Wednesday, September 27, 2006

Satu Cerita Tentang Bangkai.............

Bangkai
Cerpen Imron Supriyadi

Aku masih tertunduk di depan cermin, menekuri tentang diri yang telah beralih rupa. Wajahku bukan lagi simbol dari sebuah kewibawaan, seperti ketika aku masih bertengger sebagai Presiden di pabrik terbesar, yang kekuasaanku sampai keluar lintas batas darat Sabang sampai Marauke. Senyum khas yang kumiliki, kini bukan lagi sebagai keramahan, yang setiap orang berjumpa, di situlah mereka harus sedikit menundukkan badan sebagai penghormatan terhadapku. Tuan Caskim, penguasa terbesar di sebuah negeri, yang kini justru membenamkan aku (Tuan Caskim) kedalam air comberan.

Petuahku yang dalam kurun waktu puluhan tahun sebagai ucapan “dewa kebenaran” tak lagi mampu menjadi pengharum setiap perkampungan dunia, atau bahkan menjadi barang busuk, yang setiap orang akan segera menutupi telinga dan hidung agar tak mendengar dan mencium hawa mulut atau cipratan ludah yang keluar dari lipatan bibirku. Seluruh penghuni perdusunan sepertinya memang benar-benar muntah, sebelumnya perutnya mual dalam beberapa menit ketika wajahku dipampang oleh wartawan di surat kabar.

Kemarin sore, kucoba untuk berhias diri, dengan membeli kosmetik miliaran rupiah dengan hasil tunjanganku. Dari parfum kelas ratusan ribu sampai seunting daun kemangi yang harganya turut melonjak, turut menjadi ramuan, agar aku kembali menjadi tuan pewangi bagi setiap penghuni, yang dulu sempat mengelu-elukan jasa dan pengabdianku.

Dalam batin yang paling dalam, sembari melumuri, dan memandikan diri dengan perasaan air daun kemangi, aku hanya berucap diri, Tuhan, kalau aku tahu kekuasaanku akan membawa petaka dalam perjalanan hidupku, aku akan memilih kemiskinan sebagai tiang dalam rumahku. Kalau saja aku mengetahui semua ini akan menimpaku, aku akan menjadi tanah atau gunung, yang hanya akan patuh dan tunduk dengan semua perintah dan kekuasaan-Mu.

Aku bersimpuh, menatap kembali cermin kecil yang berada dibalik nuraniku. Sesaat aku tersadar bahwa ruang kecil, tempat berkumpulnya nurani itu telah lama tidak kusinggahi, yang seharusnya selama ini menjadi tempat akhir sebelum aku melakukan sesuatu keputusan. Semestinya memang tempat itu yang menjadi sumber atau mata air dari semua kebijaksanaanku. Tapi begitu lama aku meninggalkan ruang kecil itu. Oh, hati nurani, kini memang aku harus kembali menyusuri dari awal untuk memasuki wilayah itu, meskipun aku, sekujur tubuhku, keringatku, darahku telah berlumur air air got yang berbau.

Sekali lagi aku bersimpuh. Aku tak mampu lagi menterjemahkan air mata yang tiba-tiba masih mau keluar dari muara kecil di mukaku yang maikin keriput. Sulit kupilah mana air mata penyesalan, mana air mata kepedihan dan air mata taubat. Semuanya berkumpul menjadi satu genangan, yang setiap penghuni negeri ini tak mau lagi kena cipratannya, meskipun para pengikutku masih ada sebagian yang menunggu kehadiranku kembali, meski aku harus menjelma dan menyulusup dalam tubuh lain.

Beberapa bulan kucoba untuk tetap bertahan diatas penghinaan dan cercaan massa yang tak kunjung pudar. Kukumpulkan kembali gumpalan daging yang sempat tercecer dipermukaan air comberan. Dengan susah payah kerenggut seluruh kekuatanku yang masih tersisa. Kusewa darah para preman untuk membantu dalam menebar keharuman, sehingga kebusukan itu akan segera beralih pada muara yang lain.

Brooooot!!..... Kuberaki Banyuwangi dengan darah dukun santet. Mayat terkapar. Ratusan dukun santet menebar kebusukan baru. Anyir darah diatas aspal Banyuwangi tercium ke setiap sudut pedusunan. Aku terkekeh kegirangan, tanpa sadar bahwa sebenarnya aku telah kembali meninggalkan kemuliaan muara nurani. Sebuah pertikaian baru segera bermula. Para penghuni negeri memendam beragam kebencian, meskipun mereka juga bingung tentang siapa yang mesti dibenci dan apa alasan untuk membenci. Permainan kembali mencuat, terangkat surat kabar dan kamera elektronik,dan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok negeri.

Aku makin tertawa lebar saat pengikutku berhasil mengumpulkan puluhan orang gila yang sudah berlumur darah kambing hitam. Sedikit banyak, bau busukku lambat laun mulai reda, berpindah pada bau anyir darah dari Banyuwangi. Perselisihan antar bagian mulai terlihat. Sebuah pemandangan apik jika ini terus berkelanjutan, harapku di lubuk hati kelam. Pergolakan darah dukun santet makin merambah ke beberapa kota. Sehingga aku punya waktu istirahat untuk memoles diri dengan cairan perasaan air kemangi, atau istirahat mandi pagi dengan parfum yang kubeli dengan harga miliaran itu.

Sembari menyaksikan peperangan antar bagian, di setiap channel teve, kuundang seorang mantan kepala sekolah untuk segera menyusun administrasi baru sebagai kelanjutan dari permainan Banyuwangi.

Sore kian beranjak malam. Orang-orang sekitar terus sibuk dengan persoalannya masing-masing, sambil membersihkan puing-puing kerusuhan yang beberapa waktu lalu terjadi. Perlahan, bau busuk nafasku sedikit reda. Kali itu, rasanya ingin kuucapkan pada sekumpulan orang gila yang telah menutupi bau busukku dengan darah kambing hitam. Mereka cukup berjasa dalam permainan ini. Tapi sayang, aku tak lagi berwenang memberi penghargaan putra terbaik bangsa dengan piagam bintang mahaputera. Biarlah. Toh mereka juga orang gila. Bagaimana pun piagam penghargaan juga tak akan menyembuhkan kegilaan mereka. Justru akan berbahaya jika mereka sadar bahwa mereka aku pecundangi. Jika ini terjadi, sangat mungkin bau keringatku akan semakin busuk dari bulan sebelumnya.

Luka menganga telah merobek sudut negeri. Bau anyir darah, sepertinya tak mungkin aku akhiri sampai disini. Semuanya harus berlanjut sampai bau air comberan di tubuhku bisa kembali bau harum, meskipun hanya sebatas harumnya ketek WTS kelas teri.

Dari atap rumahku, kupantau kejadian-kejadian di setiap ujung gang, perkampungan, sampai di depan rumahku, yang ternyata masih terkepung oleh penjaga setia, meskipun aku tak tahu persisnya apakah mereka juga merasakan bau busuk keringatku atau tidak.

“Tuan Caskim!” mantan kepala sekolah itu tiba-tiba muncul tepat berada di bawah saat aku bertengger di atas rumah. ”Tuan jangan dulu memunculkan diri. Kondisi seperti sekarang belum cukup aman untuk memunculkan strategi baru. Turunlah! Istirahatlah kembali!”

”Istirahat itu urusan gampang! Apa yang kau katakan tentang genangan darah di Banyuwangi beberapa waktu yang lalu?”

”Beres, Tuan! Semua sudah saya sampaikan kepada para wartawan bahwa kejadian itu hanya kriminal biasa. Tenang saja, Tuan! Semuanya sudah berjalan sesuai dengan skenario!”

”Lantas apa rencanamu sekarang?” Aku menagih janji pada mantan kepala sekolah itu, setelah aku turun dari atap rumah.

”Saya memiliki beberapa pasukan ninja. Dan mereka bisa kita berdayakan untuk permainan baru.”

Aku tenang sesaat.

“Bagus! Ternyata idemu tetap cermelang meskipun kau hanya mantan kepala sekolah,” kataku memuji ide jitu yang dilontarkan orang terdekatku.

Pasukan ninja pun bergentayangan, membuat permainan baru di tengah kecemasan para penghuni negeri terhadap kondisi yang belum tenang. Kabar teror, telepon gelap terhadap para kiai memulai operasi ninja. Sehingga hampir seluruh perkampungan dilanda ketidak-tenangan yang berkepanjangan. Satu-persatu gerakan ninja menumpahkan anyir darah. Lagi,….mayat terkapar tanpa identitas.

Cras! Cras! Pedang menyambar, darah tercurah, keringat telah menjadi darah. Aku makin tak tersadarkan diri, permainan yang akan terus berkelanjutan, agar darah di berbagai daerah akan menyita surak kabar sehingga mereka akan tersumbat, tidak lagi mencium bau busuk darah dan keringatku.

Satu menit baru saja aku menarik nafas lega. Sebuah guncangan kembali menggegerkan pagar disekitar rumahku. Aku terkesiap dan bangkit menyingkap korden jendela. Tak kuduga jika sekelompok orang masih tetap mencium bau busuk darah dan keringatku. Aku jadi nanar. Keringat dingin mengucur, membasahi setiap lekuk tubuhku. Sesekali kuusap, lalu kusemprot dengan parfum sekujur tubuh. Tapi bau busuk sepertinya tetap saja menyengat keluar rumah. Tak ada jalan lain, mereka pasti kembali membenamkan aku ke air comberan.

Ah, ternyata, daging dan sekujur tubuhku memang benar-benar telah membusuk! Ucapku, sembari berlari menuju kamar kecil. “Mungkin di sini akan lebih aman. Mudah-mudahan mereka aka kesulitan membedakan bau busuk keringatku dengan bau busuk tinja,” kataku sambil melumuri badan dengan tinja-tinja yang tersisa.

No comments: