Thursday, August 03, 2006

Satu Cerita Tentang Pria Sejati


Aku jatuh cinta lagi. Entah, betapa bodohnya aku, selalu saja tergesa untuk jatuh cinta. Begitu cepat perasaan itu singgah, seperti kilat. Aku memaki-maki diriku sendiri sesampainya di kamar. Dan, memang telah kuakui sendiri diriku terlampau rapuh dalam soal perasaan. Sesaat saja, aku bertemu dengannya, berbicara asal-asalan, lantas terpana. Aku rasa sang Cupid sudah begitu cepat menarikkan busur panahnya hingga masuk ke dalam jantung. Setelah jatuh, cinta hari-hari yang berlalu serba tak karuan, bumi jadi terasa kelu dalam pengembaraan waktu. Aku berjalan seperti tak lagi menginjak pada tanah. Aku lantas bertanya pada apa saja di sekelilingku, namun jawaban yang kudapat juga serba tak pasti. Lalu, siapa juga yang bandel menitipkan sebutir benih cinta ini ke dalam tubuhku? Saat-saat dimana aku menggelepar bagai ikan yang kekurangan air.

Ah, bagaimana pula kalau Adhe tahu kejadian ini? Entahlah, apa yang bakal ia lakukan padaku? Aku yang berusaha mengubur perasaan dari kata-kata yang pernah diikrarkan dulu: setia. Ya, ujung-ujungnya selingkuh tiap hari (memang setia!) Siapa sih wanita yang terlanjur memikatku itu? Sebenarnya, dia seorang wanita yang aneh. Tak tahulah bagaimana seleraku terhadap wanita itu, yang jelas aku bertemu lantas tak lama kemudian jatuh cinta. Ah, perasaan apa lagi ini? Aku sendiri, tak lagi mampu membaca diriku saat ini. Betapa banyak nama, peristiwa yang terbuang—dan seakan tak pernah kembali lagi. Semua yang berjalan wajar apa adanya bertambah kosong, tak ada arti. Setiap malam, seusai ia dendangkan sebuah lagu untukku. Dan seperti biasanya, aku mendengarkan suaranya yang sengal itu, yang kalau didengarkan secara seksama tidak bagus-bagus amat. Tapi, lumayanlah lagu itu dapat menghibur hatiku yang terus-terusan rawan dan kosong. Suaranya yang tersengal itu bila didengarkan pada saat sedang bosan berubah menjadi emas. Dan suara itu memantul di setiap ujung ruangan, mendayu-dayu, mengajak diriku untuk segera tidur. Singgah di alam khayal, dalam ruangan lima dimensi yang terus kucumbu, betapa indahnya! Walau, sebenarnya ia tak pernah menyuruhku untuk mendengarkannya, namun setiap ia meluncurkan senandung itu aku selalu saja terkesima dibuatnya. Seperti ada tangan yang menyeretku agar senantiasa mendengarkan ia bernyanyi. Mengajak tubuh ini untuk bergerak gemulai mengiringi alunannya.

Begitulah, setiap malam. Malam-malam yang panjang dan menyisakan beribu pertanyaan di benak. Lepas dari itu, aku tidak hanya sekedar mendengarkan lagu yang ia lafalkan. Aku juga mendengar ia yang berbisik pada udara, pada celah daun yang basah, pada trotoar, pada celah meja yang kusam. Suaranya menembus pori-pori, menggema. Tiba-tiba saja aku menatap bola matanya yang kosong. Aku mencari-cari sesuatu dibalik hitamnya bola itu, aku seperti merindukan kembali masa kanak-kanak yang ceria, setelah berpuluh tahun mengembara. Melewati sampah-sampah peradaban. Melintasi udara, menyelam dalam samudera hidup yang membiru. Terapung-apung dalam waktu, dan tak tau kapan berakhir. Aku telah jatuh cinta padanya. Ya, sekali lagi aku tegaskan disini, aku telah tergila-gila padanya. Diwajahnya yang memudar itu, aku menemukan aura baru yang tak pernah mengering. Terus mengalir. Sebagaimana mata air yang tak pernah tersentuh kemarau panjang. Ada air jiwa yang turun melewati bukit-bukit setiap panca inderanya. Aku kemudian dibawanya terbang. Masuk ke dalam dimensi yang aneh. Lagi-lagi aku tak berani berkata apa-apa tentang cinta kepadanya. Aku hanya berani menatap matanya yang sejuk itu. Mata yang membawaku untuk rebah di rumput hijau, senyumnya menenggelamkanku dan membuatku ingin segera mencumbu, aku telah dibuat tak sadarkan diri.

“Aku tak butuh cinta..!” ia setengah berteriak kepadaku sehabis melantunkan lagu “Kidung Sunyi” “Kenapa?” aku balikkan kata sekedar menipu dirinya. menyembunyikan perasaanku padanya. “Untuk apa ada cinta. Bila dunia ini penuh dengan kekerasan. Dunia yang selalu penuh luka. Kadang-kadang aku, takut untuk bertemu dengan apa yang namanya cinta. Perasaan-perasaan gombal yang tidak riil,” ia menggigit bibirnya sendiri setelah berkata itu, ada darah yang menetes, menjadi pewarna merah dibibirnya. “Namun, itu riil,” aku berkilah membela, dan kutatapi bibirnya yang ranum memerah akibat tetesan darah itu. Entah, kapan aku bisa melumatnya hingga habis? Oh my god. Ia mengacuhkan diriku begitu saja. Aku merasa dibuang ke comberan yang penuh tinja. Tak lagi dianggap ada di kolong langit yang begitu luas ini. Aku merasa berada diantara ada dan tak ada. Nyatanya, ada dan tak ada hanyalah ada. Sosok tubuhku yang ada menari-nari bersama langit yang selalu membiru, mendamprat kekusaman di dada. Lantas, ia menembang lagi:

“perang…perang lagi, semakin menjadi, anjing si Tuan Polan yang semakin kenyang.. tulang-tulang berserakan, menjadi bukit. Dihampiri kawanan gagak hitam bercadar, membungkus sisa daging yang menyisa menjadi belatung,”

Gila, ya gila! Sampai saat ini aku masih saja jatuh cinta padanya. Perasaan yang kuendapkan semakin jauh. Aku merasa rohku telah tercerai-berai dari jasad. Roh yang bergelimpangan, mengembara dari satu kota ke kota yang lain, mencoba menemukan sesuatu yang dulu pernah hilang. Tak peduli walau airmata adalah akhirnya, terus bertualang.

Lagu-lagu yang ia nyanyikan, telah memikat hatiku. Baru saja kuterlena dalam pelukan Santi lalu kukenal Dissa. Baru sedikit kuterpesona dalam rayuan mautnya tentang cinta aku kembali tersangkut dalam cakar kuku dari Connie yang ramping dan tinggi. Rambutnya yang menghitam menghalangi biru langit hatiku. Ah, dunia macam apa aku singgahi ini? “Sebenarnya kamu itu bagaimana, sih? Orang yang telah mati koq masih diharapkan. Apa kamu seorang psikopat? Mungkin kau perlu menemui seorang psikiater buat masalah-masalah hidupmu,” seru seorang kawan saat kuceritakan kegundahanku.

Atas anjuran kawanku tadi, aku pergi menemui seorang psikiater. Mungkin saja, ia ada benarnya. Masalah terberat dalam diriku adalah diriku sendiri. Dan memang kata sastrawan masa dulu “kemenangan terbesar adalah menakulukkan diri sendiri’.

Setibanya di alamat yang diberikan oleh kawanku tadi. Aku segera masuk ke dalam ruangan. Aku duduk dengan malas di ruang tunggu. Seorang yang nampaknya perawat menghampiriku “Mau periksa, Mas?” “Yeah,aku banyak masalah akhir-akhir ini. Dokter Faddelnya ada,” nama yang sesuai diberikan oleh kawanku “O, iya. Bapak sedang didalam memeriksa pasien. Tunggu saja sebentar, Mas. Nanti kalau ada yang keluar si Mas silakan masuk,” perawat itu menyambung ucapanku yang tadi. Pasien yang datang terlebih dahulu dariku telah keluar. Ia memang keluar dengan raut muka yang gembira walau selintas dandanan pakaiannya sedikit aneh, dalam pandanganku. Ah, betapa bahagianya ia setelah bertemu dengan dokter ini. Perawat tadi mempersilakan aku untuk masuk. Dan, perawat itu terlihat cantik sekali dengan baju putihnya.

Aku masuk ke dalam ruangan. Kira-kira ruangan itu luasnya 4x6 meter. Berlantai porselen putih. Bening bagai air. Di samping kanan, duduk seorang dokter dengan rambut yang dibelah pinggir dan sudah memutih. “Permisi Dok!” ujarku untuk memecahkan keheningan dalam ruangan itu “Ya, silakan duduk,” si dokter mulai angkat bicara “Begini, Dok…” “Sudahlah tak usah bicara. Saya sudah tahu masalah anda. Sudah terlampau banyak pasien-pasien macam anda datang ke tempat ini. Masalah anda sekarang pasti sedang jatuh cinta ‘kan?” “Benar, Dok”. Aku merasa lega ternyata dokter itu sudah tahu masalah dalam diriku. “Ya, gampang itu!” dokter itu tersenyum-senyum, ia seperti cekikikan berhadapan denganku, “Ini surat rujukan buat anda. Mudah-mudahan di tempat itu Anda akan merasa lebih baik,” dengan gerak reflek, aku ambil secarik kertas tersebut lalu kumasukkan ke dalam kantong celana dasarku. Aku tak lagi berpikir panjang. Toh, aku menganggap masalahku telah kronis. Ya, buktinya saja dokter itu memberikan surat rekomendasi untuk dirawat di suatu tempat.

Entah. Dimana aku berada sekarang ini. Yang kutahu saat ini aku memakai baju putih-putih. Semua serba putih. Di sekelilingku kulihat beratus orang dengan baju yang sama. Aku dibawa ke suatu ruangan tenang. Selasar disitu mirip sebuah selasar di rumah sakit. Aku teringat kertas rekomendasi yang diberikan dokter itu. Sempat sebelum diganti baju oleh orang-orang yang tak kukenal sebelumnya, kuambil kertas itu. Kemudian aku mendengar suara orang yang membawaku dengan tempat tidur dorong. “Wah, hari ini berarti tambah satu lagi dong, pasien kita,” ujar orang pertama. “Ya, zaman yang edan. Saat ini orang-orang gila semakin bertambah banyak saja. Bagai jamur di musim hujan. Barangkali, karena krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan ini,” ujar orang yang kedua. Aku terdiam menahan ludah. Aku ingin berontak. Tapi, tubuhku seperti diikat dengan tali yang sangat kuat. Sia-sia saja aku melawan. Tenagaku terasa musnah. Aku ingin berteriak pada dunia yang gelap ini bahwa aku tidak sinting. Aku tidak gila. Siapa yang gila? Apa, aku dianggap gila? Sebenarnya, siapa yang gila?

Sesampainya di dalam kamar aku baca kertas rekomendasi dokter yang kugenggam tadi, isinya: “Saudara Joe, kami telah membaca kisah anda sebagai orang gila paling tulen di rumah sakit jiwa kota ini. Maka untuk apa lagi anda berpura-pura sedang jatuh cinta. Sudahlah, terima saja apa-adanya. Peristiwa pelarian diri anda sudah menjadi berita yang laris bagi penduduk kota ini. Selamat bergabung kembali di rumah anda yang dahulu” Sialan! Makiku sendirian di dalam hati. Namun, aku percaya sekali. Aku yakin, partikel “jatuh cinta” itu telah mengendap di pembuluh darahku. Menebar ke seluruh tubuh. Masak ‘sih jatuh cinta di era millennium baru, saat ini dianggap gila??

Seharusnya…merekalah yang berada disini. Mereka yang diperbudak uang, yang jalan kesana-kesini, gerak-gerik mereka yang begitu aneh dalam mata seorang pria sejati sepertiku ini. Sayang seribu sayang, tak banyak pula pria sejati yang sepertiku ini, terlalu sedikit sekali, bahkan mungkin hanya aku sendiri. Lihat itu beberapa pasangan muda mudi yang sedang mabuk cinta, mereka yang menganggap dunia milik mereka berdua, bercumbu tak tau tempat, seperti binatang, bukankah mereka semua itu gila. Mereka yang menganggap aneh orang yang berkerudung dan berghamis, yang mengikuti budaya Arab, tapi tidak untuk orang yang bergaya barat. Bukankah mereka gila? Yang satu itu lagi, mereka berlaga sopan dengan makan mengunakan sendok dan garpu, kadang dengan pisau. Ach….benar-benar gila. Anak-anak yang bersekolah dan bersopan santun di dalam kelas, tapi tak sedikit pula yang setelah itu bertawuran di mana mana, mereka semua sudah gila. Bahkan ayah dan ibukupun gila, mereka menempatkan aku di rumah ini, tapi ada baiknya jugalah semua ini, aku tidak usah bertemu dengan orang-orang gila di luar sana. Kawan-kawanku disini hampir mencapai taraf sebagai pria sejati, tapi mereka hanya perlu sedikit proses saja, Tapi lucu sekali nama tempat ini, tempat yang di dalamnya terdapat banyak orang-orang yang hampir mencapai taraf sebagai pria sejati, dan menuju kesempurnaan sepertiku ini. Mereka seperti memutar balikkan fakta, rumah besar tempat aku tinggal yang berkawasan di grogol ini dimanakan Rumah Sakit Jiwa. Sunguh aneh orang-orang gila di luar sana. Cukuplah aku hidup di tempat ini bersama kawan-kawanku yang akan mencapai kesempurnaan sepertiku ini. Akulah pria sejati yang sempurna satu-satunya di dunia ini.

No comments: