Friday, October 20, 2006

Satu CeritaTentang Pijar Hijau

Duh! Benar-benar deh! Gara-gara ikut acara uji nyali di salah satu stasiun televisi nasional, sekarang aku malah sering mengalami hal-hal aneh yang sulit aku jelaskan. Aku sendiri tidak mengerti kenapa ini terjadi padaku. Padahal waktu itu aku hanya iseng saja ikutan uji nyali.

Dan, kalau dipikir-pikir, ini juga salah Tono. Shoot! Karena, kalau bukan karena tertantang omongan Don Juan kutukupret itu, aku nggak bakalan terlibat superstitious macam begini.

Aku tidak percaya dengan yang namanya setan atau hantu atau apalah. Oke, aku percaya Tuhan ada. Aku juga percaya malaikat ada. Tapi setan atau hantu? Itu hanya usaha pihak tertentu yang ingin mendulang keuntungan dari cerita-cerita seram macam begitu. Aku kan hanya mahasiswa biasa yang berkutat dengan science. Not fiction.

"Kay, kamu kan nggak percaya sama yang namanya setan. Kalo gitu nggak takut dong ikutan uji nyali?" kata Tono. Saat itu kami sama-sama sedang menyaksikan host acara, Rahi Tjapan, berkeliling dan bertanya siapa berani ikut uji nyali di suatu tempat misterius yang terkenal angker di kota ini. Tadinya, aku menggeleng.

"Malas ah," jawabku enggan.

"Ah payah kamu! Bilang aja takut sama setan, makanya kamu pura-pura nggak percaya," Tono mencibir. Kutukupret juga ni anak, makiku dalam hati. "Dicky chicken! Dicky chicken!" sahabatku nan botak ini makin terlihat jelek dengan lidah terjulur keluar, lubang hidung dilebarkan, dan mata melotot. "Heh, jelek tau!" ledekku. Tapi Tono tetap tegar mengejekku.

Akhirnya aku terpancing juga. Aku segera mendekati Rahi Tjapan dan mengangkat tangan, menawarkan diri untuk menjadi peserta uji nyali. Dari sudut mataku, terlihat Tono menatap kami dengan serius. Yah, setidaknya aku bisa membungkam mulut monyong Tono yang terus mengejekku itu. Lagipula, dari tiga peserta hanya satu yang dipilih untuk satu sesi. Kemungkinannya 1 banding 3 kan? Hanya 33,33 persen. Santailah.

"Selamat, anda terpilih menjadi peserta dalam uji nyali pertama," kata Rahi Tjapan setengah jam kemudian. Tono, yang berdiri lima meter di belakang kamera, bersorak sambil terpingkal-pingkal tanpa suara. Sial! Tapi, so what gituloh! Toh aku tidak percaya pada setan. Apalagi arwah. Insan yang sudah meninggal, ya terbang ke langit. Tidak di dunia lagi.

Aku ingat dibawa ke suatu tempat dengan mata ditutup. Lalu diinstruksikan berbagai macam hal. Seorang paranormal berusia paruh baya menyarankan agar aku tidak takut. Dia berjanji akan terus mem-back up-ku. Apa pula itu maksudnya? Aku hanya tersenyum simpul ketika kamera utama dimatikan dan kamera infra merah diaktifkan. Sekian jam berlalu, rasanya tidak ada suara aneh apalagi penampakan seperti yang dikatakan.

Ketika uji nyali selesai dan ditanya apa kesan-kesanku. Aku katakan, biasa saja. Sang paranormal menatapku dengan mata melotot, begitu juga Rahi Tjapan. Dia terlihat sangat kaget. Menurutnya, kamera infra merah sempat menangkap sesosok bayangan berpijar hijau selama sekian puluh detik yang berdiri tidak jauh di belakangku!

Aku hanya nyengir kuda. Sumpah! Aku tidak merasakan apa-apa. Well, mungkin sempat sedikit menggigil karena tiba-tiba udara di sekitarku sepertinya ngedrop sampai ke sub zero. Tapi aku yakin, itu hanya perasaanku saja. Lagian, memang di daerah ini udaranya dingin. Yang lebih penting, aku dinyatakan lulus uji nyali dan mendapat hadiah satu setengah juta perak man! Tono hanya meringis waktu kubilang, aku tidak akan mentraktirnya. Ha ha! Don't worry Ton, aku hanya bercanda!

Tono hampir pingsan melihat tayangan acara uji nyali itu. Matanya melotot memandangi televisi. Sedangkan aku? Cool saja. Aku yakin, seyakin-yakinnya, itu hanya trik kamera. Bagus juga triknya. Bayangan pijar hijau dengan sosok wanita berambut panjang, berkulit pias. Berdiri di belakangku hampir semenit, dan tampak melayang mendekatiku sebelum akhirnya menghilang.

"Waaaaaa!" Tono berteriak sambil menutup kepalanya dengan bantal. Saat itulah aku melihat pijar hijau keluar dari televisi. Apakah itu efek elektris? Aku tidak tahu. Tapi, pijar itu melebar seperti selembar kain kerudung ibuku. Aku terus menatap pijar hijau itu.

Aku agak terkejut melihat sesuatu terbentuk di tengah "benda" tersebut, letaknya agak ke atas, seperti mata! Kemudian di bagian bawahnya, seperti bentuk lengan kurus pucat. "Benda" itu berhenti sebentar di punggung Tono. Awas belakangmu, Ton! Aku mencoba mengibaskan tangan di "benda" tersebut, tapi dia menghilang. Aku menelan ludah. Takut? Bukan. Bingung? Ya. Bagaimana caranya mengatakan hal ini kepada Tono? Sobatku nan botak itu penakutnya setengah mati. Tapi kalau meledek, gilanya setengah hidup.

Aku juga tidak bisa menjelaskan kepada pacarku, Shinta, kenapa akhir-akhir ini aku tidak bisa mencium keningnya. Bagaimana caranya aku menjelaskan? "Nta, maaf, aku lagi nggak bisa cium kamu. Soalnya setiap mau cium kamu, tiba-tiba ada mata melotot di jidatmu yang seksi itu," begitu? Bisa-bisa aku diputusin! Nggak deh. Aku nggak mau disebut freak alias orang aneh! Apalagi mengingat perjuanganku mendapatkan Shinta, si kembang kampus.

"Kay, kenapa sih? Kok nggak mau cium Cinta?" rengeknya manja. Wah, alamat merajuk lagi nih. "Maaf, Cinta. Kay lagi puasa, jadi nggak bisa cium Cinta dulu. Gapapa ya?" OUCH! Apa nggak ada alasan lain ya? Selalu alasan itu yang kupakai. "Hmm.. Cinta senang deh punya pacar yang rajin ibadah," kata Shinta sambil menerawang. Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala. Untunglah, pacarku nan cantik ini memang bodoh. Eh, polos!

Menjelang malam minggu, aku membaca koran. Shinta mengajakku nonton film horror. Hmm, film The Ring 2 ini baru tayang. Coba kubaca sinopsisnya. Kelihatannya seru juga. Kugelar koran itu di lantai. Posisiku tertelungkup sambil kedua tanganku menopang tubuh. Karena sinopsisnya terletak paling atas, aku terpaksa menindih koran bagian bawahnya.

Lagipula, hiiiy, ngeri juga ada gambar Samara (si hantu film itu) seakan sedang menaiki sumur. Matanya melotot ke arah pembaca. Sial! Aku kok jadi merinding? Belum selesai aku membaca sinopsis, tiba-tiba mataku menangkap pijar hijau lagi, dari bawah lenganku! Aku terlonjak. Gambar Samara (Sadako versi Hollywood) yang tercetak hitam putih itu kok menghijau?

Lama-lama berubah jadi seperti lendir hijau. Lebih kaget lagi, gambar Samara itu menghidup. Rambutnya yang panjang mulai bergerak. Begitu pula kepalanya. Tangannya yang menggapai juga bergerak. Mencakar. Menggaruk. Wajahnya yang menyeringai makin menyeringai!

Mendadak gambar itu melejit keluar dengan cepat, berpijar hijau. Suara di sekitarku bergemuruh seperti angin ribut. Pijar hijau bersosok Samara itu melayang cepat, menimbulkan suara nyaring seperti suara burung elang tercekik. Seluruh benda di kamar asramaku mulai bergerak. Tape-ku yang rusak itu tiba-tiba bisa mengeluarkan suara radio. Anehnya, dalam hati aku berpikir, kalau ini memang hantu, pintar juga ya dia membetulkan radio rusak! Mungkin dia jenis hantu mekanik?

Aku merubah posisiku menjadi duduk. Aku hanya menyaksikan isi kamarku melayang dan berputar-putar. Bukannya takut, aku malah jengkel. "Hei! Berantakan dong kamarku! Nanti tolong diberesken lagi!" teriakku diplomatis. Putaran laksana puting beliung itu menghebat. Aku sampai harus menutupi rambutku yang kribo ini, agar tidak rusak.

Kemudian dia berputar mengelilingiku. Menyeringai. Ngeri juga. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Bahkan, ketika tubuhku tersedot ke dalam koran itu, aku tidak bisa bergerak lagi. Teriak pun tidak bisa. Pandanganku menghitam. Begitu kubuka mataku, aku terkejut. Semuanya kembali normal. Tidak ada yang aneh. Hanya ada satu suara. Wanita. "Kamu menyebalkan. Tidak bisa ditakut-takuti! Selamat tinggal," katanya. Suara tersebut bergema, menjauh.

No comments: