Tuesday, October 10, 2006

Satu Cerita Tentang SenJakaLa...

Renta hari membungkus usia yang semakin menua, dibalik keangkuhan dunia, daun-daun tampak lunglai menatap matahari yang enggan berbagi sinarnya, kadang begitu tajam menikam, kadang tak berterik, rumput - rumput semakin kaku menantang cakrawala yang memandang tanah dengan tatapan gemulainya.Jalanan semakin keras tertutupi debu, sekeras kehidupan yang berjalan.

Dari pinggir trotoar, menguap sejuta asa yang entah kapan tergapai, senjakala terbangun dari istirahat ala kadarnya beralaskan koran di tepi jalan yang sehari-hari menghangatkan tubuhnya.Tiang-tiang listrik masih tegar berdiri dari jaman revolusi hingga menjelang detik-detik demokrasi dikibarkan menatap senjakala dengan mata yang tertegun, perubahan tak kunjung tiba semenjak angin reformasi bertiup kencang diatas negeri dengan sejuta tanda tanya, kita harus berjalan mengikuti jaman, senjakala menyimpan tanya akankah perubahan itu dapat ia rasakan ataukah dirinya yang harus berusaha untuk berubah, perubahan selalu saja terjadi, ia datang dalam hitungan waktu yang tak dapat ditebak, ia begitu cepat merebak seperti pula ia begitu lambat berdetak, dan kita hanya bisa tersentak. Tenggelam dalam perubahan.

Gerak yang berjalan dalam diam, mobil-mobil berderu melaju diatas aspal licin yang mengkilat diterpa sang surya, menyapa gedung-gedung megah, keangkuhan umat manusia yang tak pernah berhenti menjilati simbol-simbol duniawi. Angin menabrak tubuh senjakala yang terpana dengan indahnya apa yang terhampar didepan mata, desaunya menampar senjakala agar tak berhenti sebatas lamunan, waktu tak berpihak, ia terus beranjak.

Kerikil-kerikil tajam yang dihampiri, menitipkan tanya, kemana kaki melangkah, merengkuh cita dilangit yang tertutupi mendung, udara sedang murung dan burung burung berkabung, semesta sedang dirudung duka cita, cakrawala sementara merenung.


Ia lahir dari buritan kesenyapan alam, di beri makan oleh sesuap keringat, berdiri diatas gemetarnya kedinginan, tumbuh dalam belaian ilalang, berjalan seorang diri, merasakan arti pahitnya hidup, yang dijumpai semenjak mereka yang berjasa menghadirkan wujudnya di atas bumi, pergi membiarkan dirinya sendiri, kehidupan menantangnya tuk tetap melangkah, diterjangnya cakrawala dengan kepalan tangan yang tak seorang pun menuntun.

Matahari mencekik kakinya yang lelah, derita telah akrab dengan dirinya, ia mulai mengenal apa itu susah, semenjak usianya belum siap untuk menanggungnya, ia terkesima cerita indah tentang surga yang acapkali didongengkan oleh sang ayah, membuatnya memilih dihinakan ketimbang melakukan perbuatan yang melanggar hukum.Gitar tua yang didapat dari hasilnya menjerit ditengah lapar yang melilit, diantara bising deru mesin yang mengalahkan suara dalam perutnya menjadi satu-satunya teman yang setia menemani sekaligus tempat ditiitipkannya mimpinya.


Sekuntum bunga bolehlah pudar warnanya, asal jangan layu. Tepian malam hadirkan kerinduannya yang mendalam akan kelembutan dan hangatnya kasih sayang. Angin berhembus mengangkat daun-daun kering yang terkapar diatas tanah yang memerah oleh airmata, kesenyapan berjalan sendiri dalam bisu merengkuh seorang anak yang berteriak dengan suaranya yang parau menerjang cakrawala yang menutupi tubuhnya dengan nyanyian duka, ditatapi lalu lalangnya kaki-kaki yang memandangnya rendah. Pinggiran jalan ini bahkan tercipta untuk mereka, senjakala merasa tak pantas menghempaskan lelahnya diatas trotoar, sudah lama ia ingin segera mungkin bertemu dengan ayah bundanya, hanya sebuah dosa yang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan segala peran dimuka bumi dengan jalan pintas.

Redup lampu jalan menjatuhkan sinarnya diatas aspal yang licin, senjakala menyapa malam dari lubuknya yang tergores luka sang nasib, namun jauh diantara kilauan bintang, sang bulan memberi senyumnya lewat cahaya yang terpendar disamping gitarnya yang dipeluk menutupi kedinginan yang turun lewat embun yang menempel diatas kulitnya.


Diringankannya kakinya menuju arah setapak, menghilang dibalik bangunan tinggi yang menatapnya sinis dan mendakwa dengan bengis. Kesendirian yang membangun kepribadian yang ditempa dalam pergaulan keseharian menegarkan langkahnya menuju parit-parit malam dimana sejenak dilepaskan beban yang menganggu lelapnya.


Asap melayang ditengah tatap yang pekat, kabut pagi menuruni tangga-tangga angkasa hinggap di pelupuk matanya. Matahari masih sarapan, kopi dan roti belum habis disantap, sebentar lagi barulah keluar menengok bumi dengan panasnya. Senjakala menyeka pelupuk yang diantarai lelahnya asa dan embun. Sebuah catatan tertinggal disamping gitarnya yang terbaring, tengkurap menyetubuhi tanah. Seorang anak kecil mengantarnya saat senjakala menghilang dalam angannya yang panjang.


Bintik-bintik pagi mulai menampakan diri, diikutinya kata perkata yang tercatat diatas sebuah kertas, dengan tubuh malas didekapnya gitar, angin mengatur irama suaranya melantunkan asa, satu lirik tercipta dari lirihnya jiwa. Ditatapnya lagi akhir dari kata diatas secarik kertas, sebuah nama dan tandatangan mengikuti, yang tak pernah dimengertinya, kata-kata asing yang mampir digendang telinganya, sebuah makanankah? Orangkah? Langit pagi mencatatnya. Adakah asanya datang dalam nyata? Terbelinya mimpi yang menguras letihnya. Senjakala menerawang, hari menantinya untuk mengukir cerita.

No comments: