Thursday, September 28, 2006

Satu Cerita Tentang Bidadari.......

Sore itu aku berjalan-jalan di tepi sungai, lelah aku setelah seharian bekerja di sawah. Rasanya lega sekali, padi-padi yang selama ini kurawat sudah mulai berisi. Kelopak-kelopak itu sudah mulai gemuk dan panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah banyak yang mulai merunduk ke tanah, melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan penghidupan. Mungkin itu yang dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi, semakin berisi tetapi semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri, tetapi merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu dan pengetahuan. Hari sudah mulai gelap, remang-remang cahaya lampu dari seberang sungai sudah mulai kulihat. Tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan menuju sungai, memakai kemben* dan menjinjing keranjang kecil.

Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan berhenti ketika air telah mencapai ujung atas kembennya. Rambut panjangnya segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya di air sungai yang mulai dingin. Mataku tak berkedip sejak tadi, jarak yang memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh. Sayup-sayup kudengar dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya magis, apalagi didukung oleh suasana sore yang terhiasi oleh jingga cakrawala. Putri-putri kraton yang tertulis di lontar-lontar Majapahit yang katanya cantik nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan mataku ini tak kalah indah dengan putri-putri itu, hanya saja kecantikan dan gemulainya tidak tertulis di lontar, tapi tertulis di alam, dengan tinta-tinta sang cakrawala. Dia berputar-putar, bermain air, terkadang menyelam, mengambil pasir halus dari dasar, dan diusapkannya di seluruh badannya.

Rupanya dia sadar sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya, dan mulai menatap balik ke arahku. Aku menjadi kikuk, dan kulambaikan tangan ke arahnya. Dia juga melambaikan tangan ke arahku, sambil tak henti-hentinya masih bernyanyi-nyanyi kecil. Dia melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi. Walaupun dingin, kupaksakan diri juga untuk mengakrabkan diriku dengan air sungai. Aku berenang ke seberang, menelusuri riak-riak air yang memancarkan aroma eksotis. Bayang wajahnya semakin jelas,dan suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan pandangan tajam berwarna biru. Ternyata dia menyanyi Asmaradahana, tembang-tembang ritmis tentang cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal dengan memercikkan air ke mukaku, sambil tertawa renyah, akupun membalasnya. Kami tertawa bersama, akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang tinggal melanjutkan saja. Hanya aku heran, kenapa aku baru bertemu dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang. Dia tertawa lagi, tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah dia berhenti tertawa, dia tersenyum, senyum yang bukan berasal dari bumi, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, ku menoleh ke kanan-kiri untuk mencari sosoknya, tapi ia tak muncul juga. Tiba-tiba bukkkk.............ada benda serupa pasir menabrak punggungku, aku secepat kilat menoleh, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnya tadi yang menabrak punggungku, dan dia kini tepat beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar nafasnya, seperti angina-angin harapan dari oase yang menerjang padang pasir. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku dari belakang. Aku baru sadar sekarang betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini. Rambut panjangnya yang hitam legam sedikit mengkilat oleh sinar rembulan yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.

" Cantikkkkk......" tiba-tiba suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai, menimbulkan suara sambung menyambung. Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa, aku langsung menghambur ke darat, kucoba mengingat-ingat dimana dia tadi meletakkan keranjang kecil itu. Sinar rembulan yang tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi segera kulihat keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain, kita sudah agak jauh dari tempat semula. Aku segera berlari mengambil keranjang kecil dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya.
" Terima kasih ya sudah menemaniku.." dan diapun pergi..............

Dua belas purnama sudah aku mengenalnya, dan kehidupanku selalu diwarnai oleh canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa. Dia memang cantik, seperti namanya. Tapi semakin lama aku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila-gila. Karena sesungguhnya kecantikan yang terpancar lebih kuat justru dari sikapnya, melebihi kecantikan raganya yang memang sudah luar biasa. Tapi dia selalu mengelak ketika kubilang bahwa dirinya cantik, apalagi kalau kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia kira aku ngegombal? Padahal belum pernah dalam hidupku aku bilang bahwa hobiku ngegombal. Hobi yang elitis itu memang tidak pas denganku, aku hanya ingin jujur. Aku hanya bicara apa adanya, tidak mengurangi, tidak pula menambahi.

Tapi memang sebenarnya kata-kata tak cukup mampu melukiskan keindahannya, walau begitu aku terus mencoba, walau aku tak tahu apa itu akan sampai pada tujuannya? Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang bisa menggelepar oleh suara halus dan rayuan. Aku sering mengajaknya untuk bicara tentang masa depan. Bicara tentang langkah-langkah manusia di bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Dan diapun menimpali, dengan kata-katanya yang lembut, diucapkan dengan yakin. ketidaksetujuannya terhadap manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu anak bangsa untuk maju, atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius, kitapun bercanda lagi. Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga, atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.

Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang......, dan akhirnya dia bilang dia juga takut kehilanganku. Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat-ayat Tuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan kegalauannya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang-bintang akan risaunya.Di remang rembulan, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.

" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun-rumpun padi yang mulai menguning pada sebagian batang dan dan daunnya, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak-teriak memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.

Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan karena cantiknya paras muka, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya akan abadi. Biarlah semua manusia silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan tetap menjadi masa depan.

Joe Sorjan
Dalam Sebuah mimpi
~Untukmu Yang Manis~

No comments: