Friday, October 06, 2006

Satu Cerita Tentang Jiwa-Jiwa Yang Kehausan..

Malam menggantung sepi di tiap tiang-tiang pagarnya, gelap yang menyeramkan menjaga pintu gerbang dan keheningan menyeruak masuk kedalam kamar Prawira Aji yang sedang membaca buku yang hampir lapuk ditelan masa. Kekhidmatan membaca membuat Prawira Aji tak memperhatikan rembulan yang tersenyum penuh makna melihatnya lewat jendela yang terbuka mengundang hasrat keinginan sang malam.

Rembulan perlahan mendekati Prawira Aji lewat cahyanya yang indah membelah kegelapan dan duduk disebelah Prawira Aji menjadi bayang-bayang dan ikut membaca buku tua warisan sejarah penyair Cinta. Prawira Aji menoleh dan mendapati bayang rembulan menjelma bersanding dengannya. Perlahan dia bangkit menyentil pegal yang hinggap dan berjalan menuju jendela kamarnya yang terbuka menantang malam.

Prawira Aji menatap Rembulan dan hatinya berbicara pada rembulan lewat sinarnya yang indah kemilau dibias permukaan kolam malam. "Rembulan, katakan padaku kenapa kau tak mendekatiku dan memeluk jiwaku yang rindu siraman pesonamu?"

"Karena aku bukanlah jiwa seperti dirimu, aku adalah gambaran pesona wajah keindahan, dan aku hanya bisa memberi pesonaku dengan wajah indahku."

"Rembulan, pada siapa kau abdikan pesonamu yang tak terukur dengan balas?"

"Aku abdikan pesonaku pada jiwa-jiwa yang mengerti keindahan dan mampu merasakan pesona yang kutebarkan."

Prawira Aji membalikkan tubuh dan memandang peraduan yang menatapnya lembut namun membisu.

"Hai peraduan setiaku, apa yang kau simpan dalam kebisuanmu ditiap siang dan malam?"

"Tuanku, kebisuan adalah rumahku, dan aku memberikan kasih sayang seperti musim, aku akan menyayangimu hingga tubuhku menipis, dan aku siap musim yang lain menggantikanku, maka biarkan kuabdikan diriku padamu dan ikhlaslah menerima pengabdianku."

Prawira Aji membelai peraduannya perlahan dengan kelembutan hatinya. Kemudian ia membaringkan tubuhnya menatap langit-langit kamar yang tersenyum hangat menyambut pandang matanya.
"Langit-langit kamar, apa yang engkau lakukan di situ atas diriku?"

"Tuanku, aku di sini memetik harpa malam dan melantunkan lagu nina bobo mengiringi tidurmu."

Tubuh yang digerayangi lelah terbaring memberikan dirinya pada pelukan peraduan yang dengan ikhlas menerima tubuh yang tebal dibalut keinginan. Perlahan tak tersadari kelopak mata melangkah menuju muaranya. Dan gerbang bawah sadar terbuka mengundang derit-derit memanggil merinding yang tertelungkup di ujung gelap. Cahaya menyeruak masuk mendorong gelap hingga terpental ke celah-celah
dinding malam.

Sepasang kaki tegak jiwa Aji berdiri diambang gerbang yang tak sempurna terbuka. Melangkah perlahan dengan penuh perasaan, telapak kakinya menyapa ramah wajah-wajah lantai yang berbaris menyambut sosok impian.

Langkah lembut menyapa tiap barisan wajah-wajah berbinar, hingga sebuah singgasana melambaikan tangan pada sosok impian. Dengan ketenangan bak permukaan telaga tanpa jamah sosok impian melangkah dan duduk di singgasana Kerajaan Mimpi.

Lampu-lampu mulai membuka mata dan memandang permadani biru yang membentang.

Satu-persatu sosok yang lain datang dan menyapa lembut permadani biru yang
membentang. Menunggu sabda dari sosok impian raja Kerajaan Mimpi.
Bidadari-bidadari datang membawakan cawan-cawan berisi bening air kasih sayang
dan menyajikan pada sosok-sosok yang menunggu.

"Wahai jiwa-jiwa kehausan, teguklah air kasih dari cawan-cawan bidadari mimpi,
agar retak-retak diatas petak hatimu menyatu."

Genderang kehausan ditabuh dan iramanya menggugah hasrat hati meneguk tirta
amerta yang ditawarkan oleh gema menggugah sukma. Sosok-sosok berwajah tegang
memandang sosok impian menunggu sari kata berselancar di laut jiwa mereka.

Dan terdengar suara menggema membias ke telinga-telinga hati; "Denting suara harpa malam menggugah niat bunga-bunga malam menebarkan undangan ke segenap penjuru alam bawah sadar. Dengan kesenduan yang mengharu menyentuh rongga-rongga kekalutan. Menyanyikan lagu harapan dan angan-angan yang terbersit dialam kesadaran. Tentang sebuah rencana yang belum terlaksana, tentang seikat janji yang belum ditepati, tentang masa depan yang dirindukan. Ada tanya yang tersimpan rapi dalam kotak rahasia hati, dan kuncinya mengapit bibir yang tak kuasa mencibir."

Hening sejenak menaungi dunia mimpi; "Kerinduan terduduk tersesat belantara Cinta, tak menemukan gada-gada pengarah lesak panah yang dibentangkan. Kecintaan pada Cinta yang terpatri di dinding hati menutup pandangan pada dunia yang lain, dunia yang tak ada Cinta didalamnya. Dunia yang hanya ada rasa liar berlari-lari dan mencengkeram mangsa tanpa denda tertimpa. Dunia yang dipenuhi wajah-wajah tai bermuka emas."

Bedug ditabuh gema kalimat Illahi menembus alam memenuhi semesta raya. Dan
sosok impian menggelepar terlempar kealam kesadaran, sementara sosok-sosok
tegang terlena dalam belaian keheningan diselimuti dingin menuntun tangan
menarik kehangatan.

Sosok tubuh terjaga menyempurnakan pandangan menyapu ruangan. Jerat-jerat
keengganan perlahan terlepaskan dan hati menuntun langkah menuju padasan yang
berisi air penyucian.

Doa-doa menyembur teratur dari bibir berpengetahuan, syukur terucapkan dan
harapan dibiaskan. Bersyukur pada karunia Illahi akan sebuah 'jidat' yang mampu
sempurna bersujud bicara pada-Nya.

Senyum pagi belum terlihat tertutup cadar-cadar kegelapan yang meremang. Segunduk gundah menonjol dipermukaan hati yang menyempitkan tulang-tulang dada hingga menundukpun sesak masih terasa. Gundukan sebesar biji sawi namun mencemarkan air kelegaan yang memenuhi telaga hati. Hati seorang Pencinta tertimpa biji sawi yang dibawa angin kepiluan yang bertiup dari arah yang tak terkata. Senyum teredam, hasrat melepas dahaga tercekat. Mata hati menatap ruang-ruang jiwa yang tanpa angin bertiup, tanpa embun dipagi hari, tanpa canda mentari di siang hari, hanya mimpi yang menghantui.

Kokok ayam jantan bersahut-sahutan menandakan alas kaki untuk dikenakan, agar
saat berjalan menuju pancuran tanah yang terpijak tak terenggut keperawanannya.
Berjalan dengan kehati-hatian agar semak-semak belukar tak terbangun dari
tidurnya dalam selimut dingin yang menipis.

Dengan bahasa selembut bahasa keraton jawa Prawira Aji menyapa pancoran air
yang tak pernah berhenti memberi jalan pada mata air untuk memberikan manfaat
bagi penggunanya. "Selamat menyongsong mentari wahai jiwa memberi jalan kehidupan."

Dengan dahaga yang menempel di kulitnya yang menyimpan endapan-endapan debu
Prawira Aji menyerahkan tubuhnya untuk disucikan dari kotoran-kotoran malam. "Wahai jiwa yang yang menyimpan asa, lembut sapamu menggugah hatiku mendengungkan doa untuk perjalananmu, terimalah sejuk segar tuanku yang bersumber dari inti gunung keselamatan."

Endapan-endapan yang menempel pada kulit sang pencinta luntur oleh kesejukan air pancoran yang bersumber dari inti gunung keselamatan. Sebelum meninggalkan tempat permulaan perjalanan Prawira Aji menuliskan sebait puisi pada daun yang merelakan tubuhnya untuk menyimpan pahatan sang pencinta.

"Bayanganmu masih mengikutiku
hingga aku sampai disini
saat kurasakan siraman airnya
kuteringat nasehatmu
saat kulihat bening airnya
kuteringat bola matamu
saat kupandang mentari pagi
kuteringat senyummu
dan setiap hari kuingat itu."

"Terima kasihku pada daun yang memberikan tubuhnya untuk kulukai dengan kuku
jariku"

Dengan langkah bak Arjuna, Prawira Aji meninggalkan prasasti yang baru saja dia
buat. Setiap langkahnya diikuti oleh semerbak wangi air pancoran hingga semak-semak menunduk hormat dan pohon-pohon memberi salam. Rambutnya yang lembut terurai panjang bagai perawan masih basah oleh air kehidupan yang meresap kedalam otaknya dan memberikan wacana baru tentang sebuah arti perjalanan. Perjalanan yang hingga kini masih dia lakukan untuk mencari arti kesejatian. Sebuah tanda tanya melingkar menjadi kalung tak kasat mata di lehernya.

Terasa ada yang menggenggam tangannya saat dia mulai meninggalkan persinggahan sementara. Sedikit keraguan menempel di lehernya dia menengok dan melihat sosok bayangan berjalan seiring dengannya sambil memegang tangannya. Bayangan seorang wanita ayu yang sangat dikenalnya. Bayangan yang selalu melintas dalam benaknya di setiap dia disapa diam. Bayangan Nilam Ayu yang tersenyum penuh makna.

Kebahagiaan namun sekaligus kesedihan, kebahagiaan berpelukan dengan kesedihan
dalam hatinya. Kebahagiaan memeluk dan memandang jauh ke awan yang berarak sementara kesedihan menyandarkan kepalanya didada kebahagiaan yang tak mampu mengartikan perpaduan. Perpaduan yang mengiris hati menjadi lapis-lapis yang setiap lapisnya berbicara tentang ketidak berdayaan. Perpaduan yang juga menata lapis-lapis menjadi utuh kembali dan bicara tentang ketegaran.

Langkah kaki terayun manja dalam belaian kesejukan pagi yang mengantar keindahan, membuka jalan dengan bungah bagi jiwa pencinta yang disanjung bunga-bunga.

Bayangan ayu tak pernah layu selalu bersanding dengan bayangan Pencinta yang mengikuti jejak waktu yang menuntun langkahnya tiada tuju. Pengembaraan jiwa tiada batas cakrawala mencari jejak langkah kaki pertama yang dia tinggalkan di suatu gunung saksi. Mengikuti arah mata angin menuju awal langkah kemudian berhenti menulis kisah, dan tuju itu masihlah teramat jauh dari jejak terakhir, masih belum tergambar dalam kanvas jiwa, belum terbayang dalam angan dan mimpi.

No comments: