Wednesday, September 13, 2006

Satu Cerita Tentang Kemiskinan.......



MISKIN
Cerpen Match Al Qitrie

Malam terlalu gelap untuk ukuran seperti biasa. Awan menyelimuti langit. Hitam. Angin perlahan-lahan berhembus menyapu kehidupan. Dinginnya menembus sampai ke perbatasan kulit dan tulang. Menggeser kehangatan yang bersemayam di hati masing-masing orang. Hujan setetes demi setetes menyiram apa saja di atas tanah.
Sementara itu waktu terus beringsut larut. Di pembaringan, Anwar belum juga dapat melelapkan diri. Matanya menatap langit-langit kamar kontrakannya. Lusuh dan berdebu. Sarang laba-laba semakin ramai menghiasinya. Merubah wujud langit-langit itu menjadi, entah apa, sebut saja kumpulan sarang laba-laba dan debu.
Menempel dan berserakan di mana-mana, tak beraturan. Membentuk jalinan cerita panjang. Seperti itulah, tanpa dia sadari langit-langit itu telah mewakilinya bercerita tentang nasib yang memeluknya. Menjadi saksi perjalanan hari-hari. “Ah, betapa sulit”. Dia menghela nafas panjang.
Di kejauhan terdengar pohon tumbang. Menyusup di sela-sela suara kucuran air langit yang lebat. Meninggalkan gumpalan cemas di hati orang yang mendengar. Angin memang makin menggila, segila nasib Anwar kini.
Dulu kamar ini begitu bersih. Terjaga di segala sisi. Dia tak membiarkan secuil pun debu berkeliaran. Sore hari sepulang kerja disapunya lantai. Kaca jendela yang berdebu dibersihkan. Begitupun langit-langit kamar. Sesekali dia merubah letak tempat tidur atau beberapa barang lainnya. Jika malam, sebelum tidur tak lupa dia membereskan segala barang yang dia telah gunakan untuk beraktifitas, ataupun menyiapkan keperluan untuk kerja esok harinya. Semuanya itu dia lakukan dengan bergairah.
Perlahan-lahan kelopak matanya mulai menyodorkan gambar-gambar masa lalu. Bagai layar bioskop, hidupnya yang dulu penuh semangat kini melintas satu per satu. Adegan demi adegan. Detail demi detail. Ya hanya melintas, tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Begitu angkuh. Seperti ada sekat tebal dan tinggi yang memisahkan dirinya dengan masa lalunya. Tak sedikitpun dia dapat meraihnya kembali. Apa lagi mengulangnya!
Jam tetangga kamarnya berdentang dua kali. Dibacanya kembali surat dari ibunya. Pedih. Sehalaman keluhan tergores di sana. Menciptakan sayatan baru dalam rongga dadanya. Ina – adiknya -- sakit keras, berarti butuh biaya. Sementara uang pensiun warisan ayahnya hanya cukup buat makan sehari-hari ibu dan kedua adiknya. Itupun biasanya kurang. Dadanya menjadi sesak. Disimpannya kembali surat itu. Meskipun tak pernah selesai dia baca tapi dia sudah, bahkan sangat, mengerti maksudnya.
Ibunya memang belum tahu keadaannya beberapa bulan belakangan ini. Anwar sendiri tak pernah memberitahukannya. Dia khawatir jika ibunya tahu keadaan dirinya yang sebenarnya maka akan membuat ibunya cemas dan sakitnya kambuh lagi. Anwar memang sangat mengkhawatirkan keadaan ibunya yang sudah mulai sakit-sakitan.
Semenjak serangan jantung membawa pergi hidup ayahnya, dialah kini yang menjadi harapan ibu dan kedua adiknya. Membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Membiayai sekolah kedua adiknya. Kuliah yang telah dia jalani beberapa semester harus rela dia tanggalkan. Banting stir bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dikutukinya nasib yang menimpa. Masa depan yang telah dia susun sedemikian rupa harus berantakan karenanya. “Nasib baik barangkali bukan untukku”, begitu pikirnya ketika itu. Dan waktu terus berjalan mencincang hari-harinya.
Seandainya surat itu datang beberapa bulan yang lalu, tentu dia tidak akan sesak seperti ini. Biaya sakit adiknya masih bisa dia tangani. Tabungannya pastilah cukup untuk itu, atau dia bisa saja meminta pinjaman dari tempatnya bekerja. Tapi sekarang semua itu telah hilang, menghindar darinya. Perusahaan yang selama ini memberinya “masa depan” baru telah menceraikan dirinya. Menjauhkannya dari segala harapan yang susah payah dia susun kembali. Sekali lagi dia merasa digiring ke neraka kemiskinan paling dalam.
Perutnya turut mengeluh. Dari tadi siang dia belum makan.
Tadi pagi masih dipunyainya beberapa lembar seribuan, tetapi di masa sulit seperti sekarang uang sesedikit itu hanya cukup buat sarapan. Sementara tabungan telah dia habiskan. Menguap menjadi makan sehari-hari selama menganggur. Setelah itu kering. Meskipun hidup berlangsung terus, tak peduli dengan dirinya yang sedang berdarah-darah menerima sial.
Beberapa kali dia mencoba mencari pekerjaan lain. Yang dapat membantunya membangun mimpi-mimpinya kembali. Yang bersedia menyambung tiang-tiang harapan ibu dan kedua adiknya yang patah. Tak bosan dia mengetuk pintu hati nasib. Menggedor dinding tinggi kehidupan. Tapi, “Maaf, kami tak berani menerima karyawan baru!”. Atau “Kami baru saja mengadakan perampingan organisasi. Jadi tidak membutuhkan tenaga lagi”. Oh nasib, kemana gerangan dikau berpihak?
Hari-hari selanjutnya adalah jalinan cerita panjang tentang kepasrahan diantara geliat sangar kehidupan. Bagaimanapun dia telah berusaha keluar, sebisa mungkin, dari lingkaran kemiskinan yang menjerat. “Hariku mungkin hanya sampai di sini”, begitu kesimpulan yang rajin menggodanya. Tapi ibunya, Ina dan Ani terus membayang-bayanginya. Menyuntikkan semangat yang hanya tinggal sisa-sisa. Dia berusaha bangkit. Ya sekedar bangkit, lalu jatuh lagi.
Dicobanya memejamkan mata, namun layar bioskop itu semakin tajam menyuguhkan gambar. Ina yang sakit. Ibunya yang menunggu kiriman uang. Biaya sekolah Ani yang belum terbayar. Dirinya yang terkatung-katung tanpa apa-apa di sebuah kota besar. Perutnya yang lapar. Kamarnya yang berantakan. Ibunya. Ina. Ani. Dirinya. Lapar. Kerja. Miskin. Uang!
Berganti-ganti gambar-gambar itu menyesakkan dadanya. Mengejarnya. Saling berebut tempat terbanyak dalam ruang keluh kesahnya. Semua menuntut. Membayang-banyanginya. Seperti hujan yang membayang-bayangi subuh keluar dari persembunyiannya.
“Uhhh!” Ada keluhan terlontar meski suaranya tak benar-benar jelas.
Anwar bangkit. Mengenakan jaket, celana serta sepatu, kemudian membuka pintu. Angin, percik hujan dan hawa dingin berebut masuk. Sejenak dia tegak bagai patung batu. Dingin membuatnya menggigil. Dirapatkannya jaket. Pintu tertutup kembali dan Anwar menghilang. Seekor tikus menatap curiga dengan kepergiannya.
Tak ada yang melihatnya memecah keperawanan subuh. Dia memang tak butuh saksi. “Toh selama ini nasib sudah menutup mata kepadaku”, begitu pikirnya, ‘maka aku akan membuat sendiri nasibku!”. Dia terus berjalan. Meninggalkan jejak di tanah yang becek, namun hanya sebentar karena sesaat kemudian rintik hujan datang menghapusnya. Ya, jejak yang dilukisnya dengan kemiskinan. Jejak hari-harinya yang pedih. Jejak yang kini mengiringi langkahnya ke sebuah rumah besar di sebuah lorong.
Kota makin lelap. Hujan agak mereda. Pandangan Anwar tertuju ke rumah besar di hadapannya. Mengawasi. Termenung sejenak. Seberkas keraguan tiba-tiba menyerangnya. Hampir saja menciutkan nyali yang tinggal satu-satunya.
Tapi ah, apa boleh buat. Kemiskinan telah mengajaknya ke tempat ini. Menantangnya untuk tetap bertahan hidup. Dirasakannya jantungnya berdegup kencang. Berpacu dengan bayang-bayang ibunya, Ina dan Ani serta lapar yang terus memburu.
Tekadnya sudah bulat.
“Selamat tinggal moral. Persetan dengan dosa. Aku juga butuh hidup. Aku tak mau tersingkir dari orbit kehidupan”, kata hatinya mantap. Lalu menghilang ke balik jendela yang baru saja dia congkel.
Di langit, hujan tinggal percik tipis. Sayup-sayup terdengar azan subuh ….

No comments: