Beramai-ramai akhirnya mereka memisahkan Ridwan dan Joe yang masih meronta-ronta minta dilepaskan. Dua orang satpam tiba di tempat huru-hara. Pak Kholil, seorang tua yang berwibawa, membentak kedua pemuda yang masih ingin melanjutkan pertengkaran itu. Suaranya yang mengguntur menyebabkan Ridwan dan Joe tersadar, dan berhenti meronta.

Tigor memeluk Ridwan, mendorong sahabatnya menjauhi medan pertarungan. Joe meronta dari pelukan Rima, dan gadis itu pun tak hendak mempertahankannya. Ia menjauhi Joe yang segera dicekal oleh Pak Kholil. Ia beralih ke kubu Ridwan dan bersama Tigor menarik pemuda itu keluar dari kantin.

"Tak perlu begitu, Rid..," bisik Rima sambil memeluk lengan sahabatnya.
Ridwan diam saja dengan nafas yang masih memburu. Tigor menengok ke arah kantin, melihat Joe termangu diapit dua satpam. Hidung pemuda itu berdarah, dan seseorang tampak bersimpati memberikan tisu.

Sejenak Tigor mengeluh dalam hati, ... mengapa jadi begini. Luluh rasa jiwanya melihat Joe terluka dan sendirian di dalam sana. Tetapi ia juga sedang marah kepada pemuda itu. Hatinya bimbang, tetapi langkahnya terus menjauhi kantin, mengiringi langkah Ridwan dan Rima menuju lapangan parkir mobil.

Joe berdiri dengan tubuh masih bergetar, memandang ke tiga sahabatnya berjalan menjauh. Hidungnya terasa sakit sekali. Pukulan Ridwan memang tidak bisa dianggap main-main. Tetapi selain sakit dan marah, sebuah perasaan lain datang menyelinap. Sebuah rasa sepi yang menyengat melanda Joe, walau kantin masih hiruk pikuk dan Pak Kholil masih sibuk bertanya-tanya. Tercenung pemuda ini memandang ketiga sahabatnya bagai pergi untuk selamanya, menjauhi dirinya yang sendirian. Disekanya darah dari hidungnya. Tiga lembar tisu sudah habis, tetapi darah masih keluar. Ibu gemuk datang membawa es yang dibungkus lap meja; Joe menggumamkan terimakasih dan merogoh kantong untuk membayar kerugian. Tetapi ibu gemuk mengatakan tidak ada yang pecah, jadi cukup membayar harga bakso saja.

Lalu Joe pulang. Sendirian. Langkahnya lunglai. Hatinya gundah. Beberapa sapaan dari mahasiswa tidak disahutinya. Kakinya bagai digantungi berkilo-kilo batu. Hidungnya masih terasa sakit. Di kepalanya berkecamuk berbagai pikiran. Semuanya berpangkal di satu kegelisahan: haruskah aku kehilangan sahabat-sahabat itu?

*****
Tris segera tahu apa yang terjadi. Mereka bertemu sehari setelah peristiwa di kantin itu, karena memang ini adalah hari pertemuan mereka. Seperti biasanya Tris menjemput Joe di depan kampus dan memarkir mobilnya agak jauh. Dari kaca spion wanita ini telah melihat pemuda pujaannya berjalan menunduk dengan wajah muram. Tidak biasa. Pasti ada yang tidak beres.

Begitu Joe menghenyakkan tubuhnya di kursi penumpang, Tris langsung mencengkram tangannya yang terasa dingin bagai es. Sentuhan ini bagi Joe bagai sebuah siraman air hangat di tubuhnya yang entah kenapa terasa sangat letih. Sedangkan bagi Tris, sentuhan ini adalah penghubung batin yang terampuh untuk segera membuka hati dan pikiran pemuda pujaannya.

"Ada apa?" bisik Tris lembut.

"Ceritanya panjang...," sahut Joe lemah sambil menyandarkan tubuhnya dan menerawangkan pandangannya ke depan. Mobil belum lagi distarter.

Tris mengusap lembut pipi pemuda itu. Joe meraih tangan bidadarinya, menambah tekanan usapannya, lalu mencium telapak tangan yang selalu bisa memberikan keindahan dunia itu.

"Mau ke villa?" tanya Tris pelan.

Hari ini sebenarnya tidak ada rencana kemana-mana karena Ria harus dijemput sebelum senja. Tetapi hari ini juga hari yang tak terduga, dan Tris tahu pemuda di sampingnya ini membutuhkan suasana tenang. Masih ada waktu sebelum menjemput Ria.

"Aku mau pulang saja ke pondokan," sahut Joe seperti orang kekurangan daya.

Tris mengernyitkan keningnya. Tumben ia menolak ajakan seperti ini... bisiknya dalam hati. Ia menghela nafas panjang. Ia tahu kekerasan hati pemuda ini. Maka ia pun menstarter mobil, memasukkan gigi satu, dan mengarahkan mobil ke tempat kost Joe. Sepanjang perjalanan mereka membisu, tetapi Joe terus memegangi tangan kiri bidadarinya, seakan-akan ia takut Tris tiba-tiba hilang dari sisinya. Takut kalau tiba-tiba bidadari itu harus segera kembali ke khayangan karena masa tugasnya telah habis...

Tak berapa lama mereka tiba. Tris menepikan mobil. Belum pernah ia berkunjung ke tempat kost Joe, karena mereka berdua tidak ingin menimbulkan kecurigaan ibu pemilik kost. Tetapi kali ini Tris merasa harus turun dan ikut masuk. Apa pun risikonya.

"Jangan...," ucap Joe pelan dan lemah ketika melihat Tris bersiap turun.
Gerak Tris berhenti sejenak, tetapi lalu ia tersenyum manis dan berucap tenang, "Aku mau numpang pipis, apakah tidak boleh?"

Melihat senyum itu,.. melihat binar sepasang mata itu,.. mendengar suaranya yang merdu itu.., Joe langsung tak berdaya. Bagaimana mungkin ia bisa mencegah si pembawa sejuta bahagia yang mampu memindahkan gunung dengan senyumnya ini? Sambil bergumam tak jelas, Joe akhirnya membiarkan Tris ikut turun. Berdua mereka berjalan beriringan, berusaha sekuat tenaga untuk tidak saling bergandengan, bergegas melewati gang agar tidak terlalu banyak bertemu orang lain. Untunglah siang itu suasana sepi.
Mereka masuk dari pintu depan, dan Joe sudah menyiapkan seribu alasan untuk ibu kost. Tetapi ternyata rumah kosong melompong. Setelah dua kali mengetuk pintu tanpa sahutan, Joe menuju sebuah pot tempat pemilik rumah biasanya meninggalkan kunci. Benar saja, di bawah pot rahasia itu ada kunci dan secarik kertas menyatakan bahwa ibu kost sedang ke dokter untuk memeriksa kesehatannya. Joe bernafas lega, membuka pintu dan menyilahkan bidadarinya masuk.
"Toilet ada di sebelah sana..," ucap Joe sambil menunjuk dengan dagunya.
"Takut..," bisik Tris manja sambil merapat ke tubuh Joe.

Rumah itu memang agak gelap karena banyak pepohonan dan karena siang itu agak mendung, selain karena semua lampu memang dimatikan.
"Mana ada bidadari takut..," goda Joe sambil mengunci kembali pintu depan. Ah... cepat sekali datang keceriaan kalau dia ada di sisiku, bisik hati kecil pemuda itu.

"Antar aku ke sana," sergah Tris.

"Kamu betul-betul mau pipis atau ...," Joe membiarkan ucapannya mengambang.
Tris tersenyum nakal, mencubit pinggang Joe, lalu melanjutkannya dengan pelukan sepenuh hati. Joe menjerit kegelian, menerima tubuh kekasihnya, agak terhuyung sejenak. Mereka berpelukan di ruang tamu dan tidak pernah sampai ke toilet karena ...

"Itu bisa ditunda...," bisik Tris sambil menengadahkan muka dan memejamkan matanya.

Joe mencium lembut bibir kekasihnya. Betapa indahnya ketersediaan yang diserahkan bidadari itu kepadanya. Betapa cantik... betapa semakin cantik .... wajah yang dekat sekali di depannya itu, kalau sedang menyerahkan jiwa raganya dengan mata terpejam dan bulu mata lentik berkerejap. Betapa harum sergapan nafasnya yang hangat menerpa wajah, bagai memberikan semilyar liter bius ampuh yang mampu menghapus kemarau terpanjang sekalipun. Betapa lembut-basah bibirnya yang ranum dan merekah menampakkan keindahan mulut yang selalu bisa menghasilkan kata-kata berbunga-bermanik-beruntai itu. Ah, betapa indahnya cinta.
Tris menjinjitkan kedua kakinya, merengkuh leher Joe, memiringkan sedikit kepalanya agar pemuda pujaannya bisa leluasa melumat bibirnya. Ia selalu menikmati ciuman pemuda ini, yang selalu bisa memberikannya rasa aman-nyaman, menghilangkan segala keraguan dan kekuatiran. Rasanya cuma Joe yang bisa mencium begitu penuh perasaan, dan lumatan bibirnya bukan cuma curahan birahi. Ada kehangatan kasih di sana, di antara gairahnya mengulum bibir. Ada semburat cinta di sana, di antara gigitan-gigitannya yang nakal. Ada penegasan pula di sana, di antara keliaran permainan lidahnya yang mempesona...... Maka itu Tris mengerang manja, mempererat pelukannya, merapatkan tubuhnya ke tubuh kokoh pemuda pujaannya.
"Aduh!" tiba-tiba Joe mengeluh, dan Tris tersentak kaget, terburu-buru melepaskan pelukannya.

"Ada apa?" sergah Tris penuh kekuatiran sambil merenggangkan jarak di antara mereka.

"Hidungku...," desis Joe sambil memegangi hidungnya.
"Kenapa hidungmu?" tanya Tris sambil memaksa Joe membuka tutupan tangannya, dan ketika akhirnya wanita itu melihat hidung itu agak lebam, barulah ia teringat tentang kemurungan yang tadi dilihatnya di depan kampus.

"Kamu berkelahi, ya!" sergah Tris sambil lebih seksama memeriksa muka Joe.

Duh, mengapa bidadari ini serba tahu? keluh Joe dalam hati sambil mengangguk mengiyakan.

Sejenak Tris diliputi kekuatiran terbesar dalam hidupnya. Sejenak ia membayangkan yang terburuk: suaminya datang dan berkelahi dengan Joe!

"Kamu harus cerita!" sentak Tris sambil meraih sapu tangan dari tas yang masih tergantung di bahunya.

Dengan cekatan dibasahinya sapu tangan itu dengan cologne yang tahu-tahu sudah keluar pula dari dalam tas. Lalu diusapnya bagian yang lebam. Joe meringis merasakan sedikit pedih bercampur segar dan harum.

"Cerita sambil berdiri?" tanya Joe berusaha melucu.

"Ngga lucu!" sergah Tris sambil menyerahkan sapu tangan ke Joe dan memasukkan botol cologne kembali ke tasnya.

"Ayo ke kamar," ajak Joe sambil mendahului melangkah dan memegangi sapu tangan di hidungnya. Tris segera mengikuti, memegang erat pergelangan kekasihnya seperti orang yang takut tersesat di rimba belantara.

Di kamar, Joe duduk di dipan dan bercerita panjang lebar tentang para sahabatnya. Tris duduk di sebelahnya, sambil terus memegangi pergelangan tangan Joe. Sebagian dari cerita pemuda itu pernah disampaikan sewaktu para sahabatnya tiba-tiba muncul di villa beberapa waktu yang lalu. Tetapi cerita itu cuma generalisasi sepintas. Tris tetap menyangka, para sahabatnya itu memang kebetulan lewat di villa mereka. Sekarang, semuanya mulai terbuka. Peristiwa terakhir, termasuk penamparan Rima dan perkelahiannya dengan Ridwan, diceritakan secara terinci. Tris terdiam, tidak memotong atau berkomentar sedikit pun. Tetapi matanya tak lepas dari muka Joe, bagai hendak menemukan makna yang lebih dalam di balik kata-kata yang berhamburan lancar keluar dari mulut pemuda pujaannya itu.

"Aku menyesal sekali...," ucap Joe pelan di ujung cerita. Dihelanya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.

"Kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya Tris setelah sejenak terdiam.
"Aku tak mau membuatmu risau," jawab Joe sambil memandang kekasihnya. Ia selalu senang memandang wajah di sampingnya itu, karena dari situ ia selalu mendapat kekuatan.

"Tetapi sekarang kamu membuatku benar-benar risau..," bisik Tris sambil membalas tatapan Joe.

Kedua pandangan mereka terjalin-jalin bagai benang-benang sutra tak kasat mata, membentuk berlembar-lembar hamparan rasa sayang yang membuat keduanya merasa sangat-sangat dekat lahir dan batin, luar dan dalam, berujud maupun abstrak.

"Maafkan aku..," ucap Joe pelan dan penuh permohonan.
Air mata tahu-tahu sudah merebak di mata Tris. Dengan kedua tangan dipegangnya wajah Joe, lalu diciuminya dengan penuh perasaan sambil berbisik berulang-ulang, "Aku yang harus minta maaf..."
Joe diam, membiarkan bidadarinya menciumi pipi, mata, dahi, dagu, bibir.. bahkah juga hidungnya yang entah kenapa kini tidak sakit sama sekali!

"Seharusnya aku sudah mengusirmu di pasar swalayan itu...," bisik Tris sambil tersenyum, tetapi air mata sudah jatuh berderai di pipinya yang licin bak pualam walau tanpa pupur. Joe tetap diam, memandangi wajah yang tersenyum sekaligus menangis itu. Air mata itu bagai sepasang jeram bening di tengah hutan asri yang sering ia kunjungi sebagai pencinta alam. Kedua mata Tris yang indah itu bagai telaga luas di mana air berlimpah-ruah menjadi sungai-sungai besar maupun kecil, membawa berliter-liter kehidupan untuk disebarkan di seantero bumi. Sesungguhnyalah wajah cantik yang selalu menghiasi mimpinya itu adalah salah satu wujud pertiwi. Sesungguhnyalah wajah teduh yang selalu menghibur gundahnya itu adalah pelabuhan tempat ia bisa melabuhkan semua cintanya.
"Seharusnya tak kubiarkan kamu menciumku di kebun teh itu...," bisik Tris lagi sambil mencium sudut mulut kekasihnya, sambil terus menangis pula walau tanpa sedu sedan.

Joe merebahkan tubuhnya di dipan, membawa serta tubuh kekasihnya yang terasa ringan sekali bagai segumpal kapas halus. Mereka berpelukan mesra dan Tris menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, membiarkan air mata membasahi t-shirt biru tua berisi lambang kampus kebanggaan.

"Seharusnya tak kubiarkan kamu datang ke villa itu...," desah Tris.

Joe menggulingkan tubuhnya ke kanan. Tris rebah di sampingnya, terlentang dengan kedua tangan terentang di atas kepala, dengan rambut terurai indah beralas seprai putih bersih, dengan mata masih basah oleh airmata, tetapi dengan senyum sangat manis yang tak pernah lekang dari bibirnya. Joe menelusuri bibir itu dengan ujung jarinya, berhenti di lesung pipit yang muncul setiap kali Tris tersenyum. Melingkar-lingkar di sana dengan lembut…

"Kenapa kamu cantik sekali?" tanya Joe memotong kata-kata Tris, dan wanita itu tertawa kecil mendengar pertanyaan yang tidak kontekstual sama sekali!

"Karena kamu buta, Joe...," jawab Tris sambil menggigit jari Joe yang melintas di depan bibirnya.

"... dan tuli...," sambung Joe, teringat ucapan sahabatnya.

"Dan nakal..," ujar Tris lagi sambil mengusap rambut pemuda pujaannya, menjambaknya dengan bercanda.

"Nakal seperti ini...," kata Joe sambil menunduk dan menciumi leher Tris yang jenjang, membuat wanita itu menjerit kaget dan tertawa kecil kegelian.

"Lebih nakal dari itu!" sergah Tris sambil berusaha menghindar tetapi tidak sungguh-sungguh.

"Nakal seperti ini...," kata Joe sambil menunduk lebih kebawah, menelusupkan mukanya di antara belahan bukit kenyal indah yang terpampang menggairahkan di balik baju tipis Tris, membuat wanita itu menggelinjang dan tertawa lebih keras.

Air mata telah berhenti mengalir. Secepat datangnya, secepat itu pula perginya. Betapa menakjubkannya cinta itu, bukan?
Joe membuka kancing-kancing di depan payudara kekasihnya. Tidaklah sulit melakukan yang satu ini, karena kancing itu tampaknya sengaja dibuat untuk mudah dibuka. Sebentar saja telah terpampang pemandangan indah menakjubkan, putih mulus tanpa cela, tersangga be-ha yang seperti kewalahan menampung gelembung daging menggairahkan itu.

"Joe!" jerit Tris seperti orang yang kaget melihat rumahnya kebakaran, tetapi wanita itu diam saja, bahkan membiarkan Joe dengan cekatan melepas kait di depan beha, membebaskan sepasang bukit indah yang menantang itu.

"Ohhh..!" Tris mengerang keras, campuran antara kaget dan senang, ketika salah satu puting susunya tahu-tahu sudah terasa hangat dikulum di mulut kekasihnya.

Joe memainkan lidahnya di puting yang tegak kenyal menggairahkan itu. Setiap gerakan lidahnya membuat Tris menggelinjang gelisah. Tangan wanita itu mencengkram rambut pemuda pujaannya yang mulai gondrong itu. Tidak ada penolakan dari tangan itu, melainkan sebaliknya ada ajakan untuk lebih bergairah lagi.

"Mmmmh...," Tris mendesah, memiringkan tubuh bagian atasnya agar Joe bisa lebih leluasa memainkan mulutnya di seluruh permukaan payudaranya. Serbuan kenikmatan segera menyebar di seluruh tubuhnya. Kali ini kenikmatan itu bahkan terasa lebih indah, karena baru saja hati wanita ini terasa remuk-redam mendengar cerita pemuda pujaannya. Dari rasa sedih yang sangat dalam, kini muncul rasa nikmat yang tak kalah dalamnya, menelusup ke sela-sela setiap bagian paling rahasia di tubuhnya. Inilah sebentuk kekontrasan yang menakjubkan, bagai api dan es ... fire and ice ... Kekontrasan yang memberikan nuansa lebih tegas pada setiap noktah kenikmatan di tubuh Tris. Kekontrasan yang menyediakan ruang-relung kontemplasi untuk lebih menghargai setiap getar birahi. Sehingga percumbuan tidak cuma bertemunya dua permukaan kulit. Percumbuan adalah pertemuan dua hati.

Joe menjelajahi seluruh bukit indah di dada kekasihnya, bagai seorang pengembara yang tersesat tetapi menyukai ketersesatan itu. Bagai seorang yang dahaga tetapi tak ingin melepas dahaga itu. Harum semerbak bukit dan lembah cinta di dada itu, dan Joe selalu senang berlama-lama bermain di sana, sambil menyimak degup jantung sang kekasih yang semakin lama semakin jelas terdengar. Berdentam-dentam seperti tabuhan drum sebuah marching band. Betapa asyik rasanya mendengar irama jantung kehidupan kekasih, sambil memagut-magut bagian yang sensitif, membangkitkan gairah menjadi kobaran api. Terlebih-lebih lagi, betapa asyik rasanya memberikan begitu banyak kenikmatan kepada seseorang yang menyerahkan dirinya secara sukarela.

Tris mengerang manja, mendesah-desah gelisah. Sekujur tubuhnya terasa penuh dengan keinginan yang mendesak-desak. Tidak hanya dadanya,... Tris ingin lebih dari sekedar itu. Ia memang ingin bercinta, sekarang juga, di tempat ini juga. Apa pun risikonya, ia ingin sekali bercinta siang ini. Maka diraihnya tangan Joe yang masih bebas, dibawanya ke atas perutnya, dan memohonlah ia lewat erangan dan desahan ... please my love... touch me there....
Joe tentu paham semua gerakan birahi kekasihnya. Paham semua petunjuk paling samar sekalipun. Ia sudah sangat paham apa yang disukai Tris kala bercinta: yakni sebuah usapan lembut di perut yang perlahan-lahan menuju ke bawah, menyelinap di antara dua pahanya yang bagai pualam pahatan maestro Italia, dilanjutkan dengan penjelajahan nakal di kanal cinta di bawah sana yang mulai terkuak mengundang sentuhan penuh pengertian.

Maka itulah yang kini dilakukan Joe dengan ketrampilan yang terbina lewat percumbuan demi percumbuan. Pertama-tama Joe mengusap-usap lembut permukaan perut kekasihnya, seperti hendak ikut merasakan gerak gejolak gairah di dalam tubuh Tris. Lalu, perlahan-lahan tangan Joe turun, menelusup ke balik celana dalam nilon tipis berwarna putih bersih itu..... dan Tris pun mengerang nikmat ... membuka dirinya sebisa mungkin, membiarkan gerakannya menjadi liar dan penuh keterusterangan. Ayo, kekasih... telusuri liang cintaku, telusupi dan gerayangi dengan jari-jarimu yang kukuh sekaligus penuh perasaan itu. Oooh... getarkan segera senar gitar birahiku, sentuh dengan ujung jarimu yang piawai. Mainkan segera musik cinta kita.

"Oooooh...," Tris mengerang sambil memejamkan mata erat-erat dan mencengkram seprai kuat-kuat dengan kedua tangannya.
Dua kenikmatan sekaligus meletup di tubuhnya, karena secara berbarengan Joe mengisap-menyedot puting payudaranya sambil menggelitik-mengutik tonjolan kecil di celah atas kewanitaannya. Serasa ada berjuta-juta kembang api meledak menimbulkan percikan birahi yang dengan cepat membakar seluruh tubuhnya. Apalagi Joe tidak berhenti, melainkan makin cepat mengurut-menelusup di bawah sana, dan mengisap-menyedot di puncak payudara. Sesekali jari Joe menelusup kebawah, menyelinap lembut di antara bibir-bibir di bawah sana, mengambil basah di sana untuk dibawa keatas menjadi pelicin-pelumas. Berkali-kali Joe melakukan ini dengan penuh perasaan, mengirimkan kenikmatan demi kenikmatan kepada kekasihnya. Membuat Tris mengerang-erang berkepanjangan, merasakan sebentuk orgasme awal tercipta di dasar pinggulnya. Ia menggelinjang dan membuka kedua pahanya lebih lebar lagi, mengundang Joe untuk menjelajah lebih dalam lagi.
Tetapi, sebelum Joe sempat bergerak masuk lebih jauh, Tris tak bisa menahan ledakan puncak kenikmatan..., menggelepar kuat, dan mengerang panjang .. "aaaaaaaaaaaah.." ... sambil mencengkram seprai kuat-kuat dan melentingkan tubuhnya.

Joe membiarkan bidadarinya menikmati orgasmenya, melepaskan isapan di puting payudaranya, dan mengalihkan tangannya ke pinggul Tris. Diciuminya wajah kekasihnya yang tampak semburat memerah-jambu dan tegang berkonsentrasi menikmati puncak birahi. Wajah itu semakin cantik dan semakin bersinar tatkala orgasme; merupakan pemandangan paling indah dalam sebuah percumbuan. Merupakan episode paling menegangkan sekaligus paling dramatis dan indah. Tanpa keindahan seperti ini, pastilah percumbuan itu akan terasa hambar. Bagai sebuah kebun yang cuma berisi ilalang tanpa bunga.
Tris membuka matanya setelah segalanya mereda. Ditemukannya sepasang mata Joe memandang lembut dan dekat sekali. Susah payah Tris mengatur nafasnya yang masih memburu.

"Hmmffh...," desah Tris sambil tersenyum manja di sela nafasnya yang mulai teratur tetapi masih agak tersengal, "Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini.."

"Apakah cuma karena itu?" tanya Joe sambil mengusap-usap pinggul Tris.
Mata Tris berbinar nakal, "Bukan karena itu...," katanya.

"Karena apa?" sergah Joe.

"Buka dulu baju dan celanamu, nanti aku jawab...," kata Tris sambil tertawa kecil.

Joe tersenyum, lalu dengan bergairah menciumi leher, pipi, bibir, mata, hidung... semua permukaan wajah Tris. Percintaan mereka semakin lama semakin menggairahkan, tidak cuma berisi birahi dan kasih, tetapi juga penuh canda dan permainan-permainan kecil. Seperti kali ini, Tris meminta Joe tidur terlentang setelah keduanya telanjang bulat.

"Jangan bergerak...," bisik Tris sambil bergerak mengangkangi pinggul Joe. Gerakannya gemulai, seperti seorang penari yang sedang menyiapkan gerakan pembukaan. Dengan takjub Joe memandang tubuh telanjang yang serba indah menggairahkan itu terpampang bebas di mukanya.

Lalu Tris melakukan beberapa gerakan yang tak terlalu kentara karena mata Joe terpaku menatap tubuh indah kekasihnya. Tahu-tahu Joe merasakan kejantanannya seperti menyelinap diam-diam ke liang lembab licin yang bagai memiliki indera tersendiri .... Tahu-tahu kegairahan terbangkit membuat batang-kenyal-liat itu perlahan-lahan menjadi kokoh di dalam sana.

"Jangan bergerak...," bisik Tris lagi ketika Joe menggelinjang merasakan nikmat yang mulai terbangkit di bawah sana.

Lalu bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai tarian khayangannya, dan Joe menikmati semua itu dengan diam, berbaring terlentang memandang Tris yang sudah agak berkeringat itu bergerak naik turun perlahan dan teratur... Wajahnya tampak kembali memerah-muda, matanya penuh sinar gairah sekaligus kelembutan, terbuka menatap mata Joe tanpa berkejap... Bibirnya yang basah kini agak terbuka, dan nafasnya mulai memburu... Kedua bukit kenyal tegak menjulang di dadanya, berguncang-guncang sedikit seirama gerakan tubuh pemiliknya...

"Ohhhh..," Tris mendesah, dan tangannya bertengger keras di dada Joe yang bidang, bertopang mencari penguatan di sana.
Gerakannya semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti manakala ia memutar pinggulnya selagi kejantanan Joe terbenam dalam-dalam. Pada saat seperti itu, Tris memejamkan mata erat-erat, dan merintih-rintih nikmat .... dan Joe merasakan denyut-denyut halus di bawah sana, di sepanjang batang-kenyal-pejal yang semakin lama semakin tegang saja.

Lalu ia bergerak turun-naik lagi, maju-mundur lagi. Membuka matanya lagi, yang kini mulai meredup seperti hendak menutup, tetapi dengan sinar birahi yang semakin tajam. Joe menatap mata itu, dan seketika terjalin lagi sebuah rasa kasih sayang di antara mereka, menjadi bumbu penyedap utama dari percumbuan ini. Gerakan Tris kini semakin erotis, diselingi gelinjang gemulai. Tubuh bagian bawah wanita ini melakukan manuver-manuver menakjubkan... terkadang maju-mundur dalam gerakan lembut penuh perasaan... terkadang naik-turun dengan gairah yang liar. Terkadang berputar-putar perlahan, sehingga Joe merasakan kejantanannya mengusap-mengurut dinding-dinding kenyal yang hangat dan basah dan berdenyut itu.

Suara-suara seksi mulai terdengar dari tempat kedua tubuh mereka bertaut-berpilin... berdecap ramai menyelingi derit-derak dipan, di antara rintihan dan desah. Tris seperti sedang trance, dengan wajah sumringah berkonsentrasi pada pencapaian tujuan yang mulai tampak di ufuk percumbuan mereka. Ia seperti sedang menunggu dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan kenikmatan maksimal yang tak bisa tertahankan oleh tembok baja sekalipun.
Joe mengangkat kedua tangannya, tak tahan berdiam diri melihat kekasihnya menarikan tarian erotis yang menggairahkan itu. Dijamahnya lembut kedua payudara Tris yang bergerak-gerak seirama tubuhnya. Perlahan diputar-putarkannya kedua telapak tangan di atas kedua puting yang telah tampak membesar dan tegak-kenyal itu. Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap usapan bagai tambahan pasok kenikmatan yang memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang tubuhnya. Akibat usapan-usapan itu, puncak birahi Tris kini tinggal beberapa langkah lagi.

"Aaah.. aku ...," Tris berucap terputus-putus oleh erangannya sendiri,"..ah,.. aku tidak...aaah, tahan... Joe..."

Joe mengerti. Cepat diraihnya pinggul Tris dengan kedua tangannya. Lalu dengan energik pemuda itu membantu gerakan wanita pujaannya. Naik turun dengan cepat. Berputar-putar kekiri kekanan...
"Oooooh..." Tris mengerang...

Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar .....

"Aaaaah..." Tris mendesah sambil menengadah dan memejamkan mata....

Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ....

"Mmmmmmmmmm..." Tris mengerang panjang.

Naik turun lagi... lagi.... lagi... dan lagi. Kedua payudaranya berguncang-guncang indah sekaligus menggairahkan. Ingin rasanya Joe meremas kedua bukit menggemaskan itu, kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu gerakan Tris.

Lalu Tris benar-benar tak tahan lagi, ... ia menjerit-jerit kecil..,

"aah...aaah...aaah..." dalam interval pendek, dengan tubuh berguncang-guncang dan gerakan turun-naik yang tidak lagi teratur.
Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali. Lalu setelah beberapa saat, gerakan itu ditutup dengan erangan panjang "Aaaaaaaaaaaaah..."... wanita ini mencapai orgasmenya yang kedua di atas tubuh kekasihnya. Menggelepar-gelepar ia dalam posisi terduduk-terhenyak dipegangi oleh Joe agar tidak terlempar ke luar ranjang. Pemuda itu merasakan kejantanannya seperti disedot kuat-kuat oleh sebuah liang sempit kenyal yang berdenyut-denyut liar.
Cukup lama Tris menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya, sebelum akhirnya terengah-engah dan membuka matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh kepuasan dan kebahagian. Belum pernah rasanya Joe melihat mata yang begitu ekspresif.
"Ohhhh...," akhirnya Tris bisa mendesahkan ucapannya sambil masih agak terengah,

"Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini..."

Joe tertawa mendengar pengakuan polos itu. Dia tahu, Tris cuma mendramatisir cintanya, seakan-akan gairah-gairah seksual ini sematalah yang mengikat cinta mereka. Dia tahu, wanita ini menghadapi berbagai penghalang untuk bisa bercinta seperti ini. Entah apa saja yang sudah dikorbankan wanita ini untuk bisa bertemu dan bercinta dengannya. Percumbuan ini hanyalah pelampiasan paling mendesak untuk melepaskan diri dari berbagai ketegangan dan tekanan risiko yang dihadapinya. Betapa mulianya wanita ini bagi Joe.

Joe meraih tubuh kekasihnya, merebahkannya di atas tubuhnya. Trista mengerang manja, meluruskan kakinya dan membiarkan dirinya melintang di atas tubuh pemuda pujaannya. Rasanya damai sekali dunia ini sehabis percintaan menggebu-gebu. Pelukan Joe bagai sebuah pelindung raksasa yang mampu mengusir segala nestapa dan gundah dan gulana dan risau.

Setelah beberapa menit, Trista mengangkat mukanya dan berkata, "Sekarang giliran kamu...," bisiknya. Joe tersenyum lembut. Ia ternyata tak terlalu memusingkan gilirannya. Siang ini ia merasa hanya ingin kelembutan dan kasih.

"Tidak mau?" tanya Tris melihat Joe tak bereaksi dan cuma tersenyum-senyum.
Joe menggeleng.

"Betul-betul tidak mau?"

Joe menggeleng lagi.

"Coba. Apa betul kamu tidak mau...," kata Tris sambil tersenyum nakal. Dan sebelum Joe bisa bilang apa-apa, bidadarinya sudah meluncur turun.... lalu ada gerakan-gerakan di bawah sana dan...

Hei! ....Joe terlonjak ketika merasakan kejantanannya masuk ke rongga basah dan hangat .... ia menengok ke bawah, tetapi pandangannya terhalang oleh kepala Trista. Ia berusaha lagi,... tetapi akhirnya tak berdaya... tergeletak membiarkan kekasihnya melakukan sesuatu yang selama ini tak terbayangkan.

Betapa sungguh tak berdayanya Joe yang tadi mengatakan "tidak mau" tetapi kini tergeletak diam dengan nafas semakin lama semakin memburu. Ia merasakan sedotan, isapan, jilatan... susul-menyusul silih berganti. Kejantanannya serasa semakin menegang, semakin geli-menggelisahkan.. semakin tegak dan mengeras. Lalu lagi: merasakan sedotan, isapan, jilatan... susul-menyusul silih berganti... semakin lama semakin membuat dirinya melambung-lambung di angkasa kenikmatan. Tinggi dan tinggi.... semakin tinggi.... sampai akhirnya ia merasa harus melepaskan semua desakan yang terkumpul. Dengan erangan panjang, Joe memulai pendakian ke puncak asmara.

Sesaat sebelum ledakan pamungkas itu... aaah... tiba-tiba Trista menghentikan kegiatannya, lalu cepat-cepat kembali ke posisi mengangkangi tubuh Joe. Cepat sekali kejantanan Joe tenggelam sampai ke pangkalnya di liang kewanitaan Tris. Cepat sekali pula wanita itu menaik-turunkan lagi badannya dan ........... tanpa dapat ditahan lagi, Joe meregang kejang lalu melepaskan semburan-semburan kenikmatan puncaknya!

Rasanya lama sekali Joe memuncrat-muncratkan seluruh cairan cintanya kedalam tubuh kekasihnya. Rasanya banyak sekali yang tumpah ruah melimpah-limpah sampai tak tertampung dan mengalir keluar kembali bagai lahar panas turun dari puncak gunung yang mengamuk.
Tris tersenyum ketika Joe akhirnya berhasil membuka matanya.
"Jangan sekali-kali bilang 'tidak mau' lagi...," bisik Tris sambil mencubit hidung Joe.

Joe mengeluh dalam hati. Mengapa aku selalu kalah olehnya? Sungguh permainan yang tidak adil!

Dan di luar terdengar hujan mulai turun. Bahkan tak lama kemudian, badai datang seperti sepasukan tentara menyerbu dengan suara yang gemuruh. Musim badai telah tiba…


Musim Badai Tiba

Sony termangu di meja kerjanya yang besar dan penuh dokumen. Di tangannya ada sebuah foto dalam bingkai kayu indah berukuran postcard. Mata lelaki ini tampak sendu memandang wajah di foto itu. Sebuah wajah yang tersenyum dengan posisi agak miring. Cantik sekali berlatar belakang dedaunan yang tampak kabur karena berada di luar fokus kamera. Fokusnya adalah pada wajah itu, yang tampak sangat bahagia dengan mata memancarkan keriangan. Di bagian bawah foto, di sudut kanan dekat bagian lengan, ada sebuah tulisan tangan memakai tinta berwarna keemasan: .. untuk Sony, .. with love, Pristi. Lalu ada sebuah tandatangan berhias gambar hati.
Foto ini sengaja disimpan Sony di laci meja kerjanya. Di kamar tidurnya yang luas tidak ada foto itu. Bahkan di seantero rumah, foto-foto Pristi telah diturunkan, disimpan di sebuah lemari yang jarang dibuka. Sony sengaja menghilangkan citra mendiang istrinya, agar kenangan manis yang menyakitkan hatinya tak selalu datang. Tetapi ia tak bisa menghapus bayangan Pristi secara tuntas. Ia tetap perlu memandang wajah terkasih itu, terutama di saat-saat penuh galau. Misalnya, ketika bisnis sedang bergejolak, atau ketika dunia terasa memusuhinya. Seperti saat ini...

Lelaki bergelar MBA lulusan Princeton, Amerika Serikat ini menghela nafas panjang dan kembali merenung. Tadi malam ia bertengkar dengan Trista, adik Pristi yang dinikahinya beberapa saat setelah kecelakaan fatal yang memporak-porandakan mahligai perkawinan mereka. Pertengkaran itu tidaklah hebat, tidak disertai teriakan-teriakan sebagaimana layaknya suami-istri bertengkar. Tidak ada piring-piring yang dibanting atau barang-barang yang dilempar. Tapi tetap saja bagi Sony itu adalah sebuah pertengkaran, yang berisi pertukaran kalimat-kalimat tak wajar.

"Kamu marah?" tanyanya malam itu ketika Tris seperti menepis sentuhan di pundaknya.

"Tanganmu berkeringat, aku tidak suka..," jawab Tris ketus.

"Kemarin kenapa terlambat menjemput Ria?" tanya Sony seperti menganggap topik sebelumnya tak pernah ada. Memang ia sebetulnya tidak ingin mempersoalkan tepisan atau basah-tidaknya tangan.
"Cuma terlambat 10 menit," ucap Tris sambil menuju meja rias, "Lagipula Ria masih asyik bermain dengan teman-temannya ketika aku datang."

"Dengan siapa dia bermain?"

"Kalaupun kusebut nama mereka, mas Sony tidak kenal."

Sony menghela nafas, "Aku sibuk di kantor, tak pernah bisa menjemput Tris.."

Tris diam, menyisir rambut dan mengurus wajahnya seperti tak peduli pada ucapan Sony. Lelaki itu kesal, merasa diremehkan, dan terlebih lagi merasa Tris menghindari percakapan yang baginya wajar: ia ingin tahu keadaan anaknya. Ia ayahnya.
"Kamu sudah beli kembang untuk tambahan koleksi taman di villa?"

Sony mencoba topik lain.

"Sudah sebulan yang lalu. Kenapa baru tanya sekarang..." jawab Tris sambil terus mengurus wajahnya.

"Aku sibuk, Tris...,"

Tris diam lagi, tak bereaksi atas pengakuan Sony tentang kesibukan itu. Lelaki itu tambah kesal. Kenapa Tris tidak pernah ramah kepadanya belakangan ini? Apakah betul cerita-cerita angin yang sudah didengarnya tentang seorang pemuda yang sering terlihat bersamanya?
"Bagaimana gigi Ria, apakah sudah diperiksa ke dokter?" Sony masih mencoba topik lain. Tetapi itulah kesalahannya, ia seperti sedang menginterograsi Trista. Sehingga wanita ini bereaksi keras, membalikkan tubuhnya dan berkata pelan tetapi ketus,

"Sudah kami lakukan tiga bulan yang lalu. Sudah kulaporkan ke mas Sony dua minggu yang lalu karena mas Sony ada di Singapur ketika kami ke dokter. Sudah beres semuanya. Gigi Ria sudah rapi dan sehat terawat..... Puas?"

"Kenapa marah?" sergah Sony sambil bangkit mencari-cari sendal jepitnya. Sial, kemana benda-benda itu sewaktu diperlukan?

"Aku tidak marah." jawab Tris, lalu berbalik kembali menghadap cermin dan mengurus wajahnya. "Tetapi tolonglah, mas. Sesekali tanyakanlah hal-hal itu ke Ria sendiri."

"Dia selalu sudah tidur sewaktu aku pulang," gumam Sony sambil terus mencari-cari sandalnya.

"Kalau begitu, pulanglah lebih cepat," kata Tris.

"Kemana sandalku, Tris?" tanya Sony mengalihkan topik. Percakapan mereka sudah tidak karuan ujung pangkalnya.

"Mungkin di kamar mandi..," ucap Tris sambil bangkit dan menuju tempat tidur.

Sony menuju kamar mandi sambil berucap, "Malam ini ada film bagus di televisi..."

"Aku mengantuk," jawab Tris pendek sambil mulai merebahkan diri di ranjang, miring menghadap tembok dan segera memejamkan mata. Sony terus mencari-cari sandalnya di kamar mandi. Tidak ada di sana, ia pindah ke luar kamar dan berteriak ke pembantu yang terdengar tergopoh-gopoh datang dari arah belakang. Lalu terdengar lelaki itu marah karena sandal tetap tidak ditemukan di luar kamar. Di mana benda-benda keparat itu? sergah Sony dalam hati.
Akhirnya ia melupakan sendalnya dan duduk di depan televisi sendirian menonton sebuah film laga. Baru setengah bermain, lelaki itu merasa mengantuk dan masuk ke kamar tidur. Ia merebahkan tubuhnya setelah mencium pipi Trista yang tampak sudah terlelap. Ia berusaha mencium dengan penuh perasaan, tetapi ia sendiri akhirnya merasa gagal. Ciuman itu terasa hambar. Seperti sebuah gerakan otomatis yang tidak dimotori oleh rasa. Seperti sayur tanpa bumbu. Apalagi yang dicium juga sudah tertidur. Tidak ada rasa apapun yang timbul di dada Sony setiap ia mencium wanita itu. Tidak seperti ketika ia mencium mendiang Pristi ....

*****
Suara sekretaris di interkom menyentak lamunan Sony.
"Tamunya sudah datang, Pak!"

"Oh ya. Suruh masuk saja Endah, dan tolong buatkan kopi untuk dia dan saya," kata Sony sambil bergegas bangkit.

Tidak lama kemudian tamu itu masuk. Sony menyalaminya di pintu, dan mempersilahkan tamunya duduk. Nama tamu itu adalah Douglas McCoy, seorang warganegara Inggris pemilik perusahaan yang kini patungan dengan perusahaan Sony. Maksud kedatangannya adalah untuk membicarakan tahap akhir rencana mereka, yaitu mengembangkan pabrik di dekat ibukota agar bisa menjadi pemasok ke seantero ASEAN. Setelah sejenak berbasa-basi, percakapan bisnis pun dimulai.

"Saya sudah contact London, and mereka setuju seluruh iteniary kita," ucap Douglas yang sudah fasih berbahasa Indonesia tetapi masih sering bicara gado-gado itu.

Sony menangguk-angguk, "Apakah Pak Douglas juga bilang bahwa my daughter will also go.. dan karena itu she needs to go to school there.."
"Oh, ya..Ya. Dont worry about that Pak Sonny," ucap Douglas bersemangat sambil mengibas-ngibaskan tangannya untuk menambah eskpresi.

"Bagus, kalau begitu. And I think one year will be enough for me to get to know the business.. Lalu, we'll see... apakah saya perlu terus di sana for some more years atau tidak," kata Sony, sambil mempersilakan tamunya minum.

Douglas menghirup kopinya, "And while you're there,.. mungkin juga istri bapak bisa going to school and get a master degree or what..," katanya.
"Aahh, ya.. ya..," jawab Sony, "That'll be a great idea.."

"Saya belum pernah bertemu istri bapak,.. how is she doing?"

Sony tertawa kecil, menyembunyikan kerisauannya, karena sebetulnya ia sendiri tidak yakin apakah Trista akan setuju dengan rencana ini. Ia belum pernah membicarakannya!

"She's fine, thank you... but, y'know.. dia memang kurang suka business..
Tetapi, my fault.. I should've brought her in more often..," kata Sony.
Lalu Douglas membicarakan lagi rincian rencana mereka. Sony akan bekerja di London, di kantor pusat perusahaan GlobeTel yang bergerak di bidang telekomunikasi. Di sana ia akan memantau langsung proses pembuatan alat-alat elektronik telekomunikasi yang nantinya akan dibuat di Indonesia. Dengan bekerja di kantor pusat itu, diharapkan Sony bisa menguasai sepenuhnya proses produksi, sehingga perusahaannya di Indonesia bisa lebih mantap bermitra dengan GlobeTel.

Sebetulnya, sudah berkali-kali Sony bermaksud membicarakan rencana ini dengan Trista, tetapi selalu ditunda. Ia pernah menyebut-nyebut soal ini secara singkat, tetapi tidak pernah bisa berkembang menjadi diskusi. Bukan saja karena Trista tampaknya kurang memperhatikan kehidupan bisnis suaminya, tetapi juga karena Sony selalu kekurangan waktu untuk berbincang-bincang serius. Ia selalu pulang malam, dan seringkali tiba di rumah pada saat Trista atau Ria sudah tertidur.

Setelah Douglas pulang, Sony memanggil sekretarisnya, memintanya untuk menunda semua agenda direktur hari ini.

Endah terpana, "Semuanya, Pak?"

"Ya.. semua. Termasuk makan siang dengan beberapa clients.. Bilang saja saya tiba-tiba harus keluar kota," kata Sony sambil menekan tombol telepon untuk mengontak rumah. Ia perlu bicara dengan Trista.
"Rapat kita siang ini bagaimana, Pak?" Endah masih belum yakin..

"Semuanya. Kamu ngga ngerti arti 'semua', ya!?" ujar Sony gusar, membuat Endah terburu-buru mengangguk dan keluar kamar untuk segera membatalkan semua rencana big boss.

"Halo, Tris..," Sony bicara di telepon, "Bagaimana kalau kita makan siang bertiga hari ini?" Terdengar suara Trista pendek, 'boleh' katanya.
"Aku jemput kamu, dan nanti kita bersama ke sekolah. Okay?" ucap Sony, dan setelah mendapat jawaban setuju dari seberang sana, ia segera meletakkan gagang telepon.

*****
Trista tampak cantik dan segar ketika Sony tiba di rumah. Ah,.. dia memang selalu cantik mempesona, gumam lelaki itu sambil mencium pipi istrinya. Wangi segar dari tubuhnya yang masih dibalut gaun mandi menyerbu hidung Sony, membuat sejenak lelaki itu punya pikiran untuk menunda makan siang dan mengajak Trista bercumbu. Tetapi mungkinkah?

"Kamu harum sekali...," Sony mencoba ramah untuk mencairkan suasana yang beberapa hari ini agak membeku. Trista tersenyum, merasa tersentuh oleh upaya lelaki itu, yang biar bagaimanapun adalah suaminya. Diraihnya tas kerja Sony, diletakkannya di meja, lalu ia menawarkan kopi. Sony lega melihat senyum dan mendengar tawaran kopi. Trista ternyata masih ramah. Itu sudah cukup. Ia tidak perlu mencintaiku, gumam Sony dalam hati. Aku tak berhak meminta cintanya. Ia bukan Pristi, walau sedarah-sedaging. Bukankah cinta tidak bersumber di darah dan di daging, melainkan di hati? Tetapi, terbuat dari apakah hati manusia?

"Tak usahlah,.. nanti kita terlambat menjemput Ria" jawab Sony menolak tawaran kopi.

"Sebetulnya Ria baru pulang jam tiga, mas...," kata Trista sambil menerima dasi suaminya, melipat dan memasukkannya ke laci khusus untuk dasi. "Tidak bisakah kita minta dia pulang lebih cepat,.. lalu kita ajak makan siang?"

Trista tersenyum dalam hati... dasar pengusaha, selalu merasa segala sesuatunya bisa diatur. Tetapi Trista tidak berkeinginan mendebat Sony siang ini, sehingga ia bilang hal itu bisa dilakukan dan ia siap berangkat setelah berganti pakaian. Sony duduk diranjang, mengganti baju kerja dengan kaos dan membuka sepatu untuk memakai sandal kulit. Trista membuka gaun mandinya, berdiri di depan lemari mencari-cari pakaiannya.

Sony menelan ludahnya sendiri, melihat tubuh Trista yang mulus dan molek terpampang indah di depannya. Segera terbayang tubuh mendiang istrinya, dan sebuah kerinduan hewani diam-diam menyelinap di dirinya. Betapa ia sangat merindukan Pristi kalau melihat Trista telanjang bulat begitu. Betapa ia teringat masa-masa bergairah dulu, yang tiba-tiba terputus oleh kecelakaan keparat itu. Betapa sejak itu hidupnya hancur, termasuk kehidupan seksualnya. Sony kini menjadi lelaki yang sangat berbeda.... yang tidak lagi bisa berfungsi sempurna, walaupun tetap punya gairah.

Diam-diam Trista merasakan pandangan suaminya melekat ke tubuhnya. Ah,.. kasihan sekali lelaki itu, desahnya dalam hati. Terkadang ia merasa sangat bersalah karena tidak melayaninya dengan tulus. Tetapi, bagaimana aku bisa tulus melayaninya, kalau aku tidak mencintainya? gumam Trista dalam hati. Bagaimana aku bisa memberi apa yang dimintanya, kalau setiap sentuhannya terasa ganjil? Setiap percumbuan terasa hambar bagi Trista, dan ia lebih sering tergeletak pasrah membiarkan suaminya tergesa-gesa melepas birahinya. Sony bangkit mendekati istrinya, berucap dengan suara agak bergetar, "Kamu cantik sekali..."

Trista tersenyum, "Jangan terlalu sering memuji, mas.."

Sony berdiri dekat sekali, membuat bulu kuduk Trista agak meremang, apalagi mendengar ucapannya, "Betul-betul cantik. Membuatku ingin....."

Trista menghela nafas dalam-dalam, menguatkan hatinya. Biar bagaimana pun, lelaki yang nafasnya terasa hangat menyerbu tengkuknya ini adalah suaminya. Aku tak mungkin terus menerus menyiksanya, gumam Trista dalam hati. Dibiarkannya Sony memeluk dirinya dari belakang, menciumi kuduknya dengan bergairah. Ia memutuskan untuk melayani kemauan lelaki itu. Toh masih ada waktu sebelum menjemput Ria.

Sony merasa mendapat keleluasaan, dan gairahnya dengan cepat bangkit seperti kereta-api ekspres yang siap meninggalkan peron stasiun. Tangannya yang sejak tadi sudah gemas melihat kesintalan Trista segera beraksi, menjelajah dan meremas penuh dahaga seksual. Trista memejamkan matanya, membiarkan Sony bergerak sesuka hati. Tetapi, bersamaan dengan tertutupnya kelopak mata, tertutup pula seluruh pintu perasaannya. Apa boleh buat, itulah satu-satunya cara wanita ini bisa menerima Sony!

Lelaki itu dengan penuh birahi meremas-remas payudara Trista, membuat pemiliknya meringis. Lelaki itu senang sekali dengan bagian tubuh yang sangat menggairahkan dan sangat kenyal ini. Berlama-lama ia menjelajahi dan menggerayangi dada Trista, sambil terus mencium tengkuknya yang jenjang dan harum semerbak. Tidak peduli ia, walaupun tahu bahwa wanita yang sedang dicumbunya ini hanya diam saja seperti tak bernyawa. Tidak peduli ia, karena toh di dalam khayalnya Sony juga membayangkan Almarhum Pristi. Bagi lelaki itu, percumbuan dengan Trista hanyalah mediator bagi hubungannya dengan wanita yang ia sangat kasihi itu,... yang kini nun jauh di dunia sana!

Trista membiarkan dirinya dibopong Sony ke tempat tidur. Membiarkan suaminya menelentangkan dirinya dan menciumi dada serta lehernya. Mata wanita itu tetap terkatup, dan nafasnya teratur seperti orang tidur. Sony tetap tidak peduli. Cepat-cepat ia membuka resleting celananya, mengeluarkan kejantanannya yang sudah tegak-tegang sejak tadi. Dengan sekali gerakan, diangkatnya kedua paha Trista, dikuakkannya dengan lebar. Tanpa basa-basi, Sony mendorong masuk kelaki-lakiannya...

"Ah!" Trista menjerit kecil sambil meringis kesakitan. Ia belum siap sama sekali.

"Maaf!" desah Sony, tetapi ia tetap mendorong masuk, dan terpaksa ikut meringis karena ikut kesakitan. Tetapi lelaki itu bertekad untuk menyelesaikan permainan ini secepat mungkin. Maka ia terus mendorong, dan segera menggenjot sepenuh hati.

Setelah beberapa saat, cumbuan mulai lancar, dan Trista membuka dirinya selebar mungkin, memberikan keleluasaan bagi mereka berdua. Wanita ini sudah hapal dengan perilaku seksual Sony yang serba cepat dan serba ringkas. Tidak lama kemudian, pada dorongan yang belum mencapai hitungan selusin, Sony sudah menggeram dan menumpahkan cairan cintanya di rahim Trista. Sejenak lelaki itu menyandarkan tubuhnya yang kini terasa lunglai di tubuh Trista. Lalu pelan-pelan ia bangkit, dan akhirnya terguling ke samping disertai desah menyatakan terimakasih. Trista pun bangkit, menjaga dengan tangan tertakup di kewanitaannya agar cairan cinta Sony tidak tumpah ke mana-mana, sambil berjalan ke kamar mandi untuk berbasuh. Percumbuan mereka berlangsung tidak lebih dari 10 menit!
******
Ria memesan hamburger kesukaannya, lengkap dengan es krim yang disediakan di gelas tinggi yang melebihi tinggi kepalanya ketika duduk. Bahagia sekali Sony melihat putrinya makan dengan lahap dan berceloteh tentang sekolahnya. Trista ikut bahagia melihat ayah-anak itu rukun dalam peristiwa yang sangat langka ini. Belum pernah Sony sempat makan siang dengan anaknya. Bahkan akhir pekan pun sering digunakan Sony untuk meninjau pabrik atau main golf dengan rekan-rekannya. Trista sebenarnya tidak peduli, tetapi ia kasihan melihat anak perempuan mendiang kakaknya tumbuh tanpa kasih sayang ayah. Untung kakeknya (ayah Pristi dan Trista) sangat dekat dan menyayangi cucunya yang cantik ini. Lalu mereka pun bersantap dengan lahap, dan Sony menyatakan maksud sesungguhnya dari makan siang bersama ini. Trista sebenarnya sudah siap sejak Sony menelpon tadi. Ia sebenarnya terkejut ketika Sony mengajak makan siang, dan kemudian menguatkan hati untuk menerima apa saja yang akan dipersoalkan lelaki itu.

Bahkan ia sudah bersiap untuk yang terburuk, yaitu membicarakan hubungannya dengan Joe.

"Sebentar lagi kita harus pindah ke London, Tris...," ucap Sony setelah berdehem.

"Kita?" tanya Trista dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang.
Sony tidak mengangkat mukanya dari makanan yang sedang dinikmati. Ia agak gentar juga.

"Ya. Saya, Ria dan kamu...," katanya.

Trista menghentikan suapannya. Nasi uduk kegemarannya terasa seperti pasir.

"Saya tidak pernah tahu rencana itu," ucapnya dengan suara agak bergetar.
"Saya pernah mengutarakannya,"

"Tidak. Tidak pernah," kata Tris sambil meletakkan sendok-garpu dan melap mulutnya. Ia tidak ingin melanjutkan makan.

"Memang tidak mendetil. Tetapi saya pernah bilang akan ke London," ucap Sony sambil mencoba menahan gejolak di hatinya. Ia menduga sebentar lagi wanita di depannya ini akan meledak marah.

"Betul...... Mas Sony ke London. Saya dan Ria tidak," ucap Tris sambil menahan suaranya yang tiba-tiba meninggi tanpa disadari.

"Tetapi saya akan di London agak lama. Mungkin dua tahun," kata Sony, "..dan saya ingin Ria sekolah di sana."

Trista menahan marahnya. Lelaki ini sungguh egois! jeritnya dalam hati. Mengapa ia cuma berpikir tentang Ria dan dirinya sendiri? Dengan muka merona merah, wanita ini berkata pelan tetapi ketus, Baiklah. Selamat jalan. Saya tidak ikut."

"Tetapi dia butuh kamu....," kata Sony sambil menghentikan suapannya. Bakmi goreng di depannya seperti berubah menjadi sampah.
"Kalau begitu dia tinggal di Indonesia!" sergah Trista sambil membereskan diri dan mendorong kursi.

"Mau kemana kamu?" Sony mengangkat muka dan mengernyitkan dahinya.
"Mama!" Ria merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Kepada Ria, Trista berucap lembut, "Habiskan makananmu sayang.... Mama harus ke dokter. Kamu pulang dengan ayah, ya!?"

Ria mengangguk patuh. Sony bangkit dengan kikuk. Ia tidak menyangka akan begini sulit perkembangannya. Ia ingin marah. Tetapi kepada siapa ia harus marah, selain kepada dirinya sendiri? Lelaki itu cuma diam memandang Trista bersiap pergi. Trista tidak berkata apa-apa lagi, membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkan restoran. Pikirannya gundah. Hatinya menjerit, memaki keegoisan Sony dan ketidak-peduliannya pada istrinya. Tetapi pada saat yang bersamaan hati kecilnya juga menuduh dirinya tidak adil. Mengapa kau tak pernah peduli pada bisnis suami mu? Mengapa tak pernah kau tanyakan rencananya? Terlebih lagi, hati kecil Trista juga menuduh wanita itu tidak ingin meninggalkan Indonesia karena ia telah terlibat asmara dengan Joe. Untuk hal yang satu ini, Trista memang tidak bisa membela diri....

*****
Joe tercenung mendengar penuturan Trista. Mereka berdua duduk diam di sebuah kedai minum kopi di dekat kampus. Trista memutuskan untuk bertemu pemuda kesayangannya itu setelah meninggalkan Ria dan ayahnya di restoran. Ia naik taksi dan menunggu waktu pergantian antarkuliah, sebelum masuk ke halaman kampus dan melambaikan tangan ke Joe yang kebetulan sedang berjalan menuju perpustakaan. Mereka bergegas meninggalkan kampus, menghindari tatapan beberapa pasang mata yang mengikuti langkah keduanya sampai menghilang ke luar gerbang.

Setelah bercerita, Trista menunduk, menyimpan diam-diam airmatanya. Joe ingin sekali memeluk bidadarinya, tetapi tidak mungkin di tempat umum seperti ini. Hujan tiba-tiba turun, seperti dicurahkan dari langit. Sebagian air tampias ke dekat meja mereka, namun keduanya tak ingin bergeming. Butir-butir air tipis tampak menghiasi rambut Trista, seperti kristal-kristal kecil di atas hamparan beludru hitam pekat. Joe meremas lembut punggung tangan kekasihnya, mengajak dengan suara pelan untuk pindah tempat.
"Bawa aku pergi jauh, Joe," bisik Trista nyaris tak terdengar, tertutup gemuruh air yang menerpa atap kedai kopi.

"Ke mana?" tanya Joe lemah.

Ia seperti kehilangan semua sendi-sendi di tubuhnya. Seperti boneka kapuk yang kehilangan kapuknya. Lemas dan sungguh tak berdaya. Mengapa sulit sekali menerima kenyataan-kenyataan yang tak sesuai dengan keinginan? Mengapa tiba-tiba dunia ini terasa luas sekali, sehingga tak tahu musti kemana?

"Aku tak tahu," jawab Trista pendek sambil memainkan jemarinya di taplak meja, memilin-milin tisu yang sudah hancur lebur menyerupai bubur kertas, "Ke mana saja, asal bersama kamu."

Joe menghela nafas dalam-dalam. Pada berbagai kesempatan, Trista selalu terlihat tegar menghadapi persoalan. Joe teringat betapa tenang bidadarinya itu menghadapi kawan-kawannya yang datang ke villa memergoki mereka. Betapa sejuk kata-katanya setiap kali Joe gundah menghadapi prahara-prahara kecil di sepanjang pergaulan-kasih mereka. Bahkan ia sanggup tersenyum sambil menangis.... sambil bercinta.... sambil bergairah-bersensasi terakhir kali mereka bercumbu di pondok indekosan Joe. Kini, bidadari di hadapannya menunduk seperti sebuah bunga yang layu di terik mentari. Sanggupkah aku menjadi energi penggairahan untuk membuatnya segar kembali, pikir Joe gelisah. Sanggupkah aku menjadi air penyejuk yang menegakkan kembali bunga harum yang tertunduk lesu ini?

"Kalau kita pergi, bukankah kita akan terus dikejar kerisauan?" ucap Joe dengan suara yang dibuat setenang mungkin, walau agaknya tidak terlalu berhasil. Trista mengangkat mukanya. Duh.., keluh Joe dalam hati... mata yang indah itu merebak basah oleh air bening, dan memandang dengan sinar kemilau yang memilukan. Haruskah aku ikut lemah? Tidak! Tidak! jerit hati Joe.

"Tetapi aku tidak ingin ke London," sergah Trista dengan tatapan yang berisi permohonan sekaligus penyerahan. Tuntutan sekaligus himbauan. Api sekaligus es. .....fire and ice.

"Bagaimana dengan Ria?" kata Joe.

Bayangan gadis kecil manis manja itu sejak tadi berkelebat di matanya, seperti menuntut untuk segera dibawa ke meja percakapan. Trista langsung tersedu mendengar nama itu disebut, dan Joe menyesal setengah mati. Ia melihat sekeliling. Beberapa pengunjung menoleh sebentar ke arah mereka, tetapi segera kembali ke urusannya masing-masing. Hujan masih deras, dan bahkan semakin deras. Beberapa pegawai kedai tampak sibuk menutup tirai-tirai plastik untuk melindungi para tamu.

"Maaf, Tris. Tetapi bukankah kita harus bicarakan segala sesuatunya dengan tenang?" ucap Joe.

Ia sendiri heran, mengapa tiba-tiba ada kekuatan samar-samar di dalam dirinya. Sekonyong-konyong ia merasa tegar. Merasa harus menghindari keruntuhan-keremukan hati agar bisa membantu bidadarinya keluar dari kemelut. Aku harus tegar! sergahnya dalam hati.
"Betul. Aku bingung, Joe. Tolonglah..," ucap Trista lirih, dan Joe merasa seperti disengat oleh sebuah kenyataan baru. Ia seperti mendapat cambukan yang memerihkan, tetapi sekaligus membuatnya terbangun dari kesenduan.

"Kita harus bicara dengan suamimu," ucap Joe pelan tetapi tegas.
Ia sendiri sempat terkejut, dari mana datangnya ketenangan itu. Trista mengangkat muka lagi, memandang kekasihnya dengan takjub.
"Kamu ..... dan aku..., bertemu Sony?" ucap Trista terbata.

"Ya," jawab Joe mantap, "Kita tidak boleh terus begini, Tris. Juga tidak boleh melarikan diri dari kenyataan, karena kenyataan selalu lebih cepat bisa mengejar."

Trista terdiam. Air matanya tiba-tiba berhenti mengalir dan sebentuk perasaan ganjil memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba merasa seperti burung kecil yang belum bisa terbang, di hadapan seekor elang perkasa yang dengan kepak sayapnya bisa melindungi dirinya dari sergapan binatang pemburu. Diraihnya tangan pemuda terkasihnya. Dikatupkannya kedua telapak tangannya di telapak tangan pemuda itu. Hatinya berbisik, entah apa jadinya aku tanpa kamu.
"Kalau perlu, sore ini aku datang menemuinya," ucap Joe semakin tegas. Ia merasa seperti seorang prajurit yang tiba-tiba diberi pangkat jenderal. Tubuhnya tegak. Dadanya terasa lapang.

Trista cepat-cepat menggeleng, "Jangan," katanya, "Aku belum siap, Joe. Beri aku waktu..."

"Besok?" tanya Joe.

Rasanya, di belakang tempat ia duduk ada barisan tank yang siap dipimpin maju ke medan perang. Rasanya, ia adalah George Patton, jenderal Sekutu yang meludaskan tentara Jerman di Perang Dunia II.
"Mungkin...," bisik Trista lirih, "Sekarang aku cuma mau berdua denganmu..."
Joe tersenyum untuk pertamakalinya siang ini. Diraihnya bahu Trista yang seperti terpuruk lesu. Diusapnya lembut bagian yang tak tertutup gaun, seakan dengan usapan itu Joe ingin mengirimkan jutaan watt energi listrik yang bisa membangkitkan semangat kekasihnya. Trista ikut tersenyum lemah, memiringkan kepalanya, menyentuhkan pipinya ke punggung tangan pemuda pujaannya.
"Bawa aku pergi dari kedai ini, Joe...," bisik wanita itu sambil memandang penuh permohonan dan kerinduan.

******
Mereka pergi naik angkutan umum ke bumi perkemahan tempat Joe biasa menyepi. Trista tak bertanya sedikit pun kemana pemuda pujaannya membawa pergi. Ia hanya memeluk erat lengan kekasihnya, mengikuti saja langkahnya ke segala arah. Ia juga tidak ragu menerobos tirai hujan yang tak bisa dicegah oleh payung sewaan. Ia juga rela duduk berdesakan di angkutan yang sebagian berisi paman-paman petani dengan baju lusuh, tetapi dengan senyum tulus itu. Trista menyerahkan hidupnya total ke tangan pemuda yang kini tampak jauh lebih tegap dari selama ini. Betapa gagahnya ia, bisik Trista dalam hati, sambil terus mendekapkan tubuhnya erat-erat ke lengan Joe.

Dengan tubuh hampir basah kuyup mereka masuk ke pondok di tepi danau setelah meminta kuncinya dari pemilik warung yang sudah sangat dikenal Joe. Suami-istri pemilik warung itu tersenyum penuh pengertian, dan bahkan menggoda Joe dengan canda-canda yang terasa asing di telinga Trista. Bagi wanita yang lahir dan besar di lingkungan berada, maka dunia Joe yang satu ini sungguh mempesona karena penuh dengan kesepakatan-kesepakatan tersamar, dan ketulusan-ketulusan yang tak disembunyikan. Begitu sederhana, sekaligus begitu mempesona.

Lalu mereka bercinta di pondok yang terpencil itu, selagi hujan terus menerus mendera bumi. Selagi tubuh mereka masih basah oleh air langit. Selagi gairah mereka sedang membakar jiwa raga seperti api di tungku lokomotif uap yang siap berjalan sejauh-jauhnya. Trista membiarkan pemuda pujaannya membawanya menelusupi lembah-lembah birahi yang dikelilingi alam asri hijau segar. Membiarkan tubuhnya tergolek di tikar yang bersih walau telah kehilangan warna aslinya. Membiarkan Joe dengan sabar membuka seluruh gaunnya yang kuyup oleh air hujan. Membiarkan pemuda itu mengusap tubuhnya yang berkilau telanjang, perlahan-lahan seperti seorang perawat benda seni membersihkan sebuah master piece.

Lalu Joe membangkitkan semua gairahnya. Semua, tak ada yang tersisa... dibangkitkan oleh bibirnya yang hangat, oleh hidungnya yang nakal, oleh lidahnya yang liar, oleh jemari-jemarinya yang cekatan. Lalu Joe membawanya terbang tinggi sekali ke puncak-puncak asmara lewat jalan berliku-liku yang melelahkan, yang membuat tubuh wanita ini bergelinjang-bergeliat-bergejolak. Lalu Trista mendesah, mengerang, menjerit bahkan. Berkali-kali ia menikmati rasa segeli-gelinya, segatal-gatalnya, segelisah-gelisahnya. Berkali-kali ia terjebak di antara keinginan untuk terus menerus digenjot-dihujam, dan kesangat-nikmatan yang tak tertahankan. Hanya ketika Joe telah mencapai puncak sensasi birahinya, barulah segala keributan-kesemarakan-keriuhan cinta mereka berhenti.

Lalu hujan ikut berhenti seperti ikut kehabisan tenaga. Langit ternyata sudah menggelap. Mereka terburu-buru pulang, dan Joe terpaksa menjatuhkan kunci lewat lubang angin di warung yang sudah tutup.

Dan Trista tiba di rumah ketika semua lampu sudah menyala. Joe mengantar sampai di gerbang, sebelum dengan halus tetapi tegas diusir oleh kekasihnya agar segera pulang. Dengan langkah tenang, Trista menaiki tangga teras, masuk ke ruang tamu yang terang berderang dan sudah penuh berisi keluarga intinya: Ayah-Ibunya, suaminya, Ayah-Ibu mertuanya, dan si kecil Ria. Trista tersenyum. Semua yang ada di ruang tamu tidak membalas senyum itu. Trista berdiri tegak di depan semua orang. Si kecil Ria langsung memeluk kakinya. Hujan turun lagi. Kali ini disertai badai.


Musim Badai Tiba

Sebuah pengadilan kecil terjadi malam itu dengan Tristantiani sebagai terdakwa utama.

Wanita semampai yang sebenarnya masih letih setelah seharian pergi bersama kekasihnya itu, duduk dengan tubuh tegak. Wajahnya tampak pias, tetapi juga luar biasa tenang. Matanya menerawang, berpindah-pindah memandangi wajah-wajah yang lalu lalang di hadapannya. Bibirnya yang ranum membentuk garis tipis nyaris tak berlekuk, menandakan ketegaran yang getir. Tidak ada senyum. Juga tidak ada tangis.

Hujan di luar bagai ditumpahkan dari langit, dan Tris sejenak memikirkan seorang pemuda yang saat itu berlari-lari kecil menembus tirai air. Larilah sejauh langkahmu, bisik wanita itu dalam hati. Tinggalkan tempat yang berderang tetapi pekat oleh kerancuan dan kecurangan dan kebimbangan ini. Larilah sampai tempatmu berteduh, jauh dari jangkauan amarah dan keputusasaan. Larilah! Joe terengah-engah menembus hujan yang kini sudah membasahi seluruh tubuhnya. Bajunya tak kuasa membungkus tubuh yang kuyup. Angin bergemuruh di pepohonan di pinggir jalan yang satu demi satu dilewatinya. Cahaya lampu neon tak kuasa menembus gelap yang semakin pekat oleh kabut dan air curahan langit yang murka. Muka pemuda itu terasa peris terhantam butir-butir besar air yang bagai tak mau berkompromi. Berkali-kali matanya berkerejap menahan perih.

"Hentikan semua permainanmu, Trista," suara bariton sang ayah menyudahi pidato pendek tentang kemurnian perkawinan dan tentang harga diri keluarga. Semua orang memandang ke wanita yang duduk diam bagai patung. Semua orang diam-diam merasakan perih di hati, melihat mahluk cantik halus mempesona itu harus berhadapan dengan barisan penjaga keharuman nama dan moralitas. Tetapi tak seorang pun tahu apa isi benaknya. Tak tahu bahwa sebuah kegelisahan menggeliat di kepalanya. Sudah sampai mana pemuda itu berlari? bisiknya dalam hati. Sudah cukup jauhkah untuk tidak merasakan perih-pedih yang menggelisahkan ini?

Joe merasakan kakinya pegal, tetapi ia terus belari. Suara langkahnya adalah satu-satunya suara yang berani melawan gemuruh badai dan curahan air di bumi. Cipratan-ciptratan lumpur memenuhi kaki jeans-nya. Joe merasakan dadanya sesak, tidak saja oleh olah tubuh yang menyita tenaga ini, tetapi juga oleh kesadaran tentang apa yang dihadapi Trista di rumahnya. Ia tadi tidak bisa masuk, tetapi ia sempat melihat ruang tamu yang berderang dan penuh bayang-bayang orang. Ia tahu, ada sesuatu yang terjadi di sana. Sesuatu yang sama sekali tak remeh.

"Apakah kau mencintai mendiang kakakmu?" suara bening sang Ibu memecah hening. Trista mengalihkan pandangan kepada wanita yang melahirkannya. Oh, Ibu... mengapa bicara cinta di saat seperti ini? bisiknya dalam hati. Mengapa tidak bicara belenggu dan racun dan dusta?
"Mendiang tahu aku mencintainya," ucap Tris pelan, hampir tak terdengar
"Lalu mengapa kau langgar janjimu?" kejar Ibu.

"Saya tidak berjanji apa-apa," ucap Tris, masih pelan, namun kali ini cukup terdengar. Terutama di telinga Sony.

Pria itu menunduk, mencoba mencari makna di atas lantai marmer yang bersih. Tentu saja, ia tak menemukan apa-apa di sana.
"Kamu berjanji akan menjadi ibu dari anaknya," suara bariton Ayah kembali muncul.

Trista menoleh ke lelaki yang rambutnya sudah putih semua itu. Ingin sekali ia mengusap rambut itu dan menenggelamkan muka di lehernya seperti 10 atau 20 tahun yang lalu. Mengapa tak bisa lagi kulakukan itu padamu, Ayah? keluhnya dalam hati.

"Saya sudah menjadi ibunya," kata Trista sambil mengusap rambut Ria di pangkuannya.

Anak itu sejak tadi dengan tenang tidur, memakai pangkuan Trista sebagai ranjangnya. Ia tak mengerti mengapa semua kakek dan neneknya berkumpul di sini. Ia hanya tahu bahwa ibunya telah pulang, dan bahwa tidur di pangkuannya adalah sebuah aktifitas yang paling nyaman.

"Kau berjanji menjadi istri dari suami mendiang" suara bariton itu lagi, tidak marah tetapi tegas dan getir.

"Saya memang istri Sony..."kata Tris sambil memandang Sony yang mengangkat mukanya mendengar namanya disebut.

Pasangan ini saling bertatapan,... dan sebentuk garis maya terbentang di antara mereka. Sebentuk garis yang terbuat dari es batu. Dingin sekali.

"Tetapi, pemuda itu...," suara Ibu menyela, terhenti di tengah-tengah.
"Joe. Pemuda itu bernama Joe, Ibu," kata Trista. Dan aku mencintainya, sambung Trista dalam hati.

"Siapa dia?" untuk pertama kalinya Ibu mertua angkat bicara.
Trista menoleh ke arah seorang Ibu aristokrat yang rambutnya selalu rapi dan perhiasannya selalu lengkap. Seorang yang dari jarak 20 meter pun sudah tercium wangi parfumnya. Seorang yang bertanya "siapa dia" seperti bertanya "berapa harganya".
"Seorang yang baik hati," kata Trista sambil menyunggingkan bibir. Maksudnya ingin tersenyum, tetapi yang tampak adalah sebuah keterpaksaa. …..ketidakrelaan.

"Seorang yang memacari istri orang?" kata Ibu mertua sambil mengalihkan pandangan, seperti seorang pembelanja yang tak suka melihat barang di etalase. Trista menunduk, menyembunyikan api di matanya. Dadanya bergemuruh dan terasa ingin meledak. Joe, bisiknya dalam hati, sudah sejauh manakah kau berlari?

"Istri anakmu!" sergah Ayah mertua kepada Ibu mertua.

Lalu keduanya saling tatap dengan galak. Lalu ucapan-ucapan dalam bahasa Belanda berhamburan keluar dari mulut mereka, yang sebagian dimengerti oleh Trista: mereka bertengkar soal anak mereka. Betapa bahagianya pasangan itu! sergah Trista sinis di dalam hati. Sony mencoba menengahi, tetapi malah dibentak oleh Ayahnya. Pertengkaran mulut berlanjut, walau tidak sampai berteriak-teriak. Ayah dan Ibu Trista tampak kikuk melihat besan mereka bertengkar. Sony kewalahan menyembunyikan rasa malunya. Trista menutup kuping Ria dengan tangannya, kuatir anak itu terbangun. Pertengkaran merembet ke Ayah dan Ibu Trista. Ramai sekali suasananya.

Trista menunduk mengusapi rambut Ria dan berbisik dalam hati, tidurlah yang nyenyak anak manis. Dunia sudah jadi tak elok dipandang mata, tak merdu didengar telinga. Lalu kepada angin yang berderu-deru di luar, Trista berbisik, sampaikan salamku pada seorang pemuda yang berlari-lari di tengah hujan, Wahai Sang Bayu.
Dan angin seperti mengerti. Suaranya menggemuruh. Sejenak Trista menengok ke luar jendela, tak mempedulikan orang-orang di depannya, yang kini sibuk bertengkar di antara mereka. Air hujan masih seperti berlomba menyentuh tanah paling dulu. Sejenak pikiran Trista terganggu,... apakah dia baik-baik saja?

*****
Joe sudah sampai di ujung jalan yang memotong jalan besar. Cukup jauh ia berlari menembus hujan, dan telah terasa pegal mencengkram di kedua pahanya. Tetapi ia terus berlari. Ia merasa dikejar oleh sesuatu. Oleh sebuah kegundahan dan kegalauan, yang seperti menempel erat dekat sekali di punggungnya. Ia pun berlari semakin cepat, walau kedua kakinya memprotes keras. Langkahnya tak lagi teratur, tetapi terhuyung. Namun terus dan terus ia berlari menembus tirai air, memasuki kegelapan jalan raya yang sebagian lampunya mati karena konslet.

Dari arah berlawanan, sebuah patroli polisi melaju. Supirnya berkali-kali mengomel karena hujan yang amat lebat menutupi sebagian pandangannya. Teman patrolinya sibuk mengusap-usap kaca untuk menciptakan kejernihan. Tetapi hujan di luar yang menyebabkan pandangan kabur, bukan kaca yang kotor. Si supir mengomel lagi, menyuruh rekannya berhenti mengusap-usap kaca. Joe berlari terhuyung dengan nafas terengah. Pandangannya mengabur, tidak saja oleh curah hujan yang lebat, tetapi juga oleh kurangnya oksigen yang dapat dikirim jantung ke ke kepala. Maka semakin terhuyunglah pemuda itu. Semakin ke tengah jalan pula larinya. Semakin tak sadar pula bahwa yang dijejaknya adalah jalan lurus di mana mobil bisa berlari sampai 80 km per jam jika hari terang.
Mobil patroli terus melaju, walau kini dengan kecepatan minimum. Sang sopir kembali mengomel, dan temannya ikut mengomel atas omelan itu. Keduanya saling mengomel dan mengumpat. Keduanya memandang ke depan dengan konsentrasi penuh. Keduanya melihat seseorang terhuyung tepat di depan. Dekat sekali!....... Terlalu dekat!
"Awas!" jerit yang tidak memegang setir.

"Celaka!" jerit yang memegang setir sambil menekan pedal rem sedalam-dalamnya, dan membanting stir menghindari Joe. Mobil itu terbanting ke kiri, tetapi terus meluncur ke arah Joe yang tak tahu apa yang terjadi di depannya. Tabrakan tak dapat dihindarkan. Tubuh Joe membentur tepian mobil yang sedang berputar melintir di atas aspal yang licin.

Terdengar suara "brak!".. dan tubuh pemuda itu sejenak terangkat sebelum terpelanting ke aspal. Joe sempat melihat langit yang menumpahkan air, tetapi lalu tahu-tahu ia mencium bau aspal basah dan bau amis darah. Lalu dunia berputar-berpusing tak karuan ....

Lalu kegelapan datang menyergap....

Cepat sekali salah satu polisi keluar dari mobil dan merengkuh Joe yang tergeletak di aspal. Di pangkunya kepala pemuda itu. Darah mengalir dari keningnya yang sobek. Pemuda itu masih bernafas, dan bahkan berucap sesuatu yang tak jelas. Si polisi menempelkan kupingnya ke mulut Joe, mengingat-ingat apa yang dibisikkan pemuda itu. Beberapa saat kemudian kepala Kini terkulai, darah mengalir membuat mukanya merah pekat.

Sopir mobil patroli juga sudah keluar. Berlari menuju rekannya yang sedang memangku Joe.

"Tewaskah ia?" ujarnya kuatir.

Temannya menggeleng, "Tidak. Tetapi ia baru saja pingsan. Ayo bawa ke rumah sakit!"

Dengan sigap kedua polisi muda itu mengangkat tubuh Joe ke mobil patroli mereka. Si sopir mengomel-omel lagi menyatakan kekesalannya dan merasa malam itu ia sial sekali.

"Ia sempat menyebut nama jalan dan nomornya" kata rekannya ketika mereka sudah bersiap menuju rumah sakit

"Rumahnya?" tanya si sopir sambil menyalakan sirene dan mengarahkan mobil ke rumah sakit yang kebetulan tak jauh dari tempat kejadian.

"Bukan," kata rekannya yang sudah mengeluarkan dompet Joe dan memeriksa KTP-nya. "Nanti kita kontak saja kedua alamat itu setelah sampai di rumah sakit."

*****
Ibu Kost tergopoh-gopoh keluar dibimbing seorang polisi. Mulutnya komat-kamit menyatakan kekuatiran, dan sang polisi dengan sabar menuntunnya menembus hujan dengan payung besar.

"Apakah lukanya parah?" tanya Ibu Kost sambil menahan tangis.

Polisi itu mengatakan ia tidak tahu, dan menganjurkan agar nanti bertanya di rumah sakit.

"Boleh saya mengajak seseorang ke sana. Ia tidak punya saudara di sini," kata Ibu Kost. Pak polisi bilang "boleh", asalkan orang itu tidak jauh. Ibu Kost bilang, ia ingin mengajak tetangganya. Maka malam itu Pak Rokah (ayah Indi), Ibu Kost dan Indi sendiri, tergopoh-gopoh menuju rumah sakit. Indi bahkan teringat tentang sahabat-sahabat Joe yang pernah diberitahu pemuda itu ketika mereka masih sangat dekat berhubungan. Sebelum berangkat, gadis itu sempat menelpon Ridwan.

*****
Pertengkaran di ruang tamu rumah Trista masih berlangsung walau sudah agak mereda.

Terdengar ketukan di pintu dan Trista yang paling dulu bangkit setelah meletakkan kepala Ria di bantal kursi dengan hati-hati. Entah kenapa, wanita itu merasa tidak enak, dan merasa harus cepat-cepat ke pintu. Ia sempat menduga, itu adalah Joe yang nekad kembali menembus hujan.

Ketika yang dilihatnya adalah seorang polisi berjas hujan panjang, sejenak Trista merasakan lututnya lemas. Apalagi kemudian polisi itu menyodorkan sebuah KTP dan Trista melihat fotonya. Sejenak dunia terasa hilang, dan kaki Trista tak menjejak lantai. Tetapi wanita ini menguatkan hati, dan mengiyakan semua pertanyaan Pak Polisi. Ia bahkan mengangguk cepat ketika polisi itu menawarkan mengantar ke rumah sakit. Tanpa menengok dan berkata apa-apa lagi, Trista melangkah mengikuti sang polisi ke mobilnya
Sony bangkit karena heran melihat Trista keluar bersama seorang berseragam polisi. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat pintu ruang tamu. Tetapi orang lainnya tidak, sehingga ketika Trista sudah pergi dengan mobil polisi, cuma Sony yang terbengong di pintu. Baru kemudian ia panik dan mengabarkan apa yang dilihatnya. Pertengkaran segera usai, namun seketika itu pula berganti kegemparan.

*****
Ruang emergency tampak lenggang dan terang berderang malam itu. Beberapa orang tampak tidur di bangku panjang. Seorang suster tampak bosan duduk di meja informasi, membaca sebuah majalah bekas. Ibu Kost, Pak Rokah dan Indi duduk di dekat sebuah pintu yang bertulisan "YANG TIDAK BERKEPENTINGAN DILARANG MASUK".

Trista datang tergopoh-gopoh dan tampak bingung. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu, dan mereka pun tak mengenal Trista. Tetapi Indi mempunyai firasat jitu. Ia mendekati wanita yang baginya amat mempesona itu.

"Teman Mas Joe?" tanya Indi ramah

Polisi yang mengantar Trista tampaknya sangat sibuk, atau sangat bosan berurusan dengan hal-hal begini. Maka begitu ia melihat wanita yang diantarnya disambut oleh salah seorang "keluarga" korban, ia segera menghilang untuk mengurus identitas Joe.

"Saya pacarnya...," desah Trista, bingung harus berkata apa, dan menatap nanar ke arah pintu yang tertutup. Ia ingin menyerbu masuk, menanyakan keadaan pemuda itu. Di mobil polisi tadi, tidak ada informasi sedikitpun kecuali bahwa Joe tertabrak mobil. Indi tertegun sejenak. Sebuah rasa iri menyelinap, tetapi gadis itu segera mengusirnya. Ia iba sekaligus kagum melihat "pilihan selera" Joe; pria yang diam-diam juga dipujanya.

"Mbak tidak boleh masuk ke sana," ucap Indi ramah.

"Apakah lukanya parah?" tanya Trista dengan risau; ia lupa sopan-santun dan tidak memperkenalkan diri lebih jauh. Seluruh pikirannya tertuju ke Joe.

"Dokter bilang, cukup parah. Tetapi belum ada kepastian," ucap Indi tenang. Gadis itu yang paling tenang di antara "keluarga" Joe. Ketika tiba di rumah sakit, ayahnya dan Ibu Kost terus menerus bingung dan panik. Hanya gadis itu yang bisa bertanya tenang ke suster, lalu ke dokter jaga, sehingga ia tahu bahwa luka di kepala Joe cukup parah, tetapi juga belum tentu fatal. Semuanya tergantung pemeriksaan yang saat ini sedang berlangsung.

Ridwan tiba bersama Rima dan Tigor. Mereka tentunya mengenal Trista, dan Ridwan pernah melihat Indi. Maka anak-anak muda itu langsung bergabung. Sebuah "keluarga" aneh terbentuk malam itu di ruang emergency. Sebuah keluarga yang baru berjumpa dalam situasi menegangkan. Sebuah keluarga yang tercipta oleh bencana, serta oleh tali batin ke seorang pemuda yang sekarang tergeletak tak sadarkan diri di meja operasi. Ach….kenapa harus menunggu duka untuk bisa bersama?

No comments: