Thursday, September 21, 2006

Satu Cerita Tentang Pembantu Rumah Tangga (Tarmijah)


Nasibmu lah, Tarmijah. Wajahmu sama sekali tidak cantik. Hidungmu pesek seperti jambu klutuk yang disumpalkan di atas mulutmu. Gigi atasmu tonggos, terlalu jauh keluar dari bibirmu yang tebal tidak karuan. Jidatmu menonjol tak proporsional dengan mukamu yang bulat dan gempal. Kedua matamu belo dan sama sekali tidak sedap dipandang mata.

Pokoknya, nasibmu lah, Tarmijah. Buruk muka, dan menjadi babu pula. Menjadi bagian dari masyarakat yang tercampakkan walau konon sangat diperlukan. Bekerja keras untuk gaji yang tidak seberapa. Sejak kecil kau telantar, karena toh kedua orangtuamu juga tak sanggup memberimu makanan yang cukup.

Untung sajalah kau sekarang bekerja untuk tuan dan nyonya mudamu yang agak baik hati itu. Tuan Andi dan Nyonya Nita; masing-masing eksekutif muda yang sedang naik daun. Punya mobil dua, tidak ada anak, rumah cukup besar, dapur modern. Beruntunglah kau,
Tarmijah. Coba bandingkan dengan terakhir kali kau bekerja, di saudagar Tionghoa yang sedang bangkrut itu. Wah, jauh sekali bedanya.

Tuan Andi gagah tampan. Nyonya Nita cantik menawan. Kamu ...? Ah, kamu seperti kain dekil yang tersampir selalu di pundakmu. Mereka seperti sutra halus aneka warna. Kamu seperti gentong berlumut di pojok garasi itu. Mereka seperti patung marmer buatan Italia.

Pokoknya, nasibmu lah, Tarmijah. Bahkan Bang Miun, tukang sayur yang dulunya tukang ikan itu, tidak suka melihat wajahmu. Bang Miun lebih suka menggoda dan menjawil-jawil si Rukiah yang montok di seberang jalan itu. Atau mencubit-cubit
pantat Inem yang memang bahenol itu. Bahkan sampai berebut dengan si Rohmat, supir tua yang matakeranjang itu.


Tidak ada yang mau menggodamu, Tarmijah. Kamu jelek dan tak menarik sama sekali. Mukamu itu, lah. Terlalu cepat menggugurkan selera laki-laki. Padahal badanmu bagus belaka. Sebagai wanita, yang sedang tumbuh dewasa, dan bekerja membanting tulang, maka tubuhmu terbentuk bagus seperti Nyonya Nita yang menghabiskan jutaan rupiah untuk ikut fitness. Dadamu kencang, karena memang gerakan-gerakan menyapu atau
mencuci membuat otot-otot di sana selalu terlatih. Pinggulmu berisi, dan perutmu tak gembung seperti gadis-gadis manja yang kebanyakan makan hamburger itu.

Tetapi kamu juga, sih! Pakaianmu selalu kedodoran, butut dan kehilangan warna aslinya. Tentu saja. Mana sanggup kamu beli pakaian seperti Ditha, adik wanita Nyonya Nita yang kuliah di perbankan itu. Beli jeans ketat? Atau kaos yang kependekan untuk
memperlihatkan pusarmu? Jangan mimpi, lah, Tarmijah.

Nasibmu lah, Tarmijah.

Padahal sebagai manusia biasa kamu punya hasrat juga. Sudah kamu lewati masa pubertas dan menstruasimu teratur rapi. Ingin juga sekali-kali kamu punya pacar, bukan? Ingin berjalan-jalan seperti si Tinah yang katanya pacaran dengan kepala satpam
kelurahan itu. Ingin joget dang-dut seperti teman-temanmu yang bekerja di pabrik panci
dekat-dekat sini, bersama buruh-buruh pria yang kekar walau kerempeng itu.

Tetapi siapa yang mau mengajakmu, Tarmijah. Tidak ada. Belum apa-apa orang sudah melengoskan mukanya. Jadi, janganlah bermimpi tentang malam minggu yang romantis.

Duduk saja kamu di depan televisi, menonton sinetron yang bintangnya cantik tampan belaka. Bahkan para babu di sinetron itu tidak ada yang sejelek kamu, Tarmijah. Bahkan ada yang sangat seksi sehingga tuannya kepincut, lalu nyonyanya mengamuk. Kamu tak
mungkin dilirik sekalipun oleh Tuan Andi. Aman-aman sajalah kamu di sini. Nyonyamu pun sangat sayang kepadamu.

Duduk saja di depan televisi, malam-malam seperti ini, setelah rumah beres dan piring sisa hidangan malam sudah kering. Dan tuan nyonyamu di dalam kamar bergelut. Kamu
mendengar samar-samar ranjang berderit, dan nyonyamu mengerang-erang. Itulah yang bisa kau lakukan, Tarmijah, di malam minggu seperti ini. Mendengar jerit-jerit kecil nyonyamu, dan geraman tuanmu di penghujung kejadian. Lalu besoknya mencuci seprai yang di sana-sini ada bercak kering putih.

Masuk saja ke kamarmu setelah televisi kehabisan acara. Duduk di dipanmu yang tak terlalu lebar. Terlentang belum bisa tidur karena kamu punya hasrat juga. Berguling-guling gelisah karena kamu mengenang adegan di suatu siang hari libur. Tuan nyonyamu bersebadan di kamar tamu menyangka kamu masih di pasar. Terkenang kamu melihat
adegan yang begitu menggebu-gebu dan alamiah dan..... kamu ingat juga adegan sapi bersebadan di kampung. Kamu ingat kambing adikmu di kampung disetubuhi oleh jantannya dari belakang. Tuan Andi juga suka main dari belakang.

Kamu tidak bisa tidur. Lalu belajar meraba-raba tubuhmu sendiri. Meremas-remas tetekmu sendiri. Mengelus-elus pahamu sendiri. Menyelip-nyelipkan jarimu sendiri. Kamu suka begitu, Tarmijah, walau wajahmu yang buruk tak pernah sedikit pun berubah
cantik ketika sedang orgasme. Malah tambah mengerikan. Kamu bahkan melakukannya di kamar mandi setelah selesai mencuci. Rumah sepi dan kamu ingin sekali memasukkan sesuatu sambil berjongkok. Menjerit kecil sendirian karena sakit sedikit, tetapi lalu enaknya lebih banyak. Kamu masuk-masukkan jarimu, karena pernah kamu lihat pacar nona Ditha melakukannya di beranda. Kamu melihat terlalu banyak, Tarmijah.

Ah, kamu lakukan semuanya sendirian. Karena wajahmu terlalu jelek bahkan untuk si Dollah yang dungu itu. Ia membantumu menyabit rumput, lalu kamu coba-coba memikat dengan menyingkap rokmu pura-pura tak sengaja. Eh, Dollah malah menendang pantatmu karena sebal.

Nasibmu lah, Tarmijah, punya wajah buruk dan hasrat menggebu.

Kamu tak bakal menarik minat lelaki normal, karena semua lelaki suka memandang keindahan ketika menyebadani wanita. Kecuali kalau lelaki itu buta ...

Hei, mengapa kamu juga berpikir begitu. Lelaki buta. Tukang pijat tunanetra. Itulah harapan satu-satunya bagimu, Tarmijah.

Pak Kadir ... kamu memintanya datang di suatu siang ketika semua penghuni rumah sudah pergi. Kamu bilang bahwa tubuhmu pegal minta dipijat.


Ting-tong! Pak Kadir menekan bel. Kamu tergopoh-gopoh karena keasyikan merapi-rapikan dirimu di kamar. Bodohnya, kamu Tarmijah. Buat apa memakai bedak dan gincu segala, kalau lelaki yang datang itu buta! Buat apa memakai daster bekas nyonyamu yang tipis menerawang itu, kalau lelaki yang mendatangimu itu tak bisa melihat apa-apa.

Ah, kamu cuma ingin berhayal saja sebagai Cinderella sehari ini; pak Kadir adalah pangeranmu.

"Silakan masuk, Pak Kadir," katamu gugup.
"Langsung ke kamar saya saja. Tuan dan nyonya tidak ada."

Pak Kadir meraba-raba dengan tongkatnya, mengikuti langkahmu yang terlalu cepat. Nyaris saja guci indah di kamar tamu terterjang langkah lelaki buta itu. Awas, nanti kamu dimarahi nyonya, Tarmijah.

Kamu tidak sabar. Kamu tuntun Pak Kadir ke kamarmu. Lelaki tua itu tak punya kecurigaan apa-apa. Ia sudah memijat 1000 babu sebelumnya. No problem. Para babu itu memang memerlukan pijat relaksasi setelah bekerja seharian. Selama ini langganannya tak pernah mengeluh. Pak Kadir memang idola para babu yang sedang keletihan.

Tarmijah, Tarmijah ... kamu cuma bilang minta pijat seperti biasa. Kenapa kamu buka seluruh bajumu yang tadi kamu patut-patutkan di muka cermin?

Pak Kadir mulanya biasa saja. Memijat dari sini ke sana, seperti ia memijat 1000 babu sebelumnya. Tetapi, kamu Tarmijah... kamu yang mengatakan dengan suara parau, "Pijat di sini, Pak Kadir ...."

"Lho ..lho .. lho!" Pak Kadir heran meraba bukit empuk kenyal halus mulus.

Kamu, Tarmijah .... kamu nakal dan menggelinjang-gelinjang kegelian. Tidak tertawa, melainkan terengah-engah, dan berkata, "Terus, Pak Kadir .... terus yang keras ..."

"Lho ... lho ... lho." Pak Kadir terus menyatakan keheranan, tetapi terus meremas-remas pula. Istrinya yang tidak buta dan tambun itu juga suka diremas-remas seperti ini.

Kamu memejamkan matamu, Tarmijah .... lagakmu seperti bintang di film video yang kamu putar diam-diam ketika tuan nyonyamu kelupaan memasukkannya ke lemari. Kamu memang merasa keenakan, Tarmijah.

Pak Kadir tak bisa melihat wajahmu yang sama sekali tak sedap dipandang kalau sedang terangsang seperti itu. Mulutmu terbuka, tetapi gigimu yang tonggos itu mengganggu pemandangan. Hidungmu tidak bangir, dan lubangnya yang kempas-kempis itu menyebabkan tampangmu seperti kerbau saja.

Tentu saja Pak Kadir tak tahu itu. Sehingga kamu beruntung, Tarmijah. Kamu bisa merasakan tangan lelaki menjamah badanmu. Puting-putting susumu menegang dan kamu merasa sangat-sangat geli. Ingin menjerit, tetapi kamu masih punya malu juga, Tarmijah.

Tarmijah ... Tarmijah ... kamu makin nakal saja. Kamu singkapkan kedua pahamu, dan kamu paksa Pak Kadir meraba bagian terlarang (siapa yang melarang?) yang sudah agak basah itu.

"Nak, Tarmi ini mau gituan, toh!?" bisik Pak Kadir, padahal ia tak perlu berbisik karena tidak ada siapa-siapa di sana. Tarmijah mengangguk. Bodohnya kamu, mana bisa ia melihat kamu mengangguk. Pak Kadir juga sebenarnya tak mau tahu jawaban. Ia sudah mengendurkan sarungnya, dan merangkak ke atas tubuhmu.

"Pijat-pijat dulu, Pak Kadir ...." katamu Tarmijah, sambil terengah-engah.

"Oh, iya .. iya." Pemijat profesionalmu sekarang jadi tampak dungu.

Lalu kamu bawa jari-jarinya menelusup-nelusup. Kamu mengerang, mencontoh nyonyamu atau bintang film itu? Pak Kadir merasakan jari-jarinya basah dan lengket. Ia rajin sekali memutar-mutar dan menyodok-nyodok. Sialan kamu, Tarmijah, membuat orang repot dengan kegairahan-kegairahanmu. Bagaimana kalau nanti istrinya memotong kuku Pak Kadir dan melihat bekas-bekas kewanitaanmu di situ?

Kamu sekarang sedang menikmati terbang bebas menuju orgasme pertamamu di tangan lelaki, Tarmijah. Hebat kamu, Tarmijah. Walau buruk muka, tidak mau menyerah. Ingin mencapai cita-citamu yang sederhana, Tarmijah.

Pak Kadir sekarang juga terengah-engah. Ia belum pernah bertemu babu seperti kamu, Tarmijah. Sudah 1000 babu, tidak satu pun yang minta disetubuhi. Ini rupanya hari keberuntungan Pak Kadir. Ia membuka sarungnya, dan terjadilah persetubuhan yang seperti kamu inginkan, Tarmijah. Masuk lancar, berjalan sesuai rencana. Ah, tetapi kasihan Pak Kadir. Ia menggelosor setelah baru saja memasukkan kejantanannya tergesa-gesa. Kasihan kamu juga, Tarmijah.

"Gimana, sih ... Pak!" Kamu memprotes. Pak Kadir nyengir saja salah tingkah.

Kamu kesal sekali. Membayar dengan uang agak lusuh, kamu suruh lelaki malang itu pulang karena kamu ingin cepat-cepat membersihkan seprai yang basah oleh tumpahan birahi.

"Besok saya datang lagi, deh ..." kata Pak Kadir. "Tidak usah dibayar, deh ..."
Kamu tidak menjawab. Karena memang kamu ingin mencoba lagi. Kamu mengantar Pak Kadir ke gerbang, dan dia pergi setengah pincang. Dia sudah cukup renta, memang.

Lalu keesokan harinya kalian mengulangi lagi upaya itu. Kali ini, lumayan buat kamu Tarmijah. Pak Kadir bertahan lima menit sebelum menggelepar. Dia menyalahkan kamu. Katanya kamu terlalu sempit, Tarmijah. Salahmu lagi, Tarmijah. Nasibmu, punya wajah buruk dan kewanitaan yang sempit. Lelaki tak tahan berlama-lama di sana.

Tidak setiap hari kamu bisa mengulangnya, Tarmijah. Besok lusa hari Minggu, semua penghuni rumah ada untuk makan siang bersama keluarga besar. Kamu sibuk sekali hari itu, dan lupa pada hasrat gairahmu.

Tetapi hari Rabu, kamu ulangi lagi upayamu. Lebih lumayan lagi kali ini, Pak Kadir bertahan 10 menit. Kamu untuk pertama kalinya merasakan enaknya berlama-lama di bawah tubuh lelaki. Memang belum sampai mengejang-kejang seperti di film-film itu. Belum sampai gatal, bahkan. Tetapi lumayanlah. Kamu masih terlalu sempit, Tarmijah.

Lalu kamu temukan tablet obat kuat di kamar tuan-nyonya. Oh, ini yang pernah kamu dengar dari pembantu di seberang jalan, tentang tuannya yang juga suka menelan obat sebelum bersebadan dengan istri keduanya, atau istri keempatnya, atau gundiknya. Kamu tidak terlalu cepat bisa membaca, tetapi dengan mengeja kamu bisa tahu nama obat itu. Iya ...iya ... sama dengan obat yang disebut-sebut

"Pak Kadir, minum ini dulu sebelum main," katamu sambil menyodorkan satu tablet dan satu gelas.

Gila betul, kamu Tarmijah. Pak Kadir menyetubuhimu satu jam penuh! Kamu pingsan karena keenakan. Sepraimu berantakan. Seluruh kamarmu berantakan, karena kamu jatuh ke lantai dan bersetubuh di sana seperti kambing, seperti sapi, seperti ayam. Kakimu yang berotot itu menerjang rak jemuran di kamarmu; jatuh bergelontangan. Seluruh daerah di sekitar selangkanganmu rasanya pedih, tetapi kamu tak peduli. Kamu terlalu keenakan, Tarmijah. Sampai penuh keringat tubuhmu. Sampai licin lantai kamarmu.

Pak Kadir ngos-ngosan lalu rubuh menimpa tubuhmu yang sintal. Kamu memang sudah pingsan lebih dulu. Kepalamu terasa ringan. Kamu berada di langit ketujuh, Tarmijah. Bukan main!!

Pak Kadir tidak berkutik lagi.
Pak Kadir tidak bernafas lagi.

Setelah sadar dari pingsan, kamu mendorong-dorong tubuhnya yang berat. Lelaki itu tak bergerak. Kamu berteriak, panik. Celaka, Tarmijah. Lelaki itu terkena serangan jantung. Celaka, Tarmijah. Nasibmu, Tarmijah. Wajahmu buruk. Kewanitaanmu terlalu sempit. Lelaki yang menyetubuhimu mati.

Sekarang, cepat….lari Tarmijah.

No comments: