Thursday, August 24, 2006

Monday, August 14, 2006

Satu Cerita Tentang Syair Pengamen...




Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar,
malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang Pengamen
yang membunyikan gitarnya. Pak Ustad sedang menerangkan
makna khauf, tapi suara gitar yang dimainkan itu
sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang
pikirannya sedang bekerja keras. "Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul
di masjid ini untuk berpesta!" gerutu seseorang. "Bukan sekali
dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya,
betul!" "Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha
meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..." "Ia tak punya
imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain
lagi. "Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia
minan-nashara!" sebuah suara keras. Tapi sebelum takmir masjid bertindak
sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga
mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan
mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil
dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya
kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya." "Tak usah menghitung
dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme
politik. Cobalah berhitung dulu dengan Pengamen. Beranikah Anda semua,
kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda
menjadi Pengamen? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh
pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil
yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi Pengamen? Yakni
kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini
kecuali menjadi Pengamen? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini,
takutkah atau tidak?" "Ingatlah bahwa tak seorang Pengamen pun
pernah takut menjadi Pengamen. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding Pengamen?
Karena pasti para Pengamen memiliki keberanian juga untuk menjadi
sarjana dan orang besar seperti Anda semua." Suasana menjadi senyap.
Suara petikan senar gitar dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk
hati para peserta pengajian. "Kita memerlukan baca istighfar lebih dari
seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan, "karena kita masih
tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita
anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor,
takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan
mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... Masya Allah,
sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup
menomorsatukan Allah!"

Thursday, August 10, 2006

Satu Cerita Tentang Si Tua Sais Pedati..


Bergerak perlahan dengan pasti
Di jalan datar yang berlumpur
Sesekali terdengar gletar cemeti
Diiringi teriakan lantang

Si tua sais pedati

Derak pedati sebentar berhenti
Nampak si tua sais pedati
mulai membuka bungkusan nasi

Yang dibekali sang istri

Gerak pedati lalu jalan lagi
Singgah disetiap desa
Tanpa ragu-ragu tanpa malu-malu
Nafas segar terhembus
Dari sepasang lembu yang tak pernah
Merasakan sesak polusi

Dia tak pernah memerlukan
Dia tak pernah membutuhkan
Solar dan ganti olie
Bensin dan ganti busi
Apalagi charge aki

Dia tak pernah kebingungan
Dia tak pernah ketakutan
Apa kata orang tentang

Gawatnya krisis energi

Gerak pedati dan lenguh lembu
Seember rumbut dan gletar cemeti

Seakan suara adzan yang di-cassete-kan
Sementara itu sang bilal pulas mendengkur

Satu Cerita Tentang Ide Gila....

Dalam krisis moneter yang berkepanjangan. Untuk mencari nafkah, Caskim begitu pusing dibuatnya. Apalagi gitar tua warisan temannya yang selama ini menjadi alat pendaringannya sudah ditahan oleh Pol PP sebagai pengganti untuk penebus dirinya saat terkena razia penyakit masyarakat. Lalu apa yang selanjutnya bisa dijadikan pengganti untuk memenuhi lenguh perut diri dan istrinya? Apa yang diperbuat untuk biaya kelahiran anak pertamanya? Tidak ada benda berharga yang dapat digadaikan. Tak selembar ijazah pun pernah dikantonginya. Ia tidak tamat SD. Tak seorang saudara atau kenalan diharapkan bisa menjadi koneksi untuk bekerja di tempat yang lebih terhormat. Tak secuil pun keahlian yang pernah diperolehnya selama tinggal di kampung halaman dulu. Toh kalau ia bisa mencangkul lahan, lahan apa yang harus dicangkulnya di bawah gedung-gedung bertingkat.

Ia telah merasa lelah berfikir. Dalam berfikir, telah ia kerahkan seluruh indranya untuk menemukan cara yang bisa diperbuatnya untuk mendapatkan uang. Apalagi menurut dokter kelahiran anaknya itu harus dilakukan dengan operasi sesar. Caskim tak akan segila ini memikirkan uang. Lalu apa? Menjadi copet atau garong? Ya mungkin cara itulah yang paling mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Tapi bagaimana kalau diteriaki maling dan tertangkap massa, dihujani pukulan-pukulan lalu dibakar? Tak lama kemudian Caskim tersenyum sendirian. Ia telah menemukan ide. Ide gila. Diambilnya secarik kertas kosong. Ia mulai menulis:

Kepada Yth.

TUHAN YANG MAHA ESA

Di Tempat

Dengan hormat,

Melalui surat ini saya memohon kepada Tuhan. Berilah saya uang senilai Rp.100 ribu saja, untuk biaya melahirkan anak saya yang pertama. Saya sangat terdesak. Sekali lagi saya memohon dengan sangat, berilah saya uang.

Demikian permohonan saya, semoga dikabulkan. Terima kasih.

Sembah sujud hambamu

Caskim

Surat itu dimasukkannya ke dalam amplop yang telah ditulisinya alamat lengkap tujuan dan alamatnya sendiri, dibubuhi perangko. Surat itu diciumi. Mulutnya kelihatan komat-kamit sepertinya ia sedang berdoa. Surat tersampul rapi yang dilem dengan sebutir nasi itu di bawa ke tempat surat yang ada di tepi jalan. Dengan tangan gemetar surat itu dimasukkan ke dalam kotak berwarna orange yang bertuliskan Kotak Pos. Selesai. Balik kanan grak. Pulang.

Esoknya. “Bah, apa-apaan ini” Ibu Ani petugas sortir di kantor Pos bagai disengat tawon, terkejut begitu membaca alamat tujuan. Kemudian ia tersenyum. “Biarin aja, bisa untuk ngerjain si Amin. Tumpukkan saja di Sektor G. Johor. Beres”. Siangnya Amin mengayuh sepeda butut yang ada kicau burung : .. krecit…krecit…krecit… karena rantai yang tak pernah tersentuh minyak itu. Surat pun satu persatu di antar. Mana yang terdekat, itu yang diantar terlebih dahulu. Lagi-lagi surat itu membuat siapa saja yang membaca tulisan aneh itu mengerenyitkan alis matanya. Termasuk Amin. Sama seperti Ibu Ani tadi, Amin tersenyum. “Wah, ini amanah orang, kasihan orang ini” batin Amin terenyuh. “Alangkah berdosanya aku, jika surat ini aku sobek-sobek lalu ku buang ke tong sampah.

Sebagai tukang Pos yang sudah bertahun-tahun setia mengabdi kepada Negara. Seujung kukupun ia tidak mau melanggar hukum. Agak lama juga ia menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan bahwa, sebaiknya surat ini menjadi tugas Pak Polisi saja. Pas sampai di Pos Polisi, surat itu dilemparkan begitu saja di atas meja. Kebetulan Pak polisinya sedang tidak ada, barangkali sedang berada di kamar mandi. Sebelum Pak Polisi datang cepat-cepat Amin pergi, takut juga ia dibentak, dikira mengada-ada.

“Bah! Apapulak ini” teriak Pak Polisi yang baru keluar dari WC. Begitu mendapatkan surat Caskim berada di atas meja kerjanya. Lagi-lagi sepucuk surat buat kejutan. “Coba aku baca dulu isinya”. Pak Polisi merobek sampul surat, lalu membacanya agak keras agar terdengar oleh teman-temannya. Selesai membaca, ia berkomentar “Kasihan kali orang ini, cobalah kau bayangkan. Istrinya mau melahirkan, dia butuh uang”. Temannya manggut-manggut menanggapi penuturannya. “Sebaiknya kita lapor dulu kepada Pak Komandan kita”. Mereka berembuk. Komandan Polisi yang berpangkat Kapten ini begitu bijaksana. Ia memerintahkan kepada salah satu anak buahnya untuk mensurvei lokasi keberadaan rumah Caskim. Apakah memang benar-benar miskin. Jika kondisinya benar-benar miskin, maka Pak Polisi yang berkumis agak tebal itu, mengajak anak buahnya yang empat orang itu untuk mengumpulan dana yang selanjutnya disumbangkan kepada Caskim. Selama ini citra Polisi di mata masyarakat begitu buruknya. Kenapa kita tidak berbuat amal, membantu orang tak mampu. Kenyataan masyarakat menilai dari sisi jeleknya saja. Padahalkan tugas Polisi sangat berat. Berbasah-basah di timpa hujan. Berpanas-panas di sengat matahari. Terbatuk-batuk menghirup abu dan asap knalpot kendaraan. Tidak dinilai masyarakat, hanya dipandang sebelah mata. Apalagi jika jalanan macet, Polantas harus siap di lapangan meluruskan benang-benang kusut arus lalu lintas. Sungguh berat memang. Belum lagi teman-teman seprofesi yang setiap saat harus siap menghadang pengunjuk rasa. Dilempari batu, kayu dan telur busuk. Akan tetapi Polisi berusaha tetap tenang. Tidak emosi. Wajib melindungi rakyat.

Caskim membuka amplop yang baru diantar Polisi. Polisi langsung pulang. Ia tidak menjelaskan kepada Caskim bahwa sumbangan tersebut dari mana atau dari siapa. Namanya menyumbang secara ikhlas. Memang seharusnya tidak boleh takabur atau berbangga hati. “Men lah seng kuoso seng mbales” (biarlah yang kuasa yang di atas yang membalas). Sementara di dalam gubuknya Caskim mengeluarkan uang dari amplop dan menghitungnya. Lima lembar puluhan ribu, satu lembar duapuluh ribuan dan satu lembar lima ribuan. “Keterlaluan Pak Polisi, sudah punya gaji besar pun masih rakus juga. Yang aku minta ‘kan Rp 100 ribu, eh disunat Rp 25 ribu, tinggal Rp 75 ribu. Apa tidak keterlaluan itu namanya” Caskim merepet panjang lebar. Istrinya yang tiduran di atas dipan beralas tikar, beranjak duduk. “Sudahlah Mas, disyukuri aja gitu. Uang sejumlah itu ‘kan udah cukup lumayan.” Sahut istrinya lembut. “Lumayan gundulmu” bantah Caskim. “Hanya menambah Rp 25 ribu saja kok”. Nasihat istrinya masih tetap lembut.

Sementara Caskim masih belum puas. Ia mengirim surat kembali. Mengirim surat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Isinya minta tambahan Rp 25 ribu lagi yang menurut pemikiran Caskim dimakan Polisi yang mengantar surat. Surat pun bergulir, prosesnya sama seperti surat yang pertama. Rotasinya juga sama dan akhirnya sampai di kantor Polisi. Selesai membaca surat yang ke-2 dari Caskim, Pak Polisi geleng-geleng kepala. Memang sudah nasib kami. Berbuat baikpun kami masih disalahkan.

Wednesday, August 09, 2006

Tidurlah..........Tidur.....


Oh..di kedalaman hidupmu

Kau tersenyum lugu

Mendekap damai dan tak berdosa

Ku belai gelombang rambutmu

Menitikan kasih sayang

Semoga berlimpah ruah bahagia

Kita reguk bersama

Tidurlah tidur bidadari kecilku

Setelah lelah kau bermain

Mimpikan dirimu dalam istana

Menari penuh suka

Dan kukecup lembut keningmu

Rasa haru luluh jua

Jangan dulu terjaga sampai pagi tiba

Menjemput hari

Tidurlah tidur bidadari kecilku

Setelah lelah kau bermain

Mimpikan dirimu dalam istana

Menari lincah dan bernyanyi merdu penuh suka

Tidurlah tidur bintang kesayanganku

Bersinar menerangi sukma

Engkaulah juga yang jadi alasan

Hingga kupacu semangat hidup menyimpan harapan

Kelak suatu saat nanti kau beranjak dewasa

Pilihlah jalan lurus dan ditempatmu

Melangkah menuju cita menggenggam asa

Kau tentukan warna tuk hidupmu

Sejak dari mulai kecil

Baik kau jaga langkah

Berpegang….waspada



dedicated to PINKY OLIVIA JOELANDRI

Beri Aku Arti

Menjumpai hari suasana sepi
Menikmati nafas alam tak berasa
Beragam warna terbayang sekilas
Menyingkirkan luka, tanpa diminta...

Pernahkah kusadar tanpa itu semua
Dalam terang surya selalu terjaga
Memahami makna arti kenyataan
Keremangan senja selipkan hampa...

Dimana kawanku... inginku menyapa
Beri aku ruang... tempatkan diriku
Dimana kawanku... semakin menjauh
Beri aku arti... tak ingin berbeda

Kau palingkan wajah acuhkan muka
Menyamakan arti bukan suara hati
Ingin berbicara hasrat pengungkapan
Masih pantaskah aku disampingmu...

Belum Ada Judul...

Pernah kita sama-sama susah

Terperangkap di dingin malam

Terjerumus dalam lubang jalanan

Digilas waktu yang sombong

Terjerat mimpi yang indah…lelap

Pernah kita sama-sama rasakan

Panasnya mentari hanguskan hati

Sampai saat kita nyaris tak percaya

Bahwa roda nasib memang berputar

Sahabat…masih ingatkah kau?

Sementara hari terus berganti

Engkau pergi dengan dendam membara

Di hati….

Cukup lama aku jalan sendiri

Tanpa teman yang sanggup mengerti

Hingga saat kita jumpa kali ini

Tajamnya matamu tikam jiwaku

Kau tampar…bangkitkan aku…Sobat



dedicated to my best friends Prima "Jabofals"

Tuesday, August 08, 2006

Satu Cerita Tentang Pak Tua..



Kamu yang sudah tua..apa kabarmu?

Katanya baru sembuh...katanya sakit

Jantung, ginjal dan encok…

Sedikit saraf..

Hati-hati Pak Tua….,istirahatlah

Di luar banyak angina

Kamu yang sudah tua memegang perut

Badanmu semakin tambun memandang langit

Hari menjelang maghrib...

Pak Tua ngantuk

Istri ,anak menunggu...istirahatlah

Di luar banyak angin

Pak Tua sudahlah….

Engkau sudah terlihat lelah…

Pak Tua sudahlah….

Kami mampu berkerja…

Friday, August 04, 2006

Satu Cerita Tentang Tragedi Buah Apel


Kau merah sangatlah menggairahkan
Terkadang hijaumu lugu
Padamu tlah tercipta denyut getaran jiwa
Seirama dengan dunia
Oh…..duniawi

Kau menggoda setiap insan
Yang menatapmu berbeban harap
Anggunmu nan sombong
Congkakmu seketika melupakan kodrat kehidupan
Oh….duniawi

Mungkin kau belum merasa gelisah
Dan terlepas dari rasa ragu
Namun didirimu masih tersimpan jua
Seribu Tanya…seribu sapa…..

Dan saatnya kini kaupun pasrah
Disisi pisau sebilah belati
Tak berdaya lupakan dirimu
Hanya tuk sekedar pelepas dahaga
Oh…..tragedi…

Thursday, August 03, 2006

Satu Cerita Tentang Pria Sejati


Aku jatuh cinta lagi. Entah, betapa bodohnya aku, selalu saja tergesa untuk jatuh cinta. Begitu cepat perasaan itu singgah, seperti kilat. Aku memaki-maki diriku sendiri sesampainya di kamar. Dan, memang telah kuakui sendiri diriku terlampau rapuh dalam soal perasaan. Sesaat saja, aku bertemu dengannya, berbicara asal-asalan, lantas terpana. Aku rasa sang Cupid sudah begitu cepat menarikkan busur panahnya hingga masuk ke dalam jantung. Setelah jatuh, cinta hari-hari yang berlalu serba tak karuan, bumi jadi terasa kelu dalam pengembaraan waktu. Aku berjalan seperti tak lagi menginjak pada tanah. Aku lantas bertanya pada apa saja di sekelilingku, namun jawaban yang kudapat juga serba tak pasti. Lalu, siapa juga yang bandel menitipkan sebutir benih cinta ini ke dalam tubuhku? Saat-saat dimana aku menggelepar bagai ikan yang kekurangan air.

Ah, bagaimana pula kalau Adhe tahu kejadian ini? Entahlah, apa yang bakal ia lakukan padaku? Aku yang berusaha mengubur perasaan dari kata-kata yang pernah diikrarkan dulu: setia. Ya, ujung-ujungnya selingkuh tiap hari (memang setia!) Siapa sih wanita yang terlanjur memikatku itu? Sebenarnya, dia seorang wanita yang aneh. Tak tahulah bagaimana seleraku terhadap wanita itu, yang jelas aku bertemu lantas tak lama kemudian jatuh cinta. Ah, perasaan apa lagi ini? Aku sendiri, tak lagi mampu membaca diriku saat ini. Betapa banyak nama, peristiwa yang terbuang—dan seakan tak pernah kembali lagi. Semua yang berjalan wajar apa adanya bertambah kosong, tak ada arti. Setiap malam, seusai ia dendangkan sebuah lagu untukku. Dan seperti biasanya, aku mendengarkan suaranya yang sengal itu, yang kalau didengarkan secara seksama tidak bagus-bagus amat. Tapi, lumayanlah lagu itu dapat menghibur hatiku yang terus-terusan rawan dan kosong. Suaranya yang tersengal itu bila didengarkan pada saat sedang bosan berubah menjadi emas. Dan suara itu memantul di setiap ujung ruangan, mendayu-dayu, mengajak diriku untuk segera tidur. Singgah di alam khayal, dalam ruangan lima dimensi yang terus kucumbu, betapa indahnya! Walau, sebenarnya ia tak pernah menyuruhku untuk mendengarkannya, namun setiap ia meluncurkan senandung itu aku selalu saja terkesima dibuatnya. Seperti ada tangan yang menyeretku agar senantiasa mendengarkan ia bernyanyi. Mengajak tubuh ini untuk bergerak gemulai mengiringi alunannya.

Begitulah, setiap malam. Malam-malam yang panjang dan menyisakan beribu pertanyaan di benak. Lepas dari itu, aku tidak hanya sekedar mendengarkan lagu yang ia lafalkan. Aku juga mendengar ia yang berbisik pada udara, pada celah daun yang basah, pada trotoar, pada celah meja yang kusam. Suaranya menembus pori-pori, menggema. Tiba-tiba saja aku menatap bola matanya yang kosong. Aku mencari-cari sesuatu dibalik hitamnya bola itu, aku seperti merindukan kembali masa kanak-kanak yang ceria, setelah berpuluh tahun mengembara. Melewati sampah-sampah peradaban. Melintasi udara, menyelam dalam samudera hidup yang membiru. Terapung-apung dalam waktu, dan tak tau kapan berakhir. Aku telah jatuh cinta padanya. Ya, sekali lagi aku tegaskan disini, aku telah tergila-gila padanya. Diwajahnya yang memudar itu, aku menemukan aura baru yang tak pernah mengering. Terus mengalir. Sebagaimana mata air yang tak pernah tersentuh kemarau panjang. Ada air jiwa yang turun melewati bukit-bukit setiap panca inderanya. Aku kemudian dibawanya terbang. Masuk ke dalam dimensi yang aneh. Lagi-lagi aku tak berani berkata apa-apa tentang cinta kepadanya. Aku hanya berani menatap matanya yang sejuk itu. Mata yang membawaku untuk rebah di rumput hijau, senyumnya menenggelamkanku dan membuatku ingin segera mencumbu, aku telah dibuat tak sadarkan diri.

“Aku tak butuh cinta..!” ia setengah berteriak kepadaku sehabis melantunkan lagu “Kidung Sunyi” “Kenapa?” aku balikkan kata sekedar menipu dirinya. menyembunyikan perasaanku padanya. “Untuk apa ada cinta. Bila dunia ini penuh dengan kekerasan. Dunia yang selalu penuh luka. Kadang-kadang aku, takut untuk bertemu dengan apa yang namanya cinta. Perasaan-perasaan gombal yang tidak riil,” ia menggigit bibirnya sendiri setelah berkata itu, ada darah yang menetes, menjadi pewarna merah dibibirnya. “Namun, itu riil,” aku berkilah membela, dan kutatapi bibirnya yang ranum memerah akibat tetesan darah itu. Entah, kapan aku bisa melumatnya hingga habis? Oh my god. Ia mengacuhkan diriku begitu saja. Aku merasa dibuang ke comberan yang penuh tinja. Tak lagi dianggap ada di kolong langit yang begitu luas ini. Aku merasa berada diantara ada dan tak ada. Nyatanya, ada dan tak ada hanyalah ada. Sosok tubuhku yang ada menari-nari bersama langit yang selalu membiru, mendamprat kekusaman di dada. Lantas, ia menembang lagi:

“perang…perang lagi, semakin menjadi, anjing si Tuan Polan yang semakin kenyang.. tulang-tulang berserakan, menjadi bukit. Dihampiri kawanan gagak hitam bercadar, membungkus sisa daging yang menyisa menjadi belatung,”

Gila, ya gila! Sampai saat ini aku masih saja jatuh cinta padanya. Perasaan yang kuendapkan semakin jauh. Aku merasa rohku telah tercerai-berai dari jasad. Roh yang bergelimpangan, mengembara dari satu kota ke kota yang lain, mencoba menemukan sesuatu yang dulu pernah hilang. Tak peduli walau airmata adalah akhirnya, terus bertualang.

Lagu-lagu yang ia nyanyikan, telah memikat hatiku. Baru saja kuterlena dalam pelukan Santi lalu kukenal Dissa. Baru sedikit kuterpesona dalam rayuan mautnya tentang cinta aku kembali tersangkut dalam cakar kuku dari Connie yang ramping dan tinggi. Rambutnya yang menghitam menghalangi biru langit hatiku. Ah, dunia macam apa aku singgahi ini? “Sebenarnya kamu itu bagaimana, sih? Orang yang telah mati koq masih diharapkan. Apa kamu seorang psikopat? Mungkin kau perlu menemui seorang psikiater buat masalah-masalah hidupmu,” seru seorang kawan saat kuceritakan kegundahanku.

Atas anjuran kawanku tadi, aku pergi menemui seorang psikiater. Mungkin saja, ia ada benarnya. Masalah terberat dalam diriku adalah diriku sendiri. Dan memang kata sastrawan masa dulu “kemenangan terbesar adalah menakulukkan diri sendiri’.

Setibanya di alamat yang diberikan oleh kawanku tadi. Aku segera masuk ke dalam ruangan. Aku duduk dengan malas di ruang tunggu. Seorang yang nampaknya perawat menghampiriku “Mau periksa, Mas?” “Yeah,aku banyak masalah akhir-akhir ini. Dokter Faddelnya ada,” nama yang sesuai diberikan oleh kawanku “O, iya. Bapak sedang didalam memeriksa pasien. Tunggu saja sebentar, Mas. Nanti kalau ada yang keluar si Mas silakan masuk,” perawat itu menyambung ucapanku yang tadi. Pasien yang datang terlebih dahulu dariku telah keluar. Ia memang keluar dengan raut muka yang gembira walau selintas dandanan pakaiannya sedikit aneh, dalam pandanganku. Ah, betapa bahagianya ia setelah bertemu dengan dokter ini. Perawat tadi mempersilakan aku untuk masuk. Dan, perawat itu terlihat cantik sekali dengan baju putihnya.

Aku masuk ke dalam ruangan. Kira-kira ruangan itu luasnya 4x6 meter. Berlantai porselen putih. Bening bagai air. Di samping kanan, duduk seorang dokter dengan rambut yang dibelah pinggir dan sudah memutih. “Permisi Dok!” ujarku untuk memecahkan keheningan dalam ruangan itu “Ya, silakan duduk,” si dokter mulai angkat bicara “Begini, Dok…” “Sudahlah tak usah bicara. Saya sudah tahu masalah anda. Sudah terlampau banyak pasien-pasien macam anda datang ke tempat ini. Masalah anda sekarang pasti sedang jatuh cinta ‘kan?” “Benar, Dok”. Aku merasa lega ternyata dokter itu sudah tahu masalah dalam diriku. “Ya, gampang itu!” dokter itu tersenyum-senyum, ia seperti cekikikan berhadapan denganku, “Ini surat rujukan buat anda. Mudah-mudahan di tempat itu Anda akan merasa lebih baik,” dengan gerak reflek, aku ambil secarik kertas tersebut lalu kumasukkan ke dalam kantong celana dasarku. Aku tak lagi berpikir panjang. Toh, aku menganggap masalahku telah kronis. Ya, buktinya saja dokter itu memberikan surat rekomendasi untuk dirawat di suatu tempat.

Entah. Dimana aku berada sekarang ini. Yang kutahu saat ini aku memakai baju putih-putih. Semua serba putih. Di sekelilingku kulihat beratus orang dengan baju yang sama. Aku dibawa ke suatu ruangan tenang. Selasar disitu mirip sebuah selasar di rumah sakit. Aku teringat kertas rekomendasi yang diberikan dokter itu. Sempat sebelum diganti baju oleh orang-orang yang tak kukenal sebelumnya, kuambil kertas itu. Kemudian aku mendengar suara orang yang membawaku dengan tempat tidur dorong. “Wah, hari ini berarti tambah satu lagi dong, pasien kita,” ujar orang pertama. “Ya, zaman yang edan. Saat ini orang-orang gila semakin bertambah banyak saja. Bagai jamur di musim hujan. Barangkali, karena krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan ini,” ujar orang yang kedua. Aku terdiam menahan ludah. Aku ingin berontak. Tapi, tubuhku seperti diikat dengan tali yang sangat kuat. Sia-sia saja aku melawan. Tenagaku terasa musnah. Aku ingin berteriak pada dunia yang gelap ini bahwa aku tidak sinting. Aku tidak gila. Siapa yang gila? Apa, aku dianggap gila? Sebenarnya, siapa yang gila?

Sesampainya di dalam kamar aku baca kertas rekomendasi dokter yang kugenggam tadi, isinya: “Saudara Joe, kami telah membaca kisah anda sebagai orang gila paling tulen di rumah sakit jiwa kota ini. Maka untuk apa lagi anda berpura-pura sedang jatuh cinta. Sudahlah, terima saja apa-adanya. Peristiwa pelarian diri anda sudah menjadi berita yang laris bagi penduduk kota ini. Selamat bergabung kembali di rumah anda yang dahulu” Sialan! Makiku sendirian di dalam hati. Namun, aku percaya sekali. Aku yakin, partikel “jatuh cinta” itu telah mengendap di pembuluh darahku. Menebar ke seluruh tubuh. Masak ‘sih jatuh cinta di era millennium baru, saat ini dianggap gila??

Seharusnya…merekalah yang berada disini. Mereka yang diperbudak uang, yang jalan kesana-kesini, gerak-gerik mereka yang begitu aneh dalam mata seorang pria sejati sepertiku ini. Sayang seribu sayang, tak banyak pula pria sejati yang sepertiku ini, terlalu sedikit sekali, bahkan mungkin hanya aku sendiri. Lihat itu beberapa pasangan muda mudi yang sedang mabuk cinta, mereka yang menganggap dunia milik mereka berdua, bercumbu tak tau tempat, seperti binatang, bukankah mereka semua itu gila. Mereka yang menganggap aneh orang yang berkerudung dan berghamis, yang mengikuti budaya Arab, tapi tidak untuk orang yang bergaya barat. Bukankah mereka gila? Yang satu itu lagi, mereka berlaga sopan dengan makan mengunakan sendok dan garpu, kadang dengan pisau. Ach….benar-benar gila. Anak-anak yang bersekolah dan bersopan santun di dalam kelas, tapi tak sedikit pula yang setelah itu bertawuran di mana mana, mereka semua sudah gila. Bahkan ayah dan ibukupun gila, mereka menempatkan aku di rumah ini, tapi ada baiknya jugalah semua ini, aku tidak usah bertemu dengan orang-orang gila di luar sana. Kawan-kawanku disini hampir mencapai taraf sebagai pria sejati, tapi mereka hanya perlu sedikit proses saja, Tapi lucu sekali nama tempat ini, tempat yang di dalamnya terdapat banyak orang-orang yang hampir mencapai taraf sebagai pria sejati, dan menuju kesempurnaan sepertiku ini. Mereka seperti memutar balikkan fakta, rumah besar tempat aku tinggal yang berkawasan di grogol ini dimanakan Rumah Sakit Jiwa. Sunguh aneh orang-orang gila di luar sana. Cukuplah aku hidup di tempat ini bersama kawan-kawanku yang akan mencapai kesempurnaan sepertiku ini. Akulah pria sejati yang sempurna satu-satunya di dunia ini.

Wednesday, August 02, 2006

Satu Cerita Di Sebuah Pagi...


Pada pagi yang ke- 2000, anak-anak di tikungan membiarkan kantuk menutup inderanya, kecuali lubang nafasnya yang mungil, penuh bulu-bulu halus. Sebuah tempat, dua liang, untuk dua butir kelereng bergulir-gulir di celahnya; lubang masuk-keluar bagi kerumunan jangkrik dan serdadu semut hitam yang tampak rapi berbaris dan saling bersalam-salaman setiap bertemu kawannya, manakala rasa hangat membasuh tubuh mereka dengan bau lendir: anyir, juga apek dan pesing.

Sementara anak-anak tertidur, angin pagi sepoi-sepoi melepas selendangnya untuk menyelimuti mereka yang semalaman tak henti-hentinya bermimpi, dengan jarum suntik untuk jalan keluar-masuk zat kimia ke sekujur syarafnya.
Angin, begitulah nama hembusan di pagi itu, selalu bersahabat dengan mereka. Seperti mereka pun bersahabat dengan siapa saja, tanpa pilih kasih; tanpa pilih kelas sosial, kaya-miskin, pejabat atau rakyat; pecandu narkoba atau putra-putri suci yang bergelimang doa surgawi tiap detik, menit, jam dan harinya.

Pada pagi ke-2001 itu, anak-anak tertidur untuk selamanya. Mulutnya berbuih. Jarum injeksi masih tertanam dalam syaraf tangannya yang terjulur, berdegup, menerbitkan bunyi, semacam alunan jazz, juga blues. Dalam sulur-sulur alunan, kau melihat kupu-kupu besi, kecil, sarat warna, beterbangan menembus langit yang waktu itu menyerupai selendang sutera yang penuh bercak darah, masih basah, bau anyir, juga harum mawar, merindukan suara-suara.


Kau tahu, kawan… Aku ingin bergegas melupakannya. Melupakan kerinduan anak-anak tikungan pada alunan hidup yang bergelimang mimpi, dari sanubari, dari dalam kalbu yang sejati. Dalam hidup yang besi.

Di sebuah pagi

Joe Sorjan

Tuesday, August 01, 2006

Satu Cerita Tentang Gadis Kecil

Siapa disana? Gadis kecil tersenyum dan membuka pintu perlahan. Berderit tertahan, tangan berpegangan. Memicingkan mata dan melangkah maju. Tidak, menggelengkan kepala. Mengapa semuanya begitu gelap? Dan usaplah mata, terus berusaha menatap. Membelalak ingin tahu. Oh, indahnya. Ada cahaya di ujung sana. Senyum pun merekah, berlarilah penuh harap. Tangan terentang ke depan, mencoba meraih dengan jari-jari kecil tanpa dosa. It’s so beautiful! I wanna go there, I wanna go there! Kudengar tawa yang polos dan suci. Run, run along little girl. Bisik suara di belakangnya. Dan ia terus berlari. Ke arah cahaya, membutakan dan menghangatkan. Setidaknya menjanjikan. Tersandung tapi terus berlari. Kaki-kaki kecil tidak merasa kelelahan. Air mata meleleh terbawa angin kehidupan. I’ll go there. I’ll go there. Anywhere but here...

~ The girl in the dirty shirt ~


Joe Sorjan

(untuk Gadis Kecil di Kolong Jembatan)

Satu Cerita Tentang Lelaki Tengah Malam

Aku adalah lelaki tengah malam. Orang-orang menjulukiku si Pangeran Brengsek. Aku dilahirkan di sebuah Desa terpencil di pedalaman pada tanggal 14-4-84. Aku anak ke 4 dari 5 bersaudara. Teman-teman biasa memanggilku Bento karena wajahku yang mirip Tommy Soeharto. Bento diambil dari kata Benih Soeharto yang disingkat menjadi Bento. Ayahku adalah seorang Serdadu yang pernah dikirim ke Timur Tengah (I), Ethiopia, Columbia, dan ke Timur Tengah (II) lagi sebagai pasukan perdamaian untuk mengendalikan Huru-Hara Hura-Hura konflik perang saudara. Ayahku bersama pasukan Indonesia lainnya tergabung dalam Kompi Rajawali. Setelah kurang lebih 6 bulan ayahku mewakili Indonesia, ayahku pulang menggunakan Tampomas, yang sempat menjatuhkan Pesawat Tempur pemberontak yang mencoba menghancurkan kapal yang ayah tumpangi.

Aku masih ingat pada waktu aku masih aNak-aNak, kira-kira aku berusia 6 tahun, ayah pernah bercerita pengalamannya selama menjadi pasukan perdamaian. Disana ia melihat bagaimana Orang-Orang Kalah begitu Gelisah oleh ulah Para Tentara pemberontak yang begitu beringas. Mereka seperti Robot Bernyawa berbuat semena-mena terhadap orang-orang kecil. Jelas sekali di sana perbedaan antara orang Besar dan Kecil. Orang-orang kecil hanya bisa melawan melalui coretan – Coretan Dinding, mencoba mengungkapkan perasaan mereka. Mereka mencoba segalanya untuk mendapatkan kedamaian mereka yang terampas, walau Mungkin itu hanyalah sebuah Mimpi Yang Terbeli, mereka tak pernah menyerah. Mereka mencoba Buktikan pada dunia bahwa mereka juga manusia Ayah bercerita bagaimana mayat – mayat berserakan bersama Puing(I) – Puing (II) bangunan yang hancur. Setiap hari terdengar suara letupan senapan yang bagi mereka bagaikan suara Sangkala malaikat maut. Setiap hari selalu dan selalu saja Ada Lagi Yang Mati. Suasana di sana begitu mencekam, mereka hidup di bungker-bungker pengungsian sehingga mereka tak lagi bias menikmati Matahari, Bulan dan Bintang. Mereka hanya bisa memanjatkan Do’a semoga suatu hari nanti mereka bisa hidup tenang penuh Cinta. Tak ada lagi perang, tak ada lagi kehancuran. Satu kalimat yang selalu terngiang di telinga ayah adalah kalimat yang diucapkan seorang anak kecil yang bersimpuh disisi mayat ayahnya “Semoga Kau Tak Tuli Tuhan”. Ucapnya sambil tangannya tengadah memohon pada Sang Khalik dan Airmata yang mengalir, yach…..Air Mata Api, airmata yang membakar hati, termasuk hati ayah.

Melihat semua itu ayah tidak tega dan akhirnya Ayah kemudian mengirimkan Surat Buat Wakil Rakyat yang pada saat itu dipimpin oleh Bung Hatta agar ia segera dipulangkan. Ayah tak tahan lagi melihat kerusakan di negeri tersebut. Sepulangnya dari misi perdamaian Ayah langsung meminta untuk pensiun dini. Setelah itu Ayah bekerja menjadi keamanan di sebuah perusahaan milik negara.

Ayah bekerja cukup lama di perusahaan milik negara tersebut. Dari zaman Orde Lama, Orde Baru, Dan Orde Paling Baru, yaitu orde dimana kekuasaan dinilai dari kekayaan, hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Di saat negeri ini dilanda moneter, ayah justru terkena PHK. Hal itu membuat ayah tak putus asa. Ayah kemudian mencoba berwiraswasta membuat barang-barang Imitasi untuk organ tubuh seperti kaki palsu, tangan palsu dan berkerja sama dengan beberapa rumah sakit. Dari rumah sakit milik pemerintah dengan Ambulance Zig-Zag hingga rumah sakit swasta dengan fasilitas yang serba modern. Akupun sering membantu ayahku membuat barang-barang tersebut.

Waktu terus berjalan, roda kehidupan terus berputar. Usaha ayah yang dulu bisa cukup dibilang sukses mengalami kemerosotan penghasilan dan akhirnya bangkrut. Ayahku yang sekarang ini sangat berbeda sekali dengan ayah yang dulu kukenal. Sekarang ini temperamen ayah mudah naik, sering berbuat kasar padaku ataupun pada ibu. Setiap malam kerjanya hanya minum dan minum. Aku tak tahan menerima itu semua. Gejolak mudaku berontak dan akhirnya aku kabur dari rumah. Aku pergi saat Adzan Subuh Masih Di Telinga dengan membawa Potret ayah dan Ibu sehingga apabila aku kangen, potret itu bisa mengobati Rindu Tebal ku.

Selama kabur dari rumah, hidupku tak tentu arah. Walau berat namun tetap Kupaksa Melangkah mengarungi hidup ini. Aku sempat kabur ke rumah Paman Doblank salah seorang saudara ayah yang sangat pandai dalam hal Politik Uang, karena pamanku ini termasuk Tikus-Tikus Kantor yang sering menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Yang penting Lancar Cukup hanya tertawa dengan Hua..Hua…Hua…dan bernyanyi Na….Na….Na, keinginan mereka pasti tercapai. Termasuk saat melobi untuk mendapatkan kontrak untuk Proyek 13. Mungkin memang Panji Demokrasi di negeri ini sudah tak bisa tegak berdiri lagi. Nampaknya jalan pintas dianggap pantas di negeri ini. Orang kaya di puja layaknya Manusia Setengah Dewa..Sedangkan orang-orang kecil hidup layaknya Nocturno, bagai binatang malam yang harus bergerilya dan sembunyi-sembunyi untuk bertahan hidup. Dirumah pamanku hanya di huni oleh dua orang saja, Paman dan pembantunya Tarmijah (Dan Problematikanya). Walau mungkin hidup seba kecukupan, namun aku tetap tak menemukan ketenangan disana. Aku merasa tidak kerasan.

Akupun pergi kerumah Nenekku Okem di daerah Ujung Aspal Pondok Gede. Disanapun aku tak betah. Foto nenek waktu masih muda saat mengenakan Kebaya Merah begitu anggun, walau nampak kusam dan membuatku selalu mengingatkanku pada ibu dan membuat Rinduku semakin menggebu. Ingin aku segera pulang kerumah, namun aku tlah berjanji untuk tidak pulang sebelum aku bisa menunjukkan pada ayahku bahwa aku bisa mandiri.

Karena bimbang akhirnya aku pergi ke rumah temanku di daerah Condet. yang seorang lopper koran. Aku ikut temanku menjajakan koran. Ada pengalaman menyenangkan saat aku menjajakan Koran-Koranku di satu Sore Tugu Pancoran. Ada seorang wanita yang memborong koranku. Tante Lisa, begitulah temanku biasa memanggil wanita itu. Wajahnya ayu, senyumnya manis, satu hal yang membuat ia berbeda adalah rasa kepedulian yang ia miliki pada anak-anak jalanan. Kepeduliannya padaku dan teman-teman menambah rasa Damai Kami Sepanjang Hari.

Awalnya dia membantu kehidupanku dengan menjadikan aku anak asuhnya, dan akan menyekolahkan aku. Sebagai syaratnya aku harus tinggal dirumahnya. Aku justru merasa senang sekali waktu itu. Pikirku, aku tak perlu lagi harus berjualan koran dibawah sengatan sinar matahari atau dinginnya guyuran air hujan. Awal aku tinggal dirumah Tante Lisa yang megah biasa saja. Tak ada kejadian aneh. Hanya satu hal yang menjadi pertanyaanku adalah, dirumah yang semengah itu ternyata tak ada pembantunya. Ya… aku hanya tinggal berdua bersama Tante Lisa. Aku sendiri sebenarnya bingung, tapi aku takut untuk menanyakannya.

Namun manusia adalah manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan sisi baik dan sisi buruknya. Begitu juga dengan Tante Lisa yang ternyata dibalik rasa kepeduliannya, Tante Lisa ingin menjadikan aku sebagai Obat Awet Muda (OAM) nya. orang-orang belajar 1910 buku bahkan lebih, ribuan Opini masyarakat, dan rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk kenikmatan yang hanya 2 Menit 10 Detik itu Ach…persetan dengan semua itu. Selama itu tak mengangguku, aku tak peduli. Yang aku mau saat ini adalah merubah hidupku untuk menjadi lebih baik. Tak peduli bagaimana caranya, walau mungkin aku harus menjadi peliharaan Tante Lisa, Lonteku. Aku memang masih Hijau untuk urusan seperti itu, namun dengan berjalannya waktu dan didikan Tante Lisa, aku kini sudah mengerti akan nikmatnya dunia Esek-Esek Uduk-Uduk itu. Aku tau ini dosa, dan aku akui ini adalah dosa yang paling nikmat. Aku tak tau Berapa lama aku harus menjalani ini. Asik Gak Asik aku harus menjalaninya. Walau mungkin aku hanya dijadikan Badut pemuas kebutuhan birahinya.

Aku disekolahkan oleh Tante Lisa di sebuah sekolah swasta. Disana aku dididik oleh Guru Oemar Bakrie yang memiliki sebuah sepeda onta yang mirip Belalang Tua dan mungkin seharusnya sekarang ini sudah menjadi Barang Antik. Ada lagi Guru Zirah yang cantik yang memiliki bodi yahud seperti salak raksasa dan tak mau dipanggil ibu, cukup dengan sebutan Nona saja katanya. Aku sempat jatuh hati padanya, dan aku minta tolong pada Teman Kawanku Punya Teman untuk membantu mempertemukan aku dengannya. Lucunya aku memberikan Kembang Pete untuk menyatakan cintaku padanya. Yach…namanya juga cinta monyet, setelah lulus kamipun berpisah karena ia harus melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Seiring Perjalanan Waktu, aku mulai jengah dengan kehidupan ini. Kehidupanku dengan tante lisa membuat aku Frustasi. Coba bayangkan, aku harus melayani tante lisa setiap saat tak peduli tempat. Bukan itu saja, aku kadang dijadikan arisan oleh tante lisa dan kawan-kawannya. Mulanya aku menikmati, namun lama-lama aku jengah dan akhirnya aku pergi dari kehidupan tante lisa.

Lepas dari tante lisa, aku kembali ke kehidupan jalanan. Dan kehidupan jalanan membawaku pada dunia baru. Dunia Orang Pinggiran, dunia yang penuh dengan Orang Gila, namun dijalanan aku menemukan sesuatu yang lain. Disini solidaritas begitu tinggi. Hal itu aku alami ketika aku berkenalan dengan seorang Berandal Malam Di Bangku Terminal. Namanya Willy. Sebenarnya willy memiliki latar belakang yang cukup baik. Dia adalah seorang Sarjana Muda. Namun kehidupan keluarganya yang broken home membuatnya menjadi seperti itu. Hidup dari satu Terminal ke terminal lain, menjadi pengamen. Walau suaranya Sumbang, ia tetap mencoba menyanyikan Lagu Pemanjat yang menjadi Doa Pengobral Dosa sebagai persembahan Untukmu Negeri.

Gelandangan, pengemis, Perempuan Malam, adalah sebuah realita penghuni yang ada di kota Jakarta ini. Mereka Ada Di Jalan, di trotoar, di bangunan-bangunan tua yang telah di Bongkar. Mereka tumbuh menjadi Bunga Trotoar yang tumbuh liar dimana-mana. Seperti Kupu-kupu Hitam Putih yang terbang bebas. Kemesraan diantara mereka begitu indah dan menarik untuk ditelusuri layaknya kisah asmara Bunga-Bunga Kumbang-Kumbang. Dari mereka aku memahami bahwa Asmara Tak Secengeng Yang Kukira, kisah mereka mereka seperti kisah Asmara dan Pancaroba. Dari mereka aku dapatkan pelajaran tentang hidup yang merupakan Jalan Panjang dan Berliku. Nada-nada Lagu Cinta mengalun dengan merdu diantara Senandung Istri Bromocorah yang mendendangkan Nyanyian Jiwa bersyairkan Puisi Hitam sebagai Senandung Lirih dari Suara Hati yang tercabik. Mereka hidup dalam sebuah komunitas Lingkaran Aku Cinta Padamu, yach…sebuah komunitas Alam Malam.

Bagi mereka, orang-orang yang duduk di bangku perwakilan adalah Badut yang dari negeri Astina yang penuh dengan Intermezo. Mereka tak peduli dengan slogan-slogan yang diberikan. Lebih baik Jangan Bicara. Mereka tak ingin janji, yang mereka inginkan adalah bukti dari apa dulu selalu mereka ucapkan. Mereka ingin agar Panji Demokrasi ditegakkan. Balada Pengangguran menjadi hiburan di hari Libur Kecil Kaum Kusam. Dimana mereka menjadi golongan Yang Terlupakan. Golongan Yang Tersendiri.

Panggilan Dari Gunung mengisyarakatkanku untuk sejenak menenangkan diri. Aku pergi dengan satu Kesaksian bahwa hidup penuh dengan resiko dan hidup mengajariku untuk meng Hadapi Saja segala aral yang merintangi. Aku pergi ke rumah kawanku Sugali yang kukenal saat sama-sama berjuang sebagai Kuli Jalan. Disana ternyata sugali menjadi pemain Kuda Lumping. Disini aku melihat bahwa kekayaan menjadi tolok ukur kekuasaan. Orang kaya di kampung dipuja dan diagungkan laksana

Disini akupun memiliki kehidupan asmara dengan Tince Sukarti Binti Machmud. Gadis cantik yang memiliki Mata Indah Bola Ping Pong seperti Mata Dewa. Ayahnya, Pak Machmud dikenal sebagai Si Tua Sais Pedati. Tapi lagi-lagi cintaku kandas di tengah jalan. Tince dipaksa menikah dengan Rentenir. Sebuah surat yang ditulisnya diberikan padaku sebagai ucapan perpisahan.

“Hallo Mas Bento, sebelumnya Tince minta maaf apabila nantinya dalam surat ini terdapat kata-kata yang tidak menyenangkan.

Tince tak tau harus bagaimana memulainya Mas, terus terang Tince sayang banget sama Mas Bento, tapi Tarmijah tak bisa melawan kehendak orang tua. Tince tak mau disebut sebagai anak yang durhaka. Tince tak bisa berbuat apa-apa. Mas tentu sudah tau kalau Tince dipaksa menikah dengan silintah darat Pak Karto karena hutang ayah yang sudah menumpuk. Aku sudah jelaskan pada kedua orang tuaku bahwa Aku Bukan Pilihan, tapi hanya aku satu-satunya orang yang bisa menolong Mas. Dan sebagai seorang anak, aku harus berbakti.

Maaf Cintaku, bila kini aku harus meninggalkanmu itu semua adalah kehendak orang tuaku. Aku hanya bisa berdoa semoga kau temukan orang yang lebih baik dariku. Apa yang pernah kita lewati bersama akan terukir dalam hatiku. Dan satu pintaku padamu, Ijinkan Aku Menyayangimu, walau mungkin hanya dalam mimpi.

Yakinlah bahwa suatu saat nanti kau akan temukan cinta sejatimu. Anggaplah ini sebagai Sesuatu Yang Tertunda dan Percayalah Kasih suatu saat nanti kau akan mendapatkan apa yang selama ini kau impikan. Jangan Tutup Dirimu untuk cinta yang lain. Apa yang terjadi Suatu Siang Di Pelataran SD akan selalu ku ingat sebagai kenangan terindah. Bagaimana bibir kita berpagutan, bagaimana tanganmu membelai hangat tubuhku, bagaimana peluh kita menyatu, semua itu tak akan pernah kulupakan. Mungkin semua Sudah Berlalu, namun semua itu tak akan terlupa. Aku akan ingat hari-hari yang telah kita lalui bersama, terutama 3 hari spesial yang kita lalui.

15 Juli 1996, hari itu kau sangat mengharapkan kedatanganku untuk berbagi cerita, berbagi rasa. Malam itu, sehabis hujan kita saling bicara dan berbagi rasa ditemani bulan dan bintang. Kau ceritakan kisah Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu. Di tepi pantai kau dendangkan lagu untuk alam. Tentang karang yang tak lagi kokoh, tentang jala nelayan tua yang tak kuat lagi, tentang camar yang tak riuh lagi, tentang daun kelapa yang tak lagi nyiur, dan Tak Biru Lautku. Kudengarkan Nyanyianmu itu dan kurasakan kekecewaanmu pada tangan-tangan jahil manusia tak berakal yang membuat Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi. Ditepian hati kau dendangkan tembang jeritan bathinmu. Kau kisahkan tentang apa yang kau rasakan. Kau hanya mencoba mencari pembuktian bahwa Di Balik Bening Mata Air Tak Ada Air Mata.

Lalu tanggal 16 Juli 1996, hari itu aku semakin memahami siapa dirimu. Terasa damai saat aku disisimu. Hatiku tergetar melihat senyummu yang lembut, rambut gondrongmu kau biarkan tergerai. Tatap matamu begitu bening. Berdua kita susuri tepian pantai berpayungkan mega kelabu. Kembali Kau dendangkan lagu pengungkap rindu. Airmatamu tergerai. Suaramu begitu parau ditelingaku. Namun aku singkirkan pikiran buruk itu. Aku tak tau bagaimana, namun yang pasti aku begitu tenang disisimu. Kau buat aku merdeka dengan buaianmu., dan dengan lembut kau kecup keningku. Dan aku akan menemanimu tanpa bosan tuk bertahan dalam kerasnya gelombang.

Dan tanggal 17 Juli 1996. Waktu itu hari sudah sore. Kita harus berpisah. Namun sebelum berpisah, sekali lagi kita membuktikan cinta kita. Deru ombak yang menghantam karang, kicau burung camar yang terbang rendah melayang, daun-daun kelapa yang nyiur melambai, menjadi saksi bersatunya peluh kita. Desah nafas yang memburu, dan jeritan-jeritan kecilku menahan nikmat yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Sungguh nikmat yang sangat luar biasa. Bibirmu lembut memagut bibirku. Lidahmu begitu lincah menari di langit-langit mulutku, membuat lidahku tak tahan untuk segera menemani lidahmu berdansa diantara bibir kita. Tanganmu yang kekar terasa begitu lembut dan dengan gemulai mengelus, mengusap dan membelai setiap mili tubuhku.Tak ada yang terlewatkan sedikitpun. Kau membuat merasa di Awang-Awang.

Sepertinya aku terlalu banyak bercerita Mas, mungkin cukup sampai disini aku ungkapkan apa yang aku rasakan. Dan Sebelum Kau Bosan membaca tulisanku ini, mungkin aku sudahi saja sampai disini. Selamat Tidur Sayang, selamat berpisah. Bila kau pernah mengucapkan bahwa cinta sejati tak terlupakan aku berharap Semoga Kau Benar.

Oh Ya, satu hal lagi Mas, novel “Diantara 2 Hati” yang mas miliki saat ini ada padaku. Buku Ini Aku Pinjam dulu, kalo boleh sich buat aku. Anggaplah ini sebagai kenang-kenangan yach.”

Hatiku Ancur membaca surat Tince, namun aku sendiri tak bisa memaksakan kehendakku. Aku tak tau harus berbuat apa. Hatiku hancur dan surat itu aku jadikan pelampiasan emosiku yang sudah tak terbendung lagi. Aku robek-robek surat itu dan kemudian aku Bakar.

Menunggug Ditimbang Malah Muntah. Kedamaian yang kuharapkan, namun justru luka yang teramat dalam yang kudapatkan. Di Jakarta aku kembali hidup di jalan dan kutemukan komunitas baru bersama Galang Rambu Anarki dan Cikal yang bernasib sama denganku. Kunamakan komunitas itu dengan nama Gabungan Anak Liar Gara-Gara Orang Tua Liar atau disingkat Gali Gongli bersama dengan Sugali.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Satu-Satu sahabatku pergi dan tak kembali. Dan waktupun memaksaku tuk berpisah dengan kedua sahabatku, Galang dan Cikal. Aku Antarkan mereka ke stasiun Gambir untuk kembali pulang ke rumah mereka. Aku tak tau Kereta Tiba Pukul Berapa? Tapi yang jelas aku sangat mengharapkan kereta datang lebih awal agar mereka tertinggal. Karena aku belum siap untuk berpisah dengan mereka. Begitu banyak hal telah kami lalui bersama mengarungi samudra kehidupan ini. Entah kapan kami akan bertemu lagi, namun satu hal yang pasti Engkau Sahabatku Tetap Sahabatku.

Tak terasa sewindu sudah lamanya aku meninggalkan rumah. Aku tak tau bagaimana keadaan ayah, ibu, dan sepeda motor tuaku yang kutinggalkan saat aku kabur. Aku rindu mereka, aku rindu pada masa-masa membantu ayah berwiraswasta, aku rindu pada masakan lezat ibu dan belaian kasih sayangnya. Dan tentu saja teman kecilku si Joni Kesiangan. Juga Kisah Sepeda Motorku yang menemaniku menjadi Sang Petualang jalanan sewaktu masih membantu usaha ayah dulu yang membuatku ingin segera pulang.

Yach…tak sabar lagi aku untuk bersimpuh di kaki ayah dan ibu. Akan kujadikan pengalaman berharga ini sebagai guru terbaikku. Kutuangkan semua pengalaman yang aku dapat dalam sebuah buku harian dan akan kujadikan dongeng sebelum tidur untuk cucuku nanti. Itupun bila diberikan kesempatan untuk dapat merasakan usia senja. Karena hingga kini Ku Menanti Seorang Kekasih yang bisa menggantikan posisi Tince dihatiku. Satu hal yang aku dapat dari perjalananku selama ini. Bahwa sesungguhnya kehidupan manusia itu tak akan akan berubah bila manusia itu tak bertindak. Untuk itu Jangan Bicara saja, tapi berbuatlah, bertindaklah, bergeraklah.

Semua ini bagai sebuah Intermezo. Cerita kehidupanku yang Belum Ada Judul ini belum berakhir, hingga saat tulisan ini dibuat. Namun satu hal yang ada dihatiku saat ini aku hanya ingin bersimpuh di kaki ayahku dan ingin kurasakan lembut jari ibu membuaiku manja. Ayah….Ibu… maafkan anakmu ini bila selama ini belum bisa membahagiakanmu, dan aku menyadari sampai kapanpun aku tak akan bisa membalas jasa kalian. Dan sebagai rasa syukurku atas berkumpulnya kembali aku dan keluarga, aku mengadakan Sunatan Massal bagi anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Wassalam

Joe Sorjan

Mungkin belum semua judul lagu Bang Iwan masuk dalam cerita ini, habis gw bingung banget nyusun ceritanya. Yach saya mohon dimaklumi aja dah kalo ada nyang kurang. Kalo bisa sih kasih tau apa aja judul lagu nyang kagak ketulis di cerita ini.

.

Satu Cerita Tentang Kebohongan Ibu.....


Satu Cerita Tentang Kebohongan Ibu.....

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita akan arti
pengorbanan, ketulusan, keihklasan yang membuat kita terbebas dari penderitaan, bagai embun yang membasahi dedaunan dan merekahkan sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :"Makanlah nak, aku tidak lapar" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekiat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu
menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : "Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan" ------ KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Aku berkata :"Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja." Ibu tersenyum dan berkata :"Cepatlah tidur nak, aku tidak
capek" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah
selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :"Minumlah nak, aku tidak haus!" ---------- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT
Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat
kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk
menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : "Saya tidak butuh cinta"----------KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : "Saya punya duit" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku "Aku tidak terbiasa" ---KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : "Jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan" ----------KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

Sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.

Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi.. Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata "MENYESAL" di kemudian hari.

with love

Joe "Sayuti OB" Sorjan