Thursday, August 24, 2006
Monday, August 14, 2006
Satu Cerita Tentang Syair Pengamen...
Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar,
malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang Pengamen
yang membunyikan gitarnya. Pak Ustad sedang menerangkan
makna khauf, tapi suara gitar yang dimainkan itu
sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang
pikirannya sedang bekerja keras. "Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul
di masjid ini untuk berpesta!" gerutu seseorang. "Bukan sekali
dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya,
betul!" "Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha
meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..." "Ia tak punya
imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain
lagi. "Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia
minan-nashara!
sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga
mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan
mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil
dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya
kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya." "Tak usah menghitung
dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme
politik. Cobalah berhitung dulu dengan Pengamen. Beranikah Anda semua,
kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda
menjadi Pengamen? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh
pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil
yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi Pengamen? Yakni
kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini
kecuali menjadi Pengamen? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini,
takutkah atau tidak?" "Ingatlah bahwa tak seorang Pengamen pun
pernah takut menjadi Pengamen. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding Pengamen?
Karena pasti para Pengamen memiliki keberanian juga untuk menjadi
sarjana dan orang besar seperti Anda semua." Suasana menjadi senyap.
Suara petikan senar gitar dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk
hati para peserta pengajian. "Kita memerlukan baca istighfar lebih dari
seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan, "karena kita masih
tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita
anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor,
takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan
mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... Masya Allah,
sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup
menomorsatukan Allah!"
Thursday, August 10, 2006
Satu Cerita Tentang Si Tua Sais Pedati..
Bergerak perlahan dengan pasti
Di jalan datar yang berlumpur
Sesekali terdengar gletar cemeti
Diiringi teriakan lantang
Si tua
Derak pedati sebentar berhenti
Nampak si tua
mulai membuka bungkusan nasi
Yang dibekali sang istri
Gerak pedati lalu jalan lagi
Singgah disetiap desa
Tanpa ragu-ragu tanpa malu-malu
Nafas segar terhembus
Dari sepasang lembu yang tak pernah
Merasakan sesak polusi
Dia tak pernah memerlukan
Dia tak pernah membutuhkan
Solar dan ganti olie
Bensin dan ganti busi
Apalagi charge aki
Dia tak pernah kebingungan
Dia tak pernah ketakutan
Apa kata orang tentang
Gawatnya krisis energi
Gerak pedati dan lenguh lembu
Seember rumbut dan gletar cemeti
Seakan suara adzan yang di-cassete-kan
Sementara itu sang bilal pulas mendengkur
Satu Cerita Tentang Ide Gila....
Dalam krisis moneter yang berkepanjangan. Untuk mencari nafkah, Caskim begitu pusing dibuatnya. Apalagi gitar tua warisan temannya yang selama ini menjadi alat pendaringannya sudah ditahan oleh Pol PP sebagai pengganti untuk penebus dirinya saat terkena razia penyakit masyarakat. Lalu apa yang selanjutnya bisa dijadikan pengganti untuk memenuhi lenguh perut diri dan istrinya? Apa yang diperbuat untuk biaya kelahiran anak pertamanya? Tidak ada benda berharga yang dapat digadaikan. Tak selembar ijazah pun pernah dikantonginya. Ia tidak tamat SD. Tak seorang saudara atau kenalan diharapkan bisa menjadi koneksi untuk bekerja di tempat yang lebih terhormat. Tak secuil pun keahlian yang pernah diperolehnya selama tinggal di kampung halaman dulu. Toh kalau ia bisa mencangkul lahan, lahan apa yang harus dicangkulnya di bawah gedung-gedung bertingkat.
Ia telah merasa lelah berfikir. Dalam berfikir, telah ia kerahkan seluruh indranya untuk menemukan cara yang bisa diperbuatnya untuk mendapatkan uang. Apalagi menurut dokter kelahiran anaknya itu harus dilakukan dengan operasi sesar. Caskim tak akan segila ini memikirkan uang. Lalu apa? Menjadi copet atau garong? Ya mungkin cara itulah yang paling mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Tapi bagaimana kalau diteriaki maling dan tertangkap
Kepada Yth.
TUHAN YANG MAHA ESA
Di Tempat
Dengan hormat,
Melalui
Demikian permohonan saya, semoga dikabulkan. Terima kasih.
Sembah sujud hambamu
Caskim
Esoknya. “Bah, apa-apaan ini” Ibu Ani petugas sortir di kantor Pos bagai disengat tawon, terkejut begitu membaca alamat tujuan. Kemudian ia tersenyum. “Biarin aja, bisa untuk ngerjain si Amin. Tumpukkan saja di Sektor G. Johor. Beres”. Siangnya Amin mengayuh sepeda butut yang ada kicau burung : .. krecit…krecit…krecit… karena rantai yang tak pernah tersentuh minyak itu.
Sebagai tukang Pos yang sudah bertahun-tahun setia mengabdi kepada Negara. Seujung kukupun ia tidak mau melanggar hukum. Agak lama juga ia menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan bahwa, sebaiknya
“Bah! Apapulak ini” teriak Pak Polisi yang baru keluar dari WC. Begitu mendapatkan
Caskim membuka amplop yang baru diantar Polisi. Polisi langsung pulang. Ia tidak menjelaskan kepada Caskim bahwa sumbangan tersebut dari mana atau dari siapa. Namanya menyumbang secara ikhlas. Memang seharusnya tidak boleh takabur atau berbangga hati. “Men lah seng kuoso seng mbales” (biarlah yang kuasa yang di atas yang membalas). Sementara di dalam gubuknya Caskim mengeluarkan uang dari amplop dan menghitungnya.
Sementara Caskim masih belum puas. Ia mengirim
Wednesday, August 09, 2006
Tidurlah..........Tidur.....
Oh..di kedalaman hidupmu
Kau tersenyum lugu
Mendekap damai dan tak berdosa
Ku belai gelombang rambutmu
Menitikan kasih sayang
Semoga berlimpah ruah bahagia
Kita reguk bersama
Tidurlah tidur bidadari kecilku
Setelah lelah kau bermain
Mimpikan dirimu dalam istana
Menari penuh suka
Dan kukecup lembut keningmu
Rasa haru luluh jua
Jangan dulu terjaga sampai pagi tiba
Menjemput hari
Tidurlah tidur bidadari kecilku
Setelah lelah kau bermain
Mimpikan dirimu dalam istana
Menari lincah dan bernyanyi merdu penuh suka
Tidurlah tidur bintang kesayanganku
Bersinar menerangi sukma
Engkaulah juga yang jadi alasan
Hingga kupacu semangat hidup menyimpan harapan
Kelak suatu saat nanti kau beranjak dewasa
Pilihlah jalan lurus dan ditempatmu
Melangkah menuju cita menggenggam asa
Kau tentukan warna tuk hidupmu
Sejak dari mulai kecil
Baik kau jaga langkah
Berpegang….waspada
dedicated to PINKY OLIVIA JOELANDRI
Beri Aku Arti
Menikmati nafas alam tak berasa
Beragam warna terbayang sekilas
Menyingkirkan luka, tanpa diminta...
Pernahkah kusadar tanpa itu semua
Dalam terang surya selalu terjaga
Memahami makna arti kenyataan
Keremangan senja selipkan hampa...
Dimana kawanku... inginku menyapa
Beri aku ruang... tempatkan diriku
Dimana kawanku... semakin menjauh
Beri aku arti... tak ingin berbeda
Kau palingkan wajah acuhkan muka
Menyamakan arti bukan suara hati
Ingin berbicara hasrat pengungkapan
Masih pantaskah aku disampingmu...
Belum Ada Judul...
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Digilas waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah…lelap
Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat…masih ingatkah kau?
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Di hati….
Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa kali ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar…bangkitkan aku…Sobat
Tuesday, August 08, 2006
Satu Cerita Tentang Pak Tua..
Kamu yang sudah tua..apa kabarmu?
Katanya baru sembuh...katanya sakit
Jantung, ginjal dan encok…
Sedikit saraf..
Hati-hati Pak Tua….,istirahatlah
Di luar banyak angina
Kamu yang sudah tua memegang perut
Badanmu semakin tambun memandang langit
Hari menjelang maghrib...
Pak Tua ngantuk
Istri ,anak menunggu...istirahatlah
Di luar banyak angin
Pak Tua sudahlah….
Engkau sudah terlihat lelah…
Pak Tua sudahlah….
Kami mampu berkerja…
Friday, August 04, 2006
Satu Cerita Tentang Tragedi Buah Apel
Kau merah sangatlah menggairahkan
Terkadang hijaumu lugu
Padamu tlah tercipta denyut getaran jiwa
Seirama dengan dunia
Oh…..duniawi
Kau menggoda setiap insan
Yang menatapmu berbeban harap
Anggunmu nan sombong
Congkakmu seketika melupakan kodrat kehidupan
Oh….duniawi
Mungkin kau belum merasa gelisah
Dan terlepas dari rasa ragu
Namun didirimu masih tersimpan jua
Seribu Tanya…seribu sapa…..
Dan saatnya kini kaupun pasrah
Disisi pisau sebilah belati
Tak berdaya lupakan dirimu
Hanya tuk sekedar pelepas dahaga
Oh…..tragedi…
Thursday, August 03, 2006
Satu Cerita Tentang Pria Sejati
Aku jatuh cinta lagi. Entah, betapa bodohnya aku, selalu saja tergesa untuk jatuh cinta. Begitu cepat perasaan itu singgah, seperti kilat. Aku memaki-maki diriku sendiri sesampainya di kamar. Dan, memang telah kuakui sendiri diriku terlampau rapuh dalam soal perasaan. Sesaat saja, aku bertemu dengannya, berbicara asal-asalan, lantas terpana. Aku rasa sang Cupid sudah begitu cepat menarikkan busur panahnya hingga masuk ke dalam jantung. Setelah jatuh, cinta hari-hari yang berlalu serba tak karuan, bumi jadi terasa kelu dalam pengembaraan waktu. Aku berjalan seperti tak lagi menginjak pada tanah. Aku lantas bertanya pada apa saja di sekelilingku, namun jawaban yang kudapat juga serba tak pasti. Lalu, siapa juga yang bandel menitipkan sebutir benih cinta ini ke dalam tubuhku? Saat-saat dimana aku menggelepar bagai ikan yang kekurangan air.
Ah, bagaimana pula kalau Adhe tahu kejadian ini? Entahlah, apa yang bakal ia lakukan padaku? Aku yang berusaha mengubur perasaan dari kata-kata yang pernah diikrarkan dulu: setia. Ya, ujung-ujungnya selingkuh tiap hari (memang setia!) Siapa sih wanita yang terlanjur memikatku itu? Sebenarnya, dia seorang wanita yang aneh. Tak tahulah bagaimana seleraku terhadap wanita itu, yang jelas aku bertemu lantas tak lama kemudian jatuh cinta. Ah, perasaan apa lagi ini? Aku sendiri, tak lagi mampu membaca diriku saat ini. Betapa banyak nama, peristiwa yang terbuang—dan seakan tak pernah kembali lagi. Semua yang berjalan wajar apa adanya bertambah kosong, tak ada arti. Setiap malam, seusai ia dendangkan sebuah lagu untukku. Dan seperti biasanya, aku mendengarkan suaranya yang sengal itu, yang kalau didengarkan secara seksama tidak bagus-bagus amat. Tapi, lumayanlah lagu itu dapat menghibur hatiku yang terus-terusan rawan dan kosong. Suaranya yang tersengal itu bila didengarkan pada saat sedang bosan berubah menjadi emas. Dan suara itu memantul di setiap ujung ruangan, mendayu-dayu, mengajak diriku untuk segera tidur. Singgah di alam khayal, dalam ruangan
Begitulah, setiap malam. Malam-malam yang panjang dan menyisakan beribu pertanyaan di benak. Lepas dari itu, aku tidak hanya sekedar mendengarkan lagu yang ia lafalkan. Aku juga mendengar ia yang berbisik pada udara, pada celah daun yang basah, pada trotoar, pada celah meja yang kusam. Suaranya menembus pori-pori, menggema. Tiba-tiba saja aku menatap bola matanya yang kosong. Aku mencari-cari sesuatu dibalik hitamnya bola itu, aku seperti merindukan kembali masa kanak-kanak yang ceria, setelah berpuluh tahun mengembara. Melewati sampah-sampah peradaban. Melintasi udara, menyelam dalam samudera hidup yang membiru. Terapung-apung dalam waktu, dan tak tau kapan berakhir. Aku telah jatuh cinta padanya. Ya, sekali lagi aku tegaskan disini, aku telah tergila-gila padanya. Diwajahnya yang memudar itu, aku menemukan aura baru yang tak pernah mengering. Terus mengalir. Sebagaimana mata air yang tak pernah tersentuh kemarau panjang.
“Aku tak butuh cinta..!” ia setengah berteriak kepadaku sehabis melantunkan lagu “Kidung Sunyi” “Kenapa?” aku balikkan kata sekedar menipu dirinya. menyembunyikan perasaanku padanya. “Untuk apa ada cinta. Bila dunia ini penuh dengan kekerasan. Dunia yang selalu penuh luka. Kadang-kadang aku, takut untuk bertemu dengan apa yang namanya cinta. Perasaan-perasaan gombal yang tidak riil,” ia menggigit bibirnya sendiri setelah berkata itu, ada darah yang menetes, menjadi pewarna merah dibibirnya. “Namun, itu riil,” aku berkilah membela, dan kutatapi bibirnya yang ranum memerah akibat tetesan darah itu. Entah, kapan aku bisa melumatnya hingga habis? Oh my god. Ia mengacuhkan diriku begitu saja. Aku merasa dibuang ke comberan yang penuh tinja. Tak lagi dianggap ada di kolong langit yang begitu luas ini. Aku merasa berada diantara ada dan tak ada. Nyatanya, ada dan tak ada hanyalah ada. Sosok tubuhku yang ada menari-nari bersama langit yang selalu membiru, mendamprat kekusaman di dada. Lantas, ia menembang lagi:
“perang…perang lagi, semakin menjadi, anjing si Tuan Polan yang semakin kenyang.. tulang-tulang berserakan, menjadi bukit. Dihampiri kawanan gagak hitam bercadar, membungkus sisa daging yang menyisa menjadi belatung,”
Gila, ya gila! Sampai saat ini aku masih saja jatuh cinta padanya. Perasaan yang kuendapkan semakin jauh. Aku merasa rohku telah tercerai-berai dari jasad. Roh yang bergelimpangan, mengembara dari satu
Lagu-lagu yang ia nyanyikan, telah memikat hatiku. Baru saja kuterlena dalam pelukan Santi lalu kukenal Dissa. Baru sedikit kuterpesona dalam rayuan mautnya tentang cinta aku kembali tersangkut dalam cakar kuku dari Connie yang ramping dan tinggi. Rambutnya yang menghitam menghalangi biru langit hatiku. Ah, dunia macam apa aku singgahi ini? “Sebenarnya kamu itu bagaimana, sih? Orang yang telah mati koq masih diharapkan. Apa kamu seorang psikopat? Mungkin kau perlu menemui seorang psikiater buat masalah-masalah hidupmu,” seru seorang kawan saat kuceritakan kegundahanku.
Atas anjuran kawanku tadi, aku pergi menemui seorang psikiater. Mungkin saja, ia ada benarnya. Masalah terberat dalam diriku adalah diriku sendiri. Dan memang kata sastrawan masa dulu “kemenangan terbesar adalah menakulukkan diri sendiri’.
Setibanya di alamat yang diberikan oleh kawanku tadi. Aku segera masuk ke dalam ruangan. Aku duduk dengan malas di ruang tunggu. Seorang yang nampaknya perawat menghampiriku “Mau periksa, Mas?” “Yeah,aku banyak masalah akhir-akhir ini. Dokter Faddelnya ada,” nama yang sesuai diberikan oleh kawanku “O, iya. Bapak sedang didalam memeriksa pasien. Tunggu saja sebentar, Mas. Nanti kalau ada yang keluar si Mas silakan masuk,” perawat itu menyambung ucapanku yang tadi. Pasien yang datang terlebih dahulu dariku telah keluar. Ia memang keluar dengan raut muka yang gembira walau selintas dandanan pakaiannya sedikit aneh, dalam pandanganku. Ah, betapa bahagianya ia setelah bertemu dengan dokter ini. Perawat tadi mempersilakan aku untuk masuk. Dan, perawat itu terlihat cantik sekali dengan baju putihnya.
Aku masuk ke dalam ruangan. Kira-kira ruangan itu luasnya 4x6 meter. Berlantai porselen putih. Bening bagai air. Di samping kanan, duduk seorang dokter dengan rambut yang dibelah pinggir dan sudah memutih. “Permisi Dok!” ujarku untuk memecahkan keheningan dalam ruangan itu “Ya, silakan duduk,” si dokter mulai angkat bicara “Begini, Dok…” “Sudahlah tak usah bicara. Saya sudah tahu masalah anda. Sudah terlampau banyak pasien-pasien macam anda datang ke tempat ini. Masalah anda sekarang pasti sedang jatuh cinta ‘
Entah. Dimana aku berada sekarang ini. Yang kutahu saat ini aku memakai baju putih-putih. Semua serba putih. Di sekelilingku kulihat beratus orang dengan baju yang sama. Aku dibawa ke suatu ruangan tenang. Selasar disitu mirip sebuah selasar di rumah sakit. Aku teringat kertas rekomendasi yang diberikan dokter itu. Sempat sebelum diganti baju oleh orang-orang yang tak kukenal sebelumnya, kuambil kertas itu. Kemudian aku mendengar suara orang yang membawaku dengan tempat tidur dorong. “Wah, hari ini berarti tambah satu lagi dong, pasien kita,” ujar orang pertama. “Ya, zaman yang edan. Saat ini orang-orang gila semakin bertambah banyak saja. Bagai jamur di musim hujan. Barangkali, karena krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan ini,” ujar orang yang kedua. Aku terdiam menahan ludah. Aku ingin berontak. Tapi, tubuhku seperti diikat dengan tali yang sangat kuat. Sia-sia saja aku melawan. Tenagaku terasa musnah. Aku ingin berteriak pada dunia yang gelap ini bahwa aku tidak sinting. Aku tidak gila. Siapa yang gila? Apa, aku dianggap gila? Sebenarnya, siapa yang gila?
Sesampainya di dalam kamar aku baca kertas rekomendasi dokter yang kugenggam tadi, isinya: “Saudara Joe, kami telah membaca kisah anda sebagai orang gila paling tulen di rumah sakit jiwa
Seharusnya…merekalah yang berada disini. Mereka yang diperbudak uang, yang jalan kesana-kesini, gerak-gerik mereka yang begitu aneh dalam mata seorang pria sejati sepertiku ini. Sayang seribu sayang, tak banyak pula pria sejati yang sepertiku ini, terlalu sedikit sekali, bahkan mungkin hanya aku sendiri. Lihat itu beberapa pasangan muda mudi yang sedang mabuk cinta, mereka yang menganggap dunia milik mereka berdua, bercumbu tak tau tempat, seperti binatang, bukankah mereka semua itu gila. Mereka yang menganggap aneh orang yang berkerudung dan berghamis, yang mengikuti budaya Arab, tapi tidak untuk orang yang bergaya barat. Bukankah mereka gila? Yang satu itu lagi, mereka berlaga sopan dengan makan mengunakan sendok dan garpu, kadang dengan pisau. Ach….benar-benar gila. Anak-anak yang bersekolah dan bersopan santun di dalam kelas, tapi tak sedikit pula yang setelah itu bertawuran di mana mana, mereka semua sudah gila. Bahkan ayah dan ibukupun gila, mereka menempatkan aku di rumah ini, tapi ada baiknya jugalah semua ini, aku tidak usah bertemu dengan orang-orang gila di luar
Wednesday, August 02, 2006
Satu Cerita Di Sebuah Pagi...
Pada pagi yang ke- 2000, anak-anak di tikungan membiarkan kantuk menutup inderanya, kecuali lubang nafasnya yang mungil, penuh bulu-bulu halus. Sebuah tempat, dua liang, untuk dua butir kelereng bergulir-gulir di celahnya; lubang masuk-keluar bagi kerumunan jangkrik dan serdadu semut hitam yang tampak rapi berbaris dan saling bersalam-salaman setiap bertemu kawannya, manakala rasa hangat membasuh tubuh mereka dengan bau lendir: anyir, juga apek dan pesing.
Sementara anak-anak tertidur, angin pagi sepoi-sepoi melepas selendangnya untuk menyelimuti mereka yang semalaman tak henti-hentinya bermimpi, dengan jarum suntik untuk jalan keluar-masuk zat kimia ke sekujur syarafnya.
Angin, begitulah nama hembusan di pagi itu, selalu bersahabat dengan mereka. Seperti mereka pun bersahabat dengan siapa saja, tanpa pilih kasih; tanpa pilih kelas sosial, kaya-miskin, pejabat atau rakyat; pecandu narkoba atau putra-putri suci yang bergelimang doa surgawi tiap detik, menit, jam dan harinya.
Pada pagi ke-2001 itu, anak-anak tertidur untuk selamanya. Mulutnya berbuih. Jarum injeksi masih tertanam dalam syaraf tangannya yang terjulur, berdegup, menerbitkan bunyi, semacam alunan jazz, juga blues. Dalam sulur-sulur alunan, kau melihat kupu-kupu besi, kecil, sarat warna, beterbangan menembus langit yang waktu itu menyerupai selendang sutera yang penuh bercak darah, masih basah, bau anyir, juga harum mawar, merindukan suara-suara.
Kau tahu, kawan… Aku ingin bergegas melupakannya. Melupakan kerinduan anak-anak tikungan pada alunan hidup yang bergelimang mimpi, dari sanubari, dari dalam kalbu yang sejati. Dalam hidup yang besi.
Joe Sorjan
Tuesday, August 01, 2006
Satu Cerita Tentang Gadis Kecil
Siapa disana? Gadis kecil tersenyum dan membuka pintu perlahan. Berderit tertahan, tangan berpegangan. Memicingkan mata dan melangkah maju. Tidak, menggelengkan kepala. Mengapa semuanya begitu gelap? Dan usaplah mata, terus berusaha menatap. Membelalak ingin tahu. Oh, indahnya.
~ The girl in the dirty shirt ~
Joe Sorjan
(untuk Gadis Kecil di Kolong Jembatan)
Satu Cerita Tentang Lelaki Tengah Malam
Aku masih ingat pada waktu aku masih aNak-aNak, kira-kira aku berusia 6 tahun, ayah pernah bercerita pengalamannya selama menjadi pasukan perdamaian. Disana ia melihat bagaimana Orang-Orang Kalah begitu Gelisah oleh ulah Para Tentara pemberontak yang begitu beringas. Mereka seperti Robot Bernyawa berbuat semena-mena terhadap orang-orang kecil. Jelas sekali di
Melihat semua itu ayah tidak tega dan akhirnya Ayah kemudian mengirimkan Surat Buat Wakil Rakyat yang pada saat itu dipimpin oleh Bung Hatta agar ia segera dipulangkan. Ayah tak tahan lagi melihat kerusakan di negeri tersebut. Sepulangnya dari misi perdamaian Ayah langsung meminta untuk pensiun dini. Setelah itu Ayah bekerja menjadi keamanan di sebuah perusahaan milik negara.
Disini akupun memiliki kehidupan
Wassalam
Joe Sorjan
Mungkin belum semua judul lagu Bang Iwan masuk dalam cerita ini, habis gw bingung banget nyusun ceritanya. Yach saya mohon dimaklumi aja dah kalo ada nyang kurang. Kalo bisa sih kasih tau apa aja judul lagu nyang kagak ketulis di cerita ini.
.
Satu Cerita Tentang Kebohongan Ibu.....
Satu Cerita Tentang Kebohongan Ibu.....
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita akan arti
pengorbanan, ketulusan, keihklasan yang membuat kita terbebas dari penderitaan, bagai embun yang membasahi dedaunan dan merekahkan sekuntum bunga yang paling indah di dunia.
Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :"Makanlah nak, aku tidak lapar" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA
Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekiat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu
menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : "Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan" ------ KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA
Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Aku berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja." Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku tidak
capek" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA
Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah
selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :"Minumlah nak, aku tidak haus!" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat
kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk
menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : "Saya tidak butuh cinta"----------KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA
Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : "Saya punya duit" ----------KEBOHONGA
Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku "Aku tidak terbiasa" ---KEBOHONGA
Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : "Jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan" ----------KEBOHONGA
Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.
Sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.
Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi.. Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata "MENYESAL" di kemudian hari.
with love
Joe "Sayuti OB" Sorjan