Monday, August 14, 2006

Satu Cerita Tentang Syair Pengamen...




Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar,
malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang Pengamen
yang membunyikan gitarnya. Pak Ustad sedang menerangkan
makna khauf, tapi suara gitar yang dimainkan itu
sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang
pikirannya sedang bekerja keras. "Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul
di masjid ini untuk berpesta!" gerutu seseorang. "Bukan sekali
dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya,
betul!" "Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha
meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..." "Ia tak punya
imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain
lagi. "Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia
minan-nashara!" sebuah suara keras. Tapi sebelum takmir masjid bertindak
sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga
mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan
mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil
dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya
kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya." "Tak usah menghitung
dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme
politik. Cobalah berhitung dulu dengan Pengamen. Beranikah Anda semua,
kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda
menjadi Pengamen? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh
pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil
yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi Pengamen? Yakni
kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini
kecuali menjadi Pengamen? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini,
takutkah atau tidak?" "Ingatlah bahwa tak seorang Pengamen pun
pernah takut menjadi Pengamen. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding Pengamen?
Karena pasti para Pengamen memiliki keberanian juga untuk menjadi
sarjana dan orang besar seperti Anda semua." Suasana menjadi senyap.
Suara petikan senar gitar dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk
hati para peserta pengajian. "Kita memerlukan baca istighfar lebih dari
seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan, "karena kita masih
tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita
anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor,
takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan
mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... Masya Allah,
sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup
menomorsatukan Allah!"

No comments: