Monday, October 09, 2006

Satu Cerita Tentang Kota Berbintang Semu

Jalan-jalan Jakarta pada malam hari adalah lelampu berbintang semu. Cahaya-cahaya yang membuat terperangah cuma lampu-lampu malam hari yang mati ketika datang pagi. Kerlap-kerlip serupa ajakan berkencan sepanjang malam, tak menyisakan kenang. Lampu-lampu mobil yang bergerak sepanjang jalan protokol adalah kebisuan para pengendaranya. Topeng hingar-bingar yang memacu keinginan laron-laron dengan sayap serapuh apapun merubung keberuntungan akan semburat lampu, sekilas cahaya pun. Seperti aku.

Hingga terdamparlah aku di antara lelampu berbintang semu. Menatap malam dengan keresahan membaca arah. Duduk di bangku taman redup. Beberapa orang lalu lalang. Para penghuni dunia malam. Kelelawar-kelelawar penghuni kota yang bangun dari tidurnya saat matahari tenggelam. Telah aku hafal benar mereka. Mereka tak pernah
menggangguku di bangku taman ini. Karena mungkin mereka pikir aku serupa dengan mereka. Mungkin dari species yang berbeda. Yang lebih tenang, namun gigitannya mematikan. Kelelawar yang menghirup malamnya sendirian.

Namun aku bukan jenis yang dapat diabaikan oleh perempuan, hingga seseorang mendatangiku. Dadanya yang penuh, baju merah menyala seperti birahi yang letup di matanya. Lekukan yang membuat orang berpikir, bagaimana tubuh itu bisa diciptakan dengan patahan tepat pada pinggul dan pinggang. Nyaris sempurna.

"Sendirian, Bang…"

Ia duduk di sebelahku. Aromanya begitu menyengat. Wewangian yang mungkin akan membius atau mencekik sekalian. Ia menggeser duduknya merapat ke arahku.

"Bagi apinya dong…"

Aku menyalakan geretan. Ia menyulut rokok putihnya, lantas menghembuskannya.

"Terima kasih."

Ia menatap ke arahku. Kurasa ia mulai memasang perangkap. Aku membaui udara keinginan untuk bercinta. Bau tubuh yang dihembus, seperti binatang-binatang yang menyebarkan aroma untuk bersetubuh saat musim kawin tiba. Jemarinya memegang pahaku. Aku tak bereaksi apapun hingga ia mengelusnya dengan tergesa. Dengan cepat pula, aku pegang jemarinya dan meletakkannya pada tempat semestinya.

"Kenapa, Bang? Gak suka? Hm…kurang lembut atau…."

Aku menatapnya dengan pandangan ‘jangan kau ganggu aku, betina malam’. Tapi isyaratku tak terbaca olehnya.

"Patah hati ya? Kasihan, tapi jangan khawatir. Kau akan melupakannya setelah malam ini,"ucapnya seraya merangsek semakin mendekat.

Aku menggeser tubuh, menjauh. Ia nyaris terjatuh. Seperti harga dirinya meruntuh.

Dengan kesal ia berdiri."Impoten ya? Ngapain ke sini? Atau jangan-jangan homo. Eh
Bang, kalau itu nongkrongnya bukan di sini, di sana tuh…" serunya kasar sambil menunjuk arah selatan.

Dengan geram, aku tarik tangannya. Wajahnya nampak gusar sekaligus takut. Aku tak tahu harus melakukan apa. Sekejap aku tahu apa yang harus aku katakan,

"Aku terbiasa dibayar, bukan membayar. Kau ingat itu!"

Perempuan itu terperangah. Aku menjauh darinya. Ternyata kata-kata itu melukaiku sendiri. Aku serupa dengannya. Tak beda.

***

Aku masih ingat betul pertama kali datang ke Jakarta, dua tahun yang lalu. Setelah perusahaan tempat aku bekerja di Malang bangkrut, aku bekerja serabutan. Tak lagi kupedulikan statusku sebagai lulusan universitas dengan gelar sarjana pertanian. Aku pernah membantu temanku yang membuka usaha penyablonan, dan ternyata bangkrut. Aku juga pernah bekerja sebagai penjaga wartel.

Hingga suatu hari aku bertemu dengan Tedy, teman kuliahku asal Jakarta yang kebetulan sedang liburan ke Malang. Ia mengajakku ke Jakarta. Menurutnya, dengan koneksinya ia akan mencoba memasukkan aku dalam sebuah perusahaan. Tentunya sesuai dengan pendidikanku, walau tidak spesifik harus sesuai dengan disiplin ilmu yang aku ambil semasa kuliah. Saat Tedy kembali ke Jakarta, aku ikut bersamanya. Sesampainya aku di Jakarta, aku langsung dibawa ke rumahnya. Tak terbayang, ternyata rumah Tedy begitu mewah. Belum habis kekagumanku, seorang perempuan menghampiri Tedy dan merangkulnya. Ini adalah takjub kedua, karena perempuan cantik itu istri Tedy. Saat itu, aku tak mengira akan terjebak dalam situasi yang sama sekali tak terbayangkan, bahkan dalam angan pun.

***

Udara Jakarta yang panas telah membuatku jengah. Apalagi bila aku harus sering berdua dengan May, istri Tedy. Bagaimana tidak, selama aku belum bekerja tentu saja aku sering berada di rumah. May yang memang tidak bekerja, tentu juga sering menghabiskan aktivitas sehari-harinya di rumah. Walau tidak mengesampingkan para pembantu, namun aku merasa, aku hanya berdua dengan May.

Kuakui perempuan itu sangat menawan, lengkung tubuhnya adalah harpa yang bergetar tanpa sentuhan jemari. Dan jemarinya yang terawat dengan baik sering mengetuk-ngetuk meja, bahkan saat ia membaca buku. Terkadang dalam lamunku, jemari itu mengetuk-ngetuk dadaku. Kubayangkan seperti apa rasanya jemari itu menyentuh rentan dadaku.

Kadang aku pikir ia memberi isyarat seperti sore itu. Ia mengenakan gaun terusan turquoise. Warna semburat biru kehijauan. Begitu menawan. Ia duduk di bangku panjang di antara suplir yang menyentuh jemari kakinya. Nampak sekali ia menikmati belaian suplir yang berdaun tipis, bergerigi tapi tak tajam. Mungkin tepatnya berumbai. Rumbaian dedaunan yang saling memberi sentuhan dengan jemari kakinya. Sensasi yang buat aku meledak dalam intaiku.

Ia menatap ke arahku yang duduk tak jauh darinya. Senyum yang ia lempar tak terlalu lebar, tak terlalu manis, tak terlalu angkuh. Kadar senyum yang sangat pas proposisinya. Menyisakan tanya dalam benakku, apa makna senyumnya? Barisan ketakutan akan kebenaran pradugaku, jatuh hatikah aku padanya?

"Kau melamun, Andi?"

Aku tergagap. Suaranya yang melengking kekanakan sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan kecantikannya yang klasik.

"Aha..kau rindu pada kekasihmu?"

Aku menggeleng seperti kanak-kanak yang tertangkap basah melakukan sesuatu kesalahan, Antara rasa percaya diri yang memudar, dan keinginan melemah di hadapannya.

"Kau tak pernah bercerita tentang dirimu, ceritalah…aku selalu lebih senang menjadi pendengar yang baik."

Sekali lagi aku seperti dituntun ke dunia masa laluku yang pahit sekalipun. Ia menatapku sepenuh perhatian. Matanya yang besar seakan menyimpan keingintahuan. Sekaligus pedih bila aku bercerita tentang hal yang menyakitkan. Sekian lama kepalaku berdenyut atas pesonanya yang tak dapat kutepis lagi. Perlu sedikit kegilaan untuk menciumnya pada saat itu. Namun aku tak punya kegilaan seperti itu. Aku membuang muka, menghilangkan sesuatu yang berbunyi nyaring di sekujur tubuhku.

***

Aku tak akan melupakan malam itu. Malam di mana aku turut serta dalam rancangan permainan pistol Rusia. Kegilaan yang aku inginkan. Tersembul begitu saja saat benteng pertahananku telah merapuh. Aku jatuh dalam pelukan May, atau May yang terjatuh dalam pelukanku? Aku tak tahu pasti. Mungkin kami yang rapuh dan sama-sama mencari kekuatan satu sama lain.

Saat itu aku telah bekerja di sebuah perusahaan advertising milik sepupu Tedy. Baru sekitar tiga bulan, karena itu pula jarang aku meluangkan waktu dengan May. Namun aku merasa tak nyaman kerap melihat May dengan mata sembab duduk di kursi taman. Sesekali pernah aku mendekatinya dan bertanya padanya. Tetapi ia selalu menjawab tak mengapa lantas berlalu.

Hingga malam itu, ia duduk di ruang keluarga. Nampak butir air di pelupuknya. Ketika aku mendekat, ia malah berlalu menuju ruang tidurnya. Dengan gusar aku mengejarnya. Aku tarik lengannya hingga ia terhuyung. Ia menghalauku, dan duduk di kursi pojok ruang. Aku mendekat dan berlutut di hadapannya. Memegang jemarinya.

Hembus angin berputar dalam ruang. Kami larut dalam tarian yang tak kami mengerti. Kian lama pusarannya semakin cepat. Kami terjebak dalam puting beliung berkeliling kamar. Gaun yang terlempar dari arus angin, hem yang melayang dan jatuh di lantai. Menderu-deru, memporak-porandakan segala bangunan yang tadinya dipersiapkan tanpa cela. Kami kanak-kanak yang melukis tubuh dengan mata. Jemari yang menjadi begitu berwarna pada kanvas tubuhnya. Tubuhku. Sampai pada akhirnya.

***

Kini kami sepasang kekasih yang mencuri-curi waktu untuk bercinta. Aku merasa sebagai hamba sahaya yang diperkosa tuan putri yang mengajaknya bercinta pada ranjang pangeran. Akulah pangeran sesungguhnya bagi sang putri. Sanggup melena putri dengan perjalanan ke ujung pelangi. Dengan permadani yang kami ciptakan dalam fantasi kanak yang tak jua tertuntaskan.

Seperti saat ini dalam kegilaanku, aku berkelakar akan membunuh pangeran dengan racun tanpa rasa sakit. Aku tak dapat membaca ekspresi May. Ia langsung membuang muka saat aku mengatakan hal itu. Aku merasa cemburu menusuk ulu hatiku.

"May, cintakah kau padaku?"

Aku merapat pada bahunya yang enggan menyapaku. Tak kudengar detak rindu, semacam detak perjumpaan dengan kekasih. Telahkah ia menganggap aku sebagai kekasihnya hingga tak lagi detak memacunya. Karena tak ada rahasia yang mengintip, semua telah terjelajahi tanpa terlewati? Atau justru, aku benar-benar hamba sahaya pencuri bunga taman?

"May, apa aku benar-benar kekasih gelapmu. Pemuas birahimu?"

"May, jawab…"

May menangis. Tangisnya adalah ledakan sesak entah berapa lama. Betapa sakit itu melukai batinku. Aku memeluknya. Ia mengelak seraya berbisik. Kata-kata yang terlontar begitu absurd.

"Dinding. Aku pembenci dinding. Kaca-kaca yang mengintai. Kita berdua ikan dalam akuarium."

Aku mencoba mencerna makna celotehannya. Karena ia membisu dan memandang lantai dengan pandangan kosong. Mungkin hawa kamar yang kami sewa terlalu panas, hingga aku buka jendela lebar-lebar. Debur pantai, bebauan laut yang meruap. Ingin aku berlari menuju pasirnya. Menciumi tiap butirnya yang lekat pada telapakku. Betapa kata-kata yang meluncur dari bibir May adalah selimut rahasia yang belum
pernah kujumpa.

May memelukku dari belakang. Aku mencoba berbalik, tapi ia mencegahnya. Dagunya ia tempelkan pada bahu kananku. Lirih ia bernyanyi. Lagu yang kerap ia nyanyikan tentang cinta yang tak boleh usai. Lantas ia bercerita tentang dinding dan kaca-kaca yang mengintai.

***

Menurut May, Tedy telah memilihku sejak awal aku bertemu lagi dengannya. Ia memilihku untuk menjadi pemeran utama dalam drama babak percintaan dengan istrinya!

Aku merasa mual mendengar penuturan May. Terlebih saat May, mengatakan bahwa Tedy selalu mengintai setiap kali kami memadu cinta. Terkadang, ia memasang kamera pada kaca dan menikmatinya lain hari. Ia seperti mendapatkan energi baru sehabis menikmati panggung pertunjukkan kami berdua.

"Sakit..!" seruku sambil memukuli dinding.

May menatapku tanpa ekspresi. Aku tak tahu bagaimana perasaanku kini pada May. Bagaimanapun ia terlibat di dalamnya. Betapa teganya mereka menjebakku dalam permainan mereka. Aku baru tersadar, bagaimana mungkin Tedy tidak tahu perselingkuhan kami. Ia seperti sengaja menghilang dan memberi kesempatan pada kami berdua.

Tiba-tiba ide gilaku muncul.. Aku ingin memberi rasa puas sekaligus sakit hati pada Tedy!

Sebegitu kembali dari Carita, esoknya aku mengajak May bercinta. Aku melihat ketakutan pada mata May. Tak kupedulikan pandangan matanya yang memohon. Aku menyetubuhinya dengan keliaran yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku meraung seperti macan terluka.

Aku akan puaskan dahagamu, lelaki pengecut! Aku aktor terhebat dalam pertunjukan dramamu. Aku melalang dalam pentas broadway. Seakan ribuan mata menatap kami dengan degup seirama dengan orkestra. Sampai pada akhirnya.

Aku berlari ke kamar mandi. Menatap wajahku pada cermin. Lelaki berwajah cekung. Aku merasa menua dalam hitungan jam. Betapa letih aku sebenarnya menjalani hidup seperti ini. Terlebih saat May mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Terbayang segala upaya Tedy untuk memerangkapku. Aku berteriak dan kuhancurkan cermin hingga jemariku berdarah. Aku merasa Tedy mengintai bukan hanya pada cermin di ruang tidur. Bisa jadi juga di kamar mandi ini.

May merangkulku dari belakang. Seakan sebuah permintaan agar aku tinggal. Dari kaca yang masih bersisa dapat kulihat tangannya merangkulku sedemikian erat.

"May, pernahkah kau mencintaiku?"

"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Andi. Bawa aku pergi bersamamu…"

Aku menyelam dalam perasaanku sendiri. Mendengar batinku yang berseru-seru memintaku pergi.

"Kau tak pernah mencintaiku. Semua yang kau lakukan cuma buat Tedy."

Aku lepas jemarinya pada perutku dengan susah payah. Seakan jemarinya adalah tanaman rambat yang enggan lepas. Telah kuputuskan akan pergi dari rumah ini, secepatnya.

***

Di antara lampu-lampu Jakarta menjelang pagi. Aku melihat wajahku, May, juga Tedy pada bangunan berkaca. Sebenarnya siapa sesungguhnya yang sakit? Karena setelah itu aku tidak benar-benar pergi. Aku menikmati menjadi tontonan Tedy. Aku aktornya, dan ia sutradara yang kurasa telah tahu bahwa aku telah mengetahui rahasianya. Kami bertiga orang-orang sakit. Seperti wajah pagi Jakarta yang mulai menua akan jutaan cerita. Kota berbintang semu yang berpendar-pendar saat malam tiba.

No comments: