Friday, September 29, 2006

Satu cerita tentang Pemuda bernama Joe

Pertama-tama, ini adalah serial tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita tentang Joe, seorang pria yang menjalani masa remaja, menembus gerbang keperjakaannya, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada babak awal cerita, Pembaca dapat menyimak kisah-kisah pubertasnya. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk. Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik.
Joe tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan dengan seksama. Kita letakkan di lipatan-lipatan yang tak mudah ditemukan, agar tak menjadi keseronokan yang tidak sopan. Halaman-halaman berikut ini bermaksud mengungkap kelumrahan itu tanpa tergelincir menjadi keseronokan. Entah apakah maksud itu tercapai, Pembaca jua lah yang menjadi jurinya. Nama dan tempat dalam cerita ini -tentu saja- adalah hayal belaka. Tetapi jika ada kesamaan dengan apa yang Anda temui dalam hidup nyata, penulis hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah sebuah kebetulan. Sambil mengucap terimakasih, karena kisah ini bisa mengungkap kenyataan.


Mba Dwi - Awal Perjumpaan

Nama panjangnya adalah Dwi Sekar Utami. Mba Dwi, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru tari di Sanggar Tari Pelangi. Joe tak pernah tahu usia wanita itu yang sesungguhnya, namun yang jelas bagi Joe ia tak terlalu tua, pun jelas bukan pula seorang gadis remaja. Wajahnya (jika memakai ukuran normal) tidaklah terlalu cantik. Tidak pula terlalu jelek. Biasa-biasa saja. Tetapi Mba Dwi memiliki mata yang sangat indah, bening dihiasi bulu mata lentik. Juga memiliki bibir yang (menurut Joe) sangat menarik, karena selalu terlihat basah, ditambah lagi lesung pipit di pipinya yang menambah pesona kecantikan setiap senyumnya terurai. Waktu itu Joe duduk di bangku SMA. Untuk usianya, waktu itu Joe tergolong "terlambat" dalam soal pacaran. Ia tidak punya teman wanita istimewa, karena baginya semua teman wanitanya sama saja. Konon ada yang naksir, namanya Yuli, gadis yang juga satu sekolah namun berbeda kelas dengan Joe. Tetapi Joe tidak tertarik, walau kata teman-temannya gadis itu tergolong ratu. Bagi Joe, ia memang ratu, tetapi entah kenapa ia tidak begitu tertarik dengannya. Buat Joe, berenang di sungai lebih menarik , ketimbang jalan-jalan dengan Yuli. Tetapi tidak untuk Mba Dwi, Mba Dwi berhasil menarik hatinya sejak awal mereka berjumpa. Waktu itu, Joe mengantar adik perempuannya, Wulan, ke sanggar untuk latihan menari. Joe sangat sayang kepada adik satu-satunya yang baru berusia 7 tahun itu (jarak dua kakak-beradik ini memang terlalu jauh). Dengan sepeda, diboncengnya Wulan ke sanggar, dan diantarnya sampai ke ruang latihan di tengah kompleks sanggar. Saat itulah ia melihat Mba Dwi, sedang mengikatkan setagen ke sekeliling pinggangnya.
"Selamat sore Wulan...," ucap Mba Dwi menyapa Wulan, lalu sekejap melirik Joe.
Suara wanita itu lembut tetapi bernada wibawa, pikir Joe sambil melepas gandengan tangan adiknya.
"Mba Dwi, ini kakak saya...," Wulan menunjuk ke Joe yang masih berdiri di pintu ruang latihan. Mba Dwi mengangkat muka, dan tersenyum kepada Joe. Agak canggung, Joe membalas tersenyum dan berucap serak, "Selamat sore, Mbak...". Mba Dwi hanya mengangguk tanpa berhenti tersenyum, lalu menerima salam Wulan, dan berbalik menuju tempat segerombolan anak-anak yang sedang bersiap belajar menari. Joe masih berdiri, memandang tubuh Mba Dwi dari belakang, dan entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup lebih keras. Tubuh Mba Dwi menyita perhatiannya, terbungkus kain dan baju ketat, menampakkan lika-liku yang menawan. Astaga, pikir Joe, wanita ternyata bisa menarik juga! Untuk beberapa saat, Joe masih berdiri di depan pintu, menelan ludah berkali-kali dan merasa wajahnya merah karena malu. Kepada siapa? Entahlah.
Tetapi perjumpaan pertama dengan Mba Dwi berbekas keras di kalbunya. Sambil mengayuh sepedanya pulang, Joe tiba-tiba memiliki pikiran-pikiran seronok. Gila kamu! tukasnya dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Mana mungkin kamu bisa meremas-remas tubuh itu! ucap suara lain di kepalanya. Meremas....? Dari mana datangnya ide gila itu? pikir Joe gelisah. Berkali-kali Joe merasa sadel sepedanya terasa lebih kecil dari biasanya, dan selakangannya sering terasa geli. Sial! sergahnya dalam hati.
Ketika ayah memintanya menjemput Wulan, dengan bersemangat Joe mengatakan ya. Lalu, ia pun tiba di sanggar 15 menit sebelum waktu latihan selesai. Ia duduk di bawah pohon kamboja, tidak jauh dari ruang latihan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Mba Dwi melenggak-lenggok mengajarkan gerakan yang diikuti oleh belasan anak-anak kecil. Pandangan Joe tak lekang dari gerakan-gerakan Mba Dwi, dan entah kenapa ia kini mengerti apa artinya sebuah tari yang indah! Selama ini, bagi Joe menari adalah kegiatan perempuan yang tak menarik. Menjemukan, bahkan. Tetapi ketika melihat Mba Dwi mengangkat tangan, melenggok ke kiri, menggerakkan pinggulnya ...., Joe menelan ludah lagi. Bajingan kamu! ucap sebuah suara di dalam kepalanya. Joe membuang muka, mengalihkan pandangannya ke hamparan rumput. Tetapi, seperti ditarik magnit, muka Joe sesekali kembali lagi memandang ke ruang latihan. Dari ruang tari, Dwi juga bisa melihat keluar, walau perbedaan terang menyebabkan matanya agak silau jika harus memandang ke arah tempat Joe duduk.
Sambil terus menggerakkan tubuhnya, Dwi melirik dan mengerenyit heran melihat remaja itu betah duduk sendirian. Biasanya, para penjemput murid-muridnya datang terlambat, dan tidak pernah berlama-lama di sanggar tari. Apalagi yang laki-laki, entah itu kakak atau ayah ataupun paman. Pada umumnya, di kota kecil ini, menari bukanlah sesuatu yang menarik untuk pria. Makanya, tingkah Joe bagi Dwi agak tidak biasa.
Ketika akhirnya latihan selesai, Joe bangkit dan mendekat ke arah ruang latihan, tetapi tetap dalam keteduhan pohon kamboja. Entah kenapa, ia tak berani lebih dekat. Sebetulnya ia ingin mendekat, tetapi dadanya berdegup kencang setiap kali ia melangkah. Semakin dekat ke ruang latihan, semakin kencang degupnya. Sebab itu, ia berhenti setelah dua langkah saja. Ia akan menunggu saja sampai Wulan keluar dan menghampirinya.
Dwi, dengan sedikit peluh di lehernya, mengucap salam perpisahan kepada murid-muridnya. Lalu, sambil melepas stagen, ia berjalan ke pintu. Dilihatnya Wulan berlari ke arah penjemputnya, remaja yang betah berlama-lama di bawah pohon kamboja menonton latihannya itu. Sambil melepas ikat rambutnya, sehingga rambutnya yang sebahu kini tergerai, Dwi berdiri di pintu dan berucap lembut, tetapi juga cukup keras untuk didengar Joe. "Kenapa tadi tidak tunggu di dalam saja, Dik...," ujarnya. Joe cuma bisa menyeringai seperti kera sedang makan kacang. Dwi tersenyum melihat seringai remaja yang tampak kikuk itu. Joe menelan ludah melihat senyum itu. Entah kenapa, senyum itu tampak menarik sekali. Rasanya, Joe seperti disiram air sejuk. Gila kamu! ucap suara di dalam kepalanya lagi.
Dan Joe pun cepat-cepat membungkuk berpamitan, lalu menggandeng tangan Wulan menuju sepeda. Dwi kembali tersenyum memandang kedua kakak-beradik yang akur itu meninggalkan sanggarnya.
*****
Sejak pertemuan itu, Joe sering melamunkan Mba Dwi. Lebih gila lagi, saat mandi dan menyabuni tubuhnya, Joe merasakan darahnya berdesir membayangkan Mba Dwi. Percuma ia mengguyurkan bergayung-gayung air dingin ke tubuhnya, tetap saja kelaki-lakiannya perlahan menegang. Aduh celaka! jeritnya dalam hati, ketika melihat ke bawah. Cepat-cepat ia menyabuni dirinya, lalu membilasnya, membungkus tubuhnya dengan handuk dan lari ke luar kamar mandi menuju kamarnya. Mudah-mudahan tidak ada yang melihat tonjolan di bawah pinggangnya yang terbungkus handuk itu!
Malam hari, ketika ia gelisah bergulang-guling di ranjangnya, Joe kembali membayangkan Mba Dwi. Lagi-lagi terbayang pinggulnya yang padat berisi, pinggangnya yang ramping, dan dadanya yang membusung walau tidak terlalu besar. Joe juga terkenang lehernya yang agak basah oleh keringat. Juga bibirnya. Ya, bibirnya itu yang paling menawan. Selalu basah, dan tampaknya lembut sekali. Apalagi kalau ia tersenyum, menampakkan sedikit gigi-giginya yang putih. Bagaimana rasanya menggigit bibir itu?
Joe makin gelisah, sebab kini kelaki-lakiannya menengang lagi seperti ketika ia sedang mandi. Malam sudah agak larut, dan rumah sudah sepi. Tak ada suara-suara, selain jangkerik. Joe menelungkupkan tubuhnya. Celaka, justru gerakan itu menyebabkan kelaki-lakiannya terjepit di antara tubuhnya dan kasur yang empuk. Tanpa sadar, Joe menggerak-gerakkan badannya, menggesekkan kelaki-lakiannya ke kasur. Matanya terpejam, dan terbayang ia berada di atas tubuh Mba Dwi. Terbayang ia mengulum bibir Mba Dwi yang basah. Terbayang dadanya yang ceking menempel di dada Mba Dwi yang kenyal. Gila! Joe terlonjak ketika merasakan cairan hangat mengalir cepat membasahi celana dalamnya. Untung ia sigap, sehingga seprai tidak ikut basah. Hanya saja, di pagi hari ia harus mencari alasan untuk bisa mencuci sendiri celana dalamnya, tanpa harus mencuci pakaian anggota keluarga yang lain!
*****
Beberapa hari setelah perjumpaan pertamanya dengan Joe, kembali Dwi terheran melihat remaja itu sudah ada setengah jam sebelum latihan usai. Setengah jam! Betapa lamanya ia akan menanti di situ sendirian, ucap Dwi dalam hati sambil terus menggerakkan badannya di depan para penari cilik. Berkali-kali Dwi melirik ke arah pohon kamboja, dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa gerangan remaja itu begitu betah menunggu adiknya. Terlebih-lebih lagi, remaja itu selalu memandang ke dalam dengan seksama. Sialan, mungkin ia tertarik melihat tubuhku, umpat Dwi dalam hati. Tetapi, mungkin juga ia tertarik pada tarianku. Siapa tahu? Atau mungkin tertarik pada dua-duanya, ucap Dwi dalam hati. Ia tersenyum sendiri ketika mengambil kesimpulan terakhir ini.
"Satu ... dua...tiga .... empat, putar......," Dwi memutar tubuh memberi contoh, diikuti oleh bidadari-bidadari kecil yang tertatih-tatih mencoba meniru sesempurna mungkin. "Satu .. dua ... tiga ... empat, putar....," suaranya lembut, tetapi tegas dan cukup nyaring.
Joe menyenderkan tubuhnya di batang pohon kamboja. Sayup-sayup suara Mba Dwi sampai di telinganya. Terdengar merdu. Gila! semua yang berhubungan dengan wanita itu selalu bagus. Apa-apaan ini? sebuah suara menghardik di kepala Joe, membuatnya tertunduk sendiri. Dicabutnya sebatang rumput, dimain-mainkannya di antara jari-jarinya. Joe merenung, bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi dalam dirinya. Mengapa Mba Dwi jadi begitu menarik, padahal ia jauh lebih tua dariku? Mengapa Yuli yang seusia dengannya itu tidak semenarik Mba Dwi, padahal Yuli juga cantik. Joe menarik nafas dalam-dalam, lalu kepalanya terangkat lagi, memandang lagi ke dalam ruang latihan.
Cuma kali ini ia tidak melihat Mba Dwi di sana. Dipanjang-panjangkannya lehernya, mencari-cari, kemana gerangan wanita itu. Joe bahkan memiringkan tubuhnya, sampai hampir rebah ke kiri, untuk melihat sudut terjauh yang masih terjangkau pandangan. Mba Dwi tidak ada, sementara murid-muridnya masih bergerak sesuai irama musik dari tape-recorder. Kemana dia?
Hampir copot rasanya jantung Joe, ketika tiba-tiba Mba Dwi muncul dari balik tembok rumah di sebelah ruang latihan. Rupanya, ada gang yang menghubungkan rumah itu dengan ruang latihan, yang tidak terlihat dari tempat Joe duduk. Rupanya Mba Dwi meninggalkan murid-muridnya untuk masuk ke rumah itu. Dan kini ia berjalan kembali ke ruang latihan, tetapi tidak melalui gang, melainkan lewat pintu depan. Lewat di depan Joe, melenggang santai dengan kainnya yang ketat membungkus tubuhnya yang indah.
"Hayo.., tunggu di dalam, Dik!" ucap Mba Dwi menghentikan langkah sebelum masuk. Senyum yang memikat Joe terhias di bibirnya. Joe menelan ludah, tak bisa menyahut, dan cuma bisa meringis lagi. Betul-betul seperti kera yang sedang kepedasan.
"Hayo ...," ajak Mba Dwi lagi, lembut tetapi tegas. Joe bangkit, dan dengan ragu-ragu melangkah mendekat. Mba Dwi tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah mendahului masuk. Pelan-pelan Joe menyusulnya. Ketika ia tiba di ruang latihan, Mba Dwi sudah berputar-putar lagi memberi contoh gerakan tarinya. Joe mencari-cari bangku untuk duduk, tetapi tak ada satu pun di sana. Ia lalu berdiri saja, menyender di sebuah tiang yang cukup besar.Dwi melirik, melihat remaja itu berdiri kikuk. Kasihan, pikirnya. Tetapi biarlah begitu, kalau ia memang tertarik pada tarianku -atau tubuhku!- biar saja
ia berdiri sampai pegal. Tersenyum Dwi mendengar kata hatinya yang terakhir ini. Ya, biar dia berdiri sampai pegal!
Selama 20 menit, Joe berdiri saja melihat adiknya latihan menari. Wulan terlihat senang melihat kakaknya sudah hadir. Berkali-kali Wulan kelihatan ketinggalan langkah, karena ia tersenyum-senyum kepada kakaknya. Joe mengernyitkan dahinya, meletakkan telunjuk di bibirnya, memperingatkan Wulan agar tetap serius. Dwi tersenyum melihat tingkah keduanya. Ketika akhirnya latihan selesai, Joe bernafas lega. Bukan saja karena ia sudah pegal berdiri, tetapi juga karena sebenarnya ia agak tersiksa. Betapa tidak? Sejak tadi ia terpesona oleh gerak Mba Dwi, tetapi ia harus menyembunyikan perasaan itu. Betapa sulit!
Dwi berjalan mendekati Joe sambil melepas stagen. Joe berdiri kikuk ketika akhirnya Dwi berdiri di hadapannya, cukup dekat untuk mencium bau keringatnya yang ternyata tidak mengganggu Joe.
"Suka menari?" tanya Dwi. Matanya memandang lekat remaja di hadapannya. Senyumnya mengeMbang halus. Joe menelan ludah lagi. Joe menggeleng kuat. Dwi tertawa kecil, "Saya pikir kamu suka. Sebab, kamu betah menunggu adikmu latihan."
"Saya ...., sebetulnya saya suka ..," ucap Joe tergagap.
"Oh, ya???" Dwi membelalakan matanya yang indah, senyumnya mengeMbang lagi. Joe menelan ludah lagi. "Seberapa suka, sebetulnya ...," tanya Dwi lagi, ringan.
"Mmmm ... saya suka menonton saja." jawab Joe sekenanya.
"Menonton anak-anak kecil menari?" tanya Dwi. Wah! Joe tertunduk, mukanya tiba-tiba terasa panas. Sial!
Dwi tergelak melihat Joe tertunduk malu. Kini ia tahu apa yang sesungguhnya ditonton laki-laki belia ini! Ia ke sini untuk menontonku, melihat tubuhku! Dan kesimpulan ini membuat dirinya senang. Bagi Dwi, menyenangkan penonton adalah tujuan utamanya menari, bukan?
"Siapa nama kamu?" tanya Dwi lembut sambil melepas ikat rambutnya. Joe mengangkat muka, melihat kedua tangan Dwi terangkat, dan samar-sama kedua
ketiaknya yang mulus terlihat dari lengan bajunya yang agak tersingsing.
"Joe..," terdengar jawaban pelan. Dwi tersenyum lagi, sengaja berlama-lama membuka ikat rambutnya, membiarkan remaja itu melihat apa yang ingin dilihatnya. Nakal sekali kamu, Dwi! sebuah suara terdengar di kalbunya.
Siksaan bagi Joe baru berhenti ketika Wulan menarik tangannya pulang. Sambil menggumamkan selamat sore, ia berbalik dan menggandeng adiknya ke tempat sepeda.
"Datang lagi, yaaa!" seru Dwi ketika Joe sedang bersiap mengayuh. Duh! Joe jadi serba salah. Apakah ia harus menjawab seruan itu? Ah, sudahlah! sergahnya dalam hati dan cepat-cepat mendayung. Dari kejauhan Dwi memandang kakak-beradik itu menghilang di balik tikungan. Senyum manis masih di bibirnya.
*****
Demikianlah seterusnya, Joe semakin terpikat oleh wanita yang pandai menari dan pandai menggoda itu. Sekali waktu ia mencoba menghindar, meminta kepada ayah untuk tidak usah menjemput Wulan dengan alasan harus latihan bola kaki. Selama empat kali latihan, ia tidak mampir ke sanggar, dan tidak berjumpa Mba Dwi. Dan itu artinya, sudah sebulan ia tidak melihat tubuh molek itu melenggak-lenggok. Lama juga, ya?
Sampai suatu hari, ada pertunjukkan dari di balai kota, diselingi permainan band sebuah kelompok amatir yang cukup populer di kota kecil ini. Joe datang bersama teman-temannya, tentu hanya untuk menonton band. Acara tari-tarian di sore hari dilewatkan saja. Rombongan Joe baru tiba di atas pukul 8, saat band mulai naik panggung. Di situlah Joe berjumpa lagi dengan Mba Dwi. Saat band memainkan lagu ketiga, Joe pergi ke belakang panggung untuk buang air kecil, karena di sanalah terdapat toilet untuk umum. Saat kembali ke tempat duduknya, sewaktu melewati pintu yang menuju tempat pemain berganti pakaian, Joe melihat Mba Dwi duduk di sebuah bangku. Langkahnya terhenti, lalu ia menyelinap ke balik tembok yang agak gelap. Dari situ, ia bisa melihat Mba Dwi, tetapi wanita itu tidak bisa melihatnya. Dwi memakai jeans ketat dan sebuah kaos agak longgar berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan agak basah oleh keringat. Ia tampak letih, dan sedang menikmati sebotol minuman dingin. Bibirnya menjepit sebuah sedotan, dan matanya tampak melamun. Bagi Joe, Mba Dwi tampak menawan malam itu. Ia kemudian melihat wanita itu bangkit menuju ke sebuah kamar di belakang panggung. Joe mengikuti gerak-geriknya dengan seksama, aman dalam lindungan bayang-bayang yang gelap. Tak lama kemudian, tampak Mba Dwi membuka sebuah pintu, dan di dalam terlihat terang benderang tetapi sepi. Berjingkat, Joe berpindah tempat sehingga bisa memandang lebih bebas ke dalam ruangan itu.
Dwi menutup pintu ruang, tetapi rupanya kurang begitu kuat mendorong, sehingga masih tersisa celah untuk melihat ke dalam. Dengan jantung berdegup kencang, Joe melihat ke kiri dan kanan. Tidak ada siapa-siapa. Semua orang berada di depan panggung asyik menonton band. Pelan-pelan ia melangkah mendekati ruang yang ternyata adalah ruang ganti pakaian bagi para artis. Ia tiba di depan pintu ruang itu, dan dari celah yang tersisa, ia bisa melihat ke dalam. Joe menelan ludah, dan menahan kagetnya. Di dalam, Mba Dwi tampak sedang membuka kaosnya, membelakangi Joe. Tubuhnya yang putih dan padat terlihat jelas, apalagi kemudian ia berputar menghadap sebuah cermin yang pantulannya terlihat dari tempat Joe berdiri. Ia bisa melihat dua payudara yang indah, terbungkus beha yang tampak terlalu kecil. Lutut Joe terasa bergetar.
Kemudian tampak Mba Dwi melepas celana jeansnya. Joe merasa kakinya terpaku di tanah. Dengan kuatir ia melihat ke sekeliling, takut kepergok. Tetapi suasana di sekitar ruang ganti itu sepi. Maka ia tetap mengintip ke dalam. Jeans sudah dibuka dan tergeletak di lantai. Mba Dwi hanya bercelana dalam dan berbeha, dan tubuhnya indah bukan main. Putih mulus, padat berisi. Joe berkali-kali menelan ludah. Pemandangan indah itu berlangsung tak lebih dari 10 menit, karena kini Mba Dwi sudah berganti rok panjang dan baju hem coklat. Tetapi bagi Joe, rasanya lama sekali. Cepat-cepat ia berbalik dan tergopoh kembali ke depan panggung.
Dwi mendengar suara langkah orang. Terkejut, ia segera lari ke pintu dan melihat pintu belum tertutup sepenuhnya. Celaka, pikirnya, seseorang tadi mengintipku berganti pakaian. Cepat-cepat dikuaknya pintu, dilongokkannya kepala, bersiap berteriak jika memergoki si pengintip. Tetapi di luar sepi, tidak ada siapa-siapa. Ah, mungkin cuma perasaanku saja, pikir Dwi.
Sementara itu, di depan panggung Joe gelisah mengenang pengalamannya. Lagu-lagu yang dibawakan band di depannya terasa hambar. Teman-temannya terlihat girang, tetapi ia sendiri kurang bergairah. Dengan alasan mengantuk, ia pulang lebih dulu dari teman-temannya yang keheranan. "Ada apa denganmu, Joe?" tanya sobatnya, Prima. Ia tidak menjawab, dan hanya menggumam sambil melangkah meninggalkan arena pertunjukkan. "Dasar kutu buku ...," gerutu Iwan, temannya yang lain. Joe tak peduli, dan terus melangkah menembus malam.
Dan malam itu, Joe menikmati hayalnya di atas ranjang, meremas-remas kelaki-lakiannya yang menegang sambil membayangkan tubuh mulus Mba Dwi. Tak berapa lama, ia mengerang tertahan, merasakan cairan hangat memenuhi telapak tangannya. Dengan tissue yang sudah disiapkannya, ia melap tangannya, lalu tidur nyenyak sambil berharap bisa bertemu Mba Dwi di alam mimpi. Namun mimpinya ternyata kosong belaka, tentu karena ia sebetulnya sudah sangat mengantuk malam itu.
Seminggu setelah peristiwa di belakang panggung itu, Joe mengantar Wulan ke sanggar Mba Dwi. Sebelum berangkat, ia sudah bersumpah untuk tidak berlama-lama. Begitu sampai, ia akan segera melepas Wulan dan kembali kerumah secepatnya. Kepada Wulan ia telah pula berpesan agar tidak perlu diantar sampai pintu ruang latihan. Wulan mencibir manja, tetapi tidak membantah ucapan kakaknya.
Namun semua rencana buyar ketika ternyata Joe berjumpa Mba Dwi di gerbang halaman sanggar. Turun dari sepedanya, Joe tergagap menyampaikan salam kepada wanita yang tubuhnya memenuhi khayalnya semingguan ini.
"Hai, Joe ... lama sekali kamu tidak kelihatan. Kemana saja?" sambut Mba Dwi riang.
"Sibuk, Mbak..," jawab Joe menunduk. Adiknya sudah turun dan berlari masuk.
"Wah... begitu sibuknya, sampai tidak sempat menonton Mba Dwi lagi, ya!?" sergah Mba Dwi sambil tersenyum manis. Joe menyahut dengan gumam tak jelas, dan menunduk seperti seorang pesakitan di hadapan polisi.
"Eh .. tidakkah kamu ingin melihat adikmu menari lengkap?" ucap Mba Dwi lagi, dan tiba-tiba tangannya telah menyentuh tangan Joe. Tergagap, Joe menjawab sekenanya, tetapi entah apa isi jawaban itu, ia sendiri tak ingat!
"Hayo masuk, sekali ini kamu bisa melihat anak-anak menari sampai selesai!" kata Mba Dwi yang kini sudah memegang erat satu tangan Joe dan menariknya masuk ke halaman sanggar. Joe tak kuasa menolak, dan dengan kikuk ia mengikuti langkah Mba Dwi sambil menyeret sepedanya.
Mba Dwi tidak memakai kain sore ini. Tubuhnya dibungkus rok span hitam dan hem kuning muda dengan leher V yang agak rendah. Ia juga tidak berdiri memberi contoh di depan anak-anak, melainkan hanya duduk bersimpuh di lantai, di sebelah Joe yang bersila. Dari tempat mereka duduk, Joe bisa melihat anak-anak menari lengkap tanpa instruksi Mba Dwi. Bagi Joe, anak-anak itu kelihatan seperti daun-daun kering yang berterbangan di tiup angin. Jauh sekali bedanya dibandingkan jika yang menari adalah Mba Dwi.
Joe melirik ke sebelah kanannya, tempat Mba Dwi bersimpuh. Darahnya berdesir cepat melihat rok span wanita itu terangkat sampai setengah pahanya. Aduhai, pahanya mulus sekali, dihiasi bulu-bulu halus yang hampir tak tampak. Betisnya juga indah sekali, tidak terlalu besar, tetapi juga tampak kokoh karena sering berdiri lama ketika menari. Mba Dwi sendiri sedang serius memperhatikan anak-anak menari, sehingga tidak menyadari bahwa remaja di sampingnya sedang sibuk menelan ludah!
Ketika suatu saat Mba Dwi harus berganti posisi bersimpuhnya, Joe mencuri pandang lagi. Sekejap, ia bisa melihat seluruh pangkal paha Mba Dwi. Celana dalam berwarna putih, tipis menerawangkan warna kehitaman di selangkangan, membuat Joe terkesiap. Cepat-cepat dialihkannya pandangan kembali ke tempat anak-anak menari.
Dwi menoleh untuk menanyakan sesuatu, tetapi seketika ia melihat wajah Joe seperti kepiting rebus. Ah, ia tiba-tiba sadar akan posisi duduknya. Remaja yang sekarang sedang pura-pura memperhatikan tarian itu pasti tadi melihat rok ku tersingkap, pikir Dwi menahan tawa. Minta ampun, remaja sekarang begitu cepat matang! Dwi meMbatalkan keinginannya untuk menanyakan komentar Joe. Sebaliknya, ia malah bangkit membuat Joe memalingkan muka dengan wajah bersalah. Pikir Joe, jangan-jangan ia tahu aku tadi melihat pahanya.
"Kamu mau minum, Joe?" tanya Mba Dwi setelah berdiri, dan tanpa menunggu jawab ia berkata lagi, "Yuk, ikut saya ambil minum di ruang sebelah." Joe bangkit dan mengikuti wanita pujaannya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Entah kenapa, wanita ini tidak bisa kubantah! ucapnya dalam hati.
Ruangan itu terletak di sebelah ruangan latihan, berupa sebuah dapur lengkap dengan meja makannya. Ada sebuah lemari es besar, dan Mba Dwi tampak sedang membukanya dan mengambil beberapa minuman botol. Joe berdiri tidak jauh di belakangnya, melihat dengan takjub tubuh yang agak membungkuk di depannya. Kepala Mba Dwi tersembunyi di balik pintu lemari es, tetapi bagian belakang tubuhnya yang seksi terlihat nyata di mata Joe. Gila! Segalanya terlihat indah! umpat Joe dalam hati.
Kemudian mereka minum sambil duduk di kursi makan. Mba Dwi menawarkan kue, tetapi Joe menolak halus. Mereka berbincang-bincang, atau lebih tepatnya Mba Dwi bercerita tentang segala macam. Joe lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Entah kenapa, Dwi sendiri merasa semakin dekat dengan remaja di hadapannya. Dwi merasa bahwa Joe adalah adik lelaki yang tak pernah dimilikinya. Saudara kandungnya semua perempuan, dan tinggal di lain kota. Di sini ia hidup sendirian, di sebuah kamar indekos tak jauh dari sanggar.
Untuk Dwi, Joe adalah remaja yang menyenangkan. Tidak berulah seperti kebanyakan remaja seusianya. Joe juga sopan, walaupun matanya sering nakal. Ah, seusia itu pastilah sedang mengalami kebangkitan gairah seksual. Ia ingat, pada usia seusia Joe dulu, ia juga mengalami "revolusi" yang sama. Saat itu, pikirannya tak lekang dari gairah seks dan lawan jenis. Joe pastilah tak berbeda, cuma ia sangat sopan dan pemalu.
Sore itu mereka berpisah karena latihan menari telah usai. Joe mengucapkan terimakasih atas suguhan Mba Dwi, dan Dwi melambai di gerbang sambil mengucap, "Jangan bosan kemari, ya, Joe!"
Ah, bagaimana aku bisa bosan? ujar Joe dalam hati.

No comments: