Thursday, August 10, 2006

Satu Cerita Tentang Ide Gila....

Dalam krisis moneter yang berkepanjangan. Untuk mencari nafkah, Caskim begitu pusing dibuatnya. Apalagi gitar tua warisan temannya yang selama ini menjadi alat pendaringannya sudah ditahan oleh Pol PP sebagai pengganti untuk penebus dirinya saat terkena razia penyakit masyarakat. Lalu apa yang selanjutnya bisa dijadikan pengganti untuk memenuhi lenguh perut diri dan istrinya? Apa yang diperbuat untuk biaya kelahiran anak pertamanya? Tidak ada benda berharga yang dapat digadaikan. Tak selembar ijazah pun pernah dikantonginya. Ia tidak tamat SD. Tak seorang saudara atau kenalan diharapkan bisa menjadi koneksi untuk bekerja di tempat yang lebih terhormat. Tak secuil pun keahlian yang pernah diperolehnya selama tinggal di kampung halaman dulu. Toh kalau ia bisa mencangkul lahan, lahan apa yang harus dicangkulnya di bawah gedung-gedung bertingkat.

Ia telah merasa lelah berfikir. Dalam berfikir, telah ia kerahkan seluruh indranya untuk menemukan cara yang bisa diperbuatnya untuk mendapatkan uang. Apalagi menurut dokter kelahiran anaknya itu harus dilakukan dengan operasi sesar. Caskim tak akan segila ini memikirkan uang. Lalu apa? Menjadi copet atau garong? Ya mungkin cara itulah yang paling mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Tapi bagaimana kalau diteriaki maling dan tertangkap massa, dihujani pukulan-pukulan lalu dibakar? Tak lama kemudian Caskim tersenyum sendirian. Ia telah menemukan ide. Ide gila. Diambilnya secarik kertas kosong. Ia mulai menulis:

Kepada Yth.

TUHAN YANG MAHA ESA

Di Tempat

Dengan hormat,

Melalui surat ini saya memohon kepada Tuhan. Berilah saya uang senilai Rp.100 ribu saja, untuk biaya melahirkan anak saya yang pertama. Saya sangat terdesak. Sekali lagi saya memohon dengan sangat, berilah saya uang.

Demikian permohonan saya, semoga dikabulkan. Terima kasih.

Sembah sujud hambamu

Caskim

Surat itu dimasukkannya ke dalam amplop yang telah ditulisinya alamat lengkap tujuan dan alamatnya sendiri, dibubuhi perangko. Surat itu diciumi. Mulutnya kelihatan komat-kamit sepertinya ia sedang berdoa. Surat tersampul rapi yang dilem dengan sebutir nasi itu di bawa ke tempat surat yang ada di tepi jalan. Dengan tangan gemetar surat itu dimasukkan ke dalam kotak berwarna orange yang bertuliskan Kotak Pos. Selesai. Balik kanan grak. Pulang.

Esoknya. “Bah, apa-apaan ini” Ibu Ani petugas sortir di kantor Pos bagai disengat tawon, terkejut begitu membaca alamat tujuan. Kemudian ia tersenyum. “Biarin aja, bisa untuk ngerjain si Amin. Tumpukkan saja di Sektor G. Johor. Beres”. Siangnya Amin mengayuh sepeda butut yang ada kicau burung : .. krecit…krecit…krecit… karena rantai yang tak pernah tersentuh minyak itu. Surat pun satu persatu di antar. Mana yang terdekat, itu yang diantar terlebih dahulu. Lagi-lagi surat itu membuat siapa saja yang membaca tulisan aneh itu mengerenyitkan alis matanya. Termasuk Amin. Sama seperti Ibu Ani tadi, Amin tersenyum. “Wah, ini amanah orang, kasihan orang ini” batin Amin terenyuh. “Alangkah berdosanya aku, jika surat ini aku sobek-sobek lalu ku buang ke tong sampah.

Sebagai tukang Pos yang sudah bertahun-tahun setia mengabdi kepada Negara. Seujung kukupun ia tidak mau melanggar hukum. Agak lama juga ia menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan bahwa, sebaiknya surat ini menjadi tugas Pak Polisi saja. Pas sampai di Pos Polisi, surat itu dilemparkan begitu saja di atas meja. Kebetulan Pak polisinya sedang tidak ada, barangkali sedang berada di kamar mandi. Sebelum Pak Polisi datang cepat-cepat Amin pergi, takut juga ia dibentak, dikira mengada-ada.

“Bah! Apapulak ini” teriak Pak Polisi yang baru keluar dari WC. Begitu mendapatkan surat Caskim berada di atas meja kerjanya. Lagi-lagi sepucuk surat buat kejutan. “Coba aku baca dulu isinya”. Pak Polisi merobek sampul surat, lalu membacanya agak keras agar terdengar oleh teman-temannya. Selesai membaca, ia berkomentar “Kasihan kali orang ini, cobalah kau bayangkan. Istrinya mau melahirkan, dia butuh uang”. Temannya manggut-manggut menanggapi penuturannya. “Sebaiknya kita lapor dulu kepada Pak Komandan kita”. Mereka berembuk. Komandan Polisi yang berpangkat Kapten ini begitu bijaksana. Ia memerintahkan kepada salah satu anak buahnya untuk mensurvei lokasi keberadaan rumah Caskim. Apakah memang benar-benar miskin. Jika kondisinya benar-benar miskin, maka Pak Polisi yang berkumis agak tebal itu, mengajak anak buahnya yang empat orang itu untuk mengumpulan dana yang selanjutnya disumbangkan kepada Caskim. Selama ini citra Polisi di mata masyarakat begitu buruknya. Kenapa kita tidak berbuat amal, membantu orang tak mampu. Kenyataan masyarakat menilai dari sisi jeleknya saja. Padahalkan tugas Polisi sangat berat. Berbasah-basah di timpa hujan. Berpanas-panas di sengat matahari. Terbatuk-batuk menghirup abu dan asap knalpot kendaraan. Tidak dinilai masyarakat, hanya dipandang sebelah mata. Apalagi jika jalanan macet, Polantas harus siap di lapangan meluruskan benang-benang kusut arus lalu lintas. Sungguh berat memang. Belum lagi teman-teman seprofesi yang setiap saat harus siap menghadang pengunjuk rasa. Dilempari batu, kayu dan telur busuk. Akan tetapi Polisi berusaha tetap tenang. Tidak emosi. Wajib melindungi rakyat.

Caskim membuka amplop yang baru diantar Polisi. Polisi langsung pulang. Ia tidak menjelaskan kepada Caskim bahwa sumbangan tersebut dari mana atau dari siapa. Namanya menyumbang secara ikhlas. Memang seharusnya tidak boleh takabur atau berbangga hati. “Men lah seng kuoso seng mbales” (biarlah yang kuasa yang di atas yang membalas). Sementara di dalam gubuknya Caskim mengeluarkan uang dari amplop dan menghitungnya. Lima lembar puluhan ribu, satu lembar duapuluh ribuan dan satu lembar lima ribuan. “Keterlaluan Pak Polisi, sudah punya gaji besar pun masih rakus juga. Yang aku minta ‘kan Rp 100 ribu, eh disunat Rp 25 ribu, tinggal Rp 75 ribu. Apa tidak keterlaluan itu namanya” Caskim merepet panjang lebar. Istrinya yang tiduran di atas dipan beralas tikar, beranjak duduk. “Sudahlah Mas, disyukuri aja gitu. Uang sejumlah itu ‘kan udah cukup lumayan.” Sahut istrinya lembut. “Lumayan gundulmu” bantah Caskim. “Hanya menambah Rp 25 ribu saja kok”. Nasihat istrinya masih tetap lembut.

Sementara Caskim masih belum puas. Ia mengirim surat kembali. Mengirim surat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Isinya minta tambahan Rp 25 ribu lagi yang menurut pemikiran Caskim dimakan Polisi yang mengantar surat. Surat pun bergulir, prosesnya sama seperti surat yang pertama. Rotasinya juga sama dan akhirnya sampai di kantor Polisi. Selesai membaca surat yang ke-2 dari Caskim, Pak Polisi geleng-geleng kepala. Memang sudah nasib kami. Berbuat baikpun kami masih disalahkan.

No comments: