Friday, July 28, 2006

Satu Cerita Tentang Aku..


Aku adalah lelaki tengah malam. Orang-orang menjulukiku si Pangeran Brengsek. Aku dilahirkan di sebuah Desa terpencil di pedalaman pada tanggal 14-4-84. Aku anak ke 4 dari 5 bersaudara. Teman-teman biasa memanggilku Bento karena wajahku yang mirip Tommy Soeharto. Bento diambil dari kata Benih Soeharto yang disingkat menjadi Bento. Ayahku adalah seorang Serdadu yang pernah dikirim ke Timur Tengah (I), Ethiopia, Columbia, dan ke Timur Tengah (II) lagi sebagai pasukan perdamaian untuk mengendalikan Huru-Hara Hura-Hura konflik perang saudara. Ayahku bersama pasukan Indonesia lainnya tergabung dalam Kompi Rajawali. Setelah kurang lebih 6 bulan ayahku mewakili Indonesia, ayahku pulang menggunakan Tampomas, yang sempat menjatuhkan Pesawat Tempur pemberontak yang mencoba menghancurkan kapal yang ayah tumpangi.

Aku masih ingat pada waktu aku masih aNak-aNak, kira-kira aku berusia 6 tahun, ayah pernah bercerita pengalamannya selama menjadi pasukan perdamaian. Disana ia melihat bagaimana Orang-Orang Kalah begitu Gelisah oleh ulah Para Tentara pemberontak yang begitu beringas. Mereka seperti Robot Bernyawa berbuat semena-mena terhadap orang-orang kecil. Jelas sekali di sana perbedaan antara orang Besar dan Kecil. Orang-orang kecil hanya bisa melawan melalui coretan – Coretan Dinding, mencoba mengungkapkan perasaan mereka. Mereka mencoba segalanya untuk mendapatkan kedamaian mereka yang terampas, walau Mungkin itu hanyalah sebuah Mimpi Yang Terbeli, mereka tak pernah menyerah. Mereka mencoba Buktikan pada dunia bahwa mereka juga manusia Ayah bercerita bagaimana mayat – mayat berserakan bersama Puing(I) – Puing (II) bangunan yang hancur. Setiap hari terdengar suara letupan senapan yang bagi mereka bagaikan suara Sangkala malaikat maut. Setiap hari selalu dan selalu saja Ada Lagi Yang Mati. Suasana di sana begitu mencekam, mereka hidup di bungker-bungker pengungsian sehingga mereka tak lagi bias menikmati Matahari, Bulan dan Bintang. Mereka hanya bisa memanjatkan Do’a semoga suatu hari nanti mereka bisa hidup tenang penuh Cinta. Tak ada lagi perang, tak ada lagi kehancuran. Satu kalimat yang selalu terngiang di telinga ayah adalah kalimat yang diucapkan seorang anak kecil yang bersimpuh disisi mayat ayahnya “Semoga Kau Tak Tuli Tuhan”. Ucapnya sambil tangannya tengadah memohon pada Sang Khalik dan Airmata yang mengalir, yach…..Air Mata Api, airmata yang membakar hati, termasuk hati ayah.

Melihat semua itu ayah tidak tega dan akhirnya Ayah kemudian mengirimkan Surat Buat Wakil Rakyat yang pada saat itu dipimpin oleh Bung Hatta agar ia segera dipulangkan. Ayah tak tahan lagi melihat kerusakan di negeri tersebut. Sepulangnya dari misi perdamaian Ayah langsung meminta untuk pensiun dini. Setelah itu Ayah bekerja menjadi keamanan di sebuah perusahaan milik negara.

Ayah bekerja cukup lama di perusahaan milik negara tersebut. Dari zaman Orde Lama, Orde Baru, Dan Orde Paling Baru, yaitu orde dimana kekuasaan dinilai dari kekayaan, hukum yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Di saat negeri ini dilanda moneter, ayah justru terkena PHK. Hal itu membuat ayah tak putus asa. Ayah kemudian mencoba berwiraswasta membuat barang-barang Imitasi untuk organ tubuh seperti kaki palsu, tangan palsu dan berkerja sama dengan beberapa rumah sakit. Dari rumah sakit milik pemerintah dengan Ambulance Zig-Zag hingga rumah sakit swasta dengan fasilitas yang serba modern. Akupun sering membantu ayahku membuat barang-barang tersebut.

Waktu terus berjalan, roda kehidupan terus berputar. Usaha ayah yang dulu bisa cukup dibilang sukses mengalami kemerosotan penghasilan dan akhirnya bangkrut. Ayahku yang sekarang ini sangat berbeda sekali dengan ayah yang dulu kukenal. Sekarang ini temperamen ayah mudah naik, sering berbuat kasar padaku ataupun pada ibu. Setiap malam kerjanya hanya minum dan minum. Aku tak tahan menerima itu semua. Gejolak mudaku berontak dan akhirnya aku kabur dari rumah. Aku pergi saat Adzan Subuh Masih Di Telinga dengan membawa Potret ayah dan Ibu sehingga apabila aku kangen, potret itu bisa mengobati Rindu Tebal ku.

Selama kabur dari rumah, hidupku tak tentu arah. Walau berat namun tetap Kupaksa Melangkah mengarungi hidup ini. Aku sempat kabur ke rumah Paman Doblank salah seorang saudara ayah yang sangat pandai dalam hal Politik Uang, karena pamanku ini termasuk Tikus-Tikus Kantor yang sering menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Yang penting Lancar Cukup hanya tertawa dengan Hua..Hua…Hua…dan bernyanyi Na….Na….Na, keinginan mereka pasti tercapai. Termasuk saat melobi untuk mendapatkan kontrak untuk Proyek 13. Mungkin memang Panji Demokrasi di negeri ini sudah tak bisa tegak berdiri lagi. Nampaknya jalan pintas dianggap pantas di negeri ini. Orang kaya di puja layaknya Manusia Setengah Dewa..Sedangkan orang-orang kecil hidup layaknya Nocturno, bagai binatang malam yang harus bergerilya dan sembunyi-sembunyi untuk bertahan hidup. Dirumah pamanku hanya di huni oleh dua orang saja, Paman dan pembantunya Tarmijah (Dan Problematikanya). Walau mungkin hidup seba kecukupan, namun aku tetap tak menemukan ketenangan disana. Aku merasa tidak kerasan.

Akupun pergi kerumah Nenekku Okem di daerah Ujung Aspal Pondok Gede. Disanapun aku tak betah. Foto nenek waktu masih muda saat mengenakan Kebaya Merah begitu anggun, walau nampak kusam dan membuatku selalu mengingatkanku pada ibu dan membuat Rinduku semakin menggebu. Ingin aku segera pulang kerumah, namun aku tlah berjanji untuk tidak pulang sebelum aku bisa menunjukkan pada ayahku bahwa aku bisa mandiri.

Karena bimbang akhirnya aku pergi ke rumah temanku di daerah Condet. yang seorang lopper koran. Aku ikut temanku menjajakan koran. Ada pengalaman menyenangkan saat aku menjajakan Koran-Koranku di satu Sore Tugu Pancoran. Ada seorang wanita yang memborong koranku. Tante Lisa, begitulah temanku biasa memanggil wanita itu. Wajahnya ayu, senyumnya manis, satu hal yang membuat ia berbeda adalah rasa kepedulian yang ia miliki pada anak-anak jalanan. Kepeduliannya padaku dan teman-teman menambah rasa Damai Kami Sepanjang Hari.

Awalnya dia membantu kehidupanku dengan menjadikan aku anak asuhnya, dan akan menyekolahkan aku. Sebagai syaratnya aku harus tinggal dirumahnya. Aku justru merasa senang sekali waktu itu. Pikirku, aku tak perlu lagi harus berjualan koran dibawah sengatan sinar matahari atau dinginnya guyuran air hujan. Awal aku tinggal dirumah Tante Lisa yang megah biasa saja. Tak ada kejadian aneh. Hanya satu hal yang menjadi pertanyaanku adalah, dirumah yang semengah itu ternyata tak ada pembantunya. Ya… aku hanya tinggal berdua bersama Tante Lisa. Aku sendiri sebenarnya bingung, tapi aku takut untuk menanyakannya.

Namun manusia adalah manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan sisi baik dan sisi buruknya. Begitu juga dengan Tante Lisa yang ternyata dibalik rasa kepeduliannya, Tante Lisa ingin menjadikan aku sebagai Obat Awet Muda (OAM) nya. orang-orang belajar 1910 buku bahkan lebih, ribuan Opini masyarakat, dan rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk kenikmatan yang hanya 2 Menit 10 Detik itu Ach…persetan dengan semua itu. Selama itu tak mengangguku, aku tak peduli. Yang aku mau saat ini adalah merubah hidupku untuk menjadi lebih baik. Tak peduli bagaimana caranya, walau mungkin aku harus menjadi peliharaan Tante Lisa, Lonteku. Aku memang masih Hijau untuk urusan seperti itu, namun dengan berjalannya waktu dan didikan Tante Lisa, aku kini sudah mengerti akan nikmatnya dunia Esek-Esek Uduk-Uduk itu. Aku tau ini dosa, dan aku akui ini adalah dosa yang paling nikmat. Aku tak tau Berapa lama aku harus menjalani ini. Asik Gak Asik aku harus menjalaninya. Walau mungkin aku hanya dijadikan Badut pemuas kebutuhan birahinya.

Aku disekolahkan oleh Tante Lisa di sebuah sekolah swasta. Disana aku dididik oleh Guru Oemar Bakrie yang memiliki sebuah sepeda onta yang mirip Belalang Tua dan mungkin seharusnya sekarang ini sudah menjadi Barang Antik. Ada lagi Guru Zirah yang cantik yang memiliki bodi yahud seperti salak raksasa dan tak mau dipanggil ibu, cukup dengan sebutan Nona saja katanya. Aku sempat jatuh hati padanya, dan aku minta tolong pada Teman Kawanku Punya Teman untuk membantu mempertemukan aku dengannya. Lucunya aku memberikan Kembang Pete untuk menyatakan cintaku padanya. Yach…namanya juga cinta monyet, setelah lulus kamipun berpisah karena ia harus melanjutkan pendidikan di luar negeri.

Seiring Perjalanan Waktu, aku mulai jengah dengan kehidupan ini. Kehidupanku dengan tante lisa membuat aku Frustasi. Coba bayangkan, aku harus melayani tante lisa setiap saat tak peduli tempat. Bukan itu saja, aku kadang dijadikan arisan oleh tante lisa dan kawan-kawannya. Mulanya aku menikmati, namun lama-lama aku jengah dan akhirnya aku pergi dari kehidupan tante lisa.

Lepas dari tante lisa, aku kembali ke kehidupan jalanan. Dan kehidupan jalanan membawaku pada dunia baru. Dunia Orang Pinggiran, dunia yang penuh dengan Orang Gila, namun dijalanan aku menemukan sesuatu yang lain. Disini solidaritas begitu tinggi. Hal itu aku alami ketika aku berkenalan dengan seorang Berandal Malam Di Bangku Terminal. Namanya Willy. Sebenarnya willy memiliki latar belakang yang cukup baik. Dia adalah seorang Sarjana Muda. Namun kehidupan keluarganya yang broken home membuatnya menjadi seperti itu. Hidup dari satu Terminal ke terminal lain, menjadi pengamen. Walau suaranya Sumbang, ia tetap mencoba menyanyikan Lagu Pemanjat yang menjadi Doa Pengobral Dosa sebagai persembahan Untukmu Negeri.

Gelandangan, pengemis, Perempuan Malam, adalah sebuah realita penghuni yang ada di kota Jakarta ini. Mereka Ada Di Jalan, di trotoar, di bangunan-bangunan tua yang telah di Bongkar. Mereka tumbuh menjadi Bunga Trotoar yang tumbuh liar dimana-mana. Seperti Kupu-kupu Hitam Putih yang terbang bebas. Kemesraan diantara mereka begitu indah dan menarik untuk ditelusuri layaknya kisah asmara Bunga-Bunga Kumbang-Kumbang. Dari mereka aku memahami bahwa Asmara Tak Secengeng Yang Kukira, kisah mereka mereka seperti kisah Asmara dan Pancaroba. Dari mereka aku dapatkan pelajaran tentang hidup yang merupakan Jalan Panjang dan Berliku. Nada-nada Lagu Cinta mengalun dengan merdu diantara Senandung Istri Bromocorah yang mendendangkan Nyanyian Jiwa bersyairkan Puisi Hitam sebagai Senandung Lirih dari Suara Hati yang tercabik. Mereka hidup dalam sebuah komunitas Lingkaran Aku Cinta Padamu, yach…sebuah komunitas Alam Malam.

Bagi mereka, orang-orang yang duduk di bangku perwakilan adalah Badut yang dari negeri Astina yang penuh dengan Intermezo. Mereka tak peduli dengan slogan-slogan yang diberikan. Lebih baik Jangan Bicara. Mereka tak ingin janji, yang mereka inginkan adalah bukti dari apa dulu selalu mereka ucapkan. Mereka ingin agar Panji Demokrasi ditegakkan. Balada Pengangguran menjadi hiburan di hari Libur Kecil Kaum Kusam. Dimana mereka menjadi golongan Yang Terlupakan. Golongan Yang Tersendiri.

Panggilan Dari Gunung mengisyarakatkanku untuk sejenak menenangkan diri. Aku pergi dengan satu Kesaksian bahwa hidup penuh dengan resiko dan hidup mengajariku untuk meng Hadapi Saja segala aral yang merintangi. Aku pergi ke rumah kawanku Sugali yang kukenal saat sama-sama berjuang sebagai Kuli Jalan. Disana ternyata sugali menjadi pemain Kuda Lumping. Disini aku melihat bahwa kekayaan menjadi tolok ukur kekuasaan. Orang kaya di kampung dipuja dan diagungkan laksana

Disini akupun memiliki kehidupan asmara dengan Tince Sukarti Binti Machmud. Gadis cantik yang memiliki Mata Indah Bola Ping Pong seperti Mata Dewa. Ayahnya, Pak Machmud dikenal sebagai Si Tua Sais Pedati. Tapi lagi-lagi cintaku kandas di tengah jalan. Tince dipaksa menikah dengan Rentenir. Sebuah surat yang ditulisnya diberikan padaku sebagai ucapan perpisahan.

“Hallo Mas Bento, sebelumnya Tince minta maaf apabila nantinya dalam surat ini terdapat kata-kata yang tidak menyenangkan.

Tince tak tau harus bagaimana memulainya Mas, terus terang Tince sayang banget sama Mas Bento, tapi Tarmijah tak bisa melawan kehendak orang tua. Tince tak mau disebut sebagai anak yang durhaka. Tince tak bisa berbuat apa-apa. Mas tentu sudah tau kalau Tince dipaksa menikah dengan silintah darat Pak Karto karena hutang ayah yang sudah menumpuk. Aku sudah jelaskan pada kedua orang tuaku bahwa Aku Bukan Pilihan, tapi hanya aku satu-satunya orang yang bisa menolong Mas. Dan sebagai seorang anak, aku harus berbakti.

Maaf Cintaku, bila kini aku harus meninggalkanmu itu semua adalah kehendak orang tuaku. Aku hanya bisa berdoa semoga kau temukan orang yang lebih baik dariku. Apa yang pernah kita lewati bersama akan terukir dalam hatiku. Dan satu pintaku padamu, Ijinkan Aku Menyayangimu, walau mungkin hanya dalam mimpi.

Yakinlah bahwa suatu saat nanti kau akan temukan cinta sejatimu. Anggaplah ini sebagai Sesuatu Yang Tertunda dan Percayalah Kasih suatu saat nanti kau akan mendapatkan apa yang selama ini kau impikan. Jangan Tutup Dirimu untuk cinta yang lain. Apa yang terjadi Suatu Siang Di Pelataran SD akan selalu ku ingat sebagai kenangan terindah. Bagaimana bibir kita berpagutan, bagaimana tanganmu membelai hangat tubuhku, bagaimana peluh kita menyatu, semua itu tak akan pernah kulupakan. Mungkin semua Sudah Berlalu, namun semua itu tak akan terlupa. Aku akan ingat hari-hari yang telah kita lalui bersama, terutama 3 hari spesial yang kita lalui.

15 Juli 1996, hari itu kau sangat mengharapkan kedatanganku untuk berbagi cerita, berbagi rasa. Malam itu, sehabis hujan kita saling bicara dan berbagi rasa ditemani bulan dan bintang. Kau ceritakan kisah Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu. Di tepi pantai kau dendangkan lagu untuk alam. Tentang karang yang tak lagi kokoh, tentang jala nelayan tua yang tak kuat lagi, tentang camar yang tak riuh lagi, tentang daun kelapa yang tak lagi nyiur, dan Tak Biru Lautku. Kudengarkan Nyanyianmu itu dan kurasakan kekecewaanmu pada tangan-tangan jahil manusia tak berakal yang membuat Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi. Ditepian hati kau dendangkan tembang jeritan bathinmu. Kau kisahkan tentang apa yang kau rasakan. Kau hanya mencoba mencari pembuktian bahwa Di Balik Bening Mata Air Tak Ada Air Mata.

Lalu tanggal 16 Juli 1996, hari itu aku semakin memahami siapa dirimu. Terasa damai saat aku disisimu. Hatiku tergetar melihat senyummu yang lembut, rambut gondrongmu kau biarkan tergerai. Tatap matamu begitu bening. Berdua kita susuri tepian pantai berpayungkan mega kelabu. Kembali Kau dendangkan lagu pengungkap rindu. Airmatamu tergerai. Suaramu begitu parau ditelingaku. Namun aku singkirkan pikiran buruk itu. Aku tak tau bagaimana, namun yang pasti aku begitu tenang disisimu. Kau buat aku merdeka dengan buaianmu., dan dengan lembut kau kecup keningku. Dan aku akan menemanimu tanpa bosan tuk bertahan dalam kerasnya gelombang.

Dan tanggal 17 Juli 1996. Waktu itu hari sudah sore. Kita harus berpisah. Namun sebelum berpisah, sekali lagi kita membuktikan cinta kita. Deru ombak yang menghantam karang, kicau burung camar yang terbang rendah melayang, daun-daun kelapa yang nyiur melambai, menjadi saksi bersatunya peluh kita. Desah nafas yang memburu, dan jeritan-jeritan kecilku menahan nikmat yang tak bisa diungkapkan dengan kata. Sungguh nikmat yang sangat luar biasa. Bibirmu lembut memagut bibirku. Lidahmu begitu lincah menari di langit-langit mulutku, membuat lidahku tak tahan untuk segera menemani lidahmu berdansa diantara bibir kita. Tanganmu yang kekar terasa begitu lembut dan dengan gemulai mengelus, mengusap dan membelai setiap mili tubuhku.Tak ada yang terlewatkan sedikitpun. Kau membuat merasa di Awang-Awang.

Sepertinya aku terlalu banyak bercerita Mas, mungkin cukup sampai disini aku ungkapkan apa yang aku rasakan. Dan Sebelum Kau Bosan membaca tulisanku ini, mungkin aku sudahi saja sampai disini. Selamat Tidur Sayang, selamat berpisah. Bila kau pernah mengucapkan bahwa cinta sejati tak terlupakan aku berharap Semoga Kau Benar.

Oh Ya, satu hal lagi Mas, novel “Diantara 2 Hati” yang mas miliki saat ini ada padaku. Buku Ini Aku Pinjam dulu, kalo boleh sich buat aku. Anggaplah ini sebagai kenang-kenangan yach.”

Hatiku Ancur membaca surat Tince, namun aku sendiri tak bisa memaksakan kehendakku. Aku tak tau harus berbuat apa. Hatiku hancur dan surat itu aku jadikan pelampiasan emosiku yang sudah tak terbendung lagi. Aku robek-robek surat itu dan kemudian aku Bakar.

Menunggug Ditimbang Malah Muntah. Kedamaian yang kuharapkan, namun justru luka yang teramat dalam yang kudapatkan. Di Jakarta aku kembali hidup di jalan dan kutemukan komunitas baru bersama Galang Rambu Anarki dan Cikal yang bernasib sama denganku. Kunamakan komunitas itu dengan nama Gabungan Anak Liar Gara-Gara Orang Tua Liar atau disingkat Gali Gongli bersama dengan Sugali.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Satu-Satu sahabatku pergi dan tak kembali. Dan waktupun memaksaku tuk berpisah dengan kedua sahabatku, Galang dan Cikal. Aku Antarkan mereka ke stasiun Gambir untuk kembali pulang ke rumah mereka. Aku tak tau Kereta Tiba Pukul Berapa? Tapi yang jelas aku sangat mengharapkan kereta datang lebih awal agar mereka tertinggal. Karena aku belum siap untuk berpisah dengan mereka. Begitu banyak hal telah kami lalui bersama mengarungi samudra kehidupan ini. Entah kapan kami akan bertemu lagi, namun satu hal yang pasti Engkau Sahabatku Tetap Sahabatku.

Tak terasa sewindu sudah lamanya aku meninggalkan rumah. Aku tak tau bagaimana keadaan ayah, ibu, dan sepeda motor tuaku yang kutinggalkan saat aku kabur. Aku rindu mereka, aku rindu pada masa-masa membantu ayah berwiraswasta, aku rindu pada masakan lezat ibu dan belaian kasih sayangnya. Dan tentu saja teman kecilku si Joni Kesiangan. Juga Kisah Sepeda Motorku yang menemaniku menjadi Sang Petualang jalanan sewaktu masih membantu usaha ayah dulu yang membuatku ingin segera pulang.

Yach…tak sabar lagi aku untuk bersimpuh di kaki ayah dan ibu. Akan kujadikan pengalaman berharga ini sebagai guru terbaikku. Kutuangkan semua pengalaman yang aku dapat dalam sebuah buku harian dan akan kujadikan dongeng sebelum tidur untuk cucuku nanti. Itupun bila diberikan kesempatan untuk dapat merasakan usia senja. Karena hingga kini Ku Menanti Seorang Kekasih yang bisa menggantikan posisi Tince dihatiku. Satu hal yang aku dapat dari perjalananku selama ini. Bahwa sesungguhnya kehidupan manusia itu tak akan akan berubah bila manusia itu tak bertindak. Untuk itu Jangan Bicara saja, tapi berbuatlah, bertindaklah, bergeraklah.

Semua ini bagai sebuah Intermezo. Cerita kehidupanku yang Belum Ada Judul ini belum berakhir, hingga saat tulisan ini dibuat. Namun satu hal yang ada dihatiku saat ini aku hanya ingin bersimpuh di kaki ayahku dan ingin kurasakan lembut jari ibu membuaiku manja. Ayah….Ibu… maafkan anakmu ini bila selama ini belum bisa membahagiakanmu, dan aku menyadari sampai kapanpun aku tak akan bisa membalas jasa kalian. Dan sebagai rasa syukurku atas berkumpulnya kembali aku dan keluarga, aku mengadakan Sunatan Massal bagi anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Wassalam

Joe Sorjan


.

No comments: